Anda di halaman 1dari 13

Empiema Toracis pada Anak

Definisi

Empiema adalah akumulasi pus atau cairan purulen dalam rongga pleura sebagai
akibat dari proses inflamasi.1,2 Empiema juga didefinisikan sebagai suatu infeksi pada ruang
pleura yang berhubungan dengan pembentukan cairan yang kental dan purulen baik
terlokalisasi atau bebas dalam ruang pleura yang disebabkan karena adanya dead space,
media biakan pada cairan pleura dan inokulasi bakteri3-4.

Epidemiologi

Secara epidemiologis insidens empiema dilaporkan meningkat sekitar 1-4 per 100.000
anak diseluruh dunia dan 0,6-3% diantaranya terjadi komplikasi yang berat. Insidens
empiema meningkat secara cepat dimana saat ini terdapat 6500 penderita di USA dan UK
yang menderita empiema dan efusi parapneumonia tiap tahun, dengan mortalitas sebanyak
20% dan menghabiskan dana rumah sakit sebesar 500 juta dolar. Insidensi empiema pada
anak bervariasi antara 0,7 - 9%. Dua puluh tahun yang lalu empiema sering terjadi pada anak
umur kurang dari 2 tahun, tetapi sekarang dilaporkan umur median adalah 7 tahun, dengan
rasio yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di India terdapat 5 – 10% kasus anak
dengan empiema toraks1 dan paling banyak ditemukan pada usia 2 – 9 tahun.5,6. Empiema
lebih sering terjadi pada musim dingin dan musim semi. Pada anak, efusi parapneumonia
merupakan penyebab empiema yang terbanyak. Keadaan ini memerlukan penanganan yang
serius berkaitan dengan tingginya mortalitas dan lama rawat inap.2,4

Etiologi

Lebih dari 50% penyebab empiema adalah efusi parapneumonia, 25% terjadi setelah
operasi paru, esofagus, atau mediastinum, 10% akibat trauma toraks, dan sisanya terjadi
akibat sepsis, tuberkulosis, enterokolitis netrotikans, abses subdiafragmatika, atau
pneumotoraks spontan.4-6 Empiema dapat disebabkan oleh bakteri, fungi atau amuba.
Organisme tersebut dapat mencapai rongga pleura melalui sirkulasi darah, jaringan paru, atau
permukaan organ yang menyebabkan luka dada, misalnya luka dada setelah tindakan

1
pembedahan, ruptur esofagus, dan lain-lain. Lima puluh persen empiema disebabkan oleh
monomikrobial, dan 50% sisanya adalah polimikrobial.1,4,7

Menurut Hau T (2002), bakteri gram positif penyebab empiema yang terbanyak
adalah Staphlylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes;
sedangkan bakteri gram negatif yang terbanyak adalah Haemophillus influenzae, Klebsiella
pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa. Sering ditemukannya bakteri gram negatif pada
biakan terjadi diantaranya karena tingginya insidensi resisten karena pemberian antibiotik
pada fase awal pneumonia.Kira-kira 50% bakteri anaerob penyebab empiema adalah spesies
Prevotella, Bacteroides, Fusobacterium, Veillonella, Propionibacterium acnes,
Porphyromonas dan Clostridium parfringens. Empiema dengan penyebab Mycobacterium
tuberculosis merupakan komplikasi tuberkulosis paru primer dan jarang terjadi pada anak
serta biasanya ditemukan pada remaja dan dewasa. ekonomi yang rendah dan tidak mampu
untuk membeli sefalosporin. Tuberkulosis juga menyebabkan empiema terutama pada
masyarakat India. 7,8

Tabel 1. Penyebab cairan pleura transudat dan eksudat pada anak

2
Patofisiologi

Ada tiga stadium empiema toraks pada anak yaitu 9,14

1. Fase eksudatif.

Stadium ini terjadi selama 24-72 jam Akumulasi cairan menuju rongga pleura akibat
peningkatan permeabilitas kapiler, disertai dengan produksi proinflammatory cyokines yang
mengaktifkan sel mesotelial pleura sehingga cairan mudah masuk ke rongga pleura dengan
karakteristik cairan:

 pH > 7,25
 Glukosa > 60 mg/dL
 LDH < 500 IU/dL
 Protein > 2,5 g/dL
 LDH > 500/µL
 BJ > 1,018
 Cairan serous atau keruh, steril

Maskell dkk (2003) : cairan pleura pada fase ini ditandai dengan angka leukosit yang rendah,
kadar LDH (lactate dehydrogenase) cairan pleura kurang dari separuh kadar LDH serum,
kadar pH dan glukosa normal dan tidak mengandung organisme bakterial.8,10,11

2. Fase Transisional / fibropurulen,

Stadium ini dikarakterisasi dengan inflamasi pleura yang meluas dan bertambahnya
kekentalan dan kekeruhan cairan Akumulasi cairan dan invasi bakteri melawan endotelium
yang telah rusak yang mempercepat reaksi imun, meningkatkan migrasi neutrofil dan
mengaktivasi kaskade koagulasi yang kemudian menyebabkan peningkatan procoagulant dan
menekan aktivitas fibrinolitik sehingga terjadi deposisi fibrin dan lokulasi cairan. Fagositosis
neutrofil dan bakteri yang telah mati memicu proses inflamasi dengan melepaskan fragmen-
fragmen dan protease dinding sel bakteri. Akibatnya terjadi peningkatan produksi asam
laktat, menurunkan pH cairan pleura, disertai dengan peningkatan metabolisme glukosa dan
peningkatan LDH akibat leukosit yang telah mati. Karakteristik cairan pleura pada fase ini
adalah pH antara 7,00 – 7,29, glukosa antara 40 – 60 mg/dL dan LDH antara 500 – 1000
IU/dL. Stadium ini berakhir setelah 7-10 hari dan sering membutuhkan penanganan yang
lanjut seperti torakostomi dan pemasangan tube.14

3
3. Fase Kronis / organizing

Stadium ini biasanya terjadi selama 2 – 4 minggu setelah gejala awal. Fase ini
ditandai dengan proliferasi fibroblas. Membran inelastic ( pleural peel ) akan terbentuk.
Membran tersebut berupa jaringan fibrous yang keras pada membran pleura, menggantikan
jaringan fibrin yang lunak, yang dapat mengakibatkan terhambatnya proses pengembangan
paru dan dapat mengganggu fungsi paru. Karakteristik cairan pleura pada fase ini adalah pH
< 7,00, glukosa < 40 mg/dL, dan LDH > 1000 IU/dL14.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis empiema hampir sama dengan penderita pneumonia bakteria,


Gejala klinis umumnya demam, batuk non produktif, takipneu, takikardia, dispneu, nyeri
dada dan terkadang sianosis, napas cuping hidung. penurunan gerakan dada pada sisi paru
yang terkena. stremfremius menurun atau tidak ada, perkusi redup, dan pada auskultasi
didapatkan adanya vesikular menurun.15,16,

Pemeriksaan Penunjang

Empiema merupakan perkembangan penyakit atau stadium dari efusi parapneumonia.


Drainase sulit dilakukan karena cairan yang bersifat kental dan adanya lokulasi fibrin dalam
ruang pleura.17,18 Ultrasonik kurang spesifik dalam membedakan daerah kistik yang padat
pada ruang pleura dan menentukan apakah cairan pleura sudah terinfeksi atau belum.
Walaupun gambaran ultraso und anak dengan empiema biasanya ekogenik homogen, efusi
hemoragik dan kilotoraks juga memiliki gambaran yang sama. Ekogenitas cairan pleura
disebabkan karena elemen-elemen sel seperti eritrosit, sel-sel radang, droplet-droplet lemak
atau gelembung udara, dan uultrasonik tidak dapat membedakan elemen-elemen tersebut.2,5,10

Metode diagnosis empiema

 Foto dada posisi frontal, lateral, dan dekubitus


 Kultur darah
 Computed tomography/USG
 Apusan nasofaringeal/ sampel sputum
 Hitung arah lengkap dengan diferensiasi (tidak spesifik namun bisa mencari penyebab
infeksi atau diskrasia darah)

4
 Torakosenstesis jika etiologi efusi tidak diketahui atau tidak dapat ditentukan dari proses
infeksi yang telah dicurigai sebelumnya
 Pemeriksaan cairan pleura :
Hitung sel darah dan diferensiasi
Protein, laktat dehidrogenase (LDH), glucosa, dan pH
Kultur bakteri aerob dan anaerob, mikobakteri, fungi, mikoplasma, dan bila ada indikasi
disertai dengan pemeriksaan viral patogen.9,10

Torakosentesis dapat membantu mengetahui penyebab efusi dan menyingkirkan


infeksi. Kekuatan diagnostik yang di ambil dari hasil kultur yang diambil dari torakosentesis
adalah lemah, namun tinggi pada anak dengan infeksi yang jelas dan mendapatkan antibiotika
lebih dalam waktu 24 jam. Tanpa adanya infeksi, normalnya cairan pleura memiliki berat
jenis yang rendah (<1.015) dan protein (<2.5 g/dL), kadar laktat dehidrogenase yang rendah
(3 g/dL) dan laktat dehidrogenase yang tinggi (>250 IU/L), pH yang rendah (<7.2), glukosa
yang rendah (<40 mg/dL), dan hitung selular yang tinggi dengan banyaknya leukosit
polimorfonuklear. Diagnosis empiema ditegakkan bila ditemukan cairan pleura yang purulen,
terdeteksi bakteri gram atau adanya hitung sel darah putih lebih dari 5 x 109 sel/l5. 7,12

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisis,


pemeriksaan radiologis (foto dada antero-posterior, lateral dekubitus dan lateral) dan

5
pemeriksaan cairan pleura. Pemeriksaan ultrasonografi dan CT scan dilakukan bila ada
lokulasi atau menyerupai abses5 .

Tabel 2. Interpretasi cairan pleura 20

Pemeriksaan cairan pleura dilakukan dengan aspirasi cairan pleura. Sampel cairan
pleura sebanyak 50 cc dimabil dengan jarum 21 G dan syringe 50 ml. Sampel harus segera
dimasukkan ke dalam tabung dan botol steril untuk pemeriksaan analisis protein, LDH, pH.
Glukosa, pewarnaan Gram, sitologi dan kultur mikrobiologis.5 Membedakan transudat dan
eksudat secara tepat adalah berdasarkan kadar protein, yaitu transudat > 30 g/l, sedangkan
eksudat < 30 g/l. Selain itu ada cara yang lebih akurat untuk membedakan keduanya, yaitu
dengan menggunakan kriteria Light .5

Kriteria Light : cairan pleura adalah eksudat bila memenuhi satu atau lebih kriteria sebagai
berikut: protein cairan pleura dibagi protein serum > 0,5, LDH ciran pleura dibagi LDH
serum > 0,6, LDH cairan pleura > 2/3 batas atas LDH serum normal.5

Bila eksudat, dilanjutkan pemeriksaan pewarnaan gram dan kultur bakteri,


pemeriksaan hitung jenis leukosit (neutrofil > 50% menunjukkan proses akut, dominasi sel
mononuklear menunjukkan proses kronis), kadar glukosa darah (pada efusi complicated
parapneumonia kadar glukosa <60 mg/dL), pH cairan pleura (pH < 7,20 menunjukkan efusi
parapneumonia), pelacakan tuberkulosis (bila ada limfositosis) dan analisis sitologi.8

6
Tabel 3. Interpretasi cairan pleura 5,17-20

Tatalaksana

Tujuannya adalah untuk mengembalikan paru ke fungsi normal, meliputi tiga hal,
yaitu : pemberian antibiotik yang tepat, drainase cairan pleura dan memperbaiki
pengembangan paru. Empiema dapat diterapi dengan kombinasi obat-obatan dan tindakan
bedah.6

Antibiotik harus diberikan pada empiema. Bila mungkin, pemilihan antibiotik


berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas . Pada kasus dengan hasil kultur negatif, antibiotik
yang diberikan disesuaikan dengan pola kuman yang ada di masyarakat (community acquired
bacterial pathogen) dan kuman rumah sakit (hospital acquired bacterial pathogen).
Antibiotik yang disarankan untuk terapi awal empiema kultur negatif dapat dilihat pada tabel
7.17.3. Belum ada penelitian tentang durasi pemberian antibiotik untuk empiema, tetapi
terapi selama 3 minggu dianggap cukup memadai.11

Terapi antimikrobial empiema

Agen Infeksi Obat dan dosis (per kgbb perhari) jalur dan durasi
A. Bakteri aerob
1. Staphulococci 1. Methicillin 200-400 mg dibagi 3-4 dosis iv, 3-4 minggu
Cloxacillin 100-200 mg dibagi 3-6 dosis iv, 3-4 minggu
2. Haemophilus influenza 2. Ampicillin 100-200 mg dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu
Chloramphenicol, 50-100 mg dibagi 4 dosis iv, 1-2 minggu
Cefuroxime, 75-225 mg dibagi 3 dosis iv, 1-2 minggu
3.Pneumococcus dan Streptococci 3. Penicillin G 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau im, 7-10 hari
4. E coli dan Klebsiella 4. Gentamisin, 5-7 mg dibagi 2-3 dosis iv, 14 hari atau lebih
5. Pseudomonas 5. Carbenicillin, 100-600 mg dibagi 4 dosis iv, 10 hari atau lebih
Ticarcillin 400 mg dibagi 4 dosis iv, 10 hari atau lebih
Tobramycin 5-7 mg dibagi 2 dosis
B. Bakteri anaerob
1. Bacteroides fragilis 1. Chloramphenicol, 50-100 mg dibagi 4 dosis iv, 1-2 minggu
2. Semua, kecuali B fragilis 2. Penicillin G, 50.000-300.000 unit dibagi 3-4 dosis iv atau im, 7-
10 hari
Ampisilin, 100-200 mg dibagi 2-4 dosis iv, 1-2 minggu

7
Pilihan antibiotik untuk terapi awal empiema kultur negatif

Sumber Infeksi Terapi antibiotik intravena Terapi antiobtik oral


Community acquired  Cefuroksim 1,5 g dalam 3 dosis  Amoksisilin 1 g dalam 3
culture negative pleural + metronidazole 400 mg dalam 3 dosis + clavulanic acid
infection dosis oral atau 500 mg dalam 3 125 mg dalam 3 dosis
dosis iv  Amoksisilin 1 g dalam 3
 Benzyl penicillin 1,2 g dalam 4 dosis + metronidazole
dosis iv + ciprofloxacin 400 mg 400 mg dalam 3 dosis
dalam 2 dosis iv  Clindamycin 300 mg
 Meropenem 1 gr dalam 3 dosis iv dalam 4 dosis
+ metronidazole 400 mg dalam 3
dosis oral atau 500 mg dalam 3
dosis iv

Hospital acquired culture  Piperacillin + tazobactam 4,5 g Tak tersedia


negative pleural infection dalam 4 dosis iv
 Ceftazidime 2 g dalam 3 dosis iv
 Meropenem 1 g dalam 3 dosis iv
± metronidazole 400 mg dalam 3
dosis oral atau 500 mg dalam 3
dosis iv.
Sumber : Davies CWH, Gleeson FV, Davies RJP, BTS guidelines for the managemnt of
plural infection. Thorax 2003,

Penanganan empiema

Stadium 1
Drainase dengan torakostomi , antibiotika spektrum luas
Stadium 2
Video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dengan antibiotika spektrum luas.Drainase
dengan torakostomi disertai antibiotika spektrum luas dan terapi fibrinolisis, bila gagal maka
dilakukan VATS.
Stadium 3
VATS dengan torakotomi disertai antibiotika spektrum luas, atau torakotomi terbuka dengan
antibiotika spektrum luas.

Penanganan dengan antibiotika sebaiknya ditujukan pada stafilokokus yang resisten


penisilin dan S. pneumoniae walaupun hasil pemeriksaan apusan atau kultur menunjukkan
organisme lain sebagai penyebab. Sebagai obat tunggal, sefuroksim memiliki kerja khusus
melawan S. aureus dan pneumokokus, namun tidak untuk organisme lain. Kombinasi
oksasilin (untuk perlindungan terhadap S. aureus) dan sefotaksim (untuk perlindungan
terhadap S. pneumoniae) sering digunakan. 4,6,10

8
Pada daerah dengan insiden bakteri stafilokokus resisten terhadap metisilin yang
tinggi, sebaiknya digunakan vankomisin dan klindamisin. Jika cairan pleura berbau busuk,
sebaiknya dipikirkan kemungkinan bakteri anaerob sebagai penyebabnya dan diberikan terapi
dengan klindamisin dan metronidazol. Pemberian streptokinase intrapleura efektif dan aman
dalam menangani empiema stadium 1 dan sadium 2. Selanjutnya akan cenderungan terjadi
penurunan drainase dan penurunan gejala demam dan gejala pernapasan, selain itu
penanganan dengan fibrinolitik dapat dijadikan petunjuk untuk intervensi bedah dini.4,7,9

Penanganan empiema masih kontroversial khususnya pada anak anak. Pilihan


penanganan mencakup pemberian antibiotika sistemik saja, torakosentesis, torakostomi
dengan menggunakan tuba, dengan atau tanpa pemberian obat fibrinolitik. Teknik invasif
lainnya adalah bedah torakoskopi, mini-torakotomi, dan torakotomi standar dengan
dekortikasi (menyingkirkan bekuan fibrin dari paru). Bagaimanakah memilih terapi tersebut
dan mengapa kontoversial itu karena beberapa alasan, yang pertama, pengalaman terapi pada
dewasa tidak bisa begitu saja diterapkan dan diramalkan pada anak-anak. Berlawanan dengan
penderita dewasa, kebanyakan anak dengan empiema sebelumnya terlihat sehat.2,6

Yang kedua, faktor prognostik dapat membantu meramalkan terapi invasif pada
pederita dewasa seperti level laktat dehidrogenase (LDH), glukosa, pH cairan pleura, yang
tenyata semuanya tidak terlalu berguna pada anak-anak. Seperti yang diterbitkan akhir akhir
ini oleh British Thoracic Society guidelines for the treatment of pleural space infection in
children merekomendasikan penggunaan agen fibrinolitik untuk menangani efusi
parapneumonia dengan komplikasi (cairan yang kental, gambaran fibrous) atau empiema dan
dengan tindakan bedah pada penderita yang tidak responsif terhadap fibrinolitik. 13,15

Penyembuhan anak dengan empiema toraks yang berhubungan dengan Streptococcus


pyogenes sering berjalan lambat. Demam, peningkatan laju endap darah dan leukositosis
tetap ada dalam beberapa minggu walaupun sudah diberikan penanganan yang cukup.
Meskipun outcome penderita biasanya baik. Penanganan awal anak dengan empiema adalah
dengan torakostomi dan terapi antibiotika secara empiris yang efektif melawan
Staphylococcus aureus dan Streptococcus pneumoniae, penanganan tambahan meliputi
video-assisted thoracoscopic surgery atau fibrinolis4,8

Tindakan bedah mempunyai dua tujuan, drainase cairan yang terinfeksi dan
memperbaiki pengembangan paru. Jika infeksi masih pada fase dini, cairan dapat dikeluarkan

9
dengan torakosentesis. Pada fase 2, dokter bedah harus memasang selang melalui dinding
dada dengan mengiris tulang iga. Pada fase 3, harus dilakukan dekortikasi, yaitu menguliti
lapisan fibrous tebal yang menyelubungi paru, sehingga paru dapat mengembang dengan
baik. Teknik VATS (video-assisted thoracic surgery) sangat membantu sebagai petunjuk
posisi selang atau tindakan dekortikasi.13,16

Chest tube drainage dapat dilakukan dengan 3 cara: 1) dipasang dengan bantuan
petunjuk pemeriksaan radiologis, 2) dipasang tanpa petunjuk radiologis, dan 3) dipasang pada
saat tindakan bedah. Belum ada penelitian tentang ukuran selang drainase yang optimal,
namun biasanya dipakai kateter dengan ukuran 10-14 Fr. Jika selang drainase tersumbat pus
sehingga alirannya tidak lancar, dianjurkan dibilas dengan 20-50 ml salin melalui three-way
tap setiap 6 jam, untuk menjaga selang tetap paten. Bila selang tetap terseumbat, sebaiknya
dilepas dan diganti dengan selang baru.6,9

Beberapa penelitian uji acak terkendali melaporkan bahwa pemberian obat fibrinolitik
intrapleural terbukti dapat menunjukkan perbaikan radiologis, tetapi tidak menyebutkan
penurunan mortalitas maupun kebutuhan tindakan bedah. Dosisi yang dianjurkan dalah
Streptokinase 250.000 IU dua kali sehari selama 3 hari, atau Urokinase 100.000 IU sekali
sehari selama 3 hari, diklem selama 3-4 jam setiap kali.1,5

Kegagalan chest tube drainage, antibiotik dan obat fibrinolitik, sebaiknya


didiskusikan dengan dokter spesialis bedah toraks. Tindakan bedah juga harus
dipertimbangkan pada kasus efusi pleura purulen dan atau lokulasi, serta sepsis yang gagal
resolusi dalam 7 hari. Tindakan bedah meliputi video-assisted thoracic surgery (VATS) open
thoracic drainage atau torakotomi dan dekortikasi.Pemberin nutrisi yang adekuat juga perlu
diperhatikan pada penatalaksanaan empiema, karena gizi buruk dapat memperlama
penyembuhan.2,15

Prognosis

Prognosis tergantung beratnya penyakit pleura yang mendasari, umur, mulai terapi,
dan adanya komplikasi. Faktor risiko luaran buruk adalah terapi antibiotik tak adekuat,
manajemen bedah tak adekuat (bila indikasi) dan penyakit berat yang mendasari.9,10

10
Apabila empiema diobati dengan abtibioik yang adekuat, akan terjadi resolusi tanpa
sekuele. Resolusi abnormalitas radiologis akan terjadi setelah 3-6 bulan pengobatan.
Sebaliknya, apabila tidak diobati dapat terbentuk jaringan parut, sehingga mengganggu
pengembangan paru, dan menyebabkan penyakit paru restriktif kronis. Komplikasi fistula
bronkopleural dan tension pneumatocele jarang, tetapi hal ini dapat memperlama
penyembuhan.Empiema memerlukan lama rawat inap yang lama dan follow-up yang cukup
panjang setelah pulang ke rumah dibaningkan pasien efusi pleura non-empiemik.3-8

Angka mortalitas sektiar 2-15%, terutama pada anak umur < 1 tahun, dengan faktor
risiko meliputi keterlambatan penanganan, durasi penyakit, beratnya infeksi dan umur muda.
Pasien yang gagal dengan terapi konservatif memerlukan open drainage atau dekortikasi,
yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas meningkat. Dengan penanganan yang
cepat dan tepat pada fase akut, diharapkan pasien dapat sembuh dengan sempurna.1,5,7

11
Daftar Pustaka

1. Li ST and Tancredi DJ, Empyema Hospitalizations Increased in US Children


Despite Pneumococcal Conjugate Vaccine, Pediatrics (2010) vol. 125 (1) pp. 26-
33
2. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, et al. Position statement from the Thoracic
Society of Australia and New Zealand, TSANZ, 2011.
3. Baranwal AK, Singh M, Marwaha RK, Kumar L, Empyema thoraxis : a 10-year
compartive review of hospitalised children from Shotuh Asia. Arch Dis Child
2015, 88 : 1009-14.
4. Davies CWH, Glesson FV, Davies RJO : BTS guidelines for the management of
pleural infection. Thorax 2014 : 78 (Suppl II) : iii 18-28
5. Efrati O, Barak A. Pleural effusions in the pediatric population. Pedtriatics in
Review 2012:23 ; 417-26
6. Hau T. Empyema. Current Treatment Options in Infectious Disease 2002:4 ; 395-
401
7. Landreneau RJ, Keenan RJ, Hatelrigg SR, et al. Thoracoccopy forempyema and
hemothorax. Shest 1995 :109 ; 18-24
8. LeMense GP, Strange C, Sahn SA, Empyema thoracis. Therapeutic management
and outcame. Chest 2014107;1532-37
9. Ligh RW. Pleural Effusion. N Engl J Med. 211 : 346 ;
10. Maskell NA, Butland RJA, BTS guidelines for the investigation of unilateral
pleural effusion in adults. Thorax 2014; 58 (Suppl II) : ii8-17
11. Michelson PH. Empyema, Diunduh dari : www.eMedicine.com. 2014
12. Sharma S. Empyema, pleuropulmonary. Diunduh dari www.eMedicine.com. 2014
13. The excecutive Committee of the International Pediatric Endosurgery Croup
(IPEG). Guidelines for surgical creatment of empyema and related pleural
diseases. Diunduh dari : www.ipeg.org. 2013
14. Ramireddy K, Krishna YSR. A Study of Pediatric Empyema Thoracis in a
Tertiary Care Hospital. 2016;3(10):3.

12
15. Sibomana I, Byiringiro F. Management of Complicated Parapneumonic Effusion
and Empyema Thoracis in Children at the University Teaching Hospital of Kigali
in Rwanda: A Case Study. 2016:4.

16. Laishram N, Ngangom D. EMPYEMA THORACIS IN CHILDREN: A


CLINICAL STUDY. Journal of Evolution of Medical and Dental Sciences.
2016;5(01):46-49. doi:10.14260/jemds/2016/11

17. Islam S, Calkins CM, Goldin AB, et al. The diagnosis and management of
empyema in children: a comprehensive review from the APSA Outcomes and
Clinical Trials Committee. Journal of Pediatric Surgery. 2012;47(11):2101-2110.
doi:10.1016/j.jpedsurg.2012.07.047

18. Strachan RE, Gulliver T, Martin A, McDonald T, Nixon G, Roseby R. Paediatric


Empyema Thoracis: Recommendations for Management. :39.

19. Maher MHK, Farshi MR, Bilan N, Jalilzadeh-Binazar M, Teimouri-Dereshki A,


Abdinia B. Evaluation and Outcomes of Pediatric Pleural Effusions in Over 10
Years in Northwest, Iran. International Journal of Pediatrics. 2014:6

13

Anda mungkin juga menyukai