OLEH:
Amallia Ardana Reswari (G0009012)
Angga Dwi Prasetyo (G0009014)
Brenda Ervistya Pertiwi (G0009040)
Dicky Budi N (G0009060)
Dympna Prameilita (G0009068)
Handayani Putri (G0009098)
Intan Savira (G0009108)
Muflihah Isnawati (G0009134)
Nur jiwo W (G0009156)
Rully Prasetyo (G0009196)
PENDAHULUAN
Protozoa adalah hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk
koloni. Sebagian protozoa hidup bebas di alam, tetapi beberapa jenis hidup
sebagai parasit pada manusia dan binatang. (Sutanto, 2008).
Seorang anak umur 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sejak 4 hari
yang lalu BAB dengan tinja yang lembek disertai lendir dan darah lebih dari
5x/hari. Keluhan disertai panas, sakit perut, dan mual muntah. Tidak ada batuk
pilek atau nyeri telan. Sudah 2 hari ini penderita tidak mau makan dan minum
sehingga kondisinya lemah. Sudah makan obat diapet tetapi masih belum sembuh.
Dari anamnesa didapatkan pasien adalah keluarga buruh bangunan dan anak
tersebut suka bermain tanah dan kadang minum air mentah.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN PENULISAN
D. MANFAAT PENULISAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. AGEN INFEKSIUS
Amebiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Entamoeba hystolitica
merupakan golongan protozoa yang dapat menyebabkan diare inflamasi dan patogen
kolon yang lazim di negara belum berkembang. Infeksi terjadi karena tertelannya
kista dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan
mengeluarkan amoeba aktif (trofozoit) dalam usus besar dan memasuki submukosa
yang merupakan tempat infeksi terdalam (Chandrasoma & Taylor, 2006).
Patogenesis dan patologi. Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik).
Penderita kronis mungkin memiliki toleransi terhadap penyakit sehingga tidak
menderita gejala lagi (symptomless carrier). Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak
enak di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni
kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan berdarah
disertai tenesmus. Lesi yang tipikal terjadi di usus besar, yakni adanya ulkus karena
kemampuan amoeba ini menginvasi dinding usus. Gambaran ulkusnya seperti gaung
botol dengan hanya satu atau beberapa titik penetrasi di mukosa usus. Ulkus terjadi di
submukosa hingga muskularis, ulkus yang lebih dalam dapat menyebabkan perforasi
hingga rongga peritoneum. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, amoeba dapat
mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati.
Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke
paru, otak, atau limpa, dan menimbulkan abses disana (Soewando, 2006).
Kronis Pasca infeksi, defisiensi Pasca infeksi, defisiensi Penyakit radang usus,
disakaridase sekunder, disakaridase sekunder, intoleransi laktosa,
intoleransi protein susu, sindrom iritabilitas kolon, gardiasis,
sindrom iritabilitas kolon, penyakit seliakus, penyalahgunaan laksans.
fibrosis kistik, penyakit intoleransi laktosa,
seliakus, sindrom usus gardiasis.
pendek, buatan.
Finger
Diare yang disebabkan oleh mikroba seperti bakteri, parasit atau virus disebarkan
(jari2)
melalui jalur fekal-oral. Jalur ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Flies
(lalat)
Feses Food
Mouth/
(tinja) (makanan/
Fluid mulut
minuman)
(air)
Field
(tanah)
(Soebagyo, 2008).
Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat
disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral.
Faktor penentu terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host),
yaitu faktor yang berkaitan dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme dan faktor penyebab (agent), yang berkaitan dengan kemampuan
mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh host.
Bakteri masuk melalui makanan atau minuman ke lambung sebagian ada yang mati
karena asam lambung dan sebagian lolos bakteri yang lolos masuk ke duodenum
bakteri berkembang biak (di duodenum) memproduksi enzim mucinase sehingga
berhasil mencairkan lapisan lendir dengan menutupi permukaan sel epitel usus
bakteri masuk ke dalam membrane bakteri mengeluarkan toksin mengeluarkan
CAMP (meningkatkannya), yang berfungsi untuk merangsang sekresi cairan usus
dibagian kripta villi & menghambat cairan usus dibagian apikal villi terjadi
rangsangan cairan yang berlebihan, volume cairan didalam lumen usus meningkat
dinding usus berkontraksià terjadi hiperperistaltik cairan keluar (diare).
Untuk diare akut, patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri dibedakan menjadi
dua: bakteri non invasif, yaitu bakteri yang memproduksi toksin yang nantinya toksin
tersebut hanya melekat pada mukosa usus halus & tidak merusak mukosa. Bakteri
non invasif, memberikan keluhan diare seperti air cucian beras dan disebabkan oleh
bakteri enteroinvasif, yaitu diare yang menyebabkan kerusakan dinding usus berupa
nekrosis dan ulserasi, secara klinis berupa diare bercampur lendir dan darah.
Virus masuk melalui makanan & minuman ke tubuhà masuk ke sel epitel usus halus
terjadi infeksi sel-sel epitel yang rusak digantikan oleh enterosit (tapi belum matang
sehingga belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik) villi mengalami atrofi &
tidak dapat mengabsorbsi cairan & makanan dengan baik meningkatkan tekanan
koloid osmotik usus hiperperistaltik usus cairan& makanan yang tidak terserap
terdorong keluar. Manifestasi klinis diare yang disebabkan oleh virus diantaranya
adalah : diare akut, demam, nyeri perut, dehidrasi (Setiawan, 2007; Hiswani, 2003)
Inflamatory akibat proses invasi dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma
diarrhea disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis umumnya
adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual,
muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada
pemeriksaan tinja rutin, secara makroskopis ditemukan lendir dan/ atau
darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear.
Non kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal. Proses diare
inflamatory adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan
diarrhea volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery
diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali,
namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang
tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin
tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae,
Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.
Penetrating lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever,
diarrhea Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada
pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear.
Mikroorganisme penyebab biasanya S. thypi, S. parathypi A, B, S.
enteritidis, S. cholerasuis, Y. enterocolitidea, dan C. fetus.
(Zein, 2004).
C. IMUNOLOGI MUKOSA
Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi imun yang
terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons imun
yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang
sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun
oleh karena adanya paparan antigen.
Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang
dapat memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor penempelan
bakteri/virus ke epitel. Antibodi IgA dapat menggumpalkan antigen, menjebaknya
dalam lapisan mukus dan membantu mengeluarkannya dari tubuh Antibodi IgA
sekretorik dilindungi oleh sel epitel dari protease lumen dengan diproduksinya
komponen sekretori yaitu glikoprotein. Molekul ini menutupi bagian Fc dari antibodi
dimer dan melindunginya dari proses proteolitik. Sistem IgA tidak akan matur
sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur tersebut dapat terjadi peningkatan respons
imun terhadap antigen makanan. IgA sekretorik dari ASI dapat memberikan imunisasi
pasif dalam menghadapi patogen dan berperan menjadi barier bagi neonatus. IgE
tidak ditemukan dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh protease lambung
dan usus halus. Pada alergi makanan harus terdapat IgE dalam saluran cerna. Hal ini
dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier mukosa dan
mempresentasikannya ke sel mast.
D. KOMPLIKASI INFEKSI AGEN-AGEN PATOGEN TERSEBUT
E. PENATALAKSANAAN DIARE
Penatalaksanaan yang sementara dapat dilakukan kepada pasien selama belum
diketahui secara pasti mikroorganisme yang menginfeksi pasien adalah
penatalaksanaan secara simptomatis. Aspek yang paling penting dari terapi diare
adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Hal ini dapat dilakukan dengan rehidrasi oral kepada semua pasien diare kecuali yang
tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat dan memerlukan hidrasi intravena.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g natrium klorida, dan 2,5 g
natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti
itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus
jeruk diberikan untuk mengganti kalium.
Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus
pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan
saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian
infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera
mungkin. Selain pemberian cairan, masukan nutrisi yang adekuat juga sangat
mempengaruhi proses penyembuhan pasien diare. Namun beberapa zat seperti kafein,
laktosa, dan metylxanthine harus dihindari. Obat-obat antimotilitas juga dapat
diberikan untuk menghambat aktivitas usus, contohnya codein, paragoric, larutan
opium, diphenoxylate, loperamide, dan bismuth subsalicylate.
BAB III
PEMBAHASAN
Pada skenario 3, seorang anak mengeluh sejak empat hari yang lalu tinja lembek
disertai lendir dan darah lebih dari 5x/ hari disertai panas, sakit perut dan mual
muntah, tidak ada batuk pilek atau nyeri telan dan kondisinya lemah karena tidak mau
makan dan minum. Diare yang dialami oleh penderita merupakan diare akut pada
anak karena baru berlangsung selama 4 hari. Seperti yang diketahui bahwa diare
memiliki banyak penyebab. Pada umumnya, diare disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit. Khusus pada skenario ini, diare
yang dialami oleh penderita adalah diare disertai lendir dan darah yang terjadi pada
diare inflamasi. Inflamasi yang menyebabkan diare ini membutuhkan peran agen
infeksi seperti protozoa, cacing, bakteri dan atau virus. Pada skenario, agen infeksi
yang paling mungkin menyebabkan gejala klinis pada penderita adalah cacing dan
protozoa mengingat dari hasil anamnesa didapatkan bahwa anak sering kontak
langsung dengan tanah, meminum air mentah dan kondisi ekonomi yang kurang
memadai (cenderung dengan gizi buruk dimana kondisi gizi buruk akan
memperparah suatu penyakit infeksi). Diare dengan lendir dan darah ini dapat terjadi
pada infeksi E. hystolitica, T. trichiura, cacing tambang, dan A. lumbricoides. Dalam
hal ini, penderita diduga terinfeksi cacing tambang dan A. lumbricoides karena gejala
batuk pada infeksi A. lumbricoides dan gatal kemerahan di kaki (karena invasi
cacing) pada infeksi cacing tambang tidak ditemukan pada pasien. Oleh karena itu
dapat tarik kesimpulan sementara sebelum dilakukan pemeriksaan lab bahwa diare
yang diderita oleh si anak ini diakibatkan oleh protozoa, dan protozoa yang
memungkinkan yaitu E. Hystolitica.
Mual pada penderita disebabkan oleh mungkin disebabkan oleh adanya gangguan
atau peradangan pada traktus gastrointestinal karena infeksi parasit sehingga impuls
iritatif dari traktus gastrointestinal merangsang pusat muntah di batang otak untuk
menyampaikan impuls ke otot abdomen dan diafragma agar berkontraksi sehingga
terjadi mual dan akhirnya muntah. Karena adanya peradangan ataupun gangguan
pada traktus gastrointestinal (hiperperistaltik usus, dll) ini maka tidak heran jika
pasien merasakan sakit perut.
Nyeri tekan regio kanan bawah atau regio asenden pada usus besar menunjukkan
nyeri tekan positif tanpa disertai Mc Burney sign positif memberikan informasi
bahwa agen infeksi telah menginfeksi kolon dan bukan disebabkan oleh apendiksitis.
Hiperperistaltik menunjukkan adanya peningkatan bising usus akibat kontraksi usus
terus menerus untuk mengeluarkan sekret sebagai respon inflamasi.
Untuk sementara, diagnosis yang bisa ditegakkan adalah penderita terinfeksi
amoeba (amebiasis). Akan tetapi untuk dapat menegakkan diagnosis maka pasien
harus melakukan pemeriksaan yang dapat menjadi Gold Standart, dalam skenario ini
yang menjadi Gold Standart adalah pemeriksaan darah dan tinja.
Pencegahan yang harus dilakukan yaitu dengan cara menjaga kebersihan diri
sendiri atau perorangan dan kebersihan lingkungan. Dan penghentian obat diapet,
karena obat diapet merupakan obat antimotilitas karena pada infeksi akan
memperburuk diare yang diakibatkan bakteri enteroinvasif akibat perpanjangan
waktu kontak antara bakteri dengan epitel. Pemberian antiemetik dapat menimbulkan
kejang akibat rangsangan ekstrapiramidal (Mansjoer).
BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
1. Diare pada terjadi karena faktor lingkungan, sanitasi yang buruk, dan juga pola
hidup yang kurang sehat. Sehingga pencegahan bisa dilakukan dengan lebih
memperhatikan kebersihan diri, lingkungan dan memperbaiki sistem sanitasi
desa tersebut.Serta tidak jajan di sembarang tempat.
2. Agen infeksius yang menyebabkan diare pada pasien belum dapat ditentukan
karena masih memerlukan beberapa evaluasi tambahan seperti pemeriksaan
biakan tinja untuk menemukan agen infeksius tersebut.
SARAN
1. Untuk mencegah kasus ini kebersihan individu dan lingkungan harus selalu
dijaga.
2. Tidak memakai antimotilitas sebaiknya jgn dipakai pada infeksi karena akan
memperburuk diare yg diakibatkan bakteri enteroinvasif akibat perpanjangan
wktu kontak antara bakteri dengan epitel. Pemberian antiemetik dapat
menimbulkan kejang akibat rangsangan ekstrapiramidal.
DAFTAR PUSTAKA
Kumala, Poppy...[et al.]. 1998. Kamus saku kedokteran Dorland, edisi 25, cet.1
Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aeskulapius.
Rampengan, T.H.. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak edisi 2. Jakarta : EGC.
Soebagyo, B. 2008. Diare Akut pada Anak. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Sudoyo, Aru W.. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Indonesia.
Sutanto, Inge...[et al.]. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC.
Ulshen, Martin. 1999. Sistem Saluran Pencernaan dalam Behrman, Richard E. Kliegman,
Robert. Arvin, Ann M. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Jakarta: EGC.
Pohan, Herdiman T. 2006, ‘Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah’, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, ed. Aru W Suwadoyo, bab
397, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Soewando, Eddy S. 2006, ‘Amebiasis’, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV, ed. Aru W Suwadoyo, bab 402, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.