Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN KELOMPOK

BLOK PENYAKIT TROPIS DAN INFEKSI


SKENARIO 3
DIARE AKIBAT INFEKSI DARI AGEN INFEKSIUS BAKTERI, PARASIT,
DAN VIRUS

OLEH:
Amallia Ardana Reswari (G0009012)
Angga Dwi Prasetyo (G0009014)
Brenda Ervistya Pertiwi (G0009040)
Dicky Budi N (G0009060)
Dympna Prameilita (G0009068)
Handayani Putri (G0009098)
Intan Savira (G0009108)
Muflihah Isnawati (G0009134)
Nur jiwo W (G0009156)
Rully Prasetyo (G0009196)

Nama tutor : Jarot Subandono,dr.,MKes


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Protozoa adalah hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk
koloni. Sebagian protozoa hidup bebas di alam, tetapi beberapa jenis hidup
sebagai parasit pada manusia dan binatang. (Sutanto, 2008).

Seorang anak umur 6 tahun dibawa ke rumah sakit dengan keluhan sejak 4 hari
yang lalu BAB dengan tinja yang lembek disertai lendir dan darah lebih dari
5x/hari. Keluhan disertai panas, sakit perut, dan mual muntah. Tidak ada batuk
pilek atau nyeri telan. Sudah 2 hari ini penderita tidak mau makan dan minum
sehingga kondisinya lemah. Sudah makan obat diapet tetapi masih belum sembuh.
Dari anamnesa didapatkan pasien adalah keluarga buruh bangunan dan anak
tersebut suka bermain tanah dan kadang minum air mentah.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan: vital sign T 110/70, N 120x/menit, R


24x/menit, suhu 39.20C. pemeriksaan abdomen: inspeksi normal, auskultasi
hiperperistaltik, palpasi nyeri tekan regio kanan bawah, perkusi hipertimpani.
Nyeri tekan lepas titik Mc Burney (-). Kemudian dokter menyarankan untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium darah dan tinja untuk melihat kemungkinan
agen penyebabnya.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana patogenesis dan patofisiologi pada skenario tersebut?


2. Apa agen infeksius yang menyebabkan penyakit ini dan bagaimana cara agen
infeksius ini sehingga menimbulkan sakit?
3. Apa penyebab dan kaitan antara keluhan-keluhan yang timbul, pemeriksaan
fisik yang timbul, dan pemeriksaan laboratorium yang timbul dengan
skenario ini?
4. Apa saja diagnosis banding yang berkaitan dengan skenario ini?
5. Apa komplikasi dari penyakit pada skenario ini?
6. Bagaimana penatalaksanaannya?
7. Bagaimana hubungan imunologi mukosa dan IgA pada skenario ini?

C. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan laporan ini agar mahasiswa mampu:

1. Mengetahui agen-agen infeksius dan cara mereka menginfeksi.


2. Mengetahui penyebab dan kaitan antara keluhan-keluhan, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium dengan skenario ini.
3. Mengetahui diagnosis banding dari skenario ini.
4. Mengetahui komplikasi dari penyakit ini.
5. Mengetahui penatalaksanaan dari skenario ini.
6. Mengetahui sistem imunologi terhadap kasus ini.

D. MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat penulisan laporan ini adalah:

1. Dapat menjelaskan bermacam-macam agen infeksius yang dapat menginfeksi


dan mengakibatkan penyakit pada manusia. Dalam hal morfologi, sifat
karakteristik, daur hidup, dan habitatnya.

2. Mampu menjelaskan asal agen infeksius.

3. Dapat menjelaskan jalur masuk agen infeksius ke dalam tubuh manusia.

4. Menjelaskan patofisiologi dan patogenesis penyakit mulai dari masuknya


agen infeksius hingga munculnya gejala klinis pada organ target.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. AGEN INFEKSIUS
Amebiasis
Penyakit ini disebabkan oleh Entamoeba hystolitica. Entamoeba hystolitica
merupakan golongan protozoa yang dapat menyebabkan diare inflamasi dan patogen
kolon yang lazim di negara belum berkembang. Infeksi terjadi karena tertelannya
kista dalam makanan dan minuman yang terkontaminasi tinja. Kista yang tertelan
mengeluarkan amoeba aktif (trofozoit) dalam usus besar dan memasuki submukosa
yang merupakan tempat infeksi terdalam (Chandrasoma & Taylor, 2006).
Patogenesis dan patologi. Masa inkubasi dapat terjadi dalam beberapa hari
hingga beberapa bulan. Amebiasis dapat berlangsung tanpa gejala (asimptomatik).
Penderita kronis mungkin memiliki toleransi terhadap penyakit sehingga tidak
menderita gejala lagi (symptomless carrier). Gejala dapat bervariasi, mulai rasa tidak
enak di perut hingga diare. Gejala yang khas adalah sindroma disentri, yakni
kumpulan gejala gangguan pencernaan yang meliputi diare berlendir dan berdarah
disertai tenesmus. Lesi yang tipikal terjadi di usus besar, yakni adanya ulkus karena
kemampuan amoeba ini menginvasi dinding usus. Gambaran ulkusnya seperti gaung
botol dengan hanya satu atau beberapa titik penetrasi di mukosa usus. Ulkus terjadi di
submukosa hingga muskularis, ulkus yang lebih dalam dapat menyebabkan perforasi
hingga rongga peritoneum. Dari ulkus di dalam dinding usus besar, amoeba dapat
mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta dan menimbulkan abses hati.
Embolisasi lewat pembuluh darah atau pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke
paru, otak, atau limpa, dan menimbulkan abses disana (Soewando, 2006).

