Anda di halaman 1dari 37

JOURNAL READING

RELATIONSHIP BETWEEN LOW MATERNAL VITAMIN D STATUS AND THE RISK


OF SEVERE T PREECLAMPSIA: A CASE CONTROL STUDY

Pembimbing :

dr. Herman Sumawan, Sp.OG, M. Sc

Disusun Oleh :
Ghalia Yasmin G4A018046
Anisa Aolina Rahayu G4A018070
Novela Ananda T S G4A018084

SMF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN RSUD PROF. DR.


MARGONO SOEKARJO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO

2019
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Journal Reading dengan judul:


“ RELATIONSHIP BETWEEN LOW MATERNAL VITAMIN D STATUS
AND THE RISK OF SEVERE T PREECLAMPSIA: A CASE CONTROL
STUDY”

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian di


bagian Obstetri dan Ginekologi Program Profesi Dokter di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh :
Ghalia Yasmin G4A018046
Anisa Aolina Rahayu G4A018070
Novela Ananda T S G4A018084

Purwokerto, November 2019


Mengetahui,
Dokter Pembimbing

dr. Herman Sumawan, Sp.OG, M. Sc


I. ISI JURNAL
Hubungan antara status vitamin D ibu yang rendah dan risiko
preeklamsia T yang parah: Studi kasus kontrol
Sarvin Pashapour, Sarieh Golmohammadlou, Tahereh Behroozi-
Lak, Hojjat Ghasemnejad-Berenji, Sonia Sadeghpour, Morteza
Ghasemnejad-Berenji

ABSTRAK
Status vitamin D ibu yang rendah telah dikaitkan dengan beberapa hasil
yang merugikan selama kehamilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi kadar vitamin D pada wanita hamil dengan preeklampsia dan
wanita hamil yang sehat dan peran defisiensi vitamin D dalam etiologi
preeklampsia.
Metode: Dalam studi kasus-kontrol ini, 80 wanita preeklampsia dan 80 wanita
hamil sehat dipilih dari rumah sakit Motahari di Urmia, Iran. 2 ml sampel darah
vena dikumpulkan dari masing-masing wanita hamil dan kadar serum 25-OH-D
diukur dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan dilaporkan
dalam nanogram per mililiter. kadar 25-OH-D kurang dari 10 ng mL − 1, antara
10 ng mL − 1 dan 29 ng mL − 1 dan lebih dari 30 ng mL − 1, dianggap sebagai
konsentrasi 25-OH-D yang kurang, tidak mencukupi, dan normal. masing-masing.
Hasil dianalisis dengan uji-t independen, uji Mann-Whitney U, dan regresi
logistik.
Hasil: Wanita preeklampsia (n = 80) tercatat mengalami penurunan kadar total
25-OH-D relatif terhadap wanita kontrol yang sehat (n = 80; P = 0,01). Perbedaan
total 25-OH-D ini tetap signifikan setelah kontrol untuk perancu potensial [rasio
odds (OR) = 4,79, interval kepercayaan (CI) = 1,45-9,87, P = 0,01].
Kesimpulan: Hasil ini menunjukkan bahwa kekurangan vitamin D memiliki
hubungan yang signifikan secara statistik dengan preeklampsia dan mendukung
hipotesis bahwa kekurangan vitamin D dapat menjadi faktor risiko untuk
preeklampsia.
Kata kunci : Preeklampsia, Vitamin D, Kehamilan, 25-OH-D
A. Pendahuluan
Preeklampsia adalah kelainan yang dapat terjadi setelah usia
kehamilan 20 minggu dan ditandai dengan tekanan darah tinggi (BP≥140 /
90mmHg) dan proteinuria. Sindrom ini terjadi pada 2-8% kehamilan dan
menyebabkan 25% morbiditas dan mortalitas perinatal di seluruh dunia.
Faktor-faktor yang dapat meningkatkan terjadinya preeklampsia meliputi:
obesitas, diabetes, nulliparitas, penyakit ginjal kronis, hipertensi kronis
sebelum kehamilan, gangguan kekebalan tubuh, riwayat keluarga
preeklampsia, kehamilan kembar atau multipel dan riwayat pribadi
preeklampsia. Aktivasi sistem inflamasi ibu karena perkembangan
plasenta yang abnormal, yang menginduksi stres oksidatif, adalah
kemungkinan asal preeklampsia. Studi epidemiologis terbaru telah
menekankan peran kekurangan vitamin D dalam pengembangan
preeklampsia. Vitamin D dapat berperan dalam etiologi preeklampsia
dengan memodulasi fungsi imun dan respon inflamasi dan mengatur
transkripsi dan fungsi gen yang terkait dengan implantasi dan angiogenesis
normal plasenta. Meskipun banyak penelitian observasional menunjukkan
defisiensi vitamin D merupakan faktor risiko preeklampsia, hubungan
antara defisiensi vitamin D ibu dan risiko preeklampsia masih
diperdebatkan dan hasil tinjauan literatur masih kontroversial. Tingginya
prevalensi defisiensi vitamin D pada wanita Iran dengan budaya dan gaya
hidup khusus dan hubungannya dengan kehamilan terkait hasil dan
kurangnya informasi tentang hubungan antara vitamin D dan preeklampsia
di barat laut wanita Iran, mendorong kami untuk melakukan penelitian
untuk memperjelas hubungan antara kadar vitamin D dan preeklampsia.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi hubungan antara
kadar vitamin D serum dan preeklamsia pada wanita Iran barat laut.
B. Bahan dan Metode
1. Desain Studi dan Populasi
Studi kasus-kontrol ini dilakukan pada 80 wanita preeklampsia,
yang dipilih dari rumah sakit pendidikan Motahari di Urmia, barat laut
Iran, dari Januari hingga Mei 2016. Delapan wanitahamil yang sehat
dipilih di antara wanita yang menghadiri rumah sakit Motahari dengan
nyeri eprsalinan. Kelompok kontrol (kelompok kontrol tidak cocok
dengan kelompok kasus). Penelitian ini disetujui oleh Komete
Penelitian dan Etika di Universitas Ilmu Kedokteran Urmia dan
persetujuan tertulis diperoleh dari semua wanita yang direkrut ke dalam
penelitian.
Kriteria inklusi adalah kehamilan tunggal dan panjang, tidak ada
gangguan medis yang diketahui (hipertensi, diabetes, ginjal, dll), tidak
ada riwayat asupan vitamin D selama kehamilan, tidak merokok dan
tidak ada BMI lebih dari 30. Adanya hipertensi (tekanan darah sistolik
(SBP) ≥140 mmHg dan tekanan diastolik (DBP)≥90 mmHg pada 2
kesempatan setidaknya 6 jam terpisah setelah 20 minggu kehamilan
dengan proteinuria terdeteksi lebih dari 0,3gram/24 jam adalah kriteria
diagnostik untuk preeklampsia. Seorang ginekolog telah
mengkonfirmasi preeklampsia pada pertisipan. Rincian mengenai
komplikasi dalam kehamilan, persalinan dikumpulkan dari file catatan
rumah sakit dan daftar periksa digunakan untuk hasil tes darah.
Sebelum persalinan, sampel darah (5ml) diambil darah masing-masing
peserta dan dikirim ke laboratorium dimana sampel darah di
sentrifugasi pada 3500 rpm pada 4C selama 10 menit dan disimpan
suhu -25C sampai evaluasi.
2. Diskripsi Metode Laboratorium
Konsentrat serum 25 OH-D diukur menggunakan Enzyme-Linked
Immunoabsorbent Assay (ELISA) dan hasilnya dilaporkan sebagai
ng/ml. Kit EIA IDS 25 –OH-D adalah enxim immunoassay untuk
kuantisasi 25-OH-D. Kami mengklasifikasikan peserta dengan
defisiensi jika tingkat vitamin D< 10ng/ml, itu dianggap dalam kisaran
normal.
3. Analisis Statistik
Entri dan analisis data dilakukan dengan menggunakan SPSS versi
19. Tes Kolmogorov- Smirnov digunakan untuk menguji normaitas. Uji
t-independence digunakan untuk data dengan distribusi normal. Tingkat
vitamin dan BMI tidak memiliki distribusi normal dan uji Mann-
Whitney U digunakan untuk membandingkan dua kelompok. Uji chi-
square digunakan untuk membandingkan data kategorikal antara dua
kelompok. Regresi logistik digunakan untuk memperkirakan efek kadar
vitamin D pada resiko preeklampsia setelah disesuaikan untuk potensi
perancu (Usia dan BMI)
C. Hasil
Dalam penelitian ini, 80 wanita hamil normotensif sehat dan 80
wanita wanita preeklampsia dimasukkan. Demografi kehamilan dan
hasilnya dirangkum dalam Tabel 1. Pasien dengan preeklampsia tercatat
lebih tua dengan indeks massa tubuh sebelum hamil lebih besar. Tidak ada
perbedaan yang signifikan secara statistik ditemukan dalam graviditas dan
paritas antara dua kelompok. Usia kehamilan secara signifikan lebih
rendah di kelompok preeklampsia dibandingkan dengan kelompok sehat
(37,6 ± 1,59 dan 39,2 ± 1,18 minggu, masing-masing, p <0,001).
Akibatnya dua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan
mengenai sistolik dan tekanan darah diastolik (p <0,001). Tingkat serum
rata-rata 25-OHD pada kelompok preeklampsia secara signifikan lebih
rendah dari pada yang sehat kelompok (15,27 ± 3,52 vs 23,84 ± 6,93, p
<0,001) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Tidak ada wanita dalam
kelompok sehat yang menunjukkan preeklampsia setelah melahirkan.
Berbagai regresi logistik digunakan untuk mengevaluasi hubungan plasma
ibu 25-OH-D pada peluang mendapatkan preeklampsia. Odd rasio yang
disesuaikan menunjukkan bahwa Vitamin D defisiensi secara signifikan
lebih tinggi pada kelompok preeklampsia [odds rasio (OR) = 4,79, interval
kepercayaan (CI) = 1,45-9,87, P = 0,01]. Hasil analisis ini disajikan pada
Tabel 2. Wanita dengan usia 30-35 tahun lebih rentan untuk mengalami
preeklampsia dibandingkan dengan kelompok sehat (OR = 2,96, CI =
1,42-4,47, P = 0,01). Dalam penelitian ini, wanita dengan BMI lebih dari
30 dikeluarkan dari penelitian; hasil menunjukkan bahwa pada wanita
dengan BMI 25 hingga 29,9, preeklampsia umumnya lebih banyak (OR =
3,49, CI = 1,04–5,65, P = 0,01) (Tabel 2).
D. Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara
preeklampsia yang merupakan salah satu bentuk hipertensi paling serius
gangguan kehamilan dan kadar serum 25-OH-D. Faktor-faktor yang
berperan dalam patogenesis preeklampsia belum sepenuhnya dipahami.
Dalam beberapa tahun terakhir berbagai penelitian telah mendukung
hipotesis tentang peran vitamin D dalam etiologi preeklampsia. Vitamin D
dianggap memiliki peran imunomodulator dan anti-inflamasi dalam
banyak sistem dan juga telah disarankan untuk berperan dalam sinyal dan
gen utama peraturan pada fase perkembangan awal plasenta dan
berdasarkan literatur Kelainan plasenta yang terkait dengan preeklampsia.
Selain itu, ada bukti bahwa metabolit vitamin D melindungi sel endotel
dari stres oksidatif dan meminimalkan efek dari paparan faktor-faktor
terkait preeklampsia. Tambahan, vitamin D aktif memengaruhi sistem
renin-angiotensin-aldosteron, termasuk pengaturan tekanan darah. Selama
desidua kehamilan, produksi plasenta dan ginjal ibu 25-OH-D meningkat,
yang pada gilirannya dapat meningkatkan tingkat vitamin D ibu.
Fungsi ini diperlukan untuk meningkatkan penyerapan kalsium
dalam tubuh wanita hamil untuk meningkatkan kebutuhan kalsium bayi.
Berbagai penelitian telah melaporkan seluler itu kelainan imun dapat
secara negatif mempengaruhi hasil kehamilan. Vitamin D dianggap
memainkan peran penting dalam modulasi kekebalan tubuh tanggapan
selama kehamilan. Mungkin membantu meningkatkan respons imun ibu
terhadap plasenta mencegah pelepasan faktor anti-angiogenik ke dalam
aliran darah dan memodulasi hipertensi [50]. Sebagai contoh, 1,25 (OH)
2D menekan proliferasi sel T yang dipicu oleh sel T, mengubah profil
ekspresi sitokin dan mengurangi produksi γ-interferon dan interleukin-2.
Ada perkembangan yang menarik dalam peran status vitamin D ibu dalam
perkembangan patofisiologis preeklampsia. Telah dilaporkan bahwa kadar
sitokin inflamasi dalam serum, seperti IL-6, TNF dan IL-10, jelas
meningkat pada wanita dengan preeklampsia. Vitamin D memiliki efek
imunosupresif, dan kekurangan vitamin D dilaporkan terkait dengan
peningkatan sekresi proinflamasi sitokin pada wanita sehat. Penelitian in
vitro menunjukkan hal itu 1,25 (OH) 2D3 dapat memodulasi ekspresi IL-6
dan TNF-α dengan menekan NF-κB. Juga ditemukan bahwa vitamin D
menghambat aktivasi dan proliferasi sel T dan merangsang sekresi IL-10
dan produksi sel Tregulatory, yang sangat penting dalam toleransi imun
ibu untuk implantasi plasenta normal.
Mengakui peran vitamin D dalam preeklampsia, penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara preeklampsia dan level
serum 25-OH-D pada wanita hamil di Iran. Sebuah penelitian di Iran
menunjukkan bahwa 46% wanita hamil selama musim panas dan 86% dari
mereka selama musim dingin menderita hipovitaminosis D. Tradisi sosial
dan budaya bagi para wanita untuk menutupi kulit mereka ketika pergi ke
luar rumah mereka dan preferensi para wanita untuk menghindari sinar
matahari langsung mengurangi paparan untuk sinar matahari dan
menyebabkan peningkatan prevalensi kekurangan vitamin D di Wanita
Iran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata 25-OH-D pada
wanita pre-eklampsia secara signifikan lebih rendah daripada pada wanita
hamil yang sehat. Temuan penelitian ini konsisten dengan yang lain studi.
Tabel 1.1 Karakteristik dasar dan kadar vitamin D pada wanita sehat dan wanita
preeklamsi

Group
Preeklamsi (n=80) Wanita sehat
(n=80)
Variabel Mean ± SD or N (%) P value
Usia maternal 28.83 ± 6.7 24.13 ± 8.4 0.001
BMI (kgm²) 22.9 ± 5.2 24.3 ± 1.9 0.03
Nulipara (%) 41 39 NS
Paritas 1.4 ± 1.1 1.2 ± 1.0 NS
Usia kehamilan (minggu) 37.6 ± 1.59 39.2 ± 1.18 0.001
Tekanan darah sistolik 151.68 ± 9.3 114.71 ± 5.3 0.001
(mmHg)
Tekanan darah diastolik 99.42 ± 4.9 71.13 ± 4.8 0.001
(mmHg)
Kehamilan prematur 9.25 4.67 0.001
(<37minggu)%
BBLR % 8.76 5.07 0.001
Status vitamin D
25-OH-D ng mL-¹ 15.27 ± 3.52 23.84 ± 6.93 0.001
Defisiensi 25-OH-D% < 23 6 0.001
10 ng mL-¹
Insufisiensi 25-OH-D% 69 74
10-30 ng mL-¹
Kadar normal 25-OH-D% 8 20
BMI, body mass index; SD, standard deviation; NS, not significant
Pada tahun 2007 studi kasus kontrol oleh Bodnar et al
menunjukkan bahwa wanita Preeklampsia memiliki peluang 2,5 kali lebih
banyak kekurangan vitamin D pada awal kehamilan setelah disesuaikan
dengan potensi perancu termasuk BMI. Studi kontrol kasus oleh Baker et
al. menemukan bahwa wanita yang memiliki <50 nmol / l (20 ng / ml) 25-
OH-D3 memiliki peningkatan 4 kali lipat pada preeklampsia berat. Pada
2010, Shin et al. menyatakan bahwa dalam kehamilan, vitamin D
diproduksi oleh plasenta dan bekerja pada plasenta untuk memodulasi
implantasi, produksi sitokin, dan respon imun terhadap infeksi. Mereka
menyimpulkan bahwa untuk kesehatan ibu yang optimal dan kesehatan
neonatus, asupan vitamin D yang cukup selama kehamilan diperlukan.
Pada 2011, Dror et al. melaporkan bahwa vitamin D memiliki kunci peran
dalam mengatur jalur yang terlibat dalam patogenesis preeklampsia
Sebuah studi kohort pada tahun 2009 oleh Haugen et al menunjukkan
bahwa wanita memiliki asupan vitamin D yang lebih tinggi (15-20 μg /
hari dibandingkan hingga <5 μg / hari) memiliki tingkat preeklampsia
yang rendah (rasio odds [OR] 0,76, 95% CI 0,6-0,95). Studi di negara-
negara Timur Tengah telah ditemukan bahwa kekurangan vitamin D
sangat umum di antara wanita hamil. Pada 2013 sebuah studi oleh Ullah et
al. menunjukkan bahwa suplemen vitamin D secara efektif dapat
menurunkan risiko preeklampsia dan eklampsia pada wanita hamil
berisiko kekurangan vitamin D.
Dalam penelitian ini, hasil kami mengungkapkan bahwa
kekurangan vitamin D dalam kehamilan dikaitkan dengan peluang hampir
5 kali lipat dari preeklampsia berat (ATAU = 4,79, CI = 1,45-9,87, P =
0,01). Hasil ini sejalan dengan penelitian Abedi et al yang melaporkan
bahwa kekurangan vitamin D adalah signifikan risiko (OR = 24,04, CI =
2,10-274,8, P = 0,01) untuk preeklamsia. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ada hubungan yang signifikan secara statistik antara Defisiensi dan
preeklampsia 25-OH-D. Menurut hasil ini defisiensi vitamin D ibu pada
kehamilan dapat dikaitkan dengan peningkatan risiko preeklamsia dan
konsentrasi serum 25- yang lebih rendah OH-D di antara wanita
preeklampsia menandakan peran yang mendasari vitamin Kekurangan D
dalam patogenesis preeklampsia.
Dalam penelitian ini kami tidak memiliki sumber daya untuk
mengukur protein pengikat vitamin D serum (VDBP) dalam sampel kami.
VDBP meningkat selama kehamilan, sedangkan 25- OH-D tetap konstan
(38). Temuan kami, yang mencerminkan total (gratis dan terikat) 25-OH-
D, karena itu mungkin melebih-lebihkan 25-OH-D yang tersedia untuk
melakukan fungsi fisiologis sehingga kami merekomendasikan investigasi
di masa depan secara bersamaan mengukur kadar VDBP dan menghitung
vitamin gratis Kadar D ketika mempertimbangkan peran vitamin D dalam
preeklampsia. Kami juga tidak memiliki data tentang konsentrasi PTH,
yang seharusnya disediakan indikator fungsional status vitamin D.
Keterbatasan penelitian ini adalah kurangnya informasi tentang konsumsi
vitamin D yang tepat multivitamin, suplemen kalsium dan asam lemak
rantai panjang. Ke depannya studi dengan data tentang kalsium dan asupan
asam lemak rantai panjang dan vitamin Status D akan perlu untuk
menguraikan lebih lanjut efek masing-masing aktif risiko preeklampsia.
Keterbatasan lain adalah usia kehamilan yang terlambat pada pengambilan
sampel di kedua kelompok. Sampel dikumpulkan pada saat wanita hamil
dalam persalinan, pada satu titik waktu. Penelitian lain telah menunjukkan
perbedaan dalam hasil tergantung pada kapan sampel vitamin D itu
terkumpul, mis. trimester pertama vs. trimester ketiga. Alasan yang masuk
akal adalah rujukan terlambat dari kebanyakan wanita hamil (setelah
trimester pertama) ke klinik bersalin.

Tabel 1.2 Odd rasio yang belum disesuaikan dan disesuaikan untuk variabel
terkait dengan preeklampsia

Analisis yang Analisis yang


belum disesuaikan
disesuaikan
Variabel Odd rasio (95% P value Odd rasio (95% CI) P value
CI)
Defisiensi 25-OH-D 4.68 (1.33–9.57) 0.01 4.79 (1.45–9.87) 0.01
Insufisiensi 25-OH-D 0.83 (0.21–2.58) NS 0.89 (0.18–0.96) NS
Usia 20-30 0.95 (0.71–0.97) NS 0.97 (0.79–0.99) NS
Usia 30-35 2.48 (1.12–4.29) 0.03 2.96 (1.42–4.47) 0.01
Paritas
0 1.16 (0.95–1.43) NS 1.34 (0.93–1.94) NS
1-2 0.64 (0.36–1.16) NS 0.71 (0.71–1.84) NS
≥3 0.84 (0.67, 1.06) NS 0.91 (0.37, 1.68) NS
BMI <20(kgm²) 0.72 (0.17–1.49) NS 0.81 (0.19–1.56) NS
BMI 20-24.9 (kgm²) 1.35 (0.65–2.91) NS 1.39 (0.83–2.98) NS
BMI 25-29.9 (kgm²) 3.14 (1.03–5.26) 0.02 3.49 (1.04–5.65) 0.01
BMI, body mass index; CI, confidence interval
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.
Preeklamsia merupakan gangguan multisistem pada kehamilan yang
ditandai dengan hipertensi dan keterlibatan salah satu atau lebih dari
sistem organ dan/atau janin pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu.
Peningkatan tekanan darah secara umum, tetapi tidak selalu, merupakan
manifestasi pertama pada preeklamsia. Proteinuria merupakan salah satu
kriteria tambahan pada preeklamsia tapi tidak dijadikan patokan utama
dalam menegakkan diagnosis preeklamsia. (Institute of Obstetricians and
Gynaecologists, Royal College of Physicians of Ireland and the Clinical
Strategy and Programmes Division, Health Service Executive, 2016 dalam
Brown et al, 2018).
Preeklampsia, sebelumya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset
hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi
definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya
hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang menunjukkan adanya
kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami
proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria
diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan
kehamilan normal (POGI, 2016).
Subklasifikasi preeklamsia terbaru berdasarkan onset manifestasi
klinis, dibedakan menjadi dua yaitu preeklamsia onset dini (<33 minggu)
dan preeklamsia onset lambat (> 34 minggu). Preeklamsia onset dini
mungkin disebabkan oleh faktor plasenta, dan preeklamsia onset lambat
yang disebabkan oleh faktor ibu. Namun pada preeklamsia onset dini
paling sering menyebabkan outcome fetus dan maternal yang buruk,
seperti hambatan pertumbuhan janin, lesi plasenta, dan kegagalan perfusi
uteroplasenta yang dilihat dari abnormalitas pemeriksaan velosimetri
doppler arteri uterine (Gathiram dan Moodley, 2016).
B. Epidemiologi
Frekuensi preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena
banyak faktor yang mempengaruhi. Di Amerika Serikat dilaporkan bahwa
kejadian preeklampsia sebanyak 5% dari semua kehamilan yaitu 23,6
kasus per 1000 kelahiran. Di Indonesia, preeklampsia merupakan
penyebab kematian ibu tertinggi disamping perdarahan dan infeksi, yaitu
perdarahan mencapai 28%, preeklampsia sebesar 24%, infeksi sebesar
11%, komplikasi peuperium sebesar 8%, partus lama sebesar 5%, dan
abortus sebanyak 5%. Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih
tinggi bila dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida
muda. Diabetes mellitus, mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops
fetalis, umur lebih dari 35 tahun, dan obesitas merupakan faktor
predisposisi untuk terjadinya preeklampsia (Cunningham et al, 2015;
Saraswati dan Mardiana, 2016).
Menurut penelitian di seluruh dunia insiden preeklamsia pada
populasi nulipara berkisar antara 3 dan 10 persen. Faktor-faktor lain yang
berkaitan dengan preeklamsia mencakup obesitas, kehamilan ganda, usia
ibu lebih dari 35 tahun dan etnis Afrika-Amerika. Hubungan berat badan
ibu dan risiko preeklamsia bersifat progresif. Risiko ini meningkat dari 4,3
persen untuk perempuan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) <20
kg/m2 menjadi 13,3% pada perempuan yang memiliki IMT >35 kg/m2
(Cunningham et al, 2015).
C. Etiologi dan Patogenesis
Preeklamsia terjadi melalui dua tahap, yaitu abnormal plasenta
yang terjadi ditrimester pertama kehamilan yaitu berupa abnormalitas pada
proses remodeling trofoblastik endovaskular, kemudian diikuti dengan
maternal sindrom pada kehamilan trimester kedua dan ketiga yang
ditandai dengan peningkatan faktor antiangiogenik (Rana et al, 2019).
Faktor-faktor yang dianggap penting dalam terjadinya preeklamsia
antara lain implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada
pembuluh darah uterus; toleransi imunologis yang bersifat maladaptif di
antara jaringan maternal, paternal (plasental), dan fetal; maladaptasi
maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamatorik yang terjadi
pada kehamilan normal; dan faktor-faktor genetic, termasuk gen
predisposisi yang diwariskan, serta pengaruh epigenetik (Cunningham et
al, 2015):

Gambar 2. 1 Konsep Two-Stage Disorder pada preeklampsia (Roberts & Hubel,


2009)
1. Kelainan Vaskularisasi Plasenta
Pada kehamilan normal, terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan
otot arteria spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut
sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi
hambur dan memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan
dilatasi. Distensi dan vasodilatasi lumen arteri spiralis ini memberi
dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi vaskular dan
peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta. Pada hipertensi
dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot
arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dan keras sehingga lumen arteri spiralis
tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya,
arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi, dan terjadi kegagalan
remodeling arteri spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun,
dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampaknya akan
menimbulkan perubahan pada hipertensi dalam kehamilan
(Karthikeyan, 2015).

Gambar 2.2. Hipotesis Patologi Pre-eklampsia (Malha et al., 2018)

Pada kehamilan normal, arteri spiral uteri invasiv ke dalam


trofoblas, menyebabkan peningkatan aliran darah dengan lancar untuk
kebutuhan oksigen dan nutrisi janin. Pada pre-eklampsia, terjadi
gangguan sehingga aliran darah tidak lancar dan terjadi gangguan
pada plasenta. Peningkatan sFlt1 (lihat Gambar) menyebabkan
plasenta memproduksi free vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan penurunan placental growth factor (PlGF). Selanjutnya
menyebabkan disfungsi endotel pada pembuluh ibu mengakibatkan
penyakit multiorgan hypertension, glomerular dysfunction,
proteinuria, brain edema, liver edema, coagulation abnormalities
(Malha et al., 2018)
2. Disfungsi endotel
Proses kehamilan normal melibatkan variasi hemodinamik seperti
denyut jantung dan kardiak output yang memungkinkan plasenta
melakukan pertukaran nutrien dan eliminasi sisa metabolit antara ibu
dan janin (Myatt, 2010). Interaksi ini berkembang selama trimester
pertama kehamilan. Tetapi, gangguan pada remodeling arteri spiralis
menyebabkan penurunan aliran darah ke dalam plasenta. Kondisi ini
memengaruhi janin serta oksigen plasenta dan status nutrisi janin
(Powe, 2011). Plasenta terbentuk dari sinsitiotrofoblas yang
bertanggungjawab untuk pembentukan lapisan luar primer plasenta
yang berhubungan langsung dengan darah ibu, dan sel-sel
sitotrofoblas yang membentuk lapisan dalam, dan berdiferensiasi dan
menginvasi stroma endometrium ibu (Hunkapiller and Fisher, 2008).
Perfusi plasenta yang buruk karena penyimpangan proses plasentasi
dan invasi trofoblas selama perkembangan berkaitan dengan
hipertensi pada tahap awal kehamilan (Karthikeyan dan Lip, 2011).
Invasi trofoblas yang buruk dalam preeklampsia mengganggu
remodeling arteri spiralis diikuti dengan plasenta iskemik/reperfusi
dan inflamasi. Di dalam sel-sel trofoblas, stress oksidatif tebentuk dari
ketidakseimbangan pembentukan radikal bebas dari berbagai sumber
seperti XO, eNOS uncoupling, NADH oksidase dan mitokondria.
Pada akhirnya, penggabungan berbagai radikal bebas menyebabkan
pembentukan nitrit peroksida, peroksidasi lipid, modifikasi protein,
aktivasi MMP dan kerusakan DNAyang berkontribusi terhadap
disfungsi endotel (Gambar 2.2) (Sanchez-Aranguren, 2014). Beberapa
faktor penting patolologis penting yang berhubungan dengan disfungsi
endotel adalah adalah penurunan nitrat oksida, peningkatan produksi
endothelin-1, peningkatan reactive oxygen species (ROS) dan respon
inflamasi maternal (George, 2012).
Gambar 2.3 Mekanisme disfungsi endotel pada preeklampsia (Sanchez-
Aranguren et al, 2014)

3. Iskemia Plasenta dan Pembentukan Oksidan / Radikal Bebas


Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi
dalam kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis, dengan
akibat plasenta mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia
dan hipoksia akan menghasilkan oksidan (radikal bebas). Oksidan atau
radikal bebas adalah senyawa penerima molekul yang mempunyai
elektron yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang
dihasilkan iskemia plasenta adalah radikal hidroksil yang sangat toksis,
khususnya terhadap membran sel endotel pembuluh darah. Produksi
oksidan pada manusia adalah suatu proses normal, karena oksidan
memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh. Adanya radikal bebas
dalam darah, maka hipertensi dalam kehamilan disebut toxaemia.
Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jernih menjadi peroksida lemak. Peroksida
lemak selain akan merusak membran sel, juga akan merusak nukleus
dan protein sel endotel. Produksi oksidan (radikal bebas) dalam tubuh
yang bersifat toksis, selalu diimbangi dengan produksi antioksidan
(Karthikeyan dan Lip, 2011).

4. Peroksida Lemak sebagai Oksidan pada Hipertensi dalam Kehamilan

Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar


oksidan, khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan
antioksidan, misalnya vitamin E pada hipertensi dalam kehamilan
menurun, sehingga terjadi dominan kadar oksidan peroksida lemak
yang relatif tinggi. Peroksida lemak sebagai oksidan/radikal bebas yang
sangat toksik ini akan beredar di seluruh tubuh melalui aliran darah dan
akan merusak membran sel endotel. Membran sel endotel lebih mudah
mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak
tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan
radikal hidroksil, yang akan berubah menjadi peroksida lemak
(Karthikeyan dan Lip, 2011).

5. Intoleransi Imunologik antara Ibu dan Janin


Respon imun pada wanita hamil yang normal tidak menolak
adanya hasil konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya
human leukocyte antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting
dalam modulasi respon imun, sehingga ibu tidak menolak hasil
konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblas janin dari lisis oleh natural killer cell (NK) ibu. Selain itu,
adanya HLA-G akan mempermudah invasi sel trofoblas kadalam
jaringan desidua ibu, jadi HLA-G merupakan prokondisi untuk
terjadinya invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua ibu disamping
untuk menghadapi sel natural killer. Pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan, terjadi penurunan HLA-G. Berkurngnya HLA-G di
desidua didaerah plasenta, menghambat invasi trofoblas ke dalam
desidua. Invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua menjadi
lunak, dan gembur sehingga mepermudah terjadinya reaksi inflamasi
kemungkinan terjadi immune-maladaptation pada preeklampsia. Pada
awal trimester kedua kehamilan perempuan yang mempunyai
kecenderungan terjadi preeklampsia, ternyata mempunyai proporsi sel
yang lebih rendah di banding pada normotensif (Malha et al, 2018)
6. Adaptasi Kardiovaskular
Pembuluh darah pada kondisi hamil normal refrakter tehadap
bahan-bahan vasopresor. Refrakter berarti pembuluh darah tidak peka
tehadap rangsangan bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar
vasopresor yang lebih tinggi untuk menimbulkan respons
vasokonstriksi. Pada kehamilan normal terjadinya refrakter pembuluh
daerah terhadap bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sitensis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini
dibuktikan bahwa daya rafrakter terhadap bahan vasopresor akan hilang
bila diberi prostaglandin sintensa inhibitor (bahan yang menghambat
produksi prostaglandin). Prostaglandin ini di kemudian hari ternyata
adalah prostasiklin. Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya
refrakter terhadap bahan vasokonstriktor, dan ternyata terjadi
peningkatan kepekaan terhadap bahan-bahan vasopresor. Artinya, daya
refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor hilang sehingga
pembuluh darah menjadi peka terhadap bahan vasopresor. Banyak
peneliti telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi
pada trimester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang
akan menjadi hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada
kehamilan dua puluh minggu. Fakta ini dapat dipakai sebagai prediksi
akan terjadinya hipertensi dalam kehamilan (Malha et al, 2018).
7. Ketidakseimbangan angiogenik
Pada kondisi hipoksia, terjadi ketidakseimbangan faktor
angiogenik akibat meningkatnya produksi dari sFlt-1 dan penurunan
VEGF (faktor pertumbuhan endotel vaskular) dan PlGF (faktor
pertumbuhan plasenta). Peptida Soluble Fms-like tyrosine kinase 1
(sFlt-1) dan Soluble Endoglin (sEng) bersifat antiangiogenik yang dapat
menurunkan jumlah molekul proantiangiogenik seperti VEGF dan PlGF
sehingga pembentukan plasenta menjadi terganggu (Mayrink et al,
2018).
Jumlah berlebihan faktor antiangiogenik yang dirangsang oleh
hipoksia yang memburuk pada permukaan kontak uteroplasenta. Dua
peptida antiangiogenik yang berlebihan (pada ibu preeklampsia) yang
selanjutnya memasuki sirkulasi maternal (Cunningham et al, 2015):
a. Soluble Fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt-1) : varian reseptor Flt
untuk faktor pertumbuhan plasenta (PIGF) dan faktor pertumbuhan
endotel vaskular (VEGF). Peningkatan sFlt-1 pada sirkulasi ibu
akan menginaktifkan dan menurunkan kadar PIGF dan VEGF
bebas dalam sirkulasi sehingga terjadi disfungsi endotel.
b. Soluble endoglin (sEng) menghambat berbagai isotop TGF-β untuk
berikatan dengan reseptor di endotel sehingga menyebabkan
penurunan vasodilatasi yang bergantung nitrat oksida endotelial.
8. Genetik
Preeklampsia merupakan penyakit yang berhubungan dengan
genetik. Hal ini dibuktikan dengan adanya penelitian yang
memperlihatkan 20-40% anak perempuan atau 11-37% saudara
perempuan dari wanita yang mempunyai preeklampsia, dapat
berkembang penyakit serupa. Preeklamsia merupakan penyakit genetik
yang kompleks, yang tidak disebabkan oleh satu gen yang memegang
peranan penting dalam preeklamsi (Cunningham et al, 2015).

Gambar 2.4 Faktor yang terlibat dalam patogenesis preeklampsia (Brennan dkk.,
2014)
D. Kriteria Diagnosis
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang
ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap
adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi.
Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik
yang disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ
lainnya pada usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya
selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru
terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with proteinuria).
Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia,
beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan
multsistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia
meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk
edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak
ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal (Tranquilli, 2014).
1. Penegakkan Diagnosis Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg
sistolik atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama. 2 Definisi hipertensi berat
adalah peningkatan tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg
sistolik atau 110 mmHg diastolik. Tensimeter sebaiknya menggunakan
tensimeter air raksa, namun apabila tidak tersedia dapat menggunakan
tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi.
Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah menggunakan
alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah (Tranquilli,
2014).
2. Penentuan Proteinuria
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300
mg dalam 24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin
dipstik bukan merupakan pemeriksaan yang akurat dalam
memperkirakan kadar proteinuria. Konsentrasi protein pada sampel urin
sewaktu bergantung pada beberapa faktor, termasuk jumlah urin.
Pemeriksaan kadar protein kuantitatif pada hasil dipstik positif 1
berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2 berkisar 700-4000mg/24jam.
Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif palsu yang tinggi,
seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif palsu 67-
83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan
pembersih, dan urin yang bersifat basa (Alto, 2005). Proteinuria
ditegakkan jika didapatkan secara kuantitatif produksi protein urin lebih
dari 300 mg per 24 jam, namun jika hal ini tidak dapat dilakukan,
pemeriksaan dapat digantikan dengan pemeriksaan semikuantitatif
menggunakan dipstik urin > 1+ (Alto, 2005).
3. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia
didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan /
diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Jika
hanya didapatkan hipertensi saja, kondisi tersebut tidak dapat
disamakan dengan peeklampsia, harus didapatkan gangguan organ
spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus preeklampsia
ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak
didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu (POGI, 2016):
a. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
b. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
c. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan
atas abdomen
d. Edema Paru
e. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
f. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan
sirkulasi uteroplasenta : Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic
velocity (ARDV)
4. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan
menjadi kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan
preeklampsia berat. Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan
kondisi pemberatan preeklampsia atau preklampsia berat adalah salah
satu dibawah ini (POGI, 2016):
a. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
c. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
d. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan
atas abdomen
e. Edema Paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan
visus
g. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta: Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan
antara kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia,
sehingga kondisi protein urin masif ( lebih dari 5 g) telah
dieleminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia (preeklampsia
berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi
preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan
kondisi yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam waktu singkat.
E. Manajemen Preeklampsia
Tata laksana pada hipertensi pada kehamilan terutama pada
preeklamsia menurut Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal, 2016 dapat dibagi menjadi 2,
yaitu manajemen aktif dan manajemen ekspektatif. Manajemen
ekspektatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti
gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesar, atau solusio plasenta.
Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta mengurangi
morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing
enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama
perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen
ekspektatif, namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih
banyak. Pemberian kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat
napas, perdarahan intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian
neonatal.

Pada kasus preeklamsia terdapat beberapa tata laksana yang


harus diperhatikan untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
ibu hamil. (POGI, 2016).
Gambar 2.3. Manajemen Ekspektatif pada Preeklamsia tanpa gejala pemberat
(POGI, 2016)
Gambar 2.4. Tata Laksana Preeklamsia dengan gejala pemberat (POGI, 2016).

Pada perawatan selama kehamilan jika tekanan darah sistolik >160


mmHg atau diastolik >110 mmHg, berikan obat antihipertensi sampai
tekanan darah diastolik diantara 90-100 mmHg. Obat pilihan antihipertensi
adalah hidralazin yang diberikan 5 mg IV pelan-pelan selama 5 menit
sampai tekanan darah turun. Jika hidralazin tidak tersedia, dapat diberikan
nifedipin 5 mg sublingual dan tambahkan 5 mg sublingual jika respon
tidak membaik setelah 10 menit. Selain itu labetolol juga dapat diberikan
sebagai alternatif hidralazin. Dosis labetolol adalah 10 mg, jika respon
tidak baik setelah 10 menit, berikan lagi labetolol 20 mg. Pasang infus
Ringer Laktat dengan jarum besar (16 gauge atau lebih). Ukur
keseimbangan cairan, jangan sampai overload. Auskultasi paru untuk
mencari tanda-tanda edema paru. Adanya krepitasi menunjukkan edema
paru, maka pemberian cairan dihentikan (Prawihardjo S, 2013)

1. Anti Hipertensi
European Society of Cardiology (ESC) Guidelines 2010
merekomendasikan pemberian antihipertensi pada tekanan darah ≥140
mmHg atau diastolik ≥90 mmHg pada wanita dengan hipertensi
gestansional (dengan atau tanpa proteiuria), hipertensi kronik
superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau
kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapapun. Pada keadaan
lain, pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah
≥150/95 mmHg (Montan, 2004).
a. Calsium Channel Blocker
Calcium channel blocker bekerja pada otot polos arteriolar dan
menyebabkan vasodilatasi dengan menghambat masuknya kalsium
ke dalam sel. Berkurangnya resistensi perifer akibat pemberian
calcium channel blocker dapat mengurangi afterload, sedangkan
efeknya pada sirkulasi vena hanya minimal. Pemberian calcium
channel blocker dapat memberikan efek samping maternal,
diantaranya takikardia, palpitasi, sakit kepala, flushing, dan edema
tungkai akibat efek lokal mikrovaskular serta retensi cairan (POGI,
2016).
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang
sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan
preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Berdasarkan RCT,
penggunaan nifedipin oral menurunkan tekanan darah lebih cepat
dibandingkan labetalol intravena, kurang lebih 1 jam setelah awal
pemberian. Nifedipin selain berperan sebagai vasodilator arteriolar
ginjal yang selektif dan bersifat natriuretik, dan meningkatkan
produksi urin. Dibandingkan dengan labetalol yang tidak
berpengaruh pada indeks kardiak, nifedipin meningkatkan indeks
kardiak yang berguna pada preeklampsia berat 16 Regimen yang
direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 – 30
menit, dengan dosis maksimum 30 mg. Penggunaan berlebihan
calcium channel blocker dilaporkan dapat menyebabkan hipoksia
janin dan asidosis. Hal ini disebabkan akibat hipotensi relatif setelah
pemberian calcium channel blocker (POGI, 2016)
b. Beta blocker
Atenolol merupakan beta-blocker kardioselektif (bekerja pada
reseptor P1 dibandingkan P2). Atenolol dapat menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, terutama pada digunakan untuk
jangka waktu yang lama selama kehamilan atau diberikan pada
trimester pertama, sehingga penggunaannya dibatasi pada keadaan
pemberian anti hipertensi lainnya tidak efektif (POGI, 2016).
c. Metildopa
Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg peroral 2
atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 2 gram/hari. Efek obat
maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan menetap selama
10-12 jam sebelum disekresikan lewat ginjal. Alternatif lain
penggunaan metildopa adalah intravena 250-500 mg tiap 6 jam
sampai maksimum 1 gram tiap 6 jam untuk krisis hipertensi.
Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah tertentu dan
disekresikan di ASI (Scott, 2002).
2. Kortikosteroid
Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤34 minggu untuk
menurunkan risiko sindrom gawat napas (respiratory distress
syndrome/RDS) dan mortalitas janin serta neonatal, namun tidak
bermakna apabila diberikan sebelum 28 minggu. Baik deksametason
maupun betametason menurunkan bermakna kematian janin dan
neonatal, RDS, dan perdarahan serebrovaskular. Pemberian betametason
memberikan penurunan RDS yang lebih besar dibandingkan
deksametason. Deksametason menurunkan risiko perdarahan
intraventrikuler dibandingkan betametason (Brownfoot et al., 2008)
Untuk hipertensi dalam kehamilan yang disertai kejang, dapat
diberikan Magnesium sulfat (MgSO4). MgSO4 merupakan obat pilihan
untuk mencegah dan menangani kejang pada preeklampsi dan eklampsi.
Cara pemberian MgSO4 pada preeklampsi dan eklampsi adalah
(Prawihardjo S, 2014) :

1) Dosis awal

Berikan MgSO4 4 gram IV sebagai larutan 20% selama


5 menit. Diikuti dengan MgSO4 (50%) 5 gr IM dengan 1
ml lignokain 2% (dalam semprit yang sama). Pasien akan
merasa agak panas saat pemberian MgSO4

2) Dosis pemeliharaan

MgSO4 (50%) 5 gr + 1 ml lignokain 2 % IM setiap 4


jam. Pemberian tersebut dilanjutkan sampai 24 jam
postpartum atau kejang terakhir. Sebelum pemberian
MgSO4, periksa frekuensi nafas minimal 16 kali/menit,
refleks patella positif dan urin minimal 30 ml/jam dalam 4
jam terakhir. Pemberian MgSO4 dihentikan jika frekuensi
nafas
F. Pencegahan
Pencegahan Preeklamsia dibagi menjadi 2 jenis yaitu pencegahan
primer dan pencegahan sekunder. Rekomendasi pencegahan menurut
(POGI, 2016):
1. Pencegahan Primer
Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklamsia untuk setiap
wanita hamil sejak awal kehamilannya. Pemeriksaan skrining
preeklamsia selain menggunakan riwayat medis pasien seperti
penggunaan biomarker dan USG Doppler Volecimetry masih belum
dapat direkomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut
terbukti meningkatkan luaran kehamilan. Pencegahan primer
merupakan yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila
penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan
untuk menghindari atau mengkontrol penyebab-penyebab tersebut,
namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih
belum diketahui. Dari beberapa studi dikumpulkan ada 17 faktor yang
terbukti meningkatkan risiko preeklampsia.
Fakto risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
Anamnesis :
a. Umur > 40 tahun.
Duckitt melaporkan peningkatan risiko preeklampsia hampir dua
kali lipat pada wanita hamil berusia 40 tahun atau lebih baik pada
primipara.
b. Nulipara
Duckitt melaporkan nulipara memiliki risiko hampir 3 kali lipat.
c. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
Riwayat preeklampsia pada kehamilan sebelumnya merupakan
faktor risiko utama. Menurut Duckit risiko meningkat hingga 7 kali lipat.
Kehamilan pada wanita dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
berkaitan dengan tingginya kejadian preeklampsia berat, preeklampsia
onset dini, dan dampak perinatal yang buruk.
d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
Kehamilan pertama oleh pasangan yang baru dianggap sebagai
faktor risiko, walaupun bukan nulipara karena risiko meningkat pada
wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma.
e. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih
Studi yang melibatkan 760.901 wanita di Norwegia,
memperlihatkan bahwa wanita multipara dengan jarak kehamilan
sebelumnya 10 tahun atau lebih memiliki risiko preeklampsia hampir sama
dengan nulipara.
f. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
Riwayat preeklampsia pada keluarga juga meningkatkan risiko
hampir 3 kali lipat Adanya riwayat preeklampsia pada ibu meningkatkan
risiko sebanyak 3.6 kali lipat.
g. Kehamilan multipel
Studi yang melibatkan 53.028 wanita hamil menunjukkan,
kehamilan kembar meningkatkan risiko preeklampsia hampir 3 kali lipat.
Sibai dkk menyimpulkan bahwa kehamilan ganda memiliki tingkat risiko
yang lebih tinggi untuk menjadi preeklampsia dibandingkan kehamilan
normal
h. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
Kemungkinan preeklampsia meningkat hampir 4 kali lipat bila
diabetes terjadi sebelum hamil
i. Hipertensi kronik
Chappell dkk meneliti 861 wanita dengan hipertensi kronik,
didapatkan insiden preeklampsia superimposed sebesar 22% (n=180) dan
hampir setengahnya adalah preeklampsia onset dini (< 34 minggu) dengan
keluaran maternal dan perinatal yang lebih buruk.
j. Penyakit Ginjal
Semua studi yang diulas oleh Duckitt risiko preeklampsia
meningkat sebanding dengan keparahan penyakit pada wanita dengan
penyakit ginjal.
k. Sindrom antifosfolipid (APS)
Dari 2 studi kasus kontrol yang diulas oleh Duckitt menunjukkan
adanya antibody antifosfolipid (antibodi antikardiolipin, antikoagulan
lupus atau keduanya) meningkatkan risiko preeklampsia hampir 10 kali
lipat.
l. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio
Kehamilan setelah inseminasi donor sperma, donor oosit atau
donor embrio juga dikatakan sebagai faktor risiko. Satu hipotesis yang
populer penyebab preeklampsia adalah maladaptasi imun. Mekanisme
dibalik efek protektif dari paparan sperma masih belum diketahui. Data
menunjukkan adanya peningkatan frekuensi preeklampsia setelah
inseminasi donor sperma dan oosit, frekuensi preeklampsia yang tinggi
pada kehamilan remaja, serta makin mengecilnya kemungkinan terjadinya
preeklampsia pada wanita hamil dari pasangan yang sama dalam jangka
waktu yang lebih lama
m. Obesitas sebelum hamil
Obesitas merupakan faktor risiko preeklampsia dan risiko semakin
besar dengan semakin besarnya IMT. Obesitas sangat berhubungan
dengan resistensi insulin, yang juga merupakan faktor risiko preeklampsia.
Obesitas meningkatkan risiko preeklampsia sebanyak 2, 47 kali lipat,
sedangkan wanita dengan IMT sebelum hamil > 35 dibandingkan dengan
IMT 19-27 memiliki risiko preeklampsia 4 kali lipat.
Pemeriksaan fisik :
a. Indeks masa tubuh > 35
b. Tekanan darah diastolik > 80 mmHg
c. Proteinuria (dipstick >+l pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam
atau secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
Klasifikasi risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama
Risiko Tinggi
a. Riwayat preeklampsia
b. Kehamilan multipel
c. Hipertensi kronis
d. Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2
e. Penyakit ginjal
f. Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous,
antiphospholipid syndrome)
g. Risiko Sedang
h. Nulipara
i. Obesitas (Indeks masa tubuh > 30 kg/m2)
j. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan
k. Usia ≥ 35 tahun
l. Riwayat khusus pasien (interval kehamilan > 10 tahun)
2. Pencegahan Sekunder
a. Istirahat dirumah tidak direkomendasikan untuk pencegahan primer
preeklamsia
b. Tirah baring tidak direkomendasikan untuk memperbaiki luaran pada
wanita hamil dengan hipertensi (dengan atau tanpa proteinuria)
c. Pembatasan garam untuk mencegah preeklamsia dan komplikasinya
selama kehamilan tidak direkomendasikan
d. Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg/hari) direkomendasikan
untuk prevensi preeklamsia pada wanita resiko tinggi
e. Aspirin dosis rendah sebagai prevensi preeklampsia sebaiknya mulai
digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu
f. Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah
g. Penggunaan aspirin dosis rendah dan suplemen kalsium (minimal
1g/hari) direkomendasikan sebagai prevensi preeklampsia pada
wanita dengan risiko tinggi terjadinya preeklampsia
h. Pemberian vitamin C dan E tidak direkomendasikan untuk diberikan
dalam pencegahan preeklampsia.
G. Prognosis
Prognosis preeklampsia berat dan eklampsia dikatakan jelek karena
kematian ibu antara 9,8 – 20,5%, sedangkan kematian bayi lebih tinggi
lagi, yaitu 42,2 – 48,9%. Kematian ini disebabkan karena kurang
sempurnanya pengawasan antenatal, disamping itu penderita eklampsia
biasanya sering terlambat mendapat pertolongan. Kematian ibu biasanya
karena perdarahan otak, dekompensasi kordis dengan edema paru, payah
ginjal, dan aspirasi cairan lambung. Sebab kematian bayi karena
prematuritas dan hipoksia intrauterin (Lim, Kee-Hak, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

Braunwald's Heart Disease (Third Edition) Ch 39. Elsevier.


Brennan LJ, Morton JS, Davidge ST. 2014. Vascular Dysfunction in
Preeclampsia. The Official Journal of the Microcirculatory Society. 21:4-14
Brown, M.A., et al. 2018. Hypertensive Disorders of Pregnancy ISSHP
Classification, Diagnosis, and Management Recommendations for
International Practice.Hypertension.2018;72:24-
43.DOI:10.1161/HYPERTENSIONAHA.117.10803.
Cunningham F.G., et al. 2015. Obstetri Williams Edisi 25. Jakarta : EGC
Endothelial dysfunctionandpreeclampsia: roleofoxidative stress.Frontiers
in physiology, 5, 372.
FC Brownfoot, CA Crowther, P Middleton. 2008. Different Corticosteroids and
Regimens for Accelerating Fetal Lung Maturation for Women at Risk of
Preterm Birth (review). Cochrane database of Systematic Review
Gathiram, P., dan J. Moodley. 2016. Pre-eclampsia: Its Pathogenesis and
Pathophisiology. Vol 27(2):71-78.
George,E. M., & Granger, J. P. (2012). Linking placental ischemia and
hypertension in preeclampsia: role of endothelin 1. Hypertension, 60(2),
507-511.
Karthikeyan, V.J., 2015. Hypertension in pregnancy; in Nadar, S. and Lip,
G.Y.H., Hypertension, Ch. 22, 2nd Ed. Oxford Cardiology Library.
Oxford.
Malha et al., 2018. Hypertension in Pregnancy in Hypertension: A Companion to
Mayrink, J., M.L Costa., dan J.G Cecatti. 2018. Preeclampsia in 2018: Revisting
Concepts, Physiopathology, and Prediction. Hindawi The Scientific World
Journal. Vol 2018:1-9.
Montan, S. 2004. Drugs Used In Hypertension Diseases in Pregnancy. Curr Opin
Obstet Gynecol;45:22-34.
Myatt, L. 2010. Reactive oxygen and nitrogen species and functional
adaptation of the placenta. Placenta, 31, S66-S69.
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2010. Panduan
penatalaksanaan hipertensi dalam kehamilan [e-book]. Jakarta : POGI
Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran: Diagnosis Dan Tata Laksana Pre-Eklamsia.
Jakarta: POGI.
Persatuan Dokter Obsgyn Indonesia. 2016. Diagnosis dan Tata Laksana Pre-
Eklamsia [e-book]. Jakarta : POGI
Powe C.E, Levine R.J, Karumanchi S.A, 2011. Preeklampsia, a Disease of
Maternal Endotelium, the Role of Antiangiogenic Factors and
Implications for later Cardovascular Disease. Circulation basic science
for clinician, p: 2856-69.
Prawirohardjo S. 2014. Hipertensi dalam kehamilan dalam : Ilmu Kebidanan Edisi
Keempat. Jakarta : PT Bina Pustaka. hlm 530-61.
Rana, S., Elizabeth, L., Joey, G.S., dan S. Ananth K. 2019. Preeclampsia
Pathophysiology, Challenges, and Perspectives. American Heart
Association Journal. 124:1094-1112.
Roberts Jm and Hubel CA.2009. The Two Stagemodel of Preeclampsia:
Variations on The Theme. Placenta: 30 Suppl. A, S32-S37
Sánchez-Aranguren, L. C., Prada, C. E., Riaño-Medina, C. E., & Lopez, M. 2014.
Saraswati, N., dan Mardiana. 2016. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Kejadian Preeklampsia pada Ibu Hamil (Studi Kasus di RSUD Kabupaten
Brebes Tahun 2014). Unnes Journal of Public Health. 5(2):90-99.
Scott, Barrilleaux. 2002. Hypertension Therapy During Pregnancy. Clinical
Obstetrics and Gynecology;45:22-34.

Anda mungkin juga menyukai