Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam konsep hukum tata negara positif (positieve staatsrecht), lembaga


negara merupakan organ negara atau alat-alat perlengkapan negara yang
biasanya diatur atau menjadi materi muatan dalam konstitusi atau undang-
undang dasar suatu negara. Dalam kepustakaan hukum ketatanegaraan
Indonesia, jenis dan jumlah lembaga negara menurut UUD 1945 setelah
perubahan ada bermacam-macam. Menurut Hernadi Affandi tidak semua
badan yang dicantumkan di dalam UUD 1945 merupakan lembaga negara,
karena terdapat dua syarat yang harus dimiliki oleh suatu badan untuk dapat
menjadi lembaga negara yaitu bandan tersebut harus bersifat vital dan
fundamental. Vital disini maksudnya badan kenegaraan tersebut benar-benar
sangat diperlukan, bila tidak ada maka akan terjadi ketimpangan dalam proses
penyelengaraan kenegaraan. Fundamental maksudnya organ tersebut bersifat
mendasar dan betul betul menjadi tumpuan dalam penyelengaraan proses
pemerintahan. Bila mengacu pada penjelasan diatas terdapat tujuh lembaga
negara setelah amandemen keempat UUD 1945, yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Badan Pemeriksa Keuanagn, Mahkamah Agung, dan
Mahkamah Konstitusi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian Presiden, Kabinet dan Kantor Kepresidenan.


2. Tahap atau Proses pengambilan keputusan.
3. Landasan Hukum Lembaga Kepresidenan

1
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Presiden, Kabinet dan Kantor Kepresidenan ( KSP )

2.1.1 Presiden

Alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi antara lain:


“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia... Maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar
negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat..”; hal mana jelas memberi ketentuan
bahwa negara demokrasi Indonesia berbentuk Republik. Sebagai konsekuensi
logis dari bentuk negara yang berbentuk Republik ini dikehendaki adanya
pengankatan Kepala Negara yang dipilih oleh rakyat dan mengaku jabatannya
selama periode yang telah ditentukan menurut aturan hukum yang berlaku (
Ramdlonnaning, T.T : 87 )

Ketentuan tentang Kepala Negara yang disebut Presiden itu diatur dalam
Undang-Undang Dasar pasal 4 ayat (1) sampai dengan Pasal 15. Menurut
Pasal 4 ayat (1), Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
Pemerintah. Bunyi Pasal 4 ayat (1) tersebut jelas-jelas menegaskan bahwa
Presiden menduduki sebagai Kepala Pemerintahan. Kemudian di pasal 4 ayat
(2) menentukan bahwa dalam melaksanakan kewajiban Presiden dibantu oleh
satu orang wakil Presiden. Juga ditentukan bahwa Presiden dibantu oleh
Menteri-Menteri Negara ( Pasal 17).

2
2.1.2 Kabinet

Kabinet adalah suatu badan yang terdiri dari pejabat pemerintah senior/level
tinggi, biasanya mewakili cabang eksekutif. Kabinet dapat pula disebut sebagai
Dewan Menteri, Dewan Eksekutif, atau Komite Eksekutif, penyebutan ini
tergantung pada sistem pemerintahannya dan diketuai oleh presiden atau perdana
menteri sebagai pimpinan kabinet. [ Wikipedia, 2019 ]

2.1.3 Kantor Kepresidenan

2.1.3.1 Pengertian Kantor Kepresidenan

Kantor Staf Presiden merupakan Unit Staf Kepresidenan, yang dibentuk dengan
Perpres No. 26 Tahun 2015 tentang Kantor Staf Presiden, untuk memberi
dukungan kepada Presiden dan Wakil Presiden dalam mengendalikan pelaksanaan
3 kegiatan strategis yaitu pelaksanaan Program – Program Prioritas Nasional,
aktivitas terkait komunikasi politik kepresidenan, dan pengelolaan isu strategis.
Perpres No. 26 tersebut dapat dilihat pada informasi publik.

Kantor Staf Presiden merupakan lembaga non-struktural yang berada di bawah


dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dengan Sumber Daya Manusia
yang dapat berasal dari Pegawai Negeri Sipil dan Non-PNS.

Kantor Staf Presiden dalam pelaksanaan tugasnya akan melakukan fungsi


pengendalian dalam rangka memastikan bahwa program-program prioritas
nasional dilaksanakan sesuai visi dan misi Presiden. Selain melakukan
pengendalian, Kantor Staf Presiden juga melaksanakan fungsi menyelesaikan
masalah secara komprehensif terhadap program-program prioritas nasional yang
dalam pelaksanaannya mengalami hambatan. Termasuk juga percepatan atas
pelaksanaan program-program prioritas nasional.

Fungsi lain dari Kantor Staf Presiden adalah bertanggungjawab atas pengelolaan
isu-isu strategis termasuk penyampaian analisis data dan informasi strategis dalam

3
rangka mendukung proses pengambilan keputusan dan pengelolaan strategi
komunikasi politik dan diseminasi informasi yang harus dilakukan.

Selain dari fungsi-fungsi tersebut diatas, Kantor Staf Presiden dapat melakukan
tugas dan fungsi lain yang ditugaskan oleh Presiden.

Dalam pelaksanaan tugasnya Kepala Staf Kepresidenan akan dibantu oleh


beberapa Deputi dan Kesekretariatan yang tugas dan tanggung jawabnya dapat
dilihat di Struktur Organisasi. ( KSP.go.id )

2.1.3.2 Tugas dan Fungsi

Kantor Staf Presiden memiliki tugas dan fungsi memberi dukungan kepada
Presiden dan Wakil Presiden dalam melaksanakan pengendalian program-
program prioritas nasional, komunikasi politik, dan pengelolaan isu strategis
penyelesaian masalah secara komprehensif, percepatan pelaksanaan dan
pemantauan program prioritas nasional serta tugas lain yang diberikan
Presiden. ( KSP.go.id )

2.2 Pengertian Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan pada hakikatnya merupakan suatu proses pemilihan


berbagi alternatif yang tersedia, mengevaluasi alternatif yang telah dipilih untuk
kemudian di implementasikan dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Dalam
hal ini, jelas bahwa pengambilan keputusan melibatkan rangkaian kegiatan yang
diawali dengan pengertian tentang tujuan keputusan yang hendak diambil,
mengembangkan dan mengavaluasi keefektifan berbagai alternatif yang tersedia,
memilih dan mengimplementasikan alternatif pilihan, dan pada akhirnya
memonitor hasil implementasi guna meyakinkan bahwa tujuan keputusan
tercapai.

Hakikat Decision Making; Pengambilan Keputusan Decision making atau


pengambilan keputusan merupakan komponen yang sangat penting dalam

4
kehidupan tiap individu, termasuk dalam sebuah organisasi. Pengambilan
keputusan juga dapat mempengaruhi kesuksesan ataupun kegagalan seseorang
dalam hidupnya, termasuk dalam kesuksesan ataupun kegagalan sebuah
organisasi. Begitupun dalam organisasi atau lembaga pendidikan, pengambilan
keputusan merupakan keharusan yang hampir selalu dilakukan oleh pengambil
keputusan--pemimpin. Banyak sekali pengertian dan pemaknaan pengambilan

keputusan yang dikemukakan oleh para pakar. Di antaranya, Luthans (1995: 440)
yang mendefinisikan pengambilan keputusan secara umum sebagai “choosing
alternatives”. Dalam pengertian yang lebih rinci dan konseptual, pengambilan
keputusan didefinisikAn sebagai “the process of selecting and implementing
alternatives consistent with a goal” (Hess and Siciliano; 104). Atau “the process
of generating and evaluating alternatives and making choices among them”
(Mondy, Sharplin dan Flippo, 1988: 14). Dalam pemaknaan yang lebih luwes dan
operasional, Lessem (245) mengemukakan tentang pengambilan keputusan
sebagai “the actual selection from among alternatives of a course of action”, atau
“the selection of a preferred course of action from two or more alternatives”
(Robbins, 152). Dalam pemahaman yang lebih komprehensif, Bovee, at.al. (…,
172) berpendapat bahwa pengambilan keputusan merupakan “the process of
recognizing a problem, generating and weighing alternatives, coming to a
decision, taking action and assessing the result”. Pengambilan keputusan juga
bermakna sebagai “pengakhiran atau pemutusan suatu proses pemikiran tentang
suatu permasalahan dalam rangka menjawab pertanyaan “apa’ yang harus
dilakukan guna mengatasi permasalahan tersebut denga cara memilih salah satu di
antara alternatif yang diberikan” (Atmosudirdjo, 1990: 67). Dari berbagai
pendapat dan pemahaman para ahli di atas, terlihat bahwa pengambilan keputusan
pada hakikatnya merupakan problematika antara rasionalitas dan kekuatan, “a
process in which both rationality and power are problematics” (Hall, …, 158).
Artinya, pengambilan keputusan melibatkan rangkaian proses yang terstruktur
dimulai dari 1) memahami atau mengenal masalah yang tengah dihadapi, 2)
mengurutkan dan menimbang dan atau menilai alternatif mana yang dapat

5
menjawab permasalahan, 3) memutuskan, 4) melaksanakan keputusan yang telah
diambil, dan pada akhirnya 5) menilai hasil keputusan yang telah dilaksanakan.
Rangkaian kegiatan ini menuntut tingkat rasionalitas yang tinggi dari seorang
pengambil keputusan serta “power” yang dimilikinya guna meyakinkan dan
menjamin bahwa keputusan yang telah diambil dimaksudkan dalam usaha
mencapai tujuan yang telah ditargetkan hendak dicapai.

2.3 Proses Pengambilan Keputusan

2.3.1 Proses Pengambilan Menurut Para Pakar

Proses pengambilan keputusan yang dikembangkan para pakar sangat beragam.


Proses tersebut dimulai dari yang sangat sederhana hingga yang paling rumit.
Namun, para pakar sepakat bahwa secara umum pengambilan keputusan meliputi
langkah-langkah antara lain; pemahaman terhadap masalah, formulasi masalah,
pengembangan alternatif yang tersedia, penelusuran informasi terkait alternatif,
seleksi alternatif yang mendekati solusi, keputusan, dan aksi/pelaksanaan
keputusan. Meski dalam kenyataannya, tidak semua langkahlangkah tersebut
secara berurut dilakukan. Beberapa permasalahan, terutama yang sederhana dan
hampir rutin dihadapi dalam suatu organisasi/lembaga tidak membutuhkan proses
pengambilan keputusan yang “jelimet ( melihat hal-hal yang kecil )” dalam
memutuskannya. Di samping itu, aspek-aspek semisal proses kognitif yang
melibatkan memori, fikiran, formasi konsep, sikap, kreativitas, dan solusi, turut
berperan dalam pengambilan keputusan (decision making, h. 1
http://gwis.circ.gwu.edu/tip/decision.html). Stover
(http://www.e.rchitect.com/pia/cote/AIA-COTE/adcw/guiding.asp) yang lebih
menekankan pada pengambilan keputusan kelompok, memperkenalkan ORID
(objective, reflective, interpretive, and decisional) dalam proses pengambilan
keputusan. Objective mengacu kepada penjelasan atau kejelasan tujuan
pengambilan keputusan; Reflective sebagai kilas balik terhadap ide terkait dengan
permasalahan; Interpretive merupakan interpretasi terhadap perbedaan nilai dan
tujuan kelompok yang dapat menjadi sumber konflik, dan Decisional; keputusan

6
yang harus diambil. Dalam pelaksanaan ORID terdapat aspek-aspek describe
(penjelasan terhadap fakta dan tujuan), analyze (analisis dilakukan sebelum
evaluasi), dan evaluate (penilaian terhadap fakta dan analisis). Robbins (…;
152153) membagi proses pengambilan keputusan menjadi empat bagian, yakni
problem determination, development of alternatives, analysis of alternatives, and
selection of best alternatives. Problem determination merupakan judgement--
keputusan-- yang harus dibuat oleh para administrator. Keputusan yang harus
dibuat diakrrenakan berbagai deviasi penyimpangan yang dipandang sebagai
masalah sehingga diperlukan suatu tindakan guna menyelesaikan masalah
tersebut. Namun, sebelum keputusan dibuat adalah penting untuk secara spesifik
menentukan arah permasalahan, mengembangkan dan menganalisis berbagai
alternatif, mendasarnya masih merupakan tentative alternative pilihan jawaban
sementara. Dalam hal ini, kepiawaian administrator untuk memahami alternatif-
alternatif tersebut sangat dipentingkan. Analysis of alternative merupakan langkah
ketiga yang berfokus pada penilaian terhadap berbagai kelebihan dan kelemahan
setiap alternatif. terakhir, selection of best alternative yakni tahap penyeleksian
alternatif terbaik di antara sekian alternatif yang telah dianalisis untuk dijadikan
sebagai keputusan. Selanjutnya, Robbins mengemukakan enam aspek yang
mendasari suatugood judgement dalam pengambilan keputusan, yaitu 1) ascertain
the need for a decision, 2) establish decision criteria, 3) allocate weights to
criteria, 4) develop alternatives, 5) evaluate alternatives, dan 6) select the best
alternative (…; 65). Pertama, ascertain the need for a decision merupakan
kejelasan tentang adanya masalah, yakni adanya “gap” antara harapan-- keadaan
atau kondisi yang diinginkan—dan kenyataan. Dalam hal ini, apakah keputusan
perlu dibuat atau tidak bergantung kepada persepsi administrator dalam
menyikapi masalah tersebut. Kedua, decision criteria adalah kerelevanan antara
kriteria yang dibuat dengan problem guna memperoleh keputusan yang tepat.
Berbagai kriteria yang telah dibuat harus ditempatkan berdasarkan prioritas.
Ketiga, allocate weights to criteria yaitu menentukan sejumlah kriteria yang lebih
mendekati kepada keputusan yang tepat. Keempat, develop alternatives—
mengembangkan berbagai alternatif. Kelima evaluate alternatives yang harus

7
dilakukan secara kritis dengan menilai berbagai kekuatan dan kelemahan alternatif
tersebut, lalu membandingkannya dengan kriteria prioritas yang telah dibuat.
Keenam, develop alternatives dilakukan setelah semua alternatif diketengahkan,
dibahas, dievaluasi, dan dibandingkan dengan kriteria yang telah dibuat tanpa
melupakan analisis kuantitatif. Bedeian dan Glueck (1983: 255), dengan lebih
sederhana mengemukakan tiga langkah proses pengambilan keputusan. Ketiga
langkah tersebut adalah 1) “identification alternative” ditujukan pada usaha yang
sistemativ terhadap berbagai alternative. Tidaklah mudah bagi seorang pimpinan
untuk mengetahui semua alternatif yang tersedia. Untuk itu diperlukaan cara-cara
tertentu seperti brainstorming yaitu teknik yang dapat menstimulasi munculnya
creative thinking, dan synectic yakni teknik yang menstimulasi munculnya ide-ide
baru. 2) “evaluation alternatives” merupakan evaluasi setiap alternatif dengan
memperhatikan aspekaspek kekuatan dan kelemahannya, keuntungan dan
kerugiannya, biaya, dan manfaatnya bagi pencapaian tujuan organiasasi. Guna
melakukaan evaluasi yang lebih analitis dan sistematis maka “operation research”
(OR) atau sering digunakan dengan piranti seperti probability theory, queuing
theory, linear programming dan simulation, dan 3) “selection of alternative”
ditujukan pada pemilihan sebuah alternatif yang memberikan kemungkinan
terbesar bagai pencapaian tujuan organisasi, setelah malalui tahap-tahap
identifikasi dan evaluasi beragam alternatif yang tersedia. Pembuatan keputusan
pada dasarnya tidak terjadi dalam keadaan yang vakum. Faktor lingkungan,
terutama lingkungan internal sangat membantu dalam menentukan keputusan apa
yang akan dibuat dan siapa yang membuatnya (Mondy, Sharplin, dan Flippo,
1988: 154). Salah satu proses pengambilan keputusan seperti pada diagram 1.,
yang bersumber dari R. W. Mondy, A. Sharplin, and E. B. Flippo, Management:
Concepts and Practice (Boston: Allyn and Bacon, Inc., 1988: 154). Secara umum
uraian tiap langkah dari proses tersebut dikemukakan sebagai berikut: 1. Identify
the problem or opportunity. Pada fase ini, hal penting yang harus diperhatikan
adalah jangan melihat problem yang muncul dipermukaan saja, tapi juga faktor-
faktor penyebab munculnya masalah tersebut. Dengan mengetahui penyebabnya,
akan sangat membantu dalam menemukan solusi. 2. Develop alternatives

8
mempertimbangkan berbagai cara yang mungkin bagi pemecahan masalah tanpa
melupakan rentang waktu untuk membuat keputusan. 3. Evaluate alternatives
memberikan penilaian pada setiap alternative. Penilaian tersebut memperhatikan
kelebihan dan kelemahan masing-masing alternative. Ada berbagai cara yang
dapat dilakukan dalam menilai kelebihan dan atau kelemahan alternatif, seperti
membuat daftar pro dan kontra masing-masing alternative, menilai manfaat tiap
alternative, termasuk aspek dana yang harus dikeluarkan jika alternative solusi
memerlukan. Secara umum, penilaian alternative harus berorientasi pada
pencapaian tujuan organisasi. 4. Choose and implement the best alternative fase
ini merupakan bagian tersulit yang harus dilakukan oleh seorang pengambil
keputusan. Namun, dengan mengikuti prosedur yang runut dan rinci dan
berorientasi pada penyelesaian masalah, dapat diyakini akan mengahsilkan
keputusan yang memuaskan. 5. Evaluate the decision merupakan tahap akhir
dalam proses pengambilan keputusan menghendaki penilaian objektif tentang
bagaimana keputusan dapat menyelesaikan masalah.

2.3.2 Tata Cara Pengambilan Keputusan Menurut Peraturan Dewan


Perwakilan Rakyat pada BAB XVII

 Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan sejauh


mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat, apabila tidak
terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak

Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh lebih dari
separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak tercapai, rapat ditunda
sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih
dari 24 jam. Setelah 2 kali penundaan kuorum belum juga tercapai, cara
penyelesaiannya diserahkan kepada Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat
Kelengkapan DPR), atau kepada Bamun dengan memperhatikan pendapat

9
Pimpinan Fraksi (apabila terjadi dalam rapat Bamus). Secara lengkap dapat dilihat
pada Tata tertib DPR RI BAB XVII.

 Keputusan Berdasarkan Mufakat


 Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah kepada
anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk mengemukakan
pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk diterima oleh rapat
sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi penyelesaian masalah
yang sedang dimusyawarahkan

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam rapat yang
telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang hadir.

 Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan berdasarkan


mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian sebagian anggota rapat
yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan pendirian anggota rapat yang lain.
Pengambilan keputusan secara terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan
dan dilakukan secara tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang
dianggap perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara tertulis,
tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi suara atau tanda lain
yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan, atau dapat juga dilakukan dengan
cara lain yang tetap menjamin sifat kerahasiaan.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil dalam rapat
yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih separuh jumlah anggota
yang hadir.

2.4 Relasi Kabinet, Kantor Kepresidenan dan Presiden saat pengambilan


keputusan

10
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD
1945 dan termuat di dalam beberapa pasal-pasalnya. Beberapa UU yang terbentuk
terkait

pelaksanaan lembaga kepresidenan meliputi UU No 19 Tahun 2006 dengan


Dewan Pertimbangan Presiden, UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara, dan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wapres. Lalu, bagaimana pengaturan kedudukan lembaga kepresidenan; tugas dan
kewenangan, baik tugas dan kewenangan presiden maupun tugas dan kewenangan
wakil presiden; hubungan kerja lembaga kepresidenan dengan lembaga tinggi
negara dan lembaga negara lainnya; hak, kewajiban, dan larangan; sekretariat
lembaga kepresidenan; kekebalan presiden dan wapres; serta tindakan polisional
bagi presiden dan wapres, saat ini belum diatur jelas dalam suatu UU. Hal ini
berbeda dengan lembaga lain, khususnya cabangcabang kekuasaan sebagaimana
diatur UUD 1945. Dalam konteks sederhana, misalnya, mengenai lembaga
kepresidenan dalam aspek kelembagaan, maka dampak ketiadaan pengaturan
terlihat terjadinya tumpang-tindih kewenangan organ-organ yang berada langsung
di lembaga kepresidenan di lingkungan istana. Presiden memiliki kesekretariatan,
baik presiden sebagai kepala pemerintahan maupun kepala pemerintahan. Saat ini,
telah ada dua lembaga yang menjalankan fungsi itu, yaitu Sekretariat Negara dan
Sekretariat Kabinet. Namun, anehnya pada dua unit itu terdapat perbedaan
kedudukan, yaitu Sekretariat sebagai suatu Kementerian Negara sebagaimana
diatur dalam UU Kementerian Negara, sedangkan Sekretariat Kabinet tidak
menjadi kementerian sesuai UU Kementerian Negara dan hanya lembaga
setingkat menteri. Selain itu untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan,
mengenai supporting staff presiden, kewenangan mengatur dan pengambilan
keputusan, kondisi darurat jika presiden sakit, serta terjadinya hal-hal yang tidak
diatur dalam amandemen UUD 1945, RUU Lembaga Kepresidenan dirasa perlu
untuk dibahas dan diselesaikan oleh DPR.

Saat ini terdapat tujuh lembaga negara yang utama yaitu MPR, Presiden, DPR,
DPD, BPK, MA, dan MK. MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) telah memiliki

11
payung hukum yang konkret yaitu UU No 17 Tahun 2014, Mahkamah Agung
dengan payung hukum UU No 13 Tahun 1985 sebagaimana terakhir diganti
dengan UU No 3 Tahun 2009, Badan Pemeriksa Keuangan dengan UU No 5
Tahun 1973 sebagaimana telah diganti dengan UU No 15 Tahun 2006, dan
Mahkamah Konstitusi yang diatur dengan UU No 24 Tahun 2003 sebagaimana
diubah terakhir dengan UU No 4 Tahun 2014. Tidak hanya lembaga di atas yang
kelembagaannya telah ajeg, bahkan lembaga di bawah kekuasaan presiden pun
memiliki kelembagaan yang ajeg sebagaimana Kementerian Negara dengan UU
No 39 Tahun 2008, Kepolisian RI dengan UU No 2 Tahun 2002, Kejaksaan RI
dengan UU No 16 Tahun 2004, dan Tentara Nasional RI dengan UU No 34 Tahun
2004.

Presiden memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD


1945 dan termuat di dalam beberapa pasal-pasalnya. Beberapa UU yang terbentuk
terkait pelaksanaan lembaga kepresidenan meliputi UU No 19 Tahun 2006 dengan
Dewan Pertimbangan Presiden, UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian
Negara, dan UU No 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wapres.

Presiden memiliki kesekretariatan, baik presiden sebagai kepala pemerintahan


maupun kepala pemerintahan. Saat ini, telah ada dua lembaga yang menjalankan
fungsi itu, yaitu Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet. Namun, anehnya
pada dua unit itu terdapat perbedaan kedudukan, yaitu Sekretariat sebagai suatu
Kementerian Negara sebagaimana diatur dalam UU Kementerian Negara,
sedangkan Sekretariat Kabinet tidak menjadi kementerian sesuai UU Kementerian
Negara dan hanya lembaga setingkat menteri.

2.4.1 Upaya Mewujudkan Relasi Ideal

Faktor-faktor inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana bentuk relasi


pada kabinet tersebut. Masing-masing sebagai berikut:

12
a) Ketentuan perundang-undangan (normatif sesuai dengan norma-normaatau
ketentuan yang berlaku) dan sistem pemerintahan yang digunakan.

b) Peran dan posisi Presiden ( melakukan tugasnya sebagaimana mestinya )

c) Personalitas Pembantu ( melakukan tugasnya sesuai ranahnya )

Presiden Pertama, UUD NRI 1945 merupakan hukum positif atau ketentuan
perundungan-undangan yang tertinggi di Indonesia. Makan dari sumber hukum
negara tertinggi adalah (i) semua pembuatan peraturan perundang-undangn harus
bersumber dari asa, kaidah, cita dasar, dan tujuan UUD NRI 1945; (ii) Penerapan
UUD NRI 1945 didahulukan dari peraturan perundang-undangan lain; (iii) semua
peraturan perundang-undangan lain tidak boleh bertentangan dengan UUD NRI
1945.39 Salah satu yang menjadi materi UUD NRI 1945 yakni mengatur
mengenai tugas dan wewenang para pembantu presiden.40 Pasal 4 ayat (2) UUD
NRI 1945 menjelaskan bahwa Wakil Presiden merupakan pembantu presiden
dalam melaksanakan kewajiban sebagai kepala negara maupun kepala
pemerintahan. Tugas pembantuan tersebut meliputi reserved power (pengganti),
mewakili Presiden dalam menjalankan tugastugas kepresidenan yang
didelegasikan kepadanya, bertindak membantu Presiden melaksanakan seluruh
tugas dan kewajiban Presiden. Pasal 17 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan,
“Presiden dibantu oleh menteri­menteri negara”. Pembantuan tersebut
diaplikasikan dalam tugas setiap menteri yang membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan dan dapat dibentuk menteri koordinator. Pengaturan terkait
kedudukan Wakil Presiden sebagai Pembantu Presiden belum menyebutkan
secara jelas dan tegas terkait fungsi dan wewenang Wakil Presiden dalam
membantu Presiden melaksanakan fungsi pemerintahan. Namun demikian, dalam
praktik ketatanegaraan di Indo nesia yang berlangsung selama ini, kedudukan
antara Wakil Presiden menteri-menteri negara tidak lah sederajat. Jika ditinjau
secara mendalam, sistem pemerintahan yang diatur dalam UUD Nergara Republik
Indonesia Tahun 194 cenderung menganut sistem pemerintahan Presidensial. Hal
ini juga tercermin dalam proses Perubahan UUD 1945 dimana Panitia Ad Hoc I

13
menyusun kesepakatan dasar berkaitan perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 dimana salah butir kesepakatan tersebut yaitu
mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

Sistem Presidensial dapat dipahami sebagai keadaan di mana rakyat memberikan


mandat secara langsung kepada eksekutif dan legislatif. Dalam penerapannya,
Indonesia tidak menganut sistem presidensial secara murni atau semi presidensial.
Hal ini berimplikasi pada kedudukan Presiden yang sangat tergantung pada
perimbangan kekuatan politik yang ada dalam ranah legislatif. Terutama terjadi
penyandingan sistem presidensial dengan sistem multi-partai. Penyandingan ini
membuat kekuatan presiden sebagai single chief of excecutive menjadi berkurang.
Sistem ini juga turut mempengaruh konsep mengenai pembantu presiden itu
sendiri. Di dalam sistem presidensial, pembantu presiden bersifat melaksanakan
apa yang diperintahkan presiden. Sedangkan dalam sistem parlementer, pembantu
presiden dapat pula memberikan masukan (adversary model). Kedua, posisi
presiden dapat dimaknai dengan kedudukan dan wewenang berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Sementara peran presiden lebih pada kualitas
kepemimpinan, kompetensi, dan akseptabilitas presiden, baik dari segi politik,
hukum, maupun sosial. Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa
presiden merupakan pemegang tertinggi kekuasaan pemerintahan sekaligus kepala
negara. Berkedudukan sebagai single chief of executive dalam sistem
presidensial, menimbulkan tuntutan bagi presiden agar mampu mengontrol dan
mengendalikan para pembantunya, yakni wakil presiden dan para menteri negara.
Adanya hak prerogatif presiden untuk menentukan keberadaan dari pembantu
presiden semestinya dapat digunakan secara maksimal oleh presiden demi
kesejahteraan rakyat. Selain itu, konsekuensi logis dari penyandaing an sistem
tersbut adalah akan sulit bagi presiden membentuk kabinet yang adil bagi semua
partai pendukungnya.

14
2.5 Peraturan Mengenai Lembaga Kepresidenan

 UUD 1945

Mengenai lembaga kepresidenan dalam UUD 1945 terdapat setidaknya 19 pasal,


yang diatur dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11,
Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, dan
Pasal 23 UUD 1945 yang mengatur mengenai:

1. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dan dibantu oleh seorang


Wakil Presiden.
2. Presiden memiliki hak untuk mengajukan RUU kepad DPR serta
menetapkan Peraturan Pemerintah.
3. Syarat utama dari calon presiden dan wakil presiden, masa jabatan
presiden dan wakil presiden, pemberhentian presiden dan/atau wakil
presiden,
4. Wakil preside dapat menggantikan presiden dalam keadaan tertentu.
5. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.
6. Hak presiden untuk menyatakan perang, mengadakan perjanjian
internasional, menyatakan keadaan bahaya, mengangkat duta, memberi
grasi, amnesti dan abolisi, serta pemberian gelar, tanda jasa, dan lain-lain
tanda kehormatan.
7. Juga mengatur mengenai kementrian yang berada di bawah kekuasaan
Presiden.

 RUU

15
Lembaga Kepresidenan Dalam RUU Lembaga Kepresidenan terdapat sembilan
bab dan 49 pasal yang mengatur mengenai:

1. Penjelasan Umum mengenai lembaga kepresidenan Lembaga


Kepresidenan adalah lembaga negara yang mengatur organisasi dan tata
kerja kepresidenan yang dijalankan oleh Presiden dan Wakil Presiden
dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenegaraan
dan pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.

2. Kedudukan lembaga kepresidenan.

Dalam pasal ini dijelaskan kedudukan presiden sebagai Kepala Negara dan
Kepala Pemerintahan yang dibantu oleh wakil presiden, dan sebagai kepala
pemerintahan dibantu oleh menteri-menteri negara.

3. Tugas dan wewenang Lembaga Kepresidenan

Tugas Kepresidenan beserta tugas dan wewenang Wakil Presiden, Wewenang


Presiden sebagai kepala negara, dan wewenang presiden sebagai kepala
pemerintahan. Jadi jelas apa tugas dan wewenang dari wakil presiden, serta
tindakan presiden mana yang disebut tindakan presiden sebagai kepala negara dan
tindakan presiden sebagai kepala pemerintahan.

4. Hubungan kerja lembaga kepresidenan dengan lembaga tinggi negara


(DPR), dan lembaga negara lainnya (MA, DPA, BPK, Lembaga negara
lain)
5. Hak, kewajiban, dan larangan

 Hak keuangan dan hak protokoler, hak mendiami istana negara


(presiden) dan istana wakil presiden, dan hak memperoleh perlindungan

16
keamanan Kewajiban lembaga ketatanegaraan yaitu menjalankan
sistem kenegaraan dan pemerintahan berdasarkan aturan yang berlaku
secara demokraitis, serta
 menetapkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur pelaksanaan
undang-undang.
 Terdapat 6 poin larangan bagi lembaga kepresidenan.

6. Sekretariat lembaga kepresidenan

Presiden memiliki sekretariat yang sekurang-kurangnya terdiri dalam bidang


pemerintahan dan bidang kenegaran. Wakil Presiden juga memiliki
kesekretariatan yang dipimpin olehsekretaris dan seorang wakilnya.

7. Kekebalan Presiden dan wakil presiden

Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dituntut/digugat secara perdata,


pidana dan/atau administrasi negara, karena pernyataan dan/atau pendapat
yang dikemukakan dalam rapat-rapat resmi maupun tidak resmi.

8. Tindakan Kepolisian presiden dan wakil presiden

Dalam hal Presiden dan atau Wakil Presiden patut disangka telah melakukan
perbuatan pidana, maka pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikan,
harus mendapat persetujuan tertulis dari Pimpinan MPR.

17
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 Proses pengambilan keputusan yang dikembangkan para pakar sangat


beragam. Proses tersebut dimulai dari yang sangat sederhana hingga
yang paling rumit. Namun, para pakar sepakat bahwa secara umum
pengambilan keputusan meliputi langkah-langkah antara lain;
pemahaman terhadap masalah, formulasi masalah, pengembangan
alternatif yang tersedia, penelusuran informasi terkait alternatif, seleksi
alternatif yang mendekati solusi, keputusan, dan aksi/pelaksanaan
keputusan. Meski dalam kenyataannya, tidak semua langkahlangkah
tersebut secara berurut dilakukan. Beberapa permasalahan, terutama
yang sederhana dan hampir rutin dihadapi dalam suatu
organisasi/lembaga tidak membutuhkan proses pengambilan keputusan
yang “njelimet” dalam memutuskannya.
 Menurut Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat BAB XVII TATA
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN sebagai berikut :

 Pengambilan Keputusan

Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya diusahakan


sejauh mungkin dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat,
apabila tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Setiap rapat DPR dapat mengambil keputusan apabila dihadiri oleh
lebih dari separuh jumlah anggota rapat (kuorum), apabila tidak
tercapai, rapat ditunda sebanyak-banyaknya 2 kali dengan tenggang
waktu masing-masing tidak lebih dari 24 jam. Setelah 2 kali penundaan
kuorum belum juga tercapai, cara penyelesaiannya diserahkan kepada
Bamus (apabila terjadi dalam rapat Alat Kelengkapan DPR), atau

18
kepada Bamun dengan memperhatikan pendapat Pimpinan Fraksi
(apabila terjadi dalam rapat Bamus). Secara lengkap dapat dilihat pada
Tata tertib DPR RI BAB XVII.

 Keputusan Berdasarkan Mufakat

Pengambilan keputusan berdasarkan mufakat dilakukan setelah


kepada anggota rapat yang hadir diberikan kesempatan untuk
mengemukakan pendapat serta saran, dan dipandang cukup untuk
diterima oleh rapat sebagai sumbangan pendapat dan pemikiran bagi
penyelesaian masalah yang sedang dimusyawarahkan

Keputusan berdasarkan mufakat adalah sah apabila diambil dalam


rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh semua yang
hadir.

 Keputusan Berdasarkan Suara Terbanyak

Keputusan berdasarkan suara terbanyak diambil apabila keputusan


berdasarkan mufakat sudah tidak terpenuhi karena adanya pendirian
sebagian anggota rapat yang tidak dapat dipertemukan lagi dengan
pendirian anggota rapat yang lain. Pengambilan keputusan secara
terbuka dilakukan apabila menyangkut kebijakan, dilakukan secara
tertutup apabila menyangkut orang atau masalah lain yang dianggap
perlu. Pemberian suara secara tertutup dilakukan dengan cara
tertulis, tanpa mencantumkan nama, tanda tangan, fraksi pemberi
suara atau tanda lain yang dapat menghilangkan sifat kerahasiaan,
atau dapat juga dilakukan dengan cara lain yang tetap menjamin sifat
kerahasiaan.

Keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah sah apabila diambil


dalam rapat yang telah mencapai kuorum dan disetujui oleh lebih
separuh jumlah anggota yang hadir.

19
3.2 SARAN

Lembaga Kepresidenan terkhususnya KSP ( Kantor Staf


Kepresidenan ) sendiri masih hal yang terlalu baru ketika orang
awam mendengarnya, salah satu alasan mengapa penulis sangat amat
sulit untuk menulis makalah mengenai pembahasan proses
pengambilan keputusan lembaga kepresidenan ini. Maka dari itu,
karena lembaga kepresidenan termasuk KSP, Kabinet, Staff Khusus
dll, penulis sangat amat menyarankan untuk selalu up to date
mengenai alur kerja dalam lembaga.

DAFTAR PUSTAKA

Anzas, Istigraro Azizi, Suyudi Khomarudin, Umar Mubdi dan Albert


Sudirman. 2016. Relasi Pembantu Presiden Dalam Kabinet Kerja
JOKOWI-JK. Penelitian Hukum, 3(1), 1-14.

20
Ivone Melissa. 2015. URGENSI DISAHKANNYA RUU TENTANG
LEMBAGA KEPRESIDENAN. Makalah.

Muhdi, Nurkholis Dan Suwarno Widodo. 2017. Teknik Pengambilan


Keputuan Dalam Menentukan Model Manajemen Pendidikan
Menengah. Manajemen Kelola Pendidikan, 4(2), 135-145.

Kantor Staf Presiden. [Online] Tersedia: KSP.go.id yang direkam


pada unknown. [ 27 November 2019 ]

PERATURAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT BAB XVII

Wikipedia.Terakhir disunting pada 11 November 2019. “Kantor Staf


Presiden”.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kantor_Staf_Presiden_Republik_Indon
esia, diakses pada 27 November 2019

Wikipedia. Terakhir disunting 10 bulan yang lalu. “Kabinet


(Pemerintahan)”.
https://id.wikipedia.org/wiki/Kabinet_(pemerintahan), diakses pada
28 November 2019

21

Anda mungkin juga menyukai