Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebaran agama Islam di
Indonesia.Salah satunya menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 7 Masehi, pada saat itu Indonesia masih menganut agama Hindu-Buddha.
Penyebaraan agama Islam berlangsung sangat lama dari abad 7 Masehi hingga 13
Masehi. Agama Islam dibawa oleh para pedagang asal Arab, Gujarat, Persia.
Saluran penyebaran Islam pun bermacam-macam, melalui perdagangan,
perkawinan, dakwah, pendidikan, seni budaya, dan proses tasawuf. Semakin lama
masyarakat Indonesia menerima kedatangan agama Islam dengan baik. Proses
penyebaran agama Islam tergolong cepat karena adanya faktor-faktor pendorong.
Faktor-faktor pendorong itu meliputi syarat masuk agama Islam yang mudah,
pelaksanaan ibadah yang sederhana dan tidak memerlukan biaya yang mahal,
tidak mengenal perbedaan kasta, aturan-aturan dalam Islam yang bersifat
fleksibel, penyebarannya dilakukan secara dan damai.
Tanpa disadari zaman semakin berkembang, agama Islam juga semakin
berkembang pula. Kini banyak sekali gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang
dibentuk oleh para pemuda di Indonesia. Salah satunya adalah Muhammadiyah.
Tak hanya tersebar di kota-kota besar saja, gerakan Muhammadiyah sudah
berkembang hingga di kecamatan-kecamatan kota besar di Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana asal-usul terbentuknya gerakan Muhammadiyah?
b. Apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya gerakan
Muhammadiyah?
c. Siapa saja tokoh-tokoh pendiri gerakan Muhammadiyah?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui asal-usul terbentuknya gerakan Muhammadiyah
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya
gerakan Muhammadiyah
c. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pendiri gerakan Muhammadiyah
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asal – Usul Gerakan Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah salah satu organisasi agama terbesar di Indonesia.


Nama muhammadiyah diambil dari nama Nabi Muhammad atau dengan kata lain
muhammadiyah adalah pengikut Nabi Muhammad. Muhammadiyah didirikan
untuk mendukung KH Ahmad Dahlan memurnikan ajaran agama islam dari hal-
hal mistik.. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita
dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam
pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang
dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama
menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah
Mu’allimin khusus laki-laki, yang bertempat di Yogyakarta. Serangkaian peristiwa
terjadi dalam pembentukan Muhammadiyah diantaranya sebagai berikut :
Tahun 1868 – 1910
a. 1868
• Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta dengan nama
Muhammad Darwis. Berayahkan K.H. Abu Bakar, seorang Ketib Masjid Besar
Kauman Yogyakarta. Ibunya Siti Aminah adalah anak K.H. Ibrahim, penghulu
besar di Yogyakarta.
• Darwis kanak-kanak dikenal sebagai memiliki keahlian membuat barang
kerajinan dan mainan. Sebagaimana anak laki-laki lain, ia juga memiliki
kegemaran bermain layang-layang dan gasing
• Saat remaja ia belajar agama Islam tingkat lanjut. Belajar fiqh dari K.H.
Muhammad Saleh, belajar nahwu dari K.H. Muhsin, juga pelajaran lainnya
didapatkan dari K.H. Abdul Hamid di Lempu¬yangan dan K.H. Muhammad Nur.
• Sebelum haji, jenis kitab yang dibaca Dahlan lebih banyak pada kitab-kitab
Ahlussunnah wal jamaah dalam ilmu aqaid, dari madzhab Syafii dalam ilmu fiqh,
dan dari Imam Ghazali dalam ilmu tasawuf.
b. 1883-1888
• Muhammad Darwis menunaikan ibadah haji yang pertama. Di tanah suci ia
belajar kepada banyak ulama. Untuk ilmu hadits belajar kepada Kyai Mahfudh
Termas dan Syekh Khayat, belajar qiraah kepada Syekh Amien dan Sayid Bakri
Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang, Ia juga belajar pada
Syekh Hasan tentang mengatasi racun binatang. Selain dengan guru-guru di atas,
selama delapan bulan di tanah suci, ia sempat bersosialisasi dengan Syekh
Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari Minangkabau, Kyai Najrowi dari
Banyumas, Kyai Nawawi dari Banten, para ulama dari Arab, serta pemikiran baru
yang ia pelajari selama mukim di di Mekah.

c. 1888
• Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari
modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk
membeli buku.

d. 1889
• Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai
Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.

e. 1896
• Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang
berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad
Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.

f. 1898
• Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan
musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman.
Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu
berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam
dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat
tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk
mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.

g. 1900-1910
• Panitia Zakat pertama.
• Panitia kurban pertama.
• Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal.
• Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.

h. 1903
• Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu
agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Selain itu,
selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan
membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi

i. 1909
• Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi
pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi
Utomo Cabang Yogyakarta.

j. 1910
• Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang
banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab.
• Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi
Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat
kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis.
• Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa,.
Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada
pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga
sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-
segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali.

2.2 Latar Belakang Muhammadiyah


Latar belakang berdirinya Muhammadiyah dalam berdasarkan anggaran
dasar disebutkan untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
a. Latar Belakang Internal :
 Aspirasi keagamaan KH. Ahmad Dahlan
KH. Ahmad Dahlan yang terinspirasi dari QS. Ali Imran : 104. Bahwa perlu
“diadakan” suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah
kemungkaran. Dan bentuk golongan tersebut adalah dengan ORGANISASI.
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[*];
merekalah orang-orang yang beruntung.
[*] pengertian Ma'ruf adalah segala perbuatan yang mendekatkan kita kepada
Allah; sedangkan pengertian Munkar ialah segala perbuatan yang menjauhkan kita
dari pada-Nya.
 Keadaan Umat Islam
Umat Islam saat itu (tahun 1900 an) berada dalam kondisi yang memprihatinkan.
Miskin, bodoh, terpinggirkan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam
untuk menghancurkan.

b. Latar Belakang Eksternal :


 Praktek ajaran Islam yang tercampur dengan ajaran lain.
Penyebaran ajaran agama Islam pada masa awal di nusantara menggunakan
system asimilasi yang tidak menimbulkan pertentangan dari masyarakat nusantara
yang masih beragama hindu, budha maupun kepercayaan. Asimilasi yang
dilakukan oleh wali songo sangat berhasil memasukkan Islam dalam kehidupan
masyarakat kala itu. Namun ketika para wali sudah tiada, tarbiyah yang dilakukan
belum berhasil, ajaran Islam masih bercampur dengan ajaran yang lain, dan hal itu
terjadi sampai sekarang dan dianggap sebagai ajaran Islam. Sebagai contoh adalah
ritual Peringatan kematian 40 hari dan sebagainya. Hal inilah yang perlu
diluruskan oleh umat Islam.
 Adanya aktivitas misi Kristen (pemurtadan)
Penjajah Belanda dengan metodenya sendiri telah melakukan misi Gospel,
yaitu meng-injilkan daerah jajahannya termasuk Indonesia. Kristenisasi dapat
berjalan karena rakyat Indonesia yang mayoritas adalah umat Islam dalam
keadaan miskin, dan rendah dalam memahami agamanya.

2.3 Profil Pendiri Muhammadiyah


a. KH Ahmad Dahlan (Ketua 1912 - 1922)

KH Ahmad Dahlan atau yang bernama asli Muhammad Darwisy lahir


pada tahun 1868. Andai saja pada tahun 1868 di Kampung Kauman di sebelah
barat Alun-alun Utara Yogyakarta itu boleh dibilang tak memiliki keistimewaan
lain, selain sebagai sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta.
Sejarah kemudian mencatat lain, dan Kauman pada akhirnya menjadi sebuah
nama besar sebagai kampung kelahiran seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional
Indonesia, Kiai Haji Ahmad Dahlan: Sang Penggagas lahirnya Persyarikatan
Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18 November
1912. Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang dikenal sangat
alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta)
dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta). Tak ada
yang menampik silsilah Muhammad Darwisy sebagai keturunan keduabelas dari
Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan terkemuka diantara Wali Songo,
serta dikenal pula sebagai pelopor pertama penyebaran dan pengembangan Islam
di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991). Demikian matarantai silsilah itu:
Muhammad Darwisy adalah putra K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad
Sulaiman bin Kiyai Murtadla bin Kiyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo
bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig
(Jatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana ‘Ainul Yaqin
bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).

Muhammad Darwisy dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil, dan


sekaligus menjadi tempatnya menimba pengetahuan agama dan bahasa Arab. Ia
menunaikan ibadah haji ketika berusia 15 tahun (1883), lalu dilanjutkan dengan
menuntut ilmu agama dan bahasa Arab di Makkah selama lima tahun. Di sinilah ia
berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibnu Taimiyah. Buah
pemikiran tokoh-tokoh Islam ini mempunyai pengaruh yang besar pada Darwis.
Jiwa dan pemikirannya penuh disemangati oleh aliran pembaharuan ini yang
kelak kemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui
Muhammadiyah, yang bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan
(ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks
(kolot). Pada usia 20 tahun (1888), ia kembali ke kampungnya, dan berganti nama
menjadi Haji Ahmad Dahlan (suatu kebiasaan dari orang-orang Indonesia yang
pulang haji, selalu mendapat nama baru sebagai pengganti nama kecilnya).
Sepulangnya dari Makkah ini, iapun diangkat menjadi Khatib Amin di lingkungan
Kesultanan Yogyakarta. Pada tahun 1902-1904, ia menunaikan ibadah haji untuk
kedua kalinya yang dilanjutkan dengan memperdalam ilmu agama kepada
beberapa guru di Makkah.

Sepulang dari Makkah, ia menikah dengan Siti Walidah, yang kelak


dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri
Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan
mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan
Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991). Di samping itu,
K.H. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia
juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. K.H. Ahmad
Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik
Ajengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah
dengan Nyai Yasin, Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).

b. KH Mas Mansyur (Ketua 1937 - 1941)


Setiap melaksanakan tabligh di Surabaya, K.H. Ahmad Dahlan biasanya
bermalam di penginapan. Namun, suatu malam ia didatangi seorang tamu yang
memintanya agar setiap K.H. Ahmad Dahlan ke Surabaya bersedia untuk
menginap di rumahnya. Tamu itu ialah Kiai Haji Mas Mansur. Mas Mansur selalu
mengikuti pengajian yang diberikan oleh K.H. Ahmad Dahlan. Mas Mansur lahir
pada hari Kamis tanggal 25 Juni 1896 di Surabaya. Ibunya bernama Raudhah,
seorang wanita kaya yang berasal dari keluarga Pesantren Sidoresmo,
Wonokromo, Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuqi, seorang
pioneer Islam, ahli agama yang terkenal di Jawa Timur pada masanya. Dia berasal
dari keturunan bangsawan Astatinggi Sumenep, Madura. Dia dikenal sebagai
imam tetap dan khatib di Masjid Agung Ampel Surabaya, suatu jabatan terhormat
pada saat itu.

Masa kecilnya dilalui dengan belajar agama pada ayahnya sendiri. Di


samping itu, dia juga belajar di Pesantren Sidoresmo dengan Kiai Muhammad
Thaha sebagai gurunya. Pada tahun 1906, ketika Mas Mansur berusia sepuluh
tahun, dia dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Demangan, Bangkalan,
Madura. Di sana, dia mengkaji Al-Qur‘an dan mendalami kitab Alfiyah ibn Malik
kepada Kiai Khalil. Belum lama dia belajar di sana, kurang lebih dua tahun, Kiai
Khalil meninggal dunia, sehingga Mas Mansur meninggalkan pesantren itu dan
pulang ke Surabaya.

Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya
disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai
Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah
kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya
pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan
instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat
sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir,
karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai
tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap
melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan
hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Sehingga ia selalu berpuasa senin dan
kamis dan berpindah dari masjid ke msjid lain. Di Mesir, dia belajar di Perguruan
Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Pada saat itu banyak tokoh
memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas
Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang
tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir
selama kurang lebih dua tahun. Lalu pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji
Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Disamping
menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani
hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena
pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.

Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di
Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya
gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk
mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh
HOS. Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan
revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.

Terbentuknya majelis bernama Taswir al-Afkar diilhami oleh keadaan


masyarakat Surabaya yang diselimuti kabut kekolotan. Masalah-masalah yang
dibahas berkaitan dengan masalah-masalah yang bersifat keagamaan murni
sampai masalah politik perjuangan melawan penjajah.

Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul
Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran).
Dikarenakan adanya perbedaan pendapat sehingga menimbulkan masalah
akhirnya Mas Mansyur mengeluarkan diri.

c.KH Abdur Rozak Fachdrudin (1971 - 1985)


Kyai Haji Abdul Rozak atau juga dikenal dengan nama A.R. Fachruddin
atau Pak A.R. adalah seorang tokoh Islam Indonesia yang pernah menjadi ketua
umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Dia menjadi pemegang rekor paling lama
dalam memimpin Muhammadiyah yaitu selama 22 tahun (1968-1990).

A.R. Fachruddin lahir pada tanggal 14 Februari 1916 di Kulonprogo,


Yogyakarta. Ayahnya, K.H. Fachruddin adalah seorang Lurah Naib atau Penghulu
di Puro Pakualaman yang diangkat oleh kakek Sri Paduka Paku Alam VIII
sementara ibunya bernama Maimunah binti K.H. Idris adalah keturunan Raden
Pakualaman. Pada tahun 1923, untuk pertama kalinya A.R. Fachruddin bersekolah
formal di Standaard School Muhammadiyah Bausasran, Yogyakarta. Namun, tak
berapa lama kemudian dia diminta kembali ke desanya oleh ayahnya setelah usaha
batik ayahnya mengalami kebangkrutan. Pada tahun 1925, A.R. Fachruddin
kembali meninggalkan desanya dan bersekolah di Standaard School (Sekolah
Dasar) Muhammadiyah Kotagede, Yogyakarta.

Setelah menyelesaikan sekolahnya di sana, A.R. Fachruddin langsung


melanjutkan ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Baru belajar
dua tahun di Muallimin, ayahnya memanggilnya untuk pulang ke desa Bleberan.
Akhirnya dia memutuskan untuk menetap sementara waktu di desanya sembari
belajar kepada beberapa kiai di sana, seperti pada K.H. Abdullah Rosad dan K.H.
Abu Amar. Pada tahun 1930, ayah A.R. Fachruddin meninggal di Bleberan dalam
usia 72 tahun. Tiga tahun kemudian, A.R. Fachruddin masuk belajar di Madrasah
Darul Ulum Muhammadiyah Wanapeti, Sewugalur. Selanjutnya pada tahun 1935
A.R. Fachruddin melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Tablighschool (Madrasah
Muballighin) Muhammadiyah. Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian studinya,
A.R. Fachruddin mulai mengabdikan ilmunya. Pada tahun 1935, A.R. Fachruddin
dikirim (dibenum) oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah ke Talangbalai dengan
tugas mengembangkan gerakan dakwah Muhammadiyah. Di sana, dia mendirikan
Sekolah Wustha Muallimin Muhammadiyah setingkat SMP. Pada tahun 1941, ia
pindah ke Sungai Batang, Palembang sebagai pengajar HIS (Hollandcse Inlanders
School) Muhammadiyah yang setingkat dengan SD.
Pada tahun 1944, A.R. Fachruddin memutuskan untuk kembali ke
Yogyakarta. Di sana A.R. Fachruddin terus aktif berdakwah dalam
Muhammadiyah sambil terus belajar kepada para assabiqunal awwalun
Muhammadiyah. Keterlibatan A.R. Fachruddin di pusat Muhammadiyah
membuatnya dipercaya untuk menjadi Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah
Kota Yogyakarta, kemudian menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah
DIY, selanjutnya menjadi anggota Dzawil Qurba Pimpinan Pusat Muhammadiyah,
sampai akhirnya dipercaya memimpin Muhammadiyah hingga akhirnya dia
memimpin selama kira-kira 22 tahun (1968-1990). Pada usia 19 tahun, A.R.
Fachruddin meninggal dunia tepatnya pada tanggal 17 Maret 1995 di Rumah
Sakit Islam Jakarta. Jenazahnya kemudian dimakamkan di TMP Kuncen,
Yogyakarta.

d. Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur (Ketua 1956 - 1959)

Ahmad Rasyid Sutan Mansur memiliki sikap antipenjajah. Dia menentang


Jepang yang berusaha menghalangi pelaksanaan salat karena mengadakan
pertemuan jelang Magrib. Berikut kisahnya. Mantan ketua umum PP
Muhammadiyah ini lahir di Maninjau, Agam, Sumatera Barat, 15 Desember 1895.
Dia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, buah hati Abdul Somad al-Kusaij,
seorang ulama terkenal di Maninjau, dan Siti Abbasiyah atau dikenal dengan
sebutan Uncu Lampur. Ahmad Rasyid memperoleh pendidikan dan penanaman
nilai-nilai dasar keagamaan dari kedua orangtuanya. Selain itu, untuk pendidikan
umum, ia belajar di Inlandshe School (IS) tahun 1902-1909. Setamat dari sekolah
ini, ia ditawari untuk studi di Kweekschool (Sekolah Guru, yang juga biasa
disebut Sekolah Raja) di Bukittinggi dengan beasiswa dan jaminan pangkat guru
setelah lulus sekolah tersebut. Namun, tawaran tersebut ditolak karena ia lebih
tertarik untuk mempelajari agama. Selain itu, dia sudah dirasuki semangat anti
penjajah Belanda. Selanjutnya, atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu
Hanifah), ia belajar kepada Haji Rasul (Dr. Abdul Karim Amrullah, ayahnya Buya
HAMKA), seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Di bawah
bimbingan Haji Rasul (1910-1917) ia belajar ilmu tauhid, bahasa Arab, ilmu
kalam, mantiq, tarikh, dan ilmu-ilmu keislaman lainnya seperti syariat, tasawuf,
Alquran, tafsir, dan hadis.

Pada tahun 1917, dia diambil menantu oleh gurunya, Karim Amrullah, dan
dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA. Dia diberi
gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian dia dikirim gurunya ke Kuala Simpang,
Aceh untuk mengajar. Setelah mengajar di Kuala Simpang (1918-1919), ia
kembali ke Maninjau. Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir
menghambat cita-citanya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo.
Akhirnya, dia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama
bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.

Pada tahun 1922, Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Tokoh karismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan
tabligh Muhammadiyah. Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidup
Sutan Mansur. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam
menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja,
serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk
Sutan Mansur.

Dari KH Ahmad Dahlan, Sutan Mansur banyak menimba pengetahuan mengenai


Muhammadiyah. Pada tahun yang sama, dia menjadi anggota Muhammadiyah
dan sekaligus berkenalan dengan sejumlah tokoh Muhammadiyah semisal KH AR
Fakhruddin dan KH Mas Mansur. Perkembangan dan kemajuan Muhammadiyah
di Minangkabau mendapat perhatian khusus dari Pengurus Besar (PB)
Muhammadiyah Yogyakarta. Maka, pada akhir tahun 1926, PB Muhammadiyah
mengutus Sutan Mansur untuk mengawal perkembangan persyarikatan agar tidak
melenceng ke arah yang tidak dikehendaki.

Kedatangan Sutan Mansur di Minangkabau, ternyata makin memperbesar


pengaruh Muhammadiyah di daerah itu. Penyebaran Muhammadiyah yang
dilakukan Sutan Mansur melalui pengajian-pengajian, telah sesuai dengan metode
dakwah, yakni penuh kelembutan, tegas, dan tidak menyinggung perasaan si
pendengar E. KH Ahmad Badawi (Ketua 1962 - 1965). Bagi warga
Muhammadiyah, Sutan Mansur yang menjadi ketua umum PP Muhammadiyah
sejak 1953-1959 ini dianggap sebagai pendobrak, sekaligus penyebar organisasi
sosial keagamaan ini di Tanah Air.

Sutan Mansur juga dikenal dengan sikap antipenjajah. Baginya, penjajahan tidak
saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia.Maka, tidak mengherankan bila
pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah
Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam
dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah
Belanda. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-
murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan salat dengan
mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.

Sosok yang juga pernah menjadi penasihat agama saat Bung Karno diasingkan ke
Bengkulu pada 1938 ini meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3
Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun.
Jenazah mantan guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen
Sumatera ini dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.

e.KH Ahmad Badawi

Penasihat Pribadi Presiden Soekarno dibidang agama (1963) ini lahir di


Kauman Yogyakarta, pada tanggal 5 Februari 1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya,
K.H. Muhammad Fakih (salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912
sebagai Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai Hj. Sitti Habibah (adik
kandung K.H. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah dari garis ayah, maka Ahmad
Badawi memiliki garis keturunan dengan Panembahan Senopati.

Dalam keluarga Badawi sangat kental ditanamkan nilai-nilai agama. Hal


ini sangat mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Diantara
saudara-saudaranya, Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi.
Hobinya ini menjadi ciri khusus baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu
ketika ia masih menempuh pendidikan. Sejak masih belajar mengaji di pondok-
pondok pesantren, dia sering membuat kelompok belajar/organisasi yang
mendukung kelancaran proses mengajinya. Usia kanak-kanaknya dilalui dengan
belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-1913 menjadi santri di
Pondok Pesantren Lerab Karanganyar, untuk belajar tentang nahwu dan sharaf.
Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada K.H. Dimyati di Pondok Pesantren
Termas, Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri yang pintar berbahasa
Arab (nahwu dan sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Pada tahun 1915-
1920 Ahmad Badawi mondok di Pesantren Besuk, Wangkal Pasuruan. Badawi
mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren Pandean di
Semarang pada tahun 1920-1921. Pendidikan formalnya hanya didapatkan di
Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kauman
Yogyakarta, yang belakangan berubah menjadi Standaarschool dan kemudian
menjadi SD Muhammadiyah.

Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih


remaja membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas
organisasi. Masing-masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya
dengan berbagai macam cara, dengan tujuan untuk bersatu mengusir pemerintah
kolonial Belanda, dengan berbagai variasi sesuai dengan misi dan visi
organisasinya. Keinginan Badawi untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu
yang telah dipelajarinya dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada
Muhammadiyah sebagai pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi
oleh misi, visi, dan orientasi Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi.
Keberadaannya di Muhammadiyah lebih diperjelas dengan tercatatnya ia di buku
Anggota Muhammadiyah nomor 8.543 pada tanggal 25 September 1927.
Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia ditempatkan pada
nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, t.t., p. 25).

Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil


(APS). Ia turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, dan Kecabean
Kulon Progo. Pada tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama
dengan K.H. Mahfudz sebagai Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk
Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram
atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, serta bergabung di Batalyon
Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan.

Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro
Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini
kemudian membubarkan diri. Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih
leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini
dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui
kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi
di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua
Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-
tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah
Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942).
Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi
wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di
daerahnya. Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi
Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi
terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan
pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.

Citra politik Muhammadiyah pada masa kepemimpinan Badawi memang


sedang tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi
anggota dan pengurus Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran
oleh rezim Orde Lama. Citra ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI,
bahwa Muhammadiyah dituduh anti-Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris
DI/TII. Muhammadiyah pada saat itu berhadapan dengan adanya banyak tekanan
politik masa Orde Lama. Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah
akhirnya dipaksa berhadapan dengan urusan-urusan politik praktis.
Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam beradaptasi dan berinteraksi dengan
sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya, Muhammadiyah mengambil
kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan kenegaraan. Meski
demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu mengerem
laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai
agama dan moralitas bangsa.

Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan


Badawi dengan Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi
Penasehat Pribadi Presiden di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan
Badawi dengan Soekarno bukan untuk mencari muka Muhammadiyah di mata
Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan pintar dalam melobi Presiden dengan
nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat atau menjadi antek Soekarno, seperti
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip agama yang kuat,
sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati Soekarno.
Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan
nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya, bila KHA. Badawi memberikan
masukan-masukan yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat
memperhatikannya. Bahkan para menterinya pun diminta turut memperhatikan
fatwa Kiai Badawi. Bagi Muhammadiyah, keadaan ini sangat menguntungkan.
Fitnahan terhadap Muhammadiyah yang terus jalan harus diimbangi dengan
upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah pada masa itu
senafas dan seirama dengan Masyumi, namun ia tetap membutuhkan kehadiran
Muhammadiyah. Bahkan Soekarno sepertinya semakin menyukainya untuk
balance of power policy (PP. Muhammadiyah, t.t., halaman 6). Iktikad baik
Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kehadiran Muham-
madiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih
dekat.

Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari


kacamata Islam. Secara relatif KHA. Badawi bisa mengendalikan Presiden
Soekarno agar tidak terseret terlalu jauh oleh pengaruh komunis yang
menggerogotinya. Siraman rohani kepada Soekarno disampaikan oleh Kiai
Badawi tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada kesempatan, Kiai Badawi
memberikan nasehatnya kepada Presiden. Pada tahun 1968, dalam masa
pemerintahan Orde Baru, Kiai Badawi diangkat menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Agung. Di DPA itu, ia memberikan nasehat kepada Presiden
Soeharto di bidang agama Islam. Namun, KHA. Badawi sebenarnya hanya sedikit
memberikan nasehatnya pada pemerintahan awal Orde Baru itu. Hal ini
dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya
kurang memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih
banyak dalam memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.

Sebagai seorang pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-


karya tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat, Kitab
Nukilan Sju’abul-Imam (bahasa Jawa), Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa
Jawa), Kitab Parail (huruf Latin berbahasa Jawa), Kitab Manasik Hadji (bahasa
Jawa), Miah Hadits (bahasa Arab), Mudzakkirat fi Tasji’il Islam (bahasa Arab),
Qawaidul-Chams (bahasa Arab), Menghadapi Orla (Bahasa Indonesia), dan
Djadwal Waktu Shalat untuk Selama-lamanja (H.M. Jusuf Anis, tt: 27).

KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa
menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA.
Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun
1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP.
Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-
37 di Yogyakarta.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da’wah amar


ma’ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan
menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
b. Keinginan dari KH. Akhmad Dahlan untuk mendirikan organisasi yang
dapat dijadikan sebagai alat perjuangnan dan da’wah untuk nenegakan
amar ma’ruf nahyi munkar yang bersumber pada Al-Qur’an, surat Al-
Imron:104 dan surat Al-ma’un sebagai sumber dari gerakan sosial praktis
untuk mewujudkan gerakan tauhid. 104 : hendaklah ada diantara kamu
umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh dengan ma’ruf (yang baik
baik) dan melarang dari yang mungkar dan mereka itulah yang menang.

c. KH Ahmad Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk


melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di nusantara. Ia ingin
mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut
tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak ummat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan al-Qur’an dan al-Hadits. Ia mendirikan
Muhammadiyah bukan sebagai organisasi politik tetapi sebagai organisasi
sosial kemasyarakatan dan keagamaan yang bergerak di bidang
pendidikan.
DAFTAR RUJUKAN

Peristiwa Penting Dalam Sejarah Muhammadiyah, Online,


(http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-154-det-timeline-
muhammadiyah.html), diakses tanggal 28 September 2017

Anggaran Dasar, Online, (http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-51-det-


anggaran-dasar.html), diakses tanggal 28 September 2017

KH Abdur Rozak Fachruddin, Online,


(http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-165-det-kh-ar-fachdrudin.html),
diakses tanggal 28 September 2017

Buya Haji Ahmad Rasyid Sutan Mansur, Online,


(http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-161-det-buya-haji-ahmad-rasyid-
sutan-mansur.html), diakses tanggal 28 September 2017

KH Ahmad Dahlan, Online, (http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-156-det-


kh-ahmad-dahlan.html), diakses tanggal 28 September 2017

KH Mas Mansyur, Online, (http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-159-det-


kh-mas-mansyur.html), diakses tanggal 28 September 2017

KH Ahmad Badawi, Online, (http://www.muhammadiyah.or.id/id/content-163-det-


kh-ahmad-badawi.html), diakses tanggal 28 September 2017

Latar Belakang Berdirinya Muhammadiyah, Online,


(http://muhammadiyahis.blogspot.co.id/2015/07/materi-kemuhamamdiyahan-
latar-belakang.html), diakses tanggal 1 Oktober 2017

Anda mungkin juga menyukai