Anda di halaman 1dari 16

FOTOSINTESIS

Merupakan proses pembentukan molekul-molekul makanan yang kompleks


dan berenergi tinggi dari komponen komponen yang lebih sederhana oleh tumbuhan
hijau dan organisme autotrof lainnya dengan keberadaan energy cahaya. Dalam
proses fotosintesis, foton (paket satuan) cahaya ditangkap oleh molekul-molekul
pigmen yang spesifik. Elektron-elektron di dalam molekul-molekul pigmen tersebut
dieksitasi oleh foton-foton yang diserap, dan elektron-elektron yang tereksitasi
tersebut akan membebaskan energy ke dalam sel saat electron-elektron itu kembali ke
keadaan tak tereksitasi. Pada umumnya sel menggunakan energy ini untuk mereduksi
karbondioksida menjadi karbohidrat.
Selain itu, fotosintesis merupakan reaksi endergonik utama dalam kehidupan,
yang merupakan sebuah proses menaiki bukit dimana molekul-molekul berenergi
rendak seperti karbondioksida dsn sir berinteraksi untuk membentuk karbohidrat
berenergi tinggi dan pada akhirnya lipid dan protein. Reaksi fotosintetik pada
dasarnya merupakan pembalikan dari respirasi selular yang merupakan proses
eksergonik.
Pemanfaatan hasil fotosintesis
1. Untuk cadangan makanan dan struktur tubuh
Pada umumnya proses fotosintesis selesai dengan terbentuknya gula heksosa,
namun Heksosa yang terbentuk mungkin segera berubah dari glukosa menjadi
fruktosa, atau bergabung membentuk sukrosa untuk ditranslokasikan ke sel-sel yang
lain, atau mengalami polimerasi menjadi tepung untuk cadangan makanan sementara
di dalam kloroplas. Tanaman menyimpan cadangannya dalam bentuk dan tempat
yang berbeda-beda, tebu misalnya menyimpan cadangan makanannya di dalam
batang dalam bentuk sukrosa. Tanaman sagu menyimpan cadangannya dalam batang
namun dalam bentuk tepung. Sukrosa yang terbentuk kemungkinan menuju dinding
sel yang sedang membesar dan di sana diubah bentuknya menjadi komponen
structural seperti selulosa. Sukrosa mungkin juga ditranspor ke bagian-bagian
tanaman yang lain seperti ke jaringan meristem yang aktif tumbuh atau ke tempat
pengubahan menjadi polisakarida sebagai cadangan makanan atau senyawa sruktural.
2. Untuk respirasi dan pertumbuhan
Heksosa yang terbentuk dapat juga masu ke dalam sistem pernapasan sel dan
dibongkar untuk menghasilkan energi dan diubah menjadi komponen organik yang
digunakan menjadi senyawa-senyawa structural, metabolic, dan cadangan makanan
yang penting, Tahap awal penggunaan hasil fotosintesis untuk menghasilkan energi
adalah pernapasan anaerob yang disebut glikolisis, yaitu peristiwa pembentukan
nukleotida yang tereduksi dan ATP untuk bekerja dalam sel-sel dengan cara memecah
gula heksosa fosfat menjadi asam piruvat,
Fotosintesis berhenti ketika matahari terbenam, namun karbondioksida
terakumulasi di dalam sel-sel sebagai hasil sampingan dari pernafasan aerob. Kalium
dalam sel-sel penutup bergerak keluar, diikuti oleh air. Sel-sel penutup kolaps dan
menutup celah di antara mereka. Oleh karena itu, transpirasi berkurang dan air
ditahan pada malam hari. Dalam sebagian besar tumbuhan, stomata tetap membuka
pada siang hari ketika fotosintesis berlangsung. Tumbuhan kehilangan air, namun
karbondioksida dapat masuk ke dalam daun.Stomata tetap menutup sepanjang malam
ketika karbondioksida terakumulasi melalui pernafasan aerob. Oleh karena itu, air
ditahan.
Selama tanah lembap, stomata tumbuhan yang tumbuh di atasnya dapat terus
membuka di sepanjang siang. Ketika tanah dan udara kering dan panas, stomata
menutup atau hanya membuka sedikit saja sehingga air yang menguap dapat
dikurangi. Meskipun fotosintesis dan pertumbuhan melambat sebagai
konsekuensinya, tumbuhan tersebut dapat bertahan selama periode kekeringan yang
singkat. Tumbuhan dapat melakukan itu selama beberapa kali. Dalam waktu singkat,
kondisi seperti itu akan memicu produksi hormone tumbuhan yang dinamakan asam
abisit dalam akar yang berakhir di daun. Hormon ini diproduksi secara lebih cepat
ketika daun kekurangan air. Ketika asam absisik terakumulasi di daun, sel-sel penutup
mengeluarkan kaliumnya sehingga stomata menutup.
Di dalam tumbuhan berbunga, gula dan senyawa-senyawa organik lainnya
mengalir dari sebuah sumber menuju sebuah tempat tujuan mengikuti gradient
penurunan konsentrasi dan tekanan zat terlarut. Yang disebut sebagai sumber adalah
suatu bagian tubuh tumbuhan di mana senyawa organik dimasukkan ke dalam sistem
tabung tapis. Yang disebut sebagai tempat tujuan adalah suatu bagian tubuh tumbuhan
di mana senyawa organik dikeluarkan dari system tabung tapis untuk digunakan atau
disimpan.

Lokasi
fotosintesis dalam daun-daun dewasa adalah contoh sebuah sumber. Contoh lainnya
adalah umbi, di mana timbunan makanan dimobilisasi untuk diangkut menuju bagian-
bagian tubuh tumbuhan yang sedang tumbuh. Sebaliknya, bunga-bunga muda yang
tumbuh adalah bagian tujuan. Begitu pula buah apel, pir, dan buah-buah lainnya.
Sebenarnya, daun-daun muda, akar, dan bagian-bagian tubuh tumbuhan lainnya pada
awalnya adalah tempat tujuan, namun berubah menjadi sumber seiring dengan
berjalannya waktu. Menurut teori aliran tekanan, tekanan terbangun di ujung sumber
dari sebuah sistem tabung tapis dan mendorong zat-zat terlarut menuju tempat tujuan.
b. Pengaliran nutrisi sepanjang jaringan pembuluh; c. Pengeluaran nutrisi ke tempat
tujuan.
Ada beberapa faktor yang berkaitan dengan fotosintesis. Faktor-faktor yang
mempengaruhi fotosintesis, di antaranya adalah :
a. CO2, diambil dalam bentuk gas dari udara, masuk melalui mulut daun (stoma).
Dalam keadaan terik, kadar CO2 rendah, sehingga proses fotosintesis akan terhambat.
Semakin banyak karbon dioksida di udara, makin banyak jumlah bahan yang dapat
digunakan tumbuhan untuk melangsungkan fotosintesis.
b. H2O diperoleh dari dalam tanah melalui rambut akar. Air merupakan penyumbang
hidrogen pada proses fotosintesis. Kekurangan air atau kekeringan menyebabkan
stomata menutup, menghambat penyerapan karbon dioksida sehingga mengurangi
laju fotosintesis.
Selain menyerap air dan garam mineral, tumbuhan juga mengambil gas CO2
dan O2 dari udara sekitarnya melalui stomata dan lentisel. Pengambilan gas ini
berkaitan dengan proses fotosintesis dan respirasi pada tumbuhan. Fotosintesis
merupakan proses penyusunan zat organik karbohidrat yang berasal dari zat
anorganik karbondioksida dan air yang berlangsung pada bagian tubuh tumbuhan
yang berklorofil dengan bantuan energi cahaya. Fotosintesis terjadi melalui dua tahap
reaksi, yaitu :
1. Reaksi fotolisis/ reaksi terang/reaksi Hill. Reaksi ini terjadi di dalam kloroplas dan
memerlukan cahaya serta air sehingga terurai menjadi O2 dan H2O.
2. Reaksi fisika CO2/ reaksi gelap/reaksi Blackman, yaitu reaksi yang terjadi dalam
kloroplas dan tidak memerlukan cahaya. Prosesnya berupa siklus yang disebut Siklus
Calvin.
3. RESPIRASI
PADA DASARNYA, RESPIRASI ADALAH
PROSES OKSIDASI YANG DIALAMI SET SEBAGAI UNIT
PENYIMPAN ENERGI KIMIA PADA ORGANISME HIDUP. SET,
SEPERTI MOLEKUL GULA ATAU ASAM-ASAM LEMAK, DAPAT
DIPECAH DENGAN BANTUAN ENZIM DAN BEBERAPA
MOLEKUL SEDERHANA. KARENA PROSES INI ADALAH
REAKSI EKSOTERM (MELEPASKAN ENERGI), ENERGI YANG
DILEPAS DITANGKAP OLEH ADP ATAU NADP MEMBENTUK
ATP ATAU NADPH. PADA GILIRANNYA, BERBAGAI REAKSI
BIOKIMIA ENDOTERMIK (MEMERLUKAN ENERGI) DIPASOK
KEBUTUHAN ENERGINYA DARI KEDUA KELOMPOK
SENYAWA TERAKHIR INI.
KEBANYAKAN RESPIRASI YANG DAPAT DISAKSIKAN
MANUSIA MEMERLUKAN OKSIGEN SEBAGAI
OKSIDATORNYA. REAKSI YANG DEMIKIAN INI DISEBUT
SEBAGAI RESPIRASI AEROB. NAMUN DEMIKIAN, BANYAK
PROSES RESPIRASI YANG TIDAK MELIBATKAN OKSIGEN,
YANG DISEBUT RESPIRASI ANAEROB. YANG PALING
BIASA DIKENAL ORANG ADALAH DALAM PROSES
PEMBUATAN ALKOHOL OLEH KHAMIR SACCHAROMYCES
CEREVISIAE. BERBAGAI BAKTERI ANAEROB
MENGGUNAKAN BELERANG (ATAU SENYAWANYA) ATAU
BEBERAPA LOGAM SEBAGAI OKSIDATOR.
RESPIRASI DILAKUKAN PADA SATUAN SEL. PROSES
RESPIRASI PADA ORGANISME EUKARIOTIK TERJADI DI
DALAM MITOKONDRIA.

Kenaikan CO2 Dan Perubahan Iklim : Implikasinya


Terhadap Pertumbuhan Tanaman

Tania June
Ringkasan

Tanaman membutuhkan CO2 untuk pertumbuhannya. Peningkatan


konsentrasi CO2 di atmosfir akan merangsang proses fotosintesis,
meningkatkan pertumbuhan tanaman dan produktivitas pertanian tanpa
diikuti oleh peningkatan kebutuhan air (transpirasi).

Sebaliknya, kenaikan suhu di permukaan bumi mempunyai pengaruh yang


"kurang menguntungkan" terhadap pertanian, dapat mengurangi bahkan
menghilangkan pengaruh positif dari kenaikan CO2. Tulisan ini merupakan
ulasan singkat untuk mengupas hubungan antara kenaikan CO2 dan suhu
dengan reaksi yang diberikan tanaman. Pembahasan dititikberatkan pada
tingkat daun dengan beberapa contoh-contoh hasil penelitian penulis.
Dibahas juga mengenai perbedaan reaksi antara tanaman C3 dan C4 ;
perlunya "modelling" untuk memperkirakan hasil pada skala besar dan
kompleksnya sistem yang dihadapi.

Perubahan Iklim

Beberapa jenis gas di atmosfir, seperti CO2, CH4, dan N2O mempengaruhi
iklim permukaan bumi karena kemampuanya dalam membantu proses
transmisi radiasi dari matahari ke permukaan bumi, dan juga menghambat
keluarnya sebagian radiasi dari permukaan bumi. Kalau konsentrasi dari
gas-gas ini di atmosfir meningkat, radiasi yang keluar dari permukaan bumi
akan terhambat, sehingga suhu permukaan bumi bertambah besar. Perkiraan
besarnya peningkatan suhu bukanlah pekerjaan yang mudah, karena adanya
umpan balik positif (dengan peningkatan uap air , H2O(gas), yang juga
merupakan gas penghambat keluarnya radiasi dari permukaan bumi) dan
umpan balik negatif (peningkatan pertumbuhan awan, menghambat
transmisi radiasi matahari ke permukaan bumi).

Estimasi kenaikan suhu terbaik saat ini adalah yang dihasilkan oleh General
Circulation Models (GCM), kenaikan suhu 2.5 - 5.5 oC diikuti dengan
kenaikan laju sirkulasi hidrologi sebesar 5-15 % (IPCC, l996).
Pengaruh CO2 terhadap proses fisiologis tanaman

Gas CO2 merupakan sumber karbon utama bagi pertumbuhan tanaman.


Konsentrasi CO2 di atmosfir saat ini belum optimal, sehingga penambahan
CO2 kepada tanaman di dalam industri pertanian di dalam rumah kaca
merupakan kegiatan normal untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman
seperti tomat, selada, timun dan bunga potong.

Pengaruh fisiologis utama dari kenaikan CO2 adalah meningkatknya laju


assimilasi (laju pengikatan CO2 untuk membentuk karbohidrat,fotosintesis)
di dalam daun. Efisiensi penggunaan faktor-faktor pertumbuhan lainnya
(seperti radiasi matahari, air dan nutrisi) juga akan ikut meningkat.

Proses di tingkat daun

Fotosintesis

Hubungan antara CO2 "ambient" (dapat diartikan sebagai kondisi normal


CO2 di atmosfir) dengan proses fotosintesis, baik di tingkat daun maupun di
tingkat kanopi tanaman, dan kontribusinya terhadap akumulasi biomasa
telah banyak diteliti. Salah satu karya ilmiah yang dengan sangat menarik
membahas proses ini adalah "Modelling canopy photosynthesis from the
biochemistry of the C3 chloroplast" (Evans and Farquhar, l991).

Energi untuk terlaksananya proses fotosintesis datang dari radiasi matahari


pada panjang gelombang tertentu (PAR, Photosynthetically Active
Radiation, 400-700  m). Baik PAR, maupun CO2, konsentrasinya masih
sub-optimal, sehingga fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya
CO2, pada kondisi PAR rendah maupun tinggi.

Untuk lebih jelas, lihat Gambar 1.


Fig. 1. Peningkatan laju assimilasi tanaman kedele (C3) dengan pertambahan
PAR

pada konsentarsi CO2 berbeda.

Tanaman terbagi atas dua grup utama, C3 dan C4, yang dibedakan oleh cara
mereka mengikat CO2 dari atmosfir dan produk awal yang dihasilkan dari
proses assimilasi. Pada tanaman C3, enzim yang menyatukan CO2 dengan
RuBP (RuBP merupakan substrat untuk pembentukan karbohidrat dalam
proses fotosintesis) dalam proses awal assimilasi, juga dapat mengikat
O2 pada saat yang bersamaan untuk proses fotorespirasi ( fotorespirasi
adalah respirasi,proses pembongkaran karbohidrat untuk menghasilkan
energi dan hasil samping, yang terjadi pada siang hari), sehingga ada
kompetisi antara CO2 dan O2 dalam menggunakan RuBP (Farquhar dan
Caemmerer, l982). Jika konsentrasi CO2 di atmosfir ditingkatkan, hasil dari
kompetisi antara CO2 dan O2 akan lebih menguntungkan CO2, sehingga
fotorespirasi terhambat dan assimilasi akan bertambah besar. Contoh
tanaman C3 antara lain : kedele, kacang tanah, kentang, sedang contoh
tanaman C4 adalah jagung, sorgum dan tebu.

Kalau CO2 di permukaan daun di kurangi, mencapai suatu titik dimana


CO2 yang diserap tanaman sama dengan yang dihasilkannya, maka titik ini
disebut "CO2 compensation point" (titik kompensasi CO2) (Gambar 2),  .
Nilai  adalah sekitar 50  mol m-2 s-1 pada suhu 25 oC, dan meningkat
dengan meningkatnya suhu permukaan daun. Untuk tanaman kedele
nilai  lebih rendah, yaitu sekitar 40  mol m-2 s-1 pada 25 oC.

Nilai ini penting di dalam konteks perubahan iklim yang berkaitan dengan
kenaikan suhu. Dengan kenaikan suhu, produksi biomasa akan berkurang
jika CO2 di permukaan daun mencapai titik kompensasinya (biasa terjadi di
siang hari pada saat matahari terik dan kecepatan angin sangat rendah atau
di bawah kanopi hutan tropis),
karena  meningkat.
Fig. 2. Laju assimilasi ( mol CO2 m-2 s-1) tanaman kedele dengan
meningkatnya

CO2 pada suhu berbeda.

Pada tanaman C4, CO2 diikat oleh PEP (enzym pengikat CO2 pada tanaman
C4) yang tidak dapat mengikat O2 sehingga tidak terjadi kompetisi antara
CO2 dan O2. Lokasi terjadinya assosiasi awal ini adalah di sel-sel mesofil
(sekelompok sel-sel yang mempunyai klorofil yang terletak di bawah sel-sel
epidermis daun). CO2 yang sudah terikat oleh PEP kemudian ditransfer ke
sel-sel "bundle sheath" (sekelompok sel-sel di sekitar xylem dan phloem)
dimana kemudian pengikatan dengan RuBP terjadi. Karena tingginya
konsentasi CO2 pada sel-sel bundle sheath ini, maka O2 tidak mendapat
kesempatan untuk bereaksi dengan RuBP, sehingga fotorespirasi sangat
kecil and  sangat rendah, sekitar 5  mol m-2 s-1. PEP mempunyai daya ikat
yang tinggi terhadap CO2, sehingga reaksi fotosintesis terhadap CO2 di
bawah 100  mol m-2 s-1 sangat tinggi. Pada kisaran konsentrasi CO2 300 -
500  mol m-2 s-1, laju assimilasi tanaman C4 hanya bertambah sedikit
dengan meningkatnya CO2, walaupun

PAR sangat tinggi. Sehingga, dengan meningkatnya CO2 di atmosfir,


tanaman C3 akan lebih beruntung dari tanaman C4 dalam hal pemanfaatan
CO2 yang berlebihan.

Jika kita kembali ke Gambar 2, terlihat bahwa meningkatnya suhu daun dari
15 oC ke 35 oC menyebabkan laju asimilasi bertambah besar. Meningkatnya
asimilasi dengan kenaikan suhu merupakan fenomena umum, sampai suhu
optimum tercapai, lalu akan terjadi penurunan, seperti terlihat pada Gambar
3 di bawah ini. Adanya kenaikan CO2 di atmosfir akan merubah suhu
optimum tanaman. Untuk tanaman kedele yang saya gunakan, kenaikan
suhu optimum mencapai 12 %.
Figure 3. Suhu optimum untuk proses assimilasi akan berubah dengan
kenaikan CO2

di atmosfir. Data diambil dari tanaman kedele dan "fitting" menggunakan

persamaan kurva Gauss untuk mendapatkan suhu optimum.

Bertambah besarnya suhu optimum ini menguntungkan bagi tanaman karena


pada saat konsentrasi CO2 di atmosfir mencapai 2 kali konsentrasinya saat
ini, akan terjadi kenaikan suhu sampai 5.5 oC.

Konduktivitas Stomata
Selain pengaruh positif terhadap proses fotosintesis, kenaikan CO2 juga
akan mempunyai pengaruh positif terhadap penggunaan air oleh tanaman.

Stomata mempunyai fungsi sebagai "pintu gerbang" masuknya CO2 dan


keluarnya uap air ke/dari daun. Besar kecilnya pembukaan stomata
merupakan regulasi terpenting yang dilakukan oleh tanaman, dimana
tanaman berusaha memasukkan CO2 sebanyak mungkin tetapi dengan
mengeluarkan H2O sesedikit mungkin, untuk mencapai effisiensi
pertumbuhan yang tinggi.

Daya ikat yang tinggi terhadap CO2 pada tanaman C4, menyebabkan
perbandingan antara pemasukan CO2 dan konduktivitas stomata
(kemampuan stomata menyalurkan H2O persatuan waktu) optimum. Dengan
kata lain, tanaman-tanaman C4 mempunyai efisiensi penggunaan air yang
tinggi. Dengan kata lain, jumlah air yang dikeluarkan untuk sejumlah
CO2 yang dimasukkan jauh lebih sedikit pada tanaman C4 dibandingkan
dengan tanaman C3. Pada tanaman C3, daya ikat yang rendah terhadap
CO2 menyebabkan tanaman ini boros dalam penggunaan air.

Jika CO2 di atmosfir meningkat, tanaman tidak membutuhkan pembukaan


stomata maksimum untuk mencapai konsentrasi CO2 optimum di dalam
daun, sehingga laju pengeluaran H2O dapat dikurangi. Gambar 3 berikut
menunjukkkan bagaimana stomata mengecil dengan meningkatnya CO2.
Figure 4. Kenaikan CO2 di atmosfir menyebabkan pembukaan stomata
mengecil

(ditunjukkan dengan menurunnya konduktivitas stomata) sehingga

transpirasi dari permukaan daun menurun.

Dari Gambar 4 dapat terlihat bahwa dengan kenaikan CO2 dari 350 ( kondisi
normal di atmosfir saat ini) ke700  bar, konduktivitas stomata menurun
sebesar 32 %, menghasilkan penghematan air sebesar 28 %.

Besarnya penurunan ini tergantung dari respon asimilasi tanaman terhadap


peningkatan CO2 yang berkisar dari 0 % pada tanaman C4 sampai 40 % pada
tanaman C3 (Morison, l987). Efisiensi penggunaan air (ratio antara
CO2 yang diikat tanaman dengan jumlah air yang dikeluarkan), baik pada
tanaman C3 maupun C4 akan meningkat dengan bertambah besarnya CO2.
Pada tanaman C3, peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya asimilasi
dan menurunnya transpirasi, sedang pada pada tanaman C4 hanya
disebabkan oleh menurunnya transpirasi.

Response pada tingkat Pertanaman

Pertanaman disini saya ambil dari "crop", yaitu sekumpulan tanaman sejenis
yang tumbuh berdampingan. Respon pada tingkat pertanaman akan berbeda
dari respon di tingkat daun , karena adanya faktor iklim mikro (iklim di
sekitar tanaman) yang menyebabkan timbulnya gradien faktor-faktor
pertumbuhan dengan kedalaman kanopi, seperti gradien PAR, nitrogen,
kecepatan angin, uap air dan CO2. Adanya gradien ini menyebabkan
besarnya respon pada tingkat daun akan berkurang pada tingkat pertanaman,
apalagi kalau interaksi antara kanopi dengan atmosfir sangat jelek, yang
biasa terjadi bila kecepatan angin rendah dan kanopi tanaman menutup
permukaan tanah dengan sempurna, sehingga mengurangi distribusi faktor-
faktor pertumbuhan ke dalam kanopi.

Rosenberg et al. (l990), dengan menggunakan simulasi iklim mikro,


mendapatkan bahwa, penurunan konduktivitas stomata sebesar 40 % di
tingkat daun hanya menurunkan penggunaan air sebesar 9 % di tingkat
pertanaman. Hal ini mungkin terjadi karena penutupan kanopi yang
sempurna menyebabkan gradien kelembaban relatif antara daun dan udara
meningkat, sehingga transpirasi bertambah besar.

Proses asimilasi, sebaliknya, mempunyai reaksi yang tidak jauh berbeda dari
reaksi di tingkat daun, karena meningkatnya CO2 di atmosfir akan
menghilangkan gradien CO2 di kanopi bagian bawah dan meningkatkan
asimilasi. Hasilnya, walaupun transpirasi berkurang dibandingkan dengan
pengurangan di tingkat daun, asimilasi akan bertambah besar/atau sama dari
penambahan di tingkat daun. Kimball (l983) memperoleh 40 % kenaikan
biomasa pada tanaman C3 dan 15 % pada tanaman C4.

Modelling
Memperkirakan reaksi pertanaman terhadap kenaikan CO2 merupakan
pekerjaan yang tidak mudah mengingat rumitnya sistem yang dihadapi dan
terbatasnya pengetahuan kita di dalam mendeteksi interaksi antara
mekanisme di dalam tanaman dengan mekanisme di luar tanaman (iklim
lapisan perbatas, "boundary layer climate") saat ini. Modelling merupakan
salah satu alat mempermudah pekerjaan ini. Keluarnya model mekanistik
fotosintesis tanaman C3 di tingkat daun (Farquhar et al., l980; Farquhar and
Caemmerer, l982) merupakan suatu terobosan penting di dalam bidang
fisiologi tanaman, karena untuk pertama kalinya mekanisme reaksi tanaman
(di tingkat daun) terhadap kenaikan CO2, suhu dan PAR secara bersamaan
dapat dimengerti. Saya katakan sebagai terobosan penting, karena selama ini
perkiraan reaksi tanaman terhadap kenaikan CO2 dan suhu menggunakan
model fotosintesis empiris yang kemampuan prediksinya terbatas pada
tanaman tertentu dan lokasi tertentu. Dengan keluarnya model mekanistik
fotosintesis ini, tingkat kemampuan prediksi akan semakin tinggi. Yang
menjadi masalah kemudian adalah "scaling-up" dari tingkat daun ke tingkat
pertanaman dan produksi biomasa.

Lloyd et al.(l995) keluar dengan "big-leaf" modelnya, dimana kanopi


pertanaman dianggap sebagai sebuah daun besar, sehingga parameter
asimilasi dan konduktivitas stomata di tingkat daun dapat digunakan
ditingkat pertanaman, sepanjang distribusi PAR di dalam kanopi ikut
diperhitungkan. Model ini kemudian digunakan untuk memperkirakan NPP
(Net Primary Production, Produksi Bahan Kering Netto) per tahun di hutan
hujan tropis di Amazon, dengan hasil yang memuaskan (Lloyd et al., l995).

De Pury and Farquhar (l997) kemudian keluar dengan "Sun/Shade" model,


yang memilah kanopi atas dua bagian besar, yaitu bagian yang terkena sinar
matahari dan bagian yang terlindungi. Parameter fotosintesis dan
konduktifitas stomata dianggap berbeda pada kedua bagian kanopi ini.
Sun/Shade model merupakan model yang sangat kompleks, membutuhkan
parameter yang lebih banyak dari pada big leaf model. Model ini dapat
memprediksi laju fotosintesis dan transpirasi dalam skala waktu yang kecil
(detik) di tingkat pertanaman dengan sangat akurat, dibandingkan dengan
big leaf model. Akan tetapi prediksi biomasa (dengan skala waktu yang
lebih besar, mingguan atau tahunan) dengan menggunakan model ini belum
pernah dilakukan.
Menurut Goudriaan (l997, personal communication), guru dalam bidang
modelling pertumbuhan tanaman (dari Wageningen University), kompleks
model yang memilah-milah kanopi atas beberapa bagian merupakan alat
yang penting untuk mempelajari mekanisme fotosintesis kanopi dalam skala
waktu kecil, tetapi tidak praktis untuk digunakan meng-estimasi
pertumbuhan atau produksi karena besarnya input parameter yang
dibutuhkan. Goudriaan (l997, unpublished data), telah mencoba
membandingkan estimasi produksi dari big leaf dan "multiple layer " model
(model yang membagi kanopi atas beberapa bagian vertikal, kemudian
memilah setiap bagian atas dua bagian yaitu bagian tersinari dan terlindungi
) dan mendapatkan hasil yang tidak berbeda, walaupun variasi fotosintesis
diurnal menunjukkan bahwa multiple layer model lebih akurat. Hal ini
mungkin terjadi karena perbedaan estimasi fotosintesis di tingkat kanopi
tidak cukup besar untuk menimbulkan perbedaan estimasi produksi. Selain
itu, produksi akhir tanaman tidak hanya ditentukan oleh besarnya
fotosintesis/asimilasi ; partisi hasil fotosintesis ke bagian-bagian tanaman
merupakan faktor sangat penting yang penguasaan mekanisme prosesnya
tidak sebaik penguasaan kita terhadap proses fotosintesis.

Pemilihan model yang akan digunakan dalam prediksi respon tanaman


terhadap CO2, tergantung dari seberapa jauh detail dari jawaban yang kita
inginkan. Kalau hanya tertarik pada produksi akhir (dan mekanisme diurnal
yang cukup akurat), maka big leaf model merupakan pilihan yang tepat,
karena lebih sederhana, membutuhkan parameter lebih sedikit sehingga
pembuatan "source code" untuk simulasi tidak terlalu sulit. Akan tetapi
kalau kita lebih tertarik dengan mekanisme diurnal yang sangat akurat,
Sun/Shade model atau Multiple Layer model merupakan pilihan yang tepat,
walaupun membutuhkan penelitian awal yang intensif terhadap tanaman
yang akan diteliti untuk memperoleh parameter yang dibutuhkan, ditambah
lagi rumitnya persamaan matematik yang digunakan membutuhkan
kemampuan programming yang cukup baik untuk dapat membuat source
code yang jelas.

Kesimpulan
Bahasan di dalam tulisan ini masih sangat kurang untuk dapat mengupas
secara lengkap pengaruh perubahan iklim terhadap produktivitas pertanian,
baik secara langsung (meningkatnya CO2) maupun secara tidak langsung
(meningkatnya suhu, berubahnya keawanan dan curah hujan), karena tulisan
ini lebih menitik beratkan kepada pengaruh perubahan iklim terhadap proses
fisiologis tanaman dalam skala spatial yang relatif kecil. Untuk melihat
pengaruhnya secara regional dan global, maka faktor- faktor penting
lainnya, seperti: 1) bagaimana sirkulasi iklim umum global berubah, yang
akan menentukan perubahan jumlah hujan yang diterima ditiap region dan
besarnya "regional temperature shifting". Regional temperature shifting
adalah bergeraknya zona temperature ke arah kutub, yang mengakibatkan
semakin luasnya daerah tropis dan mengecilnya daerah kutub. Kalau
pergerakan ini terjadi maka daerah yang biasanya bukan daerah pertanian
produktif, karena suhu terlalu rendah, akan menjadi daerah pertanian baru.
Akan tetapi, untuk daerah-daerah yang keadaan suhunya sudah optimum
untuk pertumbuhan tanaman, dengan adanya kenaikan suhu, akan
mengurangi fotosintesis dan mempercepat perkembangan tanaman sehingga
produksi akan turun; 2) berpindahnya hama dan penyakit tanaman dari satu
daerah ke daerah lainnya, atau berubahnya derajat penyerangan dengan
berubahnya kondisi iklim;

3) perbedaan kesuburan tanah secara regional, yang akan menentukan


bagaimana tanaman bereaksi terhadap kenaikan CO2, suhu dan
kemungkinan perubahan curah hujan; 4) kemungkinan mencairnya es di
kutub yang yang menaikkan permukaan air laut. IPCC (Intergovernmental
Panel on Climate Change) memprediksi adanya kenaikan air laut sebesar
28-96 cm pada tahun 2090. Asia tenggara akan mendapat ancaman banjir
terbesar karena umumnya, lahan pertanian di region ini terletak pada altitut
(ketinggian) rendah (IPCC, l996); 5) masih kurangnya kemampuan GCM
(General Circulation Model) dalam memprediksi secara akurat seberapa
besar perubahan iklim per daerah yang akan dan mungkin terjadi
dan 6) masih kurangnya pengetahuan kita terhadap kemungkinan adaptasi
atau aklimasi yang mungkin dilakukan oleh alam (terutama tanaman)
sehingga memperkecil atau bahkan menghilangkan perubahan iklim.

Masih banyak penelitian yang harus dilakukan untuk mempersiapkan


pertanian kita terhadap kemungkinan terburuk dari perubahan iklim, baik
dengan melakukan penelitian di lapang terhadap berbagai jenis tanaman
pertanian penting maupun dengan penyempurnaan model-model
pertumbuhan tanaman yang ada, dan penyempurnaan GCM sehingga kita
siap menghadapinya kalau dan bila dia datang.

Anda mungkin juga menyukai