Anda di halaman 1dari 4

BAB I

KASUS

Masih Banyak Rumah Sakit Tak Terakreditasi, Ini Masalahnya

Bisnis.com, JAKARTA — Biaya dan persyaratan akreditasi rumah sakit di Indonesia dinilai
perlu diringankan agar jumlah fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dapat meningkat.

Kepala Bidang Advokasi lembaga swadaya masyarakat BPJS Watch Timboel Siregar
mengatakan, biaya survei akreditasi, verifikasi, dan workshop yang cukup mahal berdampak
pada banyaknya rumah sakit (RS) yang enggan melakukan akreditasi.

“Kalau biayanya mahal, RS akan terbebani biaya produksi dan berdampak pada biaya kesehatan
yang juga mahal. Selain itu, rumah sakit pun jadi enggan melakukan akreditasi. Untuk akreditasi
[biayanya] bisa mencapai Rp1 miliar. Ada juga yang ratusan juta rupiah,” ungkapnya kepada
Bisnis.com, Minggu (6/1/2019).

Saat ini, dari sekitar 2.820 RS yang ada di Indonesia, masih terdapat 616 rumah sakit yang belum
terakreditasi. Untuk itu, menurut Timboel, Kementerian Kesehatan harus memberikan supervisi
intensif agar seluruh RS dapat segera mendapatkan akreditasi.

“Ya, caranya, prosedur akreditasi bisa dipermudah dengan sistem daring sehingga bisa
menurunkan biaya akreditasi. Akreditasi RS hendaknya disubsidi pemerintah,” ucapnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) Ichsan
Hanafi menjelaskan, untuk melakukan akreditasi, sebuah rumah sakit hanya memerlukan waktu
sekitar tiga hingga empat hari.

Namun demikian, persiapan untuk proses akreditasi—termasuk mengumpulkan kelengkapan


dokumen—membutuhkan waktu hingga enam bulan.

Tidak hanya itu, rumah sakit juga harus menyiapkan sarana, prasarana, dan melatih kecakapan
tenaga medis sebelum menempuh akreditasi.

“Akreditasi tak jadi masalah jika jajaran manajemen dan pemilik RS perhatian dengan urusan
akreditasi sejak awal,” tegasnya.

Untuk itu, dia berharap akreditasi menjadi prioritas utama tiap penyedia layanan kesehatan di
Tanah Air.

Sebab, lanjutnya, akreditasi akan menjadi indikator penjamin mutu dan pelayanan rumah sakit
pada pasien, yang dibuktikan kelengkapan dan kecakapan tenaga medis, sarana, dan fasilitas
medis pendukung lainnya.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Kuntjoro Adi
Purjanto tak memungkiri masih banyak rumah sakit di Indonesia yang belum terakreditasi karena
membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Selain itu, sebutnya, banyak rumah sakit yang belum terakreditasi karena kesulitan
mengaplikasikan sebanyak 1.353 elemen persyaratan setiap harinya.

Dia mengatakan, sedikitnya jumlah sumber daya manusia (SDM)— terutama untuk klinik—
menjadi salah satu kendala dalam meningkatkan jumlah akreditasi fasilitas kesehatan.

Dengan jumlah sumber daya manusia yang sedikit, Kuntjoro berpendapat tidak mudah
menerapkan semua elemen persyaratan yang telah ditetapkan oleh Komite Akreditasi Rumah
Sakit (KARS).

“Untuk proses akreditasi, banyak yang harus disiapkan terutama dalam bidang infrastruktur,”
ujar Kuntjoro.

DIWAJIBKAN UU

Sementara itu, Ketua Eksekutif KARS Sutoto berpendapat, akreditasi wajib dilakukan oleh
seluruh RS sesuai dengan Undang-Undang No.40/2009 tentang Rumah Sakit. Tujuannya adalah
untuk menjamin mutu dan keselamatan pasien karena rakyat berhak mendaptkan pelayanan yang
berkualitas dan aman.

“Kewajiban akreditasi ini diperkuat juga melalui Peraturan Menteri Kesehatan No.71/2013 dan
diperpanjang dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.99/2018 yang mengamanatkan semua RS
yang bekerja sama dengan BPJS [Kesehatan] harus terakreditasi,” tuturnya.

Berdasarkan data KARS, saat ini terdapat sekitar 856 RS yang belum terakreditasi, 64 RS
memiliki akreditasi yang kedaluwarsa, 1.969 RS telah terakreditasi, serta hanya 1 RS yang
terakreditasi KARS internasional.

“Kami selalu mengingatkan [pengelola RS] untuk segera melakukan akreditasi. Cepat tidaknya
proses akreditasi tergantung pada kesiapan RS-nya. Kalau RS siap diakreditasi, KARS siap
datang. Peringatan dari Kemenkes tentang akteditasi sudah sejak 5 tahun yang lalu. Pemerintah
juga telah mengingatkan dan menagih komitmen syarat pemenuhan akreditasi,” katanya.

Dia melanjutkan, akreditasi KARS memerlukan perubahan perilaku pelayanan RS sesuai standar.
Misalnya, standar pelayanan dokter yang wajib menjelaskan kepada pasien hasil
pemeriksaannya, diagnosisnya, dan rencana tindakannya seperti apa. Dalam hal ini, pasien harus
dilibatkan dalam pengambilan keputusan.

“Sebelumnya tidak ada standar, tapi sekarang ada standar sehingga pelayanan rumah sakit di
Indonesia diharapkan semakin membaik,” ucapnya.
Dengan akreditasi, lanjutnya, mutu pelayanan RS dan fasilitas kesehatan pada pasien dapat
dijamin. Akreditasi juga mencegah pasien tertipu dengan tampilan fisik fasilitas kesehatan yang
terlihat mewah, padahal tidak memenuhi syarat untuk melakukan tindakan medis.

Adapun, penilaian akreditasi meliputi kelengkapan fasilitas, sarana, dan kecakapan tenaga
kesehatan. Selain itu, terdapat syarat pendingin dan penyaring udara yang harus ada dalam kamar
operasi.

RS juga diminta untuk memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) sebagai fasilitas
kesehatan. “Masih banyak RS lebih suka memperbaiki tampilan fisik daripada membangun
IPAL. Kami mengimbau agar masyarakat juga mencari rumah sakit yang telah terakreditasi.”

Pada perkembangan lain, per awal 2019, BPJS Kesehatan telah memutuskan kerja sama dengan
92 RS akibat tidak terpenuhinya sejumlah syarat seperti akreditasi dan izin beroperasi.

Sebanyak 27 RS diputuskan kontrak kerja samanya karena tidak memiliki surat izin operasional,
sedangkan 65 lainnya tidak diperpanjang kerja samanya karena belum mendapatkan akreditasi
serta tidak menyampaikan komitmen untuk melanjutkan kemitraan.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Maruf mengatakan, pemberhentian kerja sama
telah mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan No.99/2015 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan No.71/2013 tentang Pelayanan Kesehatan pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Dia menuturkan, berdasarkan surat Kemenkes, dari 616 rumah sakit yang tidak memiliki
akreditasi, hanya 65 rumah sakit yang tidak direkomendasikan atau putus kerja sama dengan
BPJS Kesehatan.

“Pemutusan kerja sama karena rumah sakit tersebut tidak kooperatif dan tidak memiliki
komitmen untuk berkerja sama dengan BPJS Kesehatan,” ujarnya, Sabtu (5/1).

Namun, pada akhir pekan lalu, Kemenkes menyurati BPJS Kesehatan agar RS yang belum
terakreditasi tetap bisa melanjutkan pelayanan. Syarat sertifikat akreditasi itu diganti dengan
surat rekomendasi.

Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Oscar Primadi menuturkan, surat rekomendasi


kepada BPJS Kesehatan tersebut tertuang dalam Surat Menteri Kesehatan Nomor
HK.03.01/Menkes/18/2019 yang dikeluarkan pada 4 Januari 2019.

“Kami berharap RS pun segera melakukan akreditasi dan perpanjangan yang selesai pada
pertengahan tahun ini,” ucapnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Akreditasi adalah pengakuan terhadap lembaga pendidikan yang diberikan oleh badan yang
berwenang setelah dinilai bahwa lembaga itu memenuhi syarat kebakuan atau kriteria tertentu.
(kbbi)

Akreditasi Rumah Sakit adalah pengakuan terhadap mutu pelayanan Rumah Sakit, setelah
dilakukan penilaian. (AKREDlTASl SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU
PELAYANAN, 2006)

Daftar pustaka

AKREDlTASl SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN MUTU PELAYANAN. (2006). Buietin Penelitian Sistem
Kesehatan, 125-133.

Anda mungkin juga menyukai