Penyakit Cacing yang ditularkan melalui tanah


Askariasis
Penyakit ini disebabkan oleh infestasi cacing Ascaris lumbricoides atau cacing
gelang yang hidup dalam usus halus manusia. Cacing ini terutama tumbuh di daerah
panas dan lembab dengan sanitasi buruk. Di Indonesia prevalensi askariasis tinggi
terutama pada anak. Cacaing dewasa betina mengeluarkan telur yang kemudian akan
menjadi matang dan infektif, dengan tumbuhnya larva pada telurnya dalam waktu 2-3
minggu. Infeksi pada manusia terjadi kalau larva ini mengkontaminasi makanan dan
minuman. Di dalam usus halus larva cacing akan keluar menembus dinding usus
halus dan kemudian menuju pembuuh darah dan limfe menuju paru. Setelah itu, larva
cacing akan bermigrasi ke bronkus, faring, dan kemudian turun ke esofagus dan usus
halus. Lama perjalanan ini sampai menjadi bantuk cacing dewasa adalah 60-75 hari.
Panjang cacing dewasa 20-40 cm dan hidup dalam usus halus manusia untuk
bertahun-tahun lamanya. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan.
Gejala yang timbul dapat disebabkan cacing dewasa dan larva. Selama
bermigrasi, larva dapat menimbulkan gejala bila merusak kapiler atau dinding
alveolus paru. Keadaan tersebut akan menyebabkan perdarahan, pemggumpalan sel
leukosit dan eksudat, yang akan menyebabkan kosolidasi paru dengan gejala panas,
batuk, batuk darah, sesak napas dan pneumonitis askaris. Pada pemeriksaan darah
akan didapatkan eosinofilia. Larva cacing dapat menyebar dan menyerang organ lain
seperti otak, ginjal, mata, susmsum tulang belakang, dan kulit. Dalam jumlah sedikit,
cacing dewasa tidak menimbulkan gejala. Kadang-kadang penderita mengalami
gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Bila infestasi berat, dapat menyebabkan cacing-cacing ini menggumpal dalam usus
sehingga menyebabkan obstruksi usus (ileus). Cacing dewasa dapat juga
menyebabkan gangguan nutrisi pada anak-anak. Cacing dewasa dapat keluar melaui
mulut dengan perantaraan batuk, muntah atau keluar melalui hidung (Pohan, 2006).
Penyakit cacing kremi
Penyakit ini disebut juga oxyuriasis atau enterobiasis. Penyakit ini disebakan
oleh Oxyuris vermicularis atau Enterobius vermicularis atau cacing kremi atau
pinworm. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dan di Indonesiamempunayi
frekuensi tinggi terutama pada anak-anak. Cara infeksi terjadi karena tertelannya telur
yang telah dibuahi melalui jari yang kotor, makanan yang terkontaminasi, inhalasi
udara yang mengandung telur, dan kadang-kadang retroinfeksi melalui anus. Telur
menetas di dalam duodenum, kemudian larva cacing bergerak dan menetap sebagai
cacing dewasa di yeyunum dan bagian atas ileum. Waktu yang diperlukan untuk daur
hidupnya, mulai dari tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid
yang bermigrasi ke daerah perianal berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan.
Cacing betina yang hamil, pada waktu malam bergerak ke arah anus dan meletakkan
telurnya dalam lipatan-lipatan kulit di sekitar anus. Hal inilah yang menyebabkan
pruritus ani.
Gejala klinis yang paling penting dan sring ditemukan adalah rasa gatal pada
anus (pruritus ani), yang terutama timbul pada malam hari. Anoreksia, badan menjadi
kurus, sukar tidur, dan pasien menjadi iritabel sering kali terjadi terutama pada
anak.Cacing dewasa dalam usus dapat menyebabkan gejala nyeri perut, rasa mual,
muntah, mencret-mencret yang disebabkan karena iritasi cacing dewasa pada sekum ,
apendiks dan sekitar muara anus besar (Pohan, 2006).
Penyakit cacing tambang
Penyakit cacing tambang kebanyakan disebabkan oleh cacing Necator
americanus dan Ancylostoma duodenale. Penyakit ini tersebar di daerah tropis
maupun subtropis. Gejala klinis dan patologis penyakit bergantung pada jumlah
cacing yang menginfestasi usus, paling sedikit 500 cacing diperlukan untuk
menyebabkan terjadinya anemia dan dan gejala klinis pada pasien dewasa. Telur
dihasilkan cacing betina dan keluar melalui tinja. Bila telur jatuh di tempat lembab,
hangat, dan basah, maka telur akan berubah menjadi larva infektif. Jika larva kontak
dengan kulit, maka akan mengadakan penetrasi kulit, bermigrasi sampai paru
kemudian turun ke usus halus dan berkembang hingga menjadi cacing dewasa. Rasa
gatal di kulit, pruritus kulit, dermatitis, dan kadang-kadang makulopapula sampai
vesikel merupakan gejala pertama yang dihubungkan dengan invasi cacing tambang.
Selama larva berada di paru-paru dapat menyebabkan batuk darah karena pecahnya
kapiler dalam alveoli paru-paru. Rasa tak enak pada perut, kembung, sering
mengeluarkan gas (flatus), mencret-mencret merupakan gejala iritasi cacing pada
usus halus, yang terjadi lebih kurang 2 minggu setelah larva mengadakan penetrasi
dalam kulit (Pohan, 2006).
Trikuriasis
Penakit ini disebabkan oleh Trichuris trichiura. Cacing ini bersifat
kosmopolit, terutama di daerah panas dan lembab. Cacing Trichuris pada manusia
terutama hidup di sekum, akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada
infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan rektum,
kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya
penderita pada saat defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa
usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan peradangan mukosa usus.
Pada tempat perlekatannya dapat terjadi perdarahan. Di samping itu, ternyata cacing
ini menghisap darah hospesnya, sehingga menyebabkan anemia (Pohan, 2006)
B. DIARE
Diare adalah frekuensi pengeluaran dan kekentalan feses yang tidak normal.
(Dorland) Berdasarkan mekanismenya, diare dibedakan menjadi dua, yaitu diare
akibat gangguan absorbsi dan diare akibat gangguan sekresi. Sedangkan menurut
lamanya, diare dibedakan menjadi:
 Diare akut : berlangsung kurang dari 14 hari.
 Diare persisten : berlangsung lebih dari 14 hari.
 Diare kronik : berlangsung lebih dari 14 hari dan berlangsung intermitten.
( Soebagyo, 2008).
Penyebab umum diare dapat dilihat pada tabel berikut ini: (Martin Ulshen, 1999)

Tipe diare Bayi Anak Remaja

Akut Gastroenteritis, Infeksi Gastroenteritis, Infeksi Gastroenteritis,


sistemik, Pemakaian sistemik, Keracunan Keracunan makanan,
antibiotik makanan, Pemakaian Pemakaian antibiotik
antibiotik

Kronis Pasca infeksi, defisiensi Pasca infeksi, defisiensi Penyakit radang usus,
disakaridase sekunder, disakaridase sekunder, intoleransi laktosa,
intoleransi protein susu, sindrom iritabilitas kolon, gardiasis,
sindrom iritabilitas kolon, penyakit seliakus, penyalahgunaan laksans.
fibrosis kistik, penyakit intoleransi laktosa,
seliakus, sindrom usus gardiasis.
pendek, buatan.

Finger
Diare yang disebabkan oleh mikroba seperti bakteri, parasit atau virus disebarkan
(jari2)
melalui jalur fekal-oral. Jalur ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Flies
(lalat)
Feses Food
Mouth/
(tinja) (makanan/
Fluid mulut
minuman)
(air)

Field
(tanah)
(Soebagyo, 2008).

Diare akut disebabkan 90% oleh infeksi bakteri dan parasit sedangkan yang lain dapat
disebabkan oleh obat-obatan dan bahan-bahan toksik. Diare ditularkan fekal oral.
Faktor penentu terjadinya diare akut sangat dipengaruhi oleh faktor pejamu (host),
yaitu faktor yang berkaitan dengan kemampuan pertahanan tubuh terhadap
mikroorganisme dan faktor penyebab (agent), yang berkaitan dengan kemampuan
mikroorganisme dalam menyerang sistem pertahanan tubuh host.

Patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri adalah :

Bakteri masuk melalui makanan atau minuman ke lambung sebagian ada yang mati
karena asam lambung dan sebagian lolos bakteri yang lolos masuk ke duodenum
bakteri berkembang biak (di duodenum) memproduksi enzim mucinase sehingga
berhasil mencairkan lapisan lendir dengan menutupi permukaan sel epitel usus
bakteri masuk ke dalam membrane bakteri mengeluarkan toksin mengeluarkan
CAMP (meningkatkannya), yang berfungsi untuk merangsang sekresi cairan usus
dibagian kripta villi & menghambat cairan usus dibagian apikal villi terjadi
rangsangan cairan yang berlebihan, volume cairan didalam lumen usus meningkat
dinding usus berkontraksià terjadi hiperperistaltik cairan keluar (diare).

Untuk diare akut, patogenesis diare yang disebabkan oleh bakteri dibedakan menjadi
dua: bakteri non invasif, yaitu bakteri yang memproduksi toksin yang nantinya toksin
tersebut hanya melekat pada mukosa usus halus & tidak merusak mukosa. Bakteri
non invasif, memberikan keluhan diare seperti air cucian beras dan disebabkan oleh
bakteri enteroinvasif, yaitu diare yang menyebabkan kerusakan dinding usus berupa
nekrosis dan ulserasi, secara klinis berupa diare bercampur lendir dan darah.

Patogenesis diare yang disebabkan oleh virus adalah :

Virus masuk melalui makanan & minuman ke tubuhà masuk ke sel epitel usus halus
terjadi infeksi sel-sel epitel yang rusak digantikan oleh enterosit (tapi belum matang
sehingga belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik) villi mengalami atrofi &
tidak dapat mengabsorbsi cairan & makanan dengan baik meningkatkan tekanan
koloid osmotik usus hiperperistaltik usus cairan& makanan yang tidak terserap
terdorong keluar. Manifestasi klinis diare yang disebabkan oleh virus diantaranya
adalah : diare akut, demam, nyeri perut, dehidrasi (Setiawan, 2007; Hiswani, 2003)

Pembagian diare akut berdasarkan proses patofisiologi

Inflamatory akibat proses invasi dan cytotoxin di kolon dengan manifestasi sindroma
diarrhea disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis umumnya
adalah keluhan abdominal seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual,
muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada
pemeriksaan tinja rutin, secara makroskopis ditemukan lendir dan/ atau
darah, secara mikroskopis didapati leukosit polimorfonuklear.
Non kelainan yang ditemukan di usus halus bagian proksimal. Proses diare
inflamatory adalah akibat adanya enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan
diarrhea volume yang besar tanpa lendir dan darah, yang disebut dengan Watery
diarrhea. Keluhan abdominal biasanya minimal atau tidak ada sama sekali,
namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang
tidak segera mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin
tidak ditemukan leukosit. Mikroorganisme penyebab seperti, V.cholerae,
Enterotoxigenic E.coli (ETEC), Salmonella.
Penetrating lokasi pada bagian distal usus halus. Penyakit ini disebut juga Enteric fever,
diarrhea Chronic Septicemia, dengan gejala klinis demam disertai diare. Pada
pemeriksaan tinja secara rutin didapati leukosit mononuclear.
Mikroorganisme penyebab biasanya S. thypi, S. parathypi A, B, S.
enteritidis, S. cholerasuis, Y. enterocolitidea, dan C. fetus.

(Zein, 2004).
C. IMUNOLOGI MUKOSA

Sistem imunitas mukosa merupakan bagian sistem imunitas yang penting


dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain. Sistem imunitas mukosa
lebih bersifat menekan imunitas, karena hal-hal berikut; mukosa berhubungan
langsung dengan lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri
dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan sistem imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut sedapat mungkin
dicegah agar tidak menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan
kimiawi dengan enzim-enzim mukosa.

Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi imun yang
terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk mencegah terjadinya respons imun
yang berlebihan yang akhirnya merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang
sangat banyak. Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun
oleh karena adanya paparan antigen.

Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa mekanisme untuk


melindungi pejamu dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi lumen usus.
Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang kuat, adanya enzim luminal yang
mempengaruhi antigen diri yang alami, adanya sel T regulator spesifik yang diatur
fungsinya oleh jaringan limfoid usus, dan adanya produksi antibodi IgA sekretori
yang paling cocok dengan lingkungan usus.

Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respons imunitas. Kelainan


beberapa komponen ini dapat menyebabkan peradangan atau alergi.

Mekanisme efektor pada imunologi mukosa

Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi, imunitas


mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang meliputi netrofil
fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini
berperan dalam eliminasi patogen dan inisisasi respons imun adaptif.
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah
suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin
predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap
protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan
patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan
sel B menjadi sel plasma penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan interleukin
(IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Diketahui bahwa sel T mukosa menghasilkan
dalam jumlah yang banyak TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel epitelial mukosa
menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk bahwa maturasi sel B penghasil
IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga

Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral, IgM dan


IgG juga diproduksi secara lokal dan berperan dalam mekanisme pertahanan secara
signifikan. Sel T limfosit sitolitik mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam
imunitas pembersihan patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan
terlihat setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan yang
terbaru perkutaneus.

Imunoglobulin A sekretori pada saluran cerna

Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan komplemen (yang
dapat memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama sebagai inhibitor penempelan
bakteri/virus ke epitel. Antibodi IgA dapat menggumpalkan antigen, menjebaknya
dalam lapisan mukus dan membantu mengeluarkannya dari tubuh Antibodi IgA
sekretorik dilindungi oleh sel epitel dari protease lumen dengan diproduksinya
komponen sekretori yaitu glikoprotein. Molekul ini menutupi bagian Fc dari antibodi
dimer dan melindunginya dari proses proteolitik. Sistem IgA tidak akan matur
sebelum usia 4 tahun sehingga pada umur tersebut dapat terjadi peningkatan respons
imun terhadap antigen makanan. IgA sekretorik dari ASI dapat memberikan imunisasi
pasif dalam menghadapi patogen dan berperan menjadi barier bagi neonatus. IgE
tidak ditemukan dalam saluran cerna karena mudah dipecah oleh protease lambung
dan usus halus. Pada alergi makanan harus terdapat IgE dalam saluran cerna. Hal ini
dapat terjadi karena adanya antigen yang melewati barier mukosa dan
mempresentasikannya ke sel mast.
D. KOMPLIKASI INFEKSI AGEN-AGEN PATOGEN TERSEBUT

Infeksi ameba ekstraintestinal


Amubiasis kolon yang tidak diobati akan menjalar keluar dari usus dan
menyebabkan amubiasis ekatraintestinal melalui hematogen atau per kontinuitatum.
Dapat terjadi abses hati terutama di lobus kanan dan biasanya soliter. Abses berisi
nanah yang berwarna coklat. Cara per kontinuitatum dapat menyebar ke paru
menyebabkan abses paru. Amubiasis rectum apabila tidak diobati akan menyebar ke
kulit di sekitar anus, menyebabkan amubiasis perianal; dapat juga menyebar ke
perineum, menyebabkan amubiasis perineal atau ke vagina (amubiasis vagina). Di
kulit dan vagina amuba ini menimbulkan ulkus (Gandahusada, 1998).
Penyakit Cacing Tambang
Dermatitis pada kulit, anemia berat yang menyebabkan gangguan
pertumbuhan, perkembangan mental dan payah jantung (Herdiman T. Pohan, 2006).
Askariasis
Selama larva sedang bermigrasi dapat menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang
berat dan pneumonitis dan bahkan dapat menyebabkan timbulnya pneumonia.

E. PENATALAKSANAAN DIARE
Penatalaksanaan yang sementara dapat dilakukan kepada pasien selama belum
diketahui secara pasti mikroorganisme yang menginfeksi pasien adalah
penatalaksanaan secara simptomatis. Aspek yang paling penting dari terapi diare
adalah untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit dalam tubuh.
Hal ini dapat dilakukan dengan rehidrasi oral kepada semua pasien diare kecuali yang
tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat dan memerlukan hidrasi intravena.
Idealnya, cairan rehidrasi oral harus terdiri dari 3,5 g natrium klorida, dan 2,5 g
natrium bikarbonat, 1,5 g kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air. Cairan seperti
itu tersedia secara komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan
mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi
oral pengganti dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh
baking soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus
jeruk diberikan untuk mengganti kalium.
Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak mungkin sejak mereka merasa haus
pertama kalinya. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti cairan
saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi kalium
sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan baik
dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan penyesuaian
infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi oral sesegera
mungkin. Selain pemberian cairan, masukan nutrisi yang adekuat juga sangat
mempengaruhi proses penyembuhan pasien diare. Namun beberapa zat seperti kafein,
laktosa, dan metylxanthine harus dihindari. Obat-obat antimotilitas juga dapat
diberikan untuk menghambat aktivitas usus, contohnya codein, paragoric, larutan
opium, diphenoxylate, loperamide, dan bismuth subsalicylate.

BAB III
PEMBAHASAN

Pada skenario 3, seorang anak mengeluh sejak empat hari yang lalu tinja lembek
disertai lendir dan darah lebih dari 5x/ hari disertai panas, sakit perut dan mual
muntah, tidak ada batuk pilek atau nyeri telan dan kondisinya lemah karena tidak mau
makan dan minum. Diare yang dialami oleh penderita merupakan diare akut pada
anak karena baru berlangsung selama 4 hari. Seperti yang diketahui bahwa diare
memiliki banyak penyebab. Pada umumnya, diare disebabkan oleh adanya
ketidakseimbangan pengangkutan air dan elektrolit. Khusus pada skenario ini, diare
yang dialami oleh penderita adalah diare disertai lendir dan darah yang terjadi pada
diare inflamasi. Inflamasi yang menyebabkan diare ini membutuhkan peran agen
infeksi seperti protozoa, cacing, bakteri dan atau virus. Pada skenario, agen infeksi
yang paling mungkin menyebabkan gejala klinis pada penderita adalah cacing dan
protozoa mengingat dari hasil anamnesa didapatkan bahwa anak sering kontak
langsung dengan tanah, meminum air mentah dan kondisi ekonomi yang kurang
memadai (cenderung dengan gizi buruk dimana kondisi gizi buruk akan
memperparah suatu penyakit infeksi). Diare dengan lendir dan darah ini dapat terjadi
pada infeksi E. hystolitica, T. trichiura, cacing tambang, dan A. lumbricoides. Dalam
hal ini, penderita diduga terinfeksi cacing tambang dan A. lumbricoides karena gejala
batuk pada infeksi A. lumbricoides dan gatal kemerahan di kaki (karena invasi
cacing) pada infeksi cacing tambang tidak ditemukan pada pasien. Oleh karena itu
dapat tarik kesimpulan sementara sebelum dilakukan pemeriksaan lab bahwa diare
yang diderita oleh si anak ini diakibatkan oleh protozoa, dan protozoa yang
memungkinkan yaitu E. Hystolitica.

Keadaan panas pada penderita menunjukkan adanya reaksi inflamasi dimana


pirogen eksogen yang dihasilkan oleh agen infeksi merangsang leukosit untuk
menghasilkan pirogen atau pirogen endogen atau IL-1. IL-1 merangsang produksi
prostaglandin di dalam hipotalamus sehingga terjadilah yang namanya demam.

Mual pada penderita disebabkan oleh mungkin disebabkan oleh adanya gangguan
atau peradangan pada traktus gastrointestinal karena infeksi parasit sehingga impuls
iritatif dari traktus gastrointestinal merangsang pusat muntah di batang otak untuk
menyampaikan impuls ke otot abdomen dan diafragma agar berkontraksi sehingga
terjadi mual dan akhirnya muntah. Karena adanya peradangan ataupun gangguan
pada traktus gastrointestinal (hiperperistaltik usus, dll) ini maka tidak heran jika
pasien merasakan sakit perut.
Nyeri tekan regio kanan bawah atau regio asenden pada usus besar menunjukkan
nyeri tekan positif tanpa disertai Mc Burney sign positif memberikan informasi
bahwa agen infeksi telah menginfeksi kolon dan bukan disebabkan oleh apendiksitis.
Hiperperistaltik menunjukkan adanya peningkatan bising usus akibat kontraksi usus
terus menerus untuk mengeluarkan sekret sebagai respon inflamasi.
Untuk sementara, diagnosis yang bisa ditegakkan adalah penderita terinfeksi
amoeba (amebiasis). Akan tetapi untuk dapat menegakkan diagnosis maka pasien
harus melakukan pemeriksaan yang dapat menjadi Gold Standart, dalam skenario ini
yang menjadi Gold Standart adalah pemeriksaan darah dan tinja.
Pencegahan yang harus dilakukan yaitu dengan cara menjaga kebersihan diri
sendiri atau perorangan dan kebersihan lingkungan. Dan penghentian obat diapet,
karena obat diapet merupakan obat antimotilitas karena pada infeksi akan
memperburuk diare yang diakibatkan bakteri enteroinvasif akibat perpanjangan
waktu kontak antara bakteri dengan epitel. Pemberian antiemetik dapat menimbulkan
kejang akibat rangsangan ekstrapiramidal (Mansjoer).

BAB IV

PENUTUP

SIMPULAN

1. Diare pada terjadi karena faktor lingkungan, sanitasi yang buruk, dan juga pola
hidup yang kurang sehat. Sehingga pencegahan bisa dilakukan dengan lebih
memperhatikan kebersihan diri, lingkungan dan memperbaiki sistem sanitasi
desa tersebut.Serta tidak jajan di sembarang tempat.
2. Agen infeksius yang menyebabkan diare pada pasien belum dapat ditentukan
karena masih memerlukan beberapa evaluasi tambahan seperti pemeriksaan
biakan tinja untuk menemukan agen infeksius tersebut.

SARAN
1. Untuk mencegah kasus ini kebersihan individu dan lingkungan harus selalu
dijaga.
2. Tidak memakai antimotilitas sebaiknya jgn dipakai pada infeksi karena akan
memperburuk diare yg diakibatkan bakteri enteroinvasif akibat perpanjangan
wktu kontak antara bakteri dengan epitel. Pemberian antiemetik dapat
menimbulkan kejang akibat rangsangan ekstrapiramidal.

DAFTAR PUSTAKA

Kumala, Poppy...[et al.]. 1998. Kamus saku kedokteran Dorland, edisi 25, cet.1

;copy editor edisi bahasa Indonesia, Dyah Nuswantari. Jakarta : EGC.

Mansjoer, Arif. 2005. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Jakarta: Media
Aeskulapius.

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta :


EGC.

Rampengan, T.H.. 2007. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak edisi 2. Jakarta : EGC.

Soebagyo, B. 2008. Diare Akut pada Anak. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.
Sudoyo, Aru W.. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Indonesia.

Sutanto, Inge...[et al.]. 2008. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Ulshen, Martin. 1999. Sistem Saluran Pencernaan dalam Behrman, Richard E. Kliegman,
Robert. Arvin, Ann M. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol. 2. Jakarta: EGC.

Chandrasoma, Parakrama & Taylor, Clive R. 2006, Ringkasan Patologi Anatomi


Edisi 2, EGC, Jakarta.

Pohan, Herdiman T. 2006, ‘Penyakit Cacing yang Ditularkan Melalui Tanah’, dalam
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV, ed. Aru W Suwadoyo, bab
397, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Soewando, Eddy S. 2006, ‘Amebiasis’, dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III Edisi IV, ed. Aru W Suwadoyo, bab 402, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai