Anda di halaman 1dari 17

FILSAFAT ILMU DAN METODE ILMIAH

“ilmu pengetahuan berasal dari fakta observasi dan


ketergantungan observasi pada teori”

Kelompok 6

Surahmin A 202 19 021

Nasmawati A 202 19 012

JURUSAN MAGISTER PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah ‫تعلى‬. Segala pujian, permohonan pertolongan,
petunjuk dan pengamampunan hanyalah tertuju pada-Nya. Barangsiapa yang diberi
petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Barangsiapa yang
disesatkan Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi tiada
Ilah yang berhak disembah selain Allah ‫ تعلى‬semata yang tiada sekutu bagi-Nya, dan aku
bersaksi Muhammad ‫ ﷺ‬adalah hamba dan utusan-Nya.
Alhamdulillah, atas kuasa dan izin Allah ‫ تعلى‬, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah dengan judul “ilmu pengetahuan berasal dari fakta observasi dan
ketergantungan observasi pada teori” untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah
Filsafat Ilmu dan Metode Ilmiah.
Segala bantuan, dukungan, dan bimbingan yang telah diberikan tidak dapat dibalas
semunya oleh penulis. Hanya-lah do’a yang dapat dipanjatkan kepada Sang Rabbi,
semoga segala kebaikkan tersebut dibalas oleh Allah ‫ تعلى‬dengan balasan yang terbaik.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah ‫ تعلى‬semoga makalah ini tidak merusak
ketauhidan yang hanya pantasan ditunjukkan kepada-Nya semata. Semoga Allah ‫تعلى‬
memaafkan kita semua dan membimbing kita semua ke dalam manhaj yang benar yang
dapat mengantarkan ke jannah Firdaus-Nya., ‫أمين‬.

Palu, Desember 2019

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 2
1.2 Rumusan Masalah .................................................................... 3
1.3 Tujuan ....................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ilmu Penetahuan ....................................................................... 4
2.2 Fungsi dan Tujuan Ilmu Pengetahuan ...................................... 5
2.3 Induktifisme .............................................................................. 6
2.4 Problema Induksi ...................................................................... 7
2.5 Ketergantungan observasi pada teori........................................... 8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Filsafat ilmu sangat penting peranannya terhadap penalaran manusia
untuk membangun ilmu, sebab, filsafat ilmu akan menyelidiki, menggali,dan
menelusuri, sedalam, sejauh dan seluas mungkinsemua tentang hakikat ilmu.
Dalam hal ini kita bisa mendapatkan gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan
akar dari semua ilmu dan pengetahuan.
Salah satu bagian filsafat yang membahas pengetahuan ialah
epistemology. Epis itu membicarakan pengertian dari pangkal sampai
ujung.Melalui epistemology akan menyadarkan kita tentang berbagai hal yang
menyangkut masalah sendi pengetahuan, wilayah bahasan, proses, bobot,
sehingga memperoleh pengetahuan yang sejati.Istilah epistemology sendiri
berasaldari bahasa Yunani episteme yang berarti perkataan, pikiran,dan ilmu, kata
episteme dalam bahasa Yunani berasal dari kata kerja epistamai artinya
mendudukkan, menenmpatkan atau meletakkan. Maka harfiah episteme berarti
pengetahuan sebagai upaya intelektual untuk menempatkan sesuatu dalam
kedudukan setepatnya .
Secara epistemology, kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang
diklaim sebagai yang diketahui dengan kenyataanyang sebenarnya menjadi objek
pengetahuan yang dapat diperoleh dengan mempergunakan dua jenis metode
penalaran yaitu, secara deduktif dan induktif.
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan
hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Sedangkan
deduksi ialah suatu metode yan menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah
lebih lanjut dalam suatu system pernyataan yang runtut (Tim dosen filsafat ilmu,
hal 109).
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini sebagai berikut.
1.Bagaimanakah ilmu pengetahuan berasal dari fakta dan observasi?
2. Bagaiamanakah Ketergantungan observasi pada teori?
1.3 Tujuan

Adapun tujuan pada makalah ini sebagai berikut.


1. Bagaimana ilmu pengetahuan berasal dari fakta dan observasi
2. Bagaiamana Ketergantungan observasi pada teori
BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Ilmu Pengetahuan

Pada prinsipnya ilmu dan pengetahuan mempunyai perbedaan. pengetahuan


merupakan pembentukan pemikiran assosiatif yang menghubungkan atau menjalin
sebuah pemikiran dengan kenyataan atau dengan pemikiran lain, berdasarkan
pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai kausalitas (sebab-
akibat) yang hakiki dan universal. Sedangkan ilmu adalah akumulasi pengetahuan
yang menjelaskan kausalitas (hubungan sebab-akibat) dari suatu obyek secara
sistematis berdasarkan metode- metode tertentu.
Di dalamkehidupan sehari-hari pengetahuan ilmiah disepadankan dengan
ilmu. Ilmu memiliki sifat, yaitu : (1) menjelejahi dunia emperik tanpa batas sejauh
dapat ditanghkap oleh panca indera, (2) tingkat kebenaran bersifat relatif, (3) ilmu
menemukan proposisi-proposisi yang teruji secara emprik .
Ilmu tidak hanya berfungsi sebagai sarana berfikir tetapi ilmu harus dapat
menjelaskan fakta dengan prosedur dan struktur ilmiah. Garna (1996:4) menjelaskan
struktur dan prosedur ilmu pengetahuan terlihat sebagai berikut :

Komponen-komponen dalam pembangunan ilmu adalah fakta, teori,


fenomena dan konsep. Fenomena adalah gejala atau kejadian yang ditangkap indera
manusia serta diabstraksikan dengan konsep-konsep. Konsep merupakan
penyederhanaan dari fenomena. Sedangkan fakta adalah data yang dapat dibuktikan
secara emperik. Teori merupakan seperangkat konsep, definisi dan proposisi yang
berhubungan satu sama lain sebagai jalinan dari keseluruhan fakta. Teori berfungsi
untuk meramalkan, mengarahkan, mengkonseptualisasikan fenomena yang ditangkap
oleh indera manusia. Teori berguna dalam memberikan penjelasan menemukan
fakta, sedangkan fakta memberi inspirasi untuk mengubah, menolak,
mengkonstruksi serta mengantikan teori yang sudah ada. Proposisi merupakan
hubungan sebab akibat yang bersifat umum, sebagai ungkapan dari kaitan dua
variabel/konsep atau lebih.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri, diantaranya: (1) mempunya batasan dan
ruang lingkup yang jelas, (2) metoda dalam membuktikan kebenaran, (3) sistematis
serta (4) terbuka untuk dikaji kebenaranya. Oleh karena itu syarat utama dari ilmu
pengetahuan harus konsisten dengan teori sebelumnya serta memiliki kesesuaian
dengan fakta emperis.
Kebenaran ilmu pengetahuan tidak didasarkan oleh nilai-nilai etis tetapi
tidak dapat dilepaskan dengan etika penggunaannya. Oleh karena itu seorang ilmuan
dituntut memiliki kejujuran, keterbukaan serta memanfaatkan ilmu pengetahuan
untuk kemaslahatan umat. Sehubungan dengan hal itu, seorang peneliti dituntut
memilki kemampuan mempertahankan objektifitas ilmiah sehingga kesimpulan-
kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan sesuai dengan fakta
emperis. Di sisi lain seorang peneliti juga dituntut memiliki kemampuan
menyesuaikan diri dan terbuka dengan ide baru karena beratnya rintangan yang
dilalui dalam penemuan kebenaran.

2.2 Fungsi dan Tujuan Ilmu Pengetahuan

Manusia diciptakan Tuhan dengan kesadaran sehingga memiliki kemampuan


berfikir, berkehendak dan merasa.Kemampuan berfikir dimiliki masnusia
menghasilkan ilmu pengetahuan.Logika digunakan manusia sebagai sarana
meningkatkan ilmu pengetahuan. Sedangkan etika dan estetika digunakan manusia
sebagai sarana memelihara perilaku dan mutu kesenian.
Hasrat keingintahuan tersebut mendorong manusia menyelesaikan berbagai
permasalahan sehingga timbul ilmu pengetahuan. Soerjono Soekamto, (1990 : 8)
menjelaskan setelah memperoleh pengetahuan timbul keinginan mencari kebenaran,
dengan cara : (1) penemuan secara kebetulan, (2) untung-untungan, (3) pendapat
dari orang memiliki otoritas/kewibawaan tertentu, (4) spekulatif, (5) pengalaman, (6)
penelitian Ilmiah.
Ilmu pengetahuan berguna untuk menguji dan menghasilkan kebenaran
pernyataan dunia emperis manusia, dengan cara: otoriter, mistik, logika-rasional
dan ilmiah. Pengujian dan penemuan secara otoriter dilakukan oleh pemegang
kekuasaan tertentu dengan cara mencari dan menguji ilmu pengetahuan dengan
menggaitkan kemampuan membuat pernyataan dengan pemilik kedudukan sosial
lainnya. Prosedur penanaman otoritas dilakukan melalui doa, petisi, etiket, upacara
dan sebagainya. Pengetahuan tersebut akhirnya berakibat praktis dalam membantu
meruntuhkan otoritas lainnya. Walaupun demikian sebelum terjadinya pengakuaan
kebenaran masih terjadi sejumlah penolakan, sehingga sangat tergantung kepada
posisi sosial pembuat pengetahuan dalam meyakinkan.
Penemuan kebenaran secara mistik dilakukan melalui penemuan dan
pengujian dunia emperis melalui ketegangan halusinasi , sebagian dihubungkan
dengan cara otoriter, sejauh dapat memohon pengetahuan yang berasal dari para
wali, perantara, dewa-dewa dan otoritas lain yang memiliki kekuatan gaib. Cara ini
tergantung dengan pemurnian rituallistik dan prosedur kepekaan sipemakai.
Sedangkan secara logika-rasional , penilaian bagi pernyataan yang dianggap benar
terutama berada pada prosedur dimana pernyataan itu dibuat, dan prosedur itu
terpusat pada kaidah logika formal. Cara ini berhubungan dengan cara otoriter dan
mistik sejauh memiliki dasar penerimaan prosedur dan aksioma yang mengandung
logika formal.
Kebenaran secara ilmiah ditemukan dengan mengabungkan suatu kepercayaan
pada fakta emperis yang dipermasalahkan dengan prosedur (metode) menghasilkan
pernyataan tersebut. Penekanan penanaman metode dalam hal ini adalah bila nilai
kebenaran dua atau lebih dianggap bersaing, maka plihanan terhadap salah satu
sangat tegantung dengan penilaian kolektif dan pengulangan prosedur yang
menghasilkan item informasi itu. Dalam kenyataannya, semua metode ilmu
pengetahuan sering dianggap sebagai persetujuan kultural yang ketat. Hasil
perubahan didasarkan kritik terhadap item-item pengetahuan yang dilakukan secara
kolektif dengan hasil yang relatif utuh. Pemusatan kritik didasarkan metode yang
dianggap sebagai esensial ilmu pengatahuan.
Metoda ilmiah secara sistemastis menghilangkan padangan pribadi sehingga
akhirnya tergambar kebenaran universal. Mengigat keterbatasan manusia
sesungguhnya tidak mungkin melakukan objektivitas secara murni, perkiraan
tentang hal itu hanya berupa kesepakatan diantara para ilmuwan. Oleh karena itu,
kontrol metodologi dalam proses ilmiah akan menghilangkan padangan pribadi
sehingga akhirnya kesepakatan. Ketentuan membentuk skala, menentukan sampel,
pengukuran, menaksir parameter, menarik kesimpulan induksi dan deduksi secara
logis sebagai dasar utama mengkritik, menolak dan menerima item-item informasi
ilmu pengetahuan itu. Apabila dua komponen informasi masih dianggap saling
bersaing, sangat tergantung daya ketangguhan dalam mempertahankan penolakan
dan terus berulang melakukan pengamatan. Pada gilirannya kebenaran-kebenaran
yang dinyatakan diterima masyarakat ilmiah didasarkan pembuktian secara emperik.
Popper menjelaskan segala sesuatu diakui sebagai emperis atau ilmiah
jika mampu diuji oleh pengalaman. Suatu sistem emperis yang imiah harus
memilki kemungkinan untuk ditolak oleh pengalaman (1961 : 40-41).
Ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan (knowledge) yang tersusun
sistematis dengan menggunakan kekuatan pikiran serta dapat diuji dan dikontrol
secara kritis. Soerjono Soekamto, 1990:6) menjelaskan pengetahuan dengan buah
pikiran tersebut berbeda, karena tidak setiap pikiran memerlukan pembuktian
akan kebenaranya, walaupun demikian buah pikiran dan angan-angan merupakan
bahan bagi ilmuwan melaksanakan kegiatan ilmiah yang akan dilakukannya.

2.3 Induktifisme
Induktifisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi,
dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan
ilmiah diatasnya. Sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-
keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Demikian pula cara kita
mengenal hukum-hukum alam pada kegiatan sehari-hari yaitu dengan cara induksi.
Contoh: Seng dipanaskan memuai, tembaga dipanaskan memuai, perak dipanaskan
memuai, besi dipanaskan memuai, timah dipanaskan memuai. Kesimpulan:
sejumlah logam dipanaskan memuai. Perhatikan cara mengambil kesimpulan ini,
fakta-fakta khusus melahirkan sebuah kesimpulan umum. Ini adalah penarikan
kesimpulan secara induktif. Apakah dapat dipastikan bahwa setiap besi yang
dipanaskan akan memuai, hal ini sesuai dengan sifat induksi yang spekulatif.
Pemikiran empiris lahir sebagai suatu sangahan terhadap aliran filsafat
rasionalisme yang mengutamakan akal sebagai sumber pengetahuan. Untuk lebih
memahami filsafat empirisme kita perlu terlebih dahulu melihat dua cirri
pendekatan empirisme, yaitu pendekatan makna dan pendekatan pengetahuan.
Pendekatan makna menekankan pada pengalaman, sedangkan pendekatan
pengetahuan menekankan pada kebenaran yang diperoleh melalui pengamatan
(observasi). Para tokoh filsafat mengembangkan pemikiran empiris karena mereka
tidak puas dengan cara mendapatkan pengetahuan sebagaimana yang dipercayai
oleh aliran rasionalisme . Orang-orang rasionalisme dalam mencari kebenaran
sangat menjunjung tinggi penalaran atau yang disebut dengan cara berfikir
deduktif, yaitu pembuktian dengan menggunakan logika.Sebaliknya bagi John
locke, berfikir deduksi relatif lebih rendah kedudukannya apabila dibandingkan
dengan pengalaman indera dalam pengembangan pengetahuan. Locke sangat
menentang pendapat mazhab yangmenyatakan bahwa pengetahuan seseorang
sudah dibawa sejak lahir. Menurut Locke fikiran manusia ketika lahir hanyalah
berupa suatu lembaran bersih yang padanya pengetahuan dapat ditulis melalui
pengalaman-pengalaman inderawi. Lebih lanjut ia berkata ba pada awal abad
kehwa fenomena-fenomena dari fikiran kita yang disebut ide berasal dari
pengamatan atau refleksi, inilah tesis dasar dari empirisme. Dengan tesis inilah
Locke mempergunakannya sebagai titik tolak dalam ia menjelaskan perkembangan
fikiran manusia. Francis bacon pada awal abad ke-17, beranggapan bahwa untuk
mendapatkan kebenaran maka akal budi bertitik pangkal pada pengamatan
inderawi yang khusus, lalu berkembang kepada kesimpulan umum. Pemikiran
Bacon yang demikian ini melahirkan metode berfikir induksi. Dalam induksi tidak
ada kesimpulan yang memiliki nilai kebenaran yang pasti, yang ada hanya
kesimpulan dengan probabilitas benar atau peluang kebenaran (Surajiyo, 2007).
Menurut Chalmer (1983), kondisi yang harus dipenuhi dengan generalisasi atau
kesimpulan dianggap benar dan sah oleh induktivis disebutkan sebagai berikut.
Makin besar jumlah observasi yang membentuk dasar induksi, makin besar variasi
kondisi dimana observasi dilakukan, dan keterangan observasi yang sudah diterima
tidak boleh bertentangan dengan hukum universal yang menjadi simpulannya.
Namun kebenaran ilmu akan mundur menuju kearah probabilitas (Chalmer : 83).
Kebenaran yang bertumpu pada pola induksi adalah selalu dalam kemungkinan,
dengan kata lain produk ilmu bersifat tentative, ia benar sejauh belum ada data
yang menunjukkan pengingkaran pada teori.
2.4 .Problema Induksi
Keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan
melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya.
Kritik terhadap empirisme yang diungkapkan oleh honer dan hunt (1968) dalam
Suriasumantri (1994) terdiri atas tiga bagian, yaitu : a. Pengalaman yang
merupakan dasar utama induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan objektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai
tangkapan pancaindera saja, sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai
dengan penilaian. Dengan kajian yang mmendalam dan kritis diperoleh bahwa
konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan
sebagai dasar dalam membangun suatu teori pengetahuan yang sistematis.
Disamping itu pula tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak
seperti apa yang diduga sebelumnya. b. Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman
pada alamnyata manusia sangat bergantung pada persepsi pancaindera. Pegangan
induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera
manusia memiliki keterbatasan sehingga dengan keterbatasan pancaindera,
persepsi suatu objek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan. c. Didalam
induktivisme pada prinsipnya pengetahuan yang diperoleh bersifat tidak pasti.
Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam
induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun
sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-
raguan harus diuji terlebih dahulu.
Dalam Chalmer (1983) dinyatakan bahwa argumen-argumen yang valid
secara logis, bisa terjadi penyimpulan argumen yang salah, walaupun premisnya
benar. Misalnya dilakukan observasi terhadap sejumlah besar burung gagak pada
variasi kondisi yang luas dan telah menyaksikan mereka semua hitam, dan
berdasarkan fakta ini dapat disimpulkan “semua gagak adalah hitam”. Ini adalah
satu penyimpulan induksi valid dan sempurna. Tetapi tidak ada jaminan logis
bahwa gagak yang diobservasi tidak ada yang colat atau merah jambu. Kalau hal
ini terbukti maka kesimpulan semua gagak hitam adalah salah. Penalaran induktif
yang digunakan pada empirisme dan induktivisme bukan merupakan prediksi yang
benar-benar akurat. Induktif bisa dihasilkan karena pengulangan-pengulangan
secara terus menerus. Tetapi berapapun banyaknnya observasi atau pengamatan
yang dilakukan , tetap saja generalisasi yang didapat sukar di buktikan atau salah.
Meskipun metode penalaran induktif bisa saja menghasilkan kesimpulan yang
salah, namun setidaknya kesimpulan yang diperoleh itu beralasan. Sehingga kita
tidak dapat mengatakan induksi sebagai suatu kesalahan karenauntuk melakukan
perkiraan atau asumsi dengan induksi adalah valid. Memang benar kita tidak dapat
memastikan bahwa suatu teori/ hipotesa suatu induksi itu benar, namun kita tidak
dapat memastikan teori/hipotesa itu salah. Selama masih belum ditemukan
kesalahan sebuah teori/hipotesa, maka teori/hipotessa itu akan selalu dianggap
benar. Dengan demikian induksi memungkinkan berkembangnya konsep dasar
suatu ilmu.

2.5 Ketergantungan observasi pada teori


Ada dua asumsi penting didalam pandangan induktifis naif tentang
observasi. Yang pertama adalah ilmu bertolak lewat observasi. Yang lainnya
bahwa observasi menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan
dapat ditarik.
Karena indera penglihatan merupakan indera yang paling ekstensif
dipergunakan didalam praktek ilmu, dan sebagian lagi untuk mengambil
gampangnya. Dua hal yang ditekankan dalam gambaran garis besar tentang
observasi via indera penglihatan yang merupakan titik kunci bagi kaum induktivis
yaitu, yang pertama, seorang pengamat sedikit banyak dapat menangkap langsung
beberapa sifat dari dunia luarselama sifat-sifat itu terekam oleh otaknya dengan
tindakan melihat. Yang kedua bahwa dua pengamat yang normal mamandang
objek atau adegan yang sama dari tempat yang sama akan” melihat” hal yang
sama pula. Kenyataannya justru tidak demikian, bahwa pengalaman pengamat
ketika memandang suatu objek ditentukan semata-mata oleh informasi dalam
bentuk sorotan sinar yang memasuki mata pengamat, juga tidak ditentukan
semata-mata oleh gambar-gambar pada retina si pengamat.
Apa yang dilihat seorang pengamat, artinya, pengalaman visual yang
dimiliki seorang pengamat ketika memandang suatu objek, tergantung sebagian
pada pengalamannya dimasa lalu, pengetahuan dan harapan-harapannya.Untuk
memantapkan validitas suatu keterangan observasi memerlukan pertolongan teori.
Sekali perhatian dipusatkan pada keterangan observasi yang membentuk dasar
kukuh bagi ilmu, maka dapat dilihat bahwa berlawanan dengan klaim induktivis,
suatu teori pasti mendahului semua keterangan observasi, keterangan observasi itu
mungkin sama salahnya dengan teori dengan pra anggapan yang mendahuluinya.
Demikian juga saat melakukan suatu eksperimen kadang kita memerlukan teori
yang didapat dari penelitian. Ketergantungan observasi pada teori menyudutkan
para induktivis naïf, namun para induktivis modern mulai mau memodifikasi
pandangannya. Mereka dapat melepaskan dan mengemukakan klaim bahwa ilmu
harus bertolak dari observasi tanpa memihak dan tanpa prasangka, dengan
membedakan antara cara teori mula-mula dipikirkan atau ditemukan dastu fihak.
Dengan posisi yang dimodifikasi ini secara bebas, diakui bahwa teori-teori baru
dicapai dengan berbagai macam jalan dan sering lewat berbagai rute. Pengandaian
teoritis dan kemampuan merumuskan hasil observasi secara logis rasional, oleh
karena itu kedua metode penalaran deduktif dan induktif yang seolah-olah
merupakan cara berfikir yang berbeda dan terpisah, tetapi dalam perakteknya
antara berangkat dari teori atau berangkat dari fakta empiric merupakan lingkaran
yang tidak terpisahkan. Kalau kita berbicara teori sebenarnya kita sedang
mengandaikan fakta, dan kalau berbicara fakta maka kita sedang mengandaikan
teori. Dengan demikian untuk mendapatkan pengetahuan ilmiah kedua penalaran
tersebut dapat digunakan secara bersama-sama saling mengisi dan dilaksanakan
dalam suatu wujud penelitian ilmiah yang menggunakan metode ilmiah dan taat
pada hukum-hukum logika.
BAB III
PENUTUP

Pada prinsipnya ilmu dan pengetahuan mempunyai perbedaan. pengetahuan


merupakan pembentukan pemikiran assosiatif yang menghubungkan atau menjalin
sebuah pemikiran dengan kenyataan atau dengan pemikiran lain, berdasarkan
pengalaman yang berulang-ulang tanpa pemahaman mengenai kausalitas (sebab-
akibat) yang hakiki dan universal. Sedangkan ilmu adalah akumulasi pengetahuan yang
menjelaskan kausalitas (hubungan sebab-akibat) dari suatu obyek secara sistematis
berdasarkanmetode-metodetertentu.
Induktifisme naif berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari observasi,
dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun pengetahuan ilmiah
diatasnya. Sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan dari keterangan-keterangan
observasi yang diperoleh melalui induksi
Ada dua asumsi penting didalam pandangan induktifis naif tentang observasi.
Yang pertama adalah ilmu bertolak lewat observasi. Yang lainnya bahwa observasi
menghasilkan landasan yang kukuh dan dari situ pengetahuan dapat ditarik
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal. 2010. Filsafat Ilmu. Rajawali Pers.

Chalmer, A.F. 1983. Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?. Jakarta: Hasta Mitra
Suria Sumantri, JUjun. Filsafat Ilmu sebuah pengantar popular. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta 1990
Wibisono Koento dkk.1994. Dasar-dasar Filsafat. Universitas terbuka

17
17

Anda mungkin juga menyukai