Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Alur Pikir Penelitian dan Penelitian Terdahulu

Tahun 1978, Davidovits (1999) memperkenalkan material pengikat yang


dihasilkan oleh reaksi polymeric dari cairan alkalin dengan silicon dan
aluminium pada sumber material yang berasal dari bumi ataupun yang
dihasilkan oleh material seperti fly ash (abu terbang) dan rice husk ash (abu
sekam padi). Dia menamakan material pengikat tersebut sebagai geopolymer.
(Hardjito dan Rangan, 2005: 9)

Selain fly ash, limbah yang dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan
beton ringan geopolimer, lumpur Sidoarjo yang dibakar juga dimanfaatkan
sebagai bahan dasarnya. (Triwulan, dkk, 2013: 2)
Lumpur Sidoarjo memiliki tingkatan element matriks yang serupa dengan
komposisi kimia pozzolan. Karakteristik alaminya, yaitu terdiri atas element
silika dan alumina dapat dikategorikan sebagai material pengganti semen.
(Bakri, dkk, 2012: 82)

Hasil penelitian Justice (2005: 123-124) menyatakan bahwa metakaolin (MK)


berpotensi besar terhadap sifat mekanis dan ketahanan pada beton. Secara
umum penggantian semen sebanyak 8% pada penyusun beton secara
signifikan meningkatkan kekuatan dan membuktikan layak melindungi
terhadap korosi, reaksi alkali-silika dan perlawanan sulfat. Hasil penggantian
dengan 15% metakaolin (MK) memberikan hasil secara merata penurunan
besar pada permeabilitas dan perlawanan yang unggul terhadap penetrasi
kimia.

8
9

Hasil penelitian Triani, dkk (2016: 114), menyatakan kalsinasi kaolin pada
suhu 700o C menunjukkan kuat tekan yang lebih baik dan setting time yang
lebih cepat.

Kekuatan perekat dari pelapis Geopolimer terutama dipengaruhi oleh


formulasi pasta pelapis geopolimer. Lebih penting, rasio Si/Al 3,5
menunjukkan formulasi yang paling baik untuk pelapis geopolimer. Kaolin
dan white clay sebagai bahan dasar pelapis geopolimer dengan perlakuan
substrat mencapai kekuatan maksimum 6 Mpa dan 5,5 Mpa, berturut-turut
tanpa perlakuan substrat mencapai kekuatan terendah 3,5 Mpa. Berdasarkan
hasil kekuatan perekat, ikatan antara pelapis dengan substrat lebih kuat
daripada dengan substrat yang bersih. (Shahedan, dkk, 2016: 56-58)

Hasil penelitian Kaloari, dkk (2016:82) menyatakan bahwa produksi


geopolimer yang berasal dari metakaolin dan abu sekam padi merupakan
bahan pelapis yang unggul untuk pertahanan terhadap bahan kimia dan api.

Dalam penelitian ini menggunakan material metakaolin (MK) sebagai


pengganti fly ash pada beton geopolimer dengan variasi komposisi sebanyak 5
antara lain yaitu,
MK1 : 100% FA dan 0% MK
MK2 : 75% FA dan 25% MK
MK3 : 50% FA dan 50% MK
MK4 : 25% FA dan 75% MK
MK5 : 0% FA dan 100% MK
Yang nantinya akan diuji untuk mengetahui bagaimana kuat tekan, kuat tarik
belah, modulus elastisitas, porositas, workability dan setting time beton
geopolimer dengan bahan dasar metakaolin (MK).

2.2 Beton Geopolimer

Beton berasal dari campuran semen, air, agregat halus, agregat kasar, dan

udara serta bahan tambahan lainnya yang kemudian mengalami pengerasan


10

akibat reaksi hidrasi antara semen dan air (Nawi, 1999: 4). Material penyusun

beton tersebut memiliki peran masing-masing dalam menentukan sifat-sifat

beton. Salah satunya adalah material semen yang berperan sebagai bahan

pengikat (binder) dalam proses pengikatan material pada campuran beton.

Semen merupakan hasil kalsinasi batu kapur dengan silika yang

menghasilkan CO2 seperti reaksi berikut,

5CaCO3 + 2SiO2  (3CaO,SiO2)(2CaO,SiO2) + 5 CO2

dalam memproduksi 1 ton semen juga menghasilkan 0,55 ton CO2 kimia dan

membutuhkan 0,40 ton bahan bakar karbon untuk proses pembakarannya.

Sehingga dalam memproduksi 1 ton semen menghasilkan 1 ton CO2,

(Davidovits, 1994: 2).

Aer, dkk (2012: 283) mengatakan bahwa penggunaan hasil sampingan

industri untuk mengganti semen sebagaian maupun keseluruhan sebagai

bahan pengikat (binder) pada beton dengan cara memanfaatkan ikatan

geopolymer telah dikembangkan dalam berbagai riset. Beton Geopolimer

berasal dari polimerisasi anorganik (geopolimer) yang diperkenalkan oleh

Joseph Davidovits, ilmuwan Prancis yang saat itu menggunakan fly ash (FA)

sebagai bahan pengganti semen, (Subekti, 2012: 12-13). Sedangkan menurut

Ekaputri, dkk (2007: 124) mendefinisikan beton yang tidak menggunakan

100% bahan pengikat agregat yang berasal dari semen merupakan beton

geopolimer.

Ekaputri dan Triwulan (2013: 1) menambahkan bahwa material yang

mengandung sebagian besar silika dan alumina yang bersifat pozolan dapat

digunakan sebagai bahan pengikat (binder) pengganti semen. Pozzolan


11

merupakan bahan yang mengandung silika atau silika dan alumina, yang

dengan sendirinya memiliki sedikit atau tidak nilai semen, dalam bentuk

halus dibagi dan adanya kelembaban, kimia bereaksi dengan kalsium

hidroksida pada suhu biasa untuk membentuk senyawa yang memiliki sifat

semen (ASTM 125-03: 3). Material pozzolan seperti fly ash (FA), metakaolin

(MK) atau slag, induksi oleh cairan alkalin, dapat digunakan sebagai

pengganti total semen biasa untuk produksi beton. (Bakri, dkk, 2012: 82).

Zulkafli dan Ramadhan menyatakan bahwa (2014: 7), “Beton geopolimer

merupakan material ramah lingkungan yang biasa dikembangkan sebagai

alternative pengganti beton di masa mendatang”.

Dapat disimpulkan bahwa beton geopolimer merupakan beton yang

menggunakan material hasil proses polimerisasi berupa material pozolan

yang mengandung silika dan alumina sebagai pengganti seperti fly ash (FA),

metakaolin (MK), slag dan lain-lain untuk berperan sebagai bahan pengikat

(binder) pada beton.

2.3 Fly Ash (FA)

Fly Ash (FA) merupakan hasil sampingan industri dari proses pembakaran

batu bara, terutama penggunaan bahan bakar pada PLTU-PLTU. Fly Ash

(FA) yang dihasilkan memiliki kandungan yang menyerupai kandungan

semen, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pengganti semen (Subekti, dkk,

2012: 21)

Menurut Chang (dalam Praktito dan Susilowati, 2013: 18), “fly ash (FA)

mengandung unsur kimia antara lain (SiO2), alumina (Al2O3), fero oksida
12

(Fe2O3) dan kalsium oksida (CaO), juga mengandung unsur tambahan lain

yaitu magnesium oksida (MgO), titanium oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan

K2O), sulfur trioksida (SO3), pospor oksida (P2O5) dan carbon.”

Fly Ash (FA) diklasifikasikan menjadi 3 jenis kelas yaitu kelas N, kelas F

dan Kelas C. Persyaratan kimia tiap-tiap jenis kelas fly ash (FA) ditampilkan

pada tabel 2.1. Dari ketiga jenis kelas fly ash (FA) hanya kelas F dan kelas C

yang memiliki sifat pozzolan. Kedua jenis fly ash (FA) ini mengandung CaO

pada komposisi kimianya, akan tetapi prosentase keberadaannya berbeda.

Prosentase CaO pada kelas F kurang dari 10% sehingga kandungan Ca(OH)2

juga lebih sedikit akibat reaksi dengan air. Untuk fly ash (FA) yang umum

digunakan dalam beton geopolimer ialah jenis kelas F karena kandungan

kalsium lebih rendah dari kelas C (Subekti, 2012: 13-14).

Tabel 2.1 Persyaratan Kimia Fly Ash (FA)


Class
N F C
Silicon dioxide (SiO2) plus aluminum
oxide (Al2O3) plus iron oxide (Fe2O3), 70.0 70.0 50.0
min, %
Sulfur trioxide (SO3), max, % 4.0 5.0 5.0
Moisture content, max, % 3.0 3.0 3.0
Loss on ignition, max, % 10.0 6.0 6.0
(sumber : ASTM C618-03, 2003 : 2)

Sehingga, Fly Ash (FA) adalah hasil limbah dari proses

pembakaran batu bara di pabrik yang memiliki kandungan Al dan Si

cukup tinggi, bersifat pozolan sehingga dapat digunakan sebagai

bahan pengikat (binder) pengganti semen pada beton.


13

2.4 Metakaolin (MK)

Metakaolin (MK) merupakan senyawa yang unik, bukan hasil sampingan

industri maupun senyawa alami di alam, akan tetapi metakaolin (MK)

dihasilkan dari proses produksi yang terkendali (Justice, 2005: 2). Metakaolin

(MK) dihasilkan dari pembakaran kaolin pada suhu tinggi yaitu 650oC selama

90 menit (Ilic, dkk, 2010: 354). Justice (2005: 7) menambahkan dalam

pernyataannya bahwa ketika dipanaskan dalam suhu 650-900oC, kaolin

kehilangan 14% massanya pada lonjakan ion-ion hidroxyl. Sedangkan hasil

penelitian Triani, dkk (2016: 114), kaolin yang digunakan berasal dari

Belitung melalui proses kalsinasi kaolin pada suhu 700oC menunjukkan kuat

tekan yang lebih baik dan setting time yang lebih cepat.

Gambar 2.1 Kaolin dari Belitung


(sumber : Dokumentasi Peneliti)
14

Formula kimia metakaolin (MK) adalah Al2O3.2SiO2.2H2O, dengan

komposisi kimia yang di tampilkan dalam tabel 2.2 yang komposisinya

menyerupai komposisi kimia semen dan tabel 2.3 yang menampilkan sifat

fisik metakaolin (MK).

Tabel 2.2 Komposisi Kimia Metakaolin (MK)


SiO2 51 - 53% CaO < 0.20%
Al2O3 42 - 44% MgO < 0.10%
Fe2O3 < 2.20% Na2O < 0.05%
TiO2 < 3.0% K2O < 0.40%
SO4 < 0.5% LOI < 0.50%
P2O5 < 0.2%
(sumber : Patil, dkk, 2013: 47-48)

Tabel 2.3 Sifat Fisik Metakaolin (MK)


Spesific Gravity 2.40 to 2.60
Physical Form Powder
Color Off White, Gray to Buff
Brightness 80-82 Hunter L
BET 15 m2/gram
Spesific Surface 8 – 15 m2/g
(sumber : Patil, dkk, 2013: 47-48)

Metakaolin (MK) mengurangi ukuran pori-pori dalam pasta semen dan

mengubah banyak partikel halus ke dalam pori-pori, sehingga mengurangi

permeabilitas beton secara substansial. Metakaolin (MK) meningkatkan kuat

tekan dan kekuatan lentur. Mengurangi permeabilitas air dan pengkristalan.

Juga mengurangi panas hidrasi yang menyebabkan penyusutan yang lebih baik

dan kontrol retak (Patil, dkk, 2013: 48).

Selain itu penggunaan metakaolin (MK) pada beton geopolimer bisa

mengurangi emisi CO2 dan juga meningkatkan kemampuan layan dari

bangunan tersebut (Aiswarya, dkk, 2013: 592). Srinivasu, dkk (2014: 14699)

menyatakan penggantian material semen dengan metakaolin (MK)

membuktikan kemampuan yang tahan terhadap larutan chloride dengan semen


15

yang dicampur dengan metakaolin (MK) sebesar 25% beratnya pada

campuran.

Selain itu, menurut Srivasta, dkk (2012: 252), metakaolin (MK) lebih

menguntungkan untuk memperbaiki kualitas beton dengan meningkatkan

kekuatan dan mengurangi setting time serta sebagai material menjanjikan pada

produksi beton dengan mutu tinggi.

Sebagai salah satu material pozzolan, metakaolin dapat digunakan sebagai

bahan pengikat (binder) pada geopolimer yang didapatkan dari kalsinasi

kaolin pada suhu dan waktu pemanasan yang telah ditentukan dalam

pembentukan metakaolin.

2.5 Larutan Aktivator

Larutan aktivator berasal dari larutan alkali yang digunakan untuk

mereaksikan antara silika dan alumina sehingga dapat mengikat agregat pada

beton geopolimer. Campuran dari Na2SiO3 (Waterglass) dan NaOH (Soda

Api) umumnya digunakan sebagai larutan aktivator (Ekaputri dan Triwulan,

2013: 1). Menurut Zulkafli dan Ramadhan (2014: 26), NaOH dihasilkan dari

Natrium Oksida yang dilarutkan ke dalam air dan senyawa ini berfungsi pada

reaksi Alumina dan Silika yang terkandung dalam pozzolan untuk

menghasilkan ikatan polimer yang kuat antara keduanya.

Na2SiO3 pada larutan aktivator berfungsi mempercepat reaksi polimerisasi

pada beton geopolimer, dan apabila mengandung banyak larutan hidroksida

akan mempercepat reaksi polimerisasi yang terjadi (Zulkafli dan Ramadhan,

2014: 26). Ekaputri dan Triwulan (2013: 5) menyatakan bahwa larutan


16

aktivator yang mengandung sedikit Na2SiO3 dan memiliki konsentrasi larutan

NaOH yang pekat mempengaruhi kuat tekan beton dan workability beton.

Kuat tekan belah dan porositas beton geopolimer sebanding dengan kuat

tekan yang didapatkan (Ekaputri dan Triwulan, 2013: 9). Selain itu,

(Ekaputri, Triwulan dan Damayanti, 2007: 132) menambahkan bahwa kuat

tarik belah beton juga dipengaruhi oleh molaritas NaOH.

2.7 Sifat Fisik dan Mekanik Beton

a. Kuat Tekan Beton

Kuat tekan beton salah satu sifat mekanik beton yang didapatkan dari

nilai beban per satuan luas hingga beton hancur (SNI 03-1974-1990: 1).

Nilai kuat tekan didapatkan dari rumus sesuai dengan SNI 03-1974-1990

sebagai berikut:
𝑃
fc’ = 𝐴 (N/mm2)...............................................................................(2.1)

Keterangan :

fc’ = kuat tekan beton (Mpa)

P = beban maksimum (N)

A = luas penampang (mm2)

Kuat tekan beton geopolimer dipengaruhi beberapa faktor yaitu umur

beton, temperatur dan waktu curing serta kadar air (Subekti, 2012: 14).

b. Kuat Tarik Belah Beton

Kuat tarik belah beton pada dasarnya hampir sama dengan kuat tekan

beton akan tetapi benda uji diletakkan mendatar di meja penekan untuk
17

memperoleh nilai kuat tarik belah dari pembebanan benda uji (SNI 03-

2491-2002: 1). Perhitungan kuat tarik belah sesuai dengan SNI 03-2491-

2002 sebagai berikut:


2𝑃
Fct = 𝐿𝐷............................................................................................(2.2)

Keterangan :

Fct = kuat tarik belah dalam (Mpa)

P = beban uji maksimum (beban belah/hancur) dalam Newton (N)

yang ditunjukkan mesin uji tekan

L = panjang benda uji dalam mm

D = diameter benda uji dalam mm

Nilai kuat tarik belah beton sebanding dengan nilai kuat beton, bila

kuat tekan beton meningkat ataupun menurun begitu pula dengan nilai

kuat tarik belah beton.

c. Modulus Elastisitas

Dalam SNI 03-2847-2013 (2013: 20) pengertian modulus elastisitas

(modulus of elasticity) ialah rasio tegangan normal terhadap regangan

terkait untuk tegangan tarik atau tekan di bawah batas proporsional

material. Menurut ASTM C 469 (2002: 1) pengujian modulus elastisitas

bertujuan untuk menentukan perbandingan nilai tegangan dan regangan

untuk beton pada umur dan perawatan yang telah di desain. Untuk beton

normal, nilai modulus elastisitas yang diizinkan sebesar 4700√𝑓𝑐′. (SNI

03-2847-2013: 61).
18

Untuk rumus perhitungan nilai modulus elastisitas dari hasil

pengujian dapat menggunakan pedoman ASTM C469-02 (2002: 4) sebagai

berikut,

E = (S2 – S1)/(€2 – 0.000050) ..........................................................(2.3)

Keterangan :

E = modulus elastisitas (Mpa)

S2 = tegangan pada 40% beban ultimate

S1 = tegangan pada regangan membujur, €1, 0.000050

d. Porositas Beton

Perbandingan antara volume pori-pori terhadap volume beton dapat

didefinisikan sebagai porositas beton. Adanya pori-pori pada beton

dipengaruhi oleh faktor air semen (water cement ratio), nilai slump,

gradasi agregat gabungan, dan waktu pemadatan (Sutapa, 2011: 51).

Porositas beton mempengaruhi kuat tekan beton. Beton yang

memiliki pori terbuka tidak memiliki tekanan hidrostatis yang mampu

menahan kuat tekan lebih baik daripada beton yang memiliki pori tertutup.

Pori terbuka memiliki sifat permeable, yaitu dapat ditembus oleh air

maupun udara. Sedangkan pori tertutup bersifat sebaliknya yaitu

impermeable (tidak mudah ditembus air dan udara). Sifat pori terbuka

yang permeable mengakibatkan beton mengalami keropos dan mudah

retak sehingga mampu menurunkan kuat tekan beton (Ekaputri, dkk, 2007:

127)
19

Untuk perhitungan porositas beton dilakukan sesuai dengan SNI 03-

6433-2000 sebagai berikut:

Penyerapan setelah perendaman (%)

(𝐵− 𝐴)
=[ ] 𝑥 100...........................................................................(2.4)
𝐴

Penyerapan setelah perendaman & pendidihan (%)

(𝐶− 𝐴)
=[ ] 𝑥 100...........................................................................(2.5)
𝐴

Kerapatan massa kering

𝐴
[(𝐶−𝐷)] 𝜌 = 𝑔1............................................................................(2.6)

Kerapatan massa setelah peendaman

𝐵
= [(𝐶−𝐷)] 𝜌...................................................................................(2.7)

Kerapatan massa setelah perendamandan pendidihan

𝐶
= [(𝐶−𝐷)] 𝜌...................................................................................(2.8)

Kerapatan semu

𝐴
= [(𝐴−𝐷)] 𝜌 = g2..........................................................................(2.9)

Volume rongga permeabel (%)

(𝑔2−𝑔1) (𝐶−𝐴)
= [ ] x100 atau [(𝐶−𝐷)]x100.........................................(2.10)
𝑔2

Keterangan :

a = Massa uji kering – oven di udara, g.

b = Massa uji kering – permukaan di udara setelah perendaman, g.

c = Massa uji kering – permukaan di udara setelah perendaman dan

pendidihan ,g.

d = Massa uji semu dalam air setelah perendaman dan pendidihan,g.


20

g1 = Kerapatan massa kering, g/cm1

g2 = Kerapatan semu, g/cm3

ρ = Kerapatan air, 1g/cm3

d. Waktu Ikat (Setting Time)

Perubahan kondisi dari cair menjadi padat memerlukan waktu yang

disebut dengan waktu ikat awal. Sedangkan waktu ketika jarum vicat tidak

dapat dapat melakukan penurunan lagi adalah waktu ikat akhir (SNI 03-

6827-2002: 1). Untuk menentukan waktu ikat menggunakan alat uji Vicat

yang tampak pada gambar 2.2 dan gambar 2.3.

Gambar 2.2 Alat Uji Vicat


(sumber : SNI 03-6827-2002)
21

Gambar 2.3 Cetakan Benda Uji


(sumber : SNI 03-6827-2002)

Ekaputri, dkk (2007: 132) menjelaskan bahwa waktu ikat (setting

time) dapat dipengaruhi oleh perbandingan massa Na2SiO3 dan NaOH

pada larutan aktivator serta molaritas pada campuran.

Semakin tinggi perbandingan massa pada larutan aktivator semakin

lama terjadi waktu yang diperlukan dalam pengikatan awal. Akan tetapi

waktu ikat akhir semakin cepat terjadi. Sedangkan untuk molaritas

campuran yang tinggi, lamanya waktu ikat awal dan waktu ikat akhir

berlangsung cepat.

e. Workability

Kemudahan dalam mengerjakan beton dapat dilihat dari workability

beton yang di uji melalui slump beton. Pengujian slump beton untuk beton

segar dilakukan dengan alat cetakan kerucut Abram yang tampak pada

gambar 2.4 yang dihitung penurunan ketinggiannya setelah alat cetakan

kerucut Abram diangkat.


22

Gambar 2.4 Cetakan uji Slump Beton (Kerucut Abram)


(sumber : SNI 1972-2008)

Nilai slump beton menyesuaikan dengan jenis pekerjaan beton yang

dibuat. Nilai slump dapat dilihat pada tabel 2.4 sesuai dengan Peraturan

Beton Bertulang Indonesia 1971 Tabel 4.4.1.


23

Tabel 2.4 Nilai slump untuk berbagai pekerjaan beton


Slump (cm)
Uraian
Maksimum Minimum
Dinding, pelat fondasi dan fondasi telapak bertulang 12,5 5,0
Fondasi telapak tidak bertulang, kaison dan
9,0 2,5
konstruksi di bawah tanah
Pelat, balok, kolom dan dinding 15,0 7,5
Pengerasan jalan 7,5 5,0
Pembetonan masal 7,5 2,5
(sumber : Peraturan Beton Bertulang Indonesia, 1971: 34)

Kuat tekan beton dapat dipengaruhi oleh kemudahan dalam

pengerjaan campuran beton (workability) yang ditentukan dari nilai

slumpnya (Iskandar, dkk, 2005: 10).

Anda mungkin juga menyukai