Anda di halaman 1dari 16

BAB III

LANDASAN TEORI

A. Aspal Porus

Material pembentuk pada campuran aspal porus terdiri dari agregat kasar,
agregat halus, bahan pengisi (filler) jika diperlukan dan aspal dengan penetrasi 60-
70. Perencanaan campuran dilakukan guna mendapatkan beton aspal porus yang
sesuai dengan rencana kebutuhan porositas dan stabilitas perkerasan. Metode
rancangan campuran yang paling sering digunakan di Indonesia adalah metode
rancangan campuran berdasarkan pengujian empiris dengan menggunakan alat
Marshall (Bina Marga 2010 divisi 6 revisi 3).

1. Komposisi umum campuran


Material utama penyusun campuran secara umum hanya dua macam, yaitu
agregat dan aspal. Namun pemakaian aspal dan agregat bisa menjadi bermacam-
macam tergantung kedapa metode dan kepentingan yang dituju pada penyusunan
suatu perkerasan. Dalam penelitian campuran beton aspal ini digunakan agregat
berbahan fresh aggregate yang terdiri dari agregat kasar, agregat halus serta
menggunakan bahan pengikat berupa aspal yang sesuai spesifikasi standar Bina
Marga 2010.

2. Gradasi agregat dalam campuran


Gradasi agregat adalah nilai distribusi agregat yang direncanakan sesuai
dengan batas-batas ukuran agregat untuk mendapatkan jumlah proporsi agregat
yang sesuai dengan spesifikasi yang telah ada ataupun telah didesain untuk
mendapatkan suatu nilai yang diinginkan. Sesuai dengan tujuan penelitian gradasi
yang kan digunakan adalah gradasi aspal porus yang kan didesain dengan metode
pendekatan dan analisis hubungan porositas dan gradasi agregat dengan salah satu
desain gradasi yang telah ada untuk mendapatkan nilai porositas yang telah
ditentukan.

15
16

B. Agregat
Sifat dan kualitas agregat menentukan durabilitas dan kemampuannya
dalam memikul beban lalu-lintas. Adapun sifat-sifat agregat yang perlu diperiksa
antara lain (Sukirman, 1999) sebagai berikut :

1. Gradasi (analisis saringan)


Gradasi/distribusi partikel-partikel ukuran agregat merupakan hal yang
penting dalam menentukan stabilitas perkerasan. Gradasi mempengaruhi rongga
antar butir yang akan menentukan stabilitas dan kemudahan dalam proses
pelaksanaan. Gradasi agregat diperoleh dari analisis saringan, gradasi agregat
dapat dibedakan atas tiga macam antara lain sebagai berikut :

a. Gradasi seragam (uniform graded)/terbuka


Adalah agregat dengan ukuran yang hampir sama, mengandung
agregat halus sedikit sehingga tidak dapat mengisi rongga antar agregat.
Agregat dengan gradasi seragam menghasilkan lapisan perkerasan
dengan sifat permeabilitas tinggi, stabilitas kurang dan berat volume
kecil.
b. Gradasi rapat (dense graded)/bergradasi baik (well graded)
Merupakan campuran agregat kasar dan halus dalam porsi yang
berimbang. Agregat dengan gradasi rapat akan menghasilkan lapis
perkerasan dengan stabilitas tinggi, kedap air, berat volume besar.
c. Gradasi buruk (poorlygraded)/gradasi senjang
Adalah campuran agregat dengan satu fraksi hilang atau sedikit
sekali. Agregat bergradasi senjang umumnya digunakan untuk lapisan
perkerasan lentur yaitu gradasi celah (gap graded). Agregat dengan
gradasi senjang menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak
diantara kedua jenis di atas.

Pemeriksaan gradasi agregat bertujuan untuk membuat suatu distribusi


ukuran pemeriksaan gradasi agregat dalam bentuk grafik yang dapat
memperlihatkan pembagian butir (gradasi) suatu agregat dengan menggunakan
17

susunan saringan. Batu pecah dan batu alam secara teori terbagi atas dua grup
yaitu agregat kasar dan halus, pemisah dari dua grup ini adalah ukuran saringan
no.4 (4,75 mm) dimana agregat yang berada di atasnya disebut agregat kasar dan
yang berada di bawahnya adalah agregat halus. Di laboratorium pembagian ini
diperbanyak untuk keperluan perkerasan jalan digunakan 3 zona gradasi atau
biasa disebut fraksi agregat, yaitu fraksi kasar, medium, dan halus.

Terdapat 2 cara penentuan gradasi suatu agregat yaitu, cara grafis dan
analitis. Dengan cara grafis data hasil analisa saringan diplotkan ke grafik semi
logaritma, di mana sumbu x adalah diameter saringan dalam skala logaritma dan
sumbu y adalah persen lolos saringan (%). Cara analitis dengan membuat
parameter koefisien keseragaman (coefficient of uniformity) dan koefisien
kecekungan (coefficient of curvature).

2. Ukuran maksimum agregat


Semua lapisan perkerasan lentur membutuhkan agregat yang terdistribusi
dari besar sampai kecil. Terdapat dua cara untuk menyatakan ukuran partikel
agregat yaitu sebagai berikut :
a. Ukuran maksimum agregat
Yaitu ukuran saringan terkecil dimana agregat yang lolos saringan
tersebut sebanyak 100%.
b. Ukuran nominal maksimum
Merupakan ukuran saringan terbesar dimana agregat tertahan tidak
lebih dari 10%.

3. Kadar lumpur dan sand equivalent


Lumpur mempengaruhi mutu campuran agregat dengan aspal karena:
a. Lumpur membungkus partikel-partikel agregat sehingga ikatan antar
aspal dan agregat berkurang.
b. Lumpur mengakibatkan luas daerah yang harus diselimuti aspal
bertambah. Dengan kadar aspal sama menghasilkan tebal lapis
18

perkerasan yang lebih tipis yang dapat mengakibatkan terjadinya


striping (lepas ikatan antara aspal dan agregat).
c. Tipisnya lapisan aspal mengakibatkan lapisan teroksidasi sehingga
lapisan cepat rapuh dan getas.
d. Lumpur cenderung menyerap air yang berakibat hancurnya lapisan
aspal.

Sedangkan pemeriksaan sand equivalent bertujuan untuk mengukur


perbandingan relatif antara bagian yang merugikan (debu, tanah liat, lumpur,
lempung) dengan bahan agregat halus yang lolos sesuai saringan yang
disyaratkan. Karena agregat yang digunakan tidak seutuhnya bersih sehingga
dengan kata lain sering terdapat zat-zat asing yang tidak diinginkan, yang dapat
merugikan perkerasan aspal. Semakin besar nilai SE maka semakin bersih agregat
tersebut dari bahan yang merugikan, begitu juga sebaliknya. Berikut rumus
perhitungannya:
skala pasir
Sand Equivalent (SE) =  100% (III.1)
skala lumpur
Kadar lumpur = 100% - SE (%) (III.2)

Spesifikasi Kadar lumpur dapat dilihat pada Tabel III.1 berikut:


Tabel III.1 Ketentuan Agregat Halus Bina Marga 2010

Pengujian Standar Nilai


Nilai Setara Pasir SNI 03-4428-1997 Min. 60%
Angularitas dengan Uji Kadar
SNI 03-6877-2002 Min. 45%
Rongga
Gumpalan Lempung dan Butir-
SNI 03-4141-1996 Maks. 1%
butir Mudah Pecah dalam Agregat
Maks.
Agregat Lolos Ayakan No. 200 SNI ASTM C1 17:2012
10%
(Sumber : Bina Marga 2010)

4. Keausan agregat
Keausan agregat merupakan ketahanan agregat terhadap adanya penurunan
mutu akibat proses mekanis dan kimiawi. Agregat yang digunakan harus
19

mempunyai daya tahan terhadap pemecahan (degradasi) yang mungkin timbul


selama proses pencampuran, pemadatan, ataupun oleh beban lalu-lintas. Ketahan
agregat terhadap degradasi diperiksa dengan menggunakan percobaan Abrasi Los
Angeles.
Pengujian ini digunakan secara luas sebagai indikator dari kualitas atau
kemampuan berbagai sumber agregat yang mempunyai komposisi mineral yang
sama. Sampel agregat yang digunakan untuk uji abrasi harus keadaan bersih dari
debu atau material yang merugikan lainnya. Adapun Perhitungan keausan agregat
dapat dilihat pada rumus berikut ini.
A B
Nilai keausan =  100% (III.3)
B
dengan:
A = berat sampel awal (gr)
B = berat sampel setelah di uji yang tertahan no. 12 (gr)
Tabel III.2 Ketentuan agregat kasar (Bina Marga 2010 devisi 6)
Pengujian Standar Nilai

Kekekalan bentuk natrium sulfat Maks. 12%


agregat terhadap SNI 3407:2008
larutan magnesium sulfat Maks. 18%

Campuran AC 100 putaran Maks. 6%


Abrasi bergradasi
kasar 500 putaran Maks. 30%
dengan
mesin Semua jenis 100 putaran SNI 2417:2008 Maks. 8%
Los campuran aspal
Angeles bergradasi 500 putaran Maks. 40%
lainnya

Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 2439-2011 Min. 95%

Butir Pecah pada Agregat Kasar SNI 7619:2012 95/90 *)

ASTM D4791
Partikel Pipih dan Lonjong Maks. 10%
Perbandingan 1:5

SNI 03-4142-
Material lolos Ayakan No. 200 Maks. 2%
1996
Catatan: 95/90 menunjukkan bahwa 95% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah satu atau
lebih dan 90% agregat kasar mempunyai muka bidang pecah dua atau lebih .
20

5. Bentuk dan tekstur permukaan


Bentuk dan tekstur agregat mempengaruhi stabilitas dari lapis perkerasan
yang dibentuk oleh agregat tersebut. Partikel agregat dapat berbentuk bulat,
lonjong, pipih dan kubus. Agregat berbentuk kubus paling baik digunakan sebagai
material perkerasan jalan. Agregat berbentuk kubus mempunyai bidang kontak
yang lebih luas sehingga mempunyai daya saling mengunci yang baik. Kestabilan
yang diperoleh lebih baik dan lebih tahan terhadap deformasi.

6. Daya lekat terhadap aspal


Faktor yang mempengaruhi lekatan aspal dan agregat dapat dibedakan atas
dua bagian yaitu sebagai berikut :
a. Sifat mekanis yang tergantung dari pori-pori dan absorbs, bentuk dan
tekstur permukaan serta ukuran butir.
b. Sifat kimiawi dari agregat.

7. Berat jenis dan penyerapan


Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, berat jenis adalah suatu rasio
tanpa dimensi, yaitu rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang
volumenya sama dengan benda tersebut.Volume agregat yang diperhitungkan
adalah volume yang tidak diresapi aspal. Sebagai standar dipergunakan air pada
suhu 4ºC karena pada suhu tersebut air memiliki kepadatan yang stabil. Berat
jenis agregat dapat digambarkan seperti gambar dibawah ini (Krebs and Walker,
1971).

Penertian lain adalah perbandingan antara massa padat agregat dan massa
air dengan volume sama pada suhu yang sama. Pengukuran berat jenis agregat
diperlukan untuk perencanaan campuran agregat dan aspal, campuran ini
berdasarkan perbandingan berat karena lebih teliti dibanding dengan
perbandingan volume dan juga untuk menentukan banyaknya pori agregat.
Berdasarkan pemeriksaan berat jenis hasil yang akan didapatkan antara lain
berat jenis lepas (bulk), berat jenis kering permukaan jenuh (SSD), berat jenis
semu (apparent), berat jenis efektif, dan penyerapan. Berat jenis lepas (bulk)
21

adalah berat jenis yang diperhitungkan terhadap seluruh volume pori yang ada.
Berat jenis kering permukaan jenuh (SSD) adalah berat jenis yang
memperhitungkan volume pori yang hanya dapat dilewati oleh air. Berat jenis
semu (apparent) adalah berat jenis yang memperhitungkan volume partikel saja
tanpa memperhitungkan volume pori yang dapat dilewati air. Berat jenis efektif
adalah nilai tengah dari berat jenis curah dan semu, terbentuk dari campuran
partikel kecuali pori-pori/rongga udara yang dapat menyerap air. Sedangkan
penyerapan (absorpsi) adalah perbandingan perubahan berat agregat karena
penyerapan air oleh pori-pori dengan berat agregat pada kondisi kering.
Rumus:

Bk
Berat jenis bulk = (III.4)
Bj  Ba
Bj
Berat jenis kering permukaan jenuh = (III.5)
Bj  Ba
Bk
Berat jenis semu = (III.6)
Bk  Ba
Bj  Bk
Penyerapan = x100% (III.7)
Bk
dengan:
Bk = Berat sampel kering oven (gr)
Bj = Berat sampel kering permukaan jenuh (gr)
Ba = Berat uji kering permukaan di dalam air (gr)

C. Propertis Marshall Campuran Aspal Porus

Prinsip dasar metode Marshall adalah pemeriksaan stabilitas dan kelelehan


(flow), serta analisis kepadatan dan pori dari campuran padat yang terbentuk.
Secara garis besar pengujian Marshall meliputi : persiapan benda uji, penentuan
berat jenis bulk dari benda uji, pemeriksaan stabilitas dan flow, dan perhitungan
sifat volumetric benda uji.
Nilai stabilitas diperoleh berdasarkan nilai yang ditunjukkan oleh jarum di
dial stabilitas pada alat test Marshall, kemudian dikonversikan pada tabel kalibrasi
22

sesuai proving ring yang digunakan dalam penelitian ini digunakan proving ring
dengan kekuatan 10.000 lbf (5.000 kgf). Selanjutnya nilai stabilitas tersebut harus
disesuaikan dengan angka koreksi akibat dari tebal benda uji. Untuk nilai Flow
ditunjukkan pada angka pada jarum dial flow, satuan pada dialnya sudah sesuai
dalam satuam mm (milimeter), sehingga tidak diperlukan lagi konversi angka dan
kalibrasi jarum dial flow.

1. Stabilitas (Stability)
Nilai stabilitas terkoreksi dihitung dengan rumus:
S = q × c × k × 0,454 (III.14)
dengan :
S : nilai stabilitas terkoreksi (kg)
q : pembacaan stabilitas pada dial alat Marshall (lb)
k : faktor kalibrasi alat
c : angka koreksi ketebalan
0,454 : konversi beban dari lb ke kg

2. Flow
Flow dari pengujian Marshall adalah besarnya deformasi
vertikal sampel yang terjadi mulai saat awal pembebanan sampai
kondisi kestabilan maksimum sehingga sampel sampai batas runtuh
dinyatakam dalam satuan mm atau 0,01”

3. Marshall Quotient
Merupakan perbandingan antara stabilitas dengan kelelahan
plastis (flow) dan dinyatakan dalam kg/mm. Marshall Quotient
besarnya merupakan indikator dari kelenturan yang potensial
terhadap keretakan. Nilai Marshall Quotient dihitung dengan rumus
berikut :
𝑆
MQ = (III.15)
𝐹
dengan :
23

MQ : Marshall Quotient (kg/mm)


S : nilai stabilitas terkoreksi (kg)
F : nilai flow (mm)

Sifat volumetric dari suatu campuran mempunyai beberapa


parameter, baik dilapangan maupun laboratorium parameter yang
digunakan tetap sama. Berikut skematis volumetric dan parameter yang
digunakan :
1. Volume bulk dari beton aspal padat (Vmb)
2. Volume pori di antara butir agregat campuran beton aspal padat
(VMA), termasuk yang terisi oleh aspal (void in the mineral
aggregat).
3. Volume pori beton aspal padat (VIM).
4. Volueme pori beton aspal padat yang terisi oleh aspal (VFWA).

Gambar III.1 Skematis Berbagai Jenis Volume Beton Aspal Padat


Keterangan gambar :
Va : volume udara/pori
Vma : volume pori antar butir agregat
Vmb : volume bulk campuran yg telah dipadatkan
Vmm : volume campuran tanpa volume udara
Vb : volume aspal
Vba : volume aspal yang terabsorbsi
Vsb : volume bulk agregat
24

Vse : volume agregat efektif

4. Kepadatan (Density)
Sifat kepadatan kering diperlukan berat dan volume dari sampel.
Berat dengan mudah dapat ditimbang namun penentuan volumenya
memerlukan ketelitian yang dilaksanakan dengan penimbangan di
udara dan saat seluruhnya berada di dalam air. Namun karena kondisi
sampel yang masih lemah, maka volume sampel dapat ditentukan
dengan mengukur dimensi sampel saja. Karena sampel masih dalam
keadaan belum benar-benar kering (setelah dicuring) dan untuk
mengeringkan spesimen secara penuh memerlukan waktu yang lama,
maka untuk efisiensi waktu dalam menetukan kepadatan kering, maka
diambil data dalam keadaan sampel belum benar-benar kering.
Kepadatan kering dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Asphalt
Institute, MS 14, 1989):
𝑊
Ɣw = (III. 16)
𝑉
(100 + RBC)
Ɣdry = ×𝐷 (III. 17)
(100 + 𝑅𝐵𝐶 + 𝑤)

dengan :
Ɣw : Density / berat isi basah (gr/cm3)
Ɣdry : Density / berat isi kering (gr/cm3)
RBC: Residual Bitumen Content (%)
V : Volume benda uji (cm3)
W : Berat di udara (gr)
w : Kadar air (%)

5. Volume pori dalam agregat campuran beton aspal padat VMA


(Void in the mineral aggregate)
VMA adalah volume pori di dalam beton aspal padat jika seluruh
selimut aspal ditiadakan yang dinyatakan dalam persentase. VMA dapat
dihitung dengan rumus sebagai berikut.
25

a. Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persentase dari


berat beton aspal padat:

𝐺𝑚𝑏 .𝑃𝑠
VMA = (100 − )% dari volume bulk (III.18)
𝐺𝑠𝑏

b. Jika komposisi campuran ditentukan sebagai persentase dari


berat agregat:

𝐺𝑚𝑏 100
VMA = (100 − × 100)% dari volume bulk (III.19)
𝐺𝑠𝑏 100+𝑃𝑎1

dengan:
VMA = Volume pori antara agregat di dalam beton aspal
padat, % dari volume bulk beton aspal.
Gmb = Berat jenis bulk dari beton aspal padat.
Ps = Kadar agregat, % terhadap berat beton aspal padat.
Gsb = berat jenis bulk dari agregat pembentuk beton aspal
padat.
Pa1 = Presentase masing-masing agregat.
Vba = Volume aspal yang di serap agregat.

6. Volume pori dalam beton aspal padat VIM (Void in the mix)
Banyaknya pori yang berbeda dalam campuran beton aspal padat
(VIM) adalah banyaknya pori diantara butir-butir agregat yang
diselimuti aspal dan dinyatakan dalam persentase terhadap volume
beton aspal padat.
Dasar perhitungan nilai VIM dilakukan berdasarkan volume beton
aspal padat (bulk), 100 cm3 dan dihitung dengan formula berikut:

𝐺𝑚𝑚 −𝐺𝑚𝑏
VIM = (100× ) % dari volume bulk (III.20)
𝐺𝑚𝑚

dengan:
VIM = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume
bulk beton aspal Padat.
26

Gmm = Berat jenis maksimum campura, rongga udara nol


(AASHTO T-209-90 atau ATSM 2041)
Gmb = Berat jenis bulk dari beton aspal padat.

7. Rongga terisi aspal VFWA (Void Filled with Asphalt)


VFWA merupakan bagian dari VMA yang terisi oleh aspal dimana
tidak termasuk di dalamnya aspal yang terabsorbsi oleh masing-masing
butir agregat. VWFA merupakan persentase volume beton aspal padat
yang menjadi film atau selimut aspal.
Menggunakan rumus:
100(𝑉𝑀𝐴−𝑉𝐼𝑀)
VFWA = % dari VMA (III.21)
𝑉𝑀𝐴

dengan:
VFA = Volume pori anara butir agregat yang terisi aspal, % dari
VMA
VMA = Volume pori antara butir agregat di dalam beton aspal
padat, % dari volume bulk beton aspal padat.
VIM = Volume pori dalam beton aspal padat, % dari volume bulk
beton aspal padat.

D. Keterkaitan Karakteristik Marshall terhadap Durabilitas

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat durabilitas campuran beraspal


adalah rongga dalam campuran (Void in Mix / VIM). Nilai Void In Mix (VIM)
yang kecil akan membuat lapisan menjadi kedap air dan udara tidak masuk dalam
campuran sehingga nilai durabilitasnya baik, tetapi untuk campuran beraspal yang
sudah mengalami penuaan akan mengakibatkan rongga dalam campuran semakin
besar akibat proses oksidasi. Besarnya nilai rongga dalam campuran ini
menyebabkan penurunan padakekedapan campuran terhadap air, akibatnya saat
dilakukan perendaman, air akan mudah masuk dan mengisi rongga dalam
campuran, sehingga menurunkan nilai durabilitas campuran. Semakin lama
dilakukan perendaman, maka tingkat durabilitasnya akan semakin kecil.
27

Durabilitas adalah kemampuan lapis perkerasan mempertahankan sifat


asalnya akibat pengaruh cuaca maupun lalu lintas selama pelayanan jalan. Adapun
cara mengetahui durabilitas dengan beberapa metode sebagai berikut:

1. Metode Pengujian Durabilitas Standar

Prosedur pengujian durabilitas standar menurut Bina Marga (2010) yaitu


dilakukan dengan perendaman benda uji pada temperatur tetap ± 60°C selama 30
menit dan 24 jam. Perbandingan nilai stabilitas yang direndam selama 24 jam
dengan nilai stabilitas yang direndam selama 30 menit, dinyatakan dalampersen
(%), dan disebut Indeks Kekuatan Sisa (IKS).

Nilai Indeks Kekuatan Sisa (IKS) dapat dihitung dengan persamaan berikut
ini :
𝑆
𝐼𝐾𝑆 = 𝑆2 𝑥 100% (III.22)
1

dengan :
IKS : Indeks Kekuatan Sisa (%)
S1 : Stabilitas Marshall standar dengan perendaman selama 30 menit
pada suhu 60°C (kg)
S2 : Stabilitas Marshall setelah perendaman (kg)

Nilai IKS yang semakin besar menunjukan campuran beraspal semakin


durable (awet). Nilai minimum IKS yang disyaratkan Bina Marga adalah sebesar
90%, sehingga jika nilai IKS di atas 90% maka campuran beraspal tersebut
dianggap cukup tahan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh pengaruh air dan
suhu.

2. Metode Pengujian Durabilitas Modifikasi

Beberapa peneliti melakukan penelitian tingkat keawetan dengan pengujian


masa perendaman yang lebih lama. Craus, J. et al(1981) menyatakan bahwa
kriteria perendaman satu hari tidakselalu mencerminkan sifat keawetan dari
campuran setelah beberapa waktu masa perendaman.
28

Dalam penelitiannya Craus, J. et al (1981) memperkenalkan 2 macam


indeks keawetan yaitu :

a) Indeks Durabilitas Pertama (IDP)

Indeks Durabilitas Pertama didefinisikan sebagai kelandaian yang


berurutan dari kurva keawetan. Indeks Durabilitas Pertama juga dapat
didefinisikan sebagai nilai sensitivitas penurunan stabilitas benda uji terhadap
lama perendaman.

Indeks Durabilitas Pertama dinyatakan dalam (r) dihitung berdasarkan


persamaan berikut ini :
𝑆 −𝑆𝑖+𝑡
r= ∑𝑛−1
𝑖=0 𝑡
𝑖
(III.23)
𝑖+𝑡 −𝑡𝑖

dengan :
r : Indeks penurunan Stabilitas (%)
Si+1 : Persentase kekuatan sisa pada waktu ti+1 (%)
Si : Persentase kekuatan sisa pada waktu ti (%)
ti, ti+j : Periode perendaman, dimulai dari awal pengujian (jam)

Semakin landai penurunan nilai IDP maka semakin kecil kehilangan


kekuatan dan semakin curam penurunan nilai IDP maka semakin besar
kehilangan kekuatan atau semakin sensitif terhadap perendaman.

Nilai “r” positif bilamana mengalami penurunan nilai stabilitas yang


mengindikasikan kehilangan kekuatan, sedangkan nilai “r” negatif bilamana
mengalami peningkatan nilai stabilitas yang mengindikasikan adanya
perolehan kekuatan.

b) Indeks Durabilitas Kedua (IDK)

Indeks Durabilitas Kedua (IDK) didefinisikan sebagai persentase


kehilangan kekuatan rata – rata selama satu hari antara kurva keawetan dengan
garis So =100%.
29

Indeks Durabilitas Kedua dinyatakan dalam (a) dihitung berdasarkan


persamaan berikut ini :
1
𝑎= ∑𝑛−1
𝑛=0 (𝑆𝑖 − 𝑆𝑖+𝑡 )[2𝑡𝑛 − (𝑡𝑖 + 𝑡𝑖+1 ] (III.24)
2𝑡𝑛

dengan :
a :Persentase kehilangan kekuatan selama satu hari (%)
Si+1 : Persentase kekuatan sisa pada waktu ti+1 (%)
Si : Persentase kekuatan sisa pada waktu ti (%)
ti, ti+j : Periode perendaman, dimulai dari awal pengujian (jam)
tn : Total perendaman (jam)

Semakin kecil nilai IDK maka semakin kecil kehilangan kekuatan dan
semakin besar nilai IDK, maka semakin besar pula kehilangan kekuatannya
atau semakin tidak durable.

Indeks durabilitas ini menggambarkan kehilangan kekuatan satu hari.


Nilai “a” positif menggambarkan kehilangan kekuatan, sedangkan nilai “a”
negatif merupakan pertambahan kekuatan. Berdasarkan definisi tersebut, maka
a < 100. Oleh karena itu, memungkinkan untuk menyatakan persentase
kekuatan sisa satu hari ( Sa ) sebagai berikut :

Sa = ( 100 – a ) (III.25)

Nilai Indeks Durabilitas Kedua juga dapat dinyatakan dalam bentuk nilai
absolut dari ekuivalen kehilangan kekuatan sebagai berikut.

A = Sa x S o (III.26)
dengan :
A : Nilai absolut kehilangan kekuatan selama satu hari (kg)
So : Nilai absolut kekuatan awal (kg)

Berdasarkan definisi tersebut, maka nilai A < So. Sehingga


memungkinkan untuk menyatakan nilai absolut kekuatan sisa satu hari (SA)
sebagai berikut.
30

SA = ( So– A ) (III.27)
Tingkat durabilitas campuran beraspal dapat digambarkan dalam bentuk
kurva keawetan yang dapat dilihat pada Gambar III.1 di bawah ini :

Gambar III.2 Skema Kurva Keawetan


Sumber : Craus, J. et al(1981)

Anda mungkin juga menyukai