Anda di halaman 1dari 19

BIOFARMASI

PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH SEDIAAN


GASTRORETENTIVE FLOATING TABLET
Dosen : PROF. TETI INDRAWATI, M.SI., APT

Disusun Oleh:
Andi Miftahul Jannah 16334057
Pebrini Intan Sari 19334721
Puput Surohmi 19334

PROGRAM STUDI FARMASI


INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA – 2019
KATA PENGANTAR

Dengan segala puji syukur kehadirat Allah SWT. atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Makalah Biofarmasi dengan judul
“PERJALANAN OBAT DALAM TUBUH SEDIAAN GASTRORETENTIVE FLOATING
TABLET” .

Mungkin dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan baik itu dari segi
penulisan, isi dan lain sebagainya, maka penulis sangat mengharapkan kritikan dan saran
guna perbaikan untuk pembuatan makalah untuk hari yang akan datang.

Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan
sederhana ini dapat diterima dan bermanfaat bagi pembaca. Atas semua ini penulis
mengucapkan ribuan terima kasih yang tidak terhingga, semoga segala bantuan dari semua
pihak mudah – mudahan mendapat amal baik yang diberikan oleh Allah SWT..

Jakarta, Desember 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. 2


DAFTAR ISI ............................................................................................................................... 3
BAB I.......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 4
1.1 LATAR BELAKANG .................................................................................................................. 4
1.2 RUMUSAN MASALAH .............................................................................................................. 5
1.3 TUJUAN ....................................................................................................................................... 5
BAB II ........................................................................................................................................ 6
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................................. 6
2.1 ANATOMI FISIOLOGI ............................................................................................................... 6
2.2 FASE BIOFARMASETIKA ........................................................................................................ 8
2.3 MEKANISME PELEPASAN OBAT DALAM TUBUH........................................................... 10
2.4 PENERAPAN GASTRORETENTIVE FLOATING SYSTEM ................................................ 14
2.5 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ...................................................................................... 14
BAB III PEMBAHASAN .......................................................................................................... 15
BAB IV ..................................................................................................................................... 18
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 19

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dewasa ini teknologi farmasi semakin berkembang dalam berbagai hal seperti
bentuk sediaan baru untuk mengatasi keterbatasan sediaan yang terdahulu. Salah satu
bentuk sediaan yang terus dikembangkan karena memiliki keuntungan terapeutik
yang baik adalah sediaan oral lepas terkendali. Bentuk sediaan ini masih memiliki
keterbatasan terutama untuk obat yang memiliki segmen absorpsi yang sempit pada
gastrointestinal bagian atas. Hal ini disebabkan karena waktu transit obat yang relatif
singkat pada gastrointestinal bagian atas sehingga dalam waktu kurang dari enam jam
sediaan lepas terkendali telah meninggalkