PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang penyebaran agama Islam di
Indonesia.Salah satunya menjelaskan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad
ke 7 Masehi, pada saat itu Indonesia masih menganut agama Hindu-Buddha.
Penyebaraan agama Islam berlangsung sangat lama dari abad 7 Masehi hingga 13
Masehi. Agama Islam dibawa oleh para pedagang asal Arab, Gujarat, Persia.
Saluran penyebaran Islam pun bermacam-macam, melalui perdagangan,
perkawinan, dakwah, pendidikan, seni budaya, dan proses tasawuf. Semakin lama
masyarakat Indonesia menerima kedatangan agama Islam dengan baik. Proses
penyebaran agama Islam tergolong cepat karena adanya faktor-faktor pendorong.
Faktor-faktor pendorong itu meliputi syarat masuk agama Islam yang mudah,
pelaksanaan ibadah yang sederhana dan tidak memerlukan biaya yang mahal,
tidak mengenal perbedaan kasta, aturan-aturan dalam Islam yang bersifat
fleksibel, penyebarannya dilakukan secara dan damai.
Tanpa disadari zaman semakin berkembang, agama Islam juga semakin
berkembang pula. Kini banyak sekali gerakan-gerakan pembaharuan Islam yang
dibentuk oleh para pemuda di Indonesia. Salah satunya adalah Muhammadiyah.
Tak hanya tersebar di kota-kota besar saja, gerakan Muhammadiyah sudah
berkembang hingga di kecamatan-kecamatan kota besar di Indonesia
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana asal-usul terbentuknya gerakan Muhammadiyah?
b. Apa saja faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya gerakan
Muhammadiyah?
c. Siapa saja tokoh-tokoh pendiri gerakan Muhammadiyah?
1.3. Tujuan
a. Untuk mengetahui asal-usul terbentuknya gerakan Muhammadiyah
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi terbentuknya
gerakan Muhammadiyah
c. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pendiri gerakan Muhammadiyah
BAB II
PEMBAHASAN
c. 1888
• Sepulang dari ibadah haji yang pertama, ia membelanjakan sebagian dari
modal dagang sebesar f 500 (lima ratus gulden) yang diberi ayahnya, untuk
membeli buku.
d. 1889
• Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah yang kemudian dikenal sebagai Nyai
Ahmad Dahlan, pendiri organisasi perempuan ‘Aisyiyah.
e. 1896
• Ayahnya yang menjabat Ketib Amin meninggal. Sesuai dengan kebiasan yang
berlaku di Kraton Yogyakarta sebagai anak laki-laki yang paling besar Ahmad
Dahlan diangkat sebagai Ketib Amin menggantikan ayahnya.
f. 1898
• Dahlan mengundang 17 ulama di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan
musyawarah tentang arah kiblat di musholla milik keluarganya di Kauman.
Masalah arah kiblat adalah masalah yang peka pada saat itu. Pembicaraan itu
berlangsung hingga shubuh tanpa menghasilkan kesepakatan. Tetapi diam-diam
dua orang yang mendengarkan pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat
tiga garis putih setebal 5 cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk
mengubah arah kiblat sehingga mengejutkan jemaah salat dzuhur waktu itu. Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
g. 1900-1910
• Panitia Zakat pertama.
• Panitia kurban pertama.
• Penggunaan metode hisab menggantikan metode aboge dan melihat hilal.
• Peristiwa dirobohkannya surau Kyai A. Dahlan.
h. 1903
• Ahmad Dahlan menunaikan haji yang kedua. Ia kembali memperdalam ilmu
agamanya kepada guru-guru yang telah mengajarnya saat haji pertama. Selain itu,
selama bermukim di Mekah ini Dahlan juga mengadakan hubungan dan
membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi
i. 1909
• Ahmad Dahlan resmi menjadi Anggota Budi Utomo. Selanjutnya, ia menjadi
pengurus kring Kauman dan salah seorang komisaris dalam kepengurusan Budi
Utomo Cabang Yogyakarta.
j. 1910
• Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair, organisasi Islam yang
banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas anggotanya adalah
orang-orang Arab.
• Melalui R. Budiharjo dan R Sosrosugondo (pengurus dan anggota Budi
Utomo), yang tertarik pada masalah agama Islam, Ahmad Dahlan mendapat
kesempatan mengajar agama Islam kepada para siswa Kweekschool Jetis.
• Keinginan Ahmad Dahlan untuk mendirikan lembaga pendidikan yang
menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama Islam maupun ilmu
pengetahuan umum terwujud. Sekolah pertama itu dimulai dengan 8 orang siswa,.
Pada tahap awal proses belajar mengajar belum berjalan lancar. Selain ada
pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya 8 orang tersebut juga
sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasinya, Ahmad Dahlan tidak segan-
segan datang ke rumah para siswanya dan meminta mereka masuk kembali.
Sepulang dari Pesantren Demangan pada tahun 1908, oleh orang tuanya
disarankan untuk menunaikan ibadah haji dan belajar di Makkah pada Kiai
Mahfudz yang berasal dari Pondok Pesantren Termas, Jawa Tengah. Setelah
kurang lebih empat tahun belajar di sana, situasi politik di Saudi memaksanya
pindah ke Mesir. Penguasa Arab Saudi, Sultan Syarif Hussen, mengeluarkan
instruksi bahwa orang asing harus meninggalkan Makkah supaya tidak terlibat
sengketa itu. Pada mulanya ayah Mas Mansur tidak mengizinkannya ke Mesir,
karena citra Mesir (Kairo) saat itu kurang baik di mata ayahnya, yaitu sebagai
tempat bersenang-senang dan maksiat. Meskipun demikian, Mas Mansur tetap
melaksanakan keinginannya tanpa izin orang tuanya. Kepahitan dan kesulitan
hidup karena tidak mendapatkan kiriman uang dari orang tuanya untuk biaya
sekolah dan biaya hidup harus dijalaninya. Sehingga ia selalu berpuasa senin dan
kamis dan berpindah dari masjid ke msjid lain. Di Mesir, dia belajar di Perguruan
Tinggi Al-Azhar pada Syaikh Ahmad Maskawih. Pada saat itu banyak tokoh
memupuk semangat rakyat Mesir, baik melalui media massa maupun pidato. Mas
Mansur juga memanfaatkan kondisi ini dengan membaca tulisan-tulisan yang
tersebar di media massa dan mendengarkan pidato-pidatonya. Ia berada di Mesir
selama kurang lebih dua tahun. Lalu pada tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.
Sepulang dari belajar di Mesir dan Makkah, ia menikah dengan puteri Haji
Arif yaitu Siti Zakiyah yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Disamping
menikah dengan Siti Zakiyah, dia juga menikah dengan Halimah. Dia menjalani
hidup dengan istri kedua ini tidak berlangsung lama, hanya dua tahun, karena
pada tahun 1939 Halimah meninggal dunia.
Langkah awal Mas Mansur sepulang dari belajar di luar negeri ialah
bergabung dalam Syarikat Islam. Peristiwa yang dia saksikan dan alami baik di
Makkah, yaitu terjadinya pergolakan politik, maupun di Mesir, yaitu munculnya
gerakan nasionalisme dan pembaharuan merupakan modal baginya untuk
mengembangkan sayapnya dalam suatu organisasi. Pada saat itu, SI dipimpin oleh
HOS. Cokroaminoto, dan terkenal sebagai organisasi yang radikal dan
revolusioner. Ia dipercaya sebagai Penasehat Pengurus Besar SI.
Selain itu, Mas Mansur juga membentuk majelis diskusi bersama Abdul
Wahab Hasbullah yang diberi nama Taswir al-Afkar (Cakrawala Pemikiran).
Dikarenakan adanya perbedaan pendapat sehingga menimbulkan masalah
akhirnya Mas Mansyur mengeluarkan diri.
Pada tahun 1917, dia diambil menantu oleh gurunya, Karim Amrullah, dan
dikawinkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya HAMKA. Dia diberi
gelar Sutan Mansur. Setahun kemudian dia dikirim gurunya ke Kuala Simpang,
Aceh untuk mengajar. Setelah mengajar di Kuala Simpang (1918-1919), ia
kembali ke Maninjau. Terjadinya pemberontakan melawan Inggris di Mesir
menghambat cita-citanya melanjutkan studi di Universitas Al-Azhar Kairo.
Akhirnya, dia berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama
bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya.
Pada tahun 1922, Sutan Mansur bertemu dengan KH Ahmad Dahlan, pendiri
Muhammadiyah. Tokoh karismatik ini datang ke Pekalongan guna mengadakan
tabligh Muhammadiyah. Peristiwa tersebut ternyata mengubah perjalanan hidup
Sutan Mansur. Dia begitu terkesan dengan kefasihan KH Ahmad Dahlan dalam
menjelaskan berbagai persoalan agama. Kepribadiannya yang lembut, bersahaja,
serta rendah hati semakin menumbuhkan simpati dari banyak orang, termasuk
Sutan Mansur.
Sutan Mansur juga dikenal dengan sikap antipenjajah. Baginya, penjajahan tidak
saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia.Maka, tidak mengherankan bila
pada tahun 1928 ia berada di barisan depan dalam menentang upaya pemerintah
Belanda menjalankan peraturan Guru Ordonansi yaitu guru-guru agama Islam
dilarang mengajar sebelum mendapat surat izin mengajar dari Pemerintah
Belanda. Sikap yang sama juga ia perlihatkan ketika Jepang berikhtiar agar murid-
murid tidak berpuasa dan bermaksud menghalangi pelaksanaan salat dengan
mengadakan pertemuan di waktu menjelang Maghrib.
Sosok yang juga pernah menjadi penasihat agama saat Bung Karno diasingkan ke
Bengkulu pada 1938 ini meninggal pada hari Senin 25 Maret 1985 bertepatan 3
Rajab 1405 di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun.
Jenazah mantan guru Agama Islam buat Tentara Nasional Indonesia Komandemen
Sumatera ini dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Pada tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro
Masyumi di Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini
kemudian membubarkan diri. Semenjak berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih
leluasa mengembangkan potensi dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini
dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah (madrasah) dan melalui
kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-Muhammadiyah-an. Prestasi
di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya menjadi Ketua
Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada tahun-
tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah
Za’imat (yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942).
Di Madrasah Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi
wanita, sehingga mereka akan bisa menjadi muballighat yang handal di
daerahnya. Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan
Pusat Muhammadiyah Ahmad Badawi selalu terpilih dan ditetapkan menjadi
Wakil Ketua. Pada waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi
terpilih menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan
pada Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1965-1968.
KHA. Badawi meninggal hari Jum’at 25 April 1969 pukul 09.45 di Rumah
Sakit PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Usaha para dokter tidak bisa
menghadang takdir Allah yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, KHA.
Badawi masih menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun
1968. Sedang di Muhammadiyah beliau ditempatkan sebagai Penasehat PP.
Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar Muhammadiyah ke-
37 di Yogyakarta.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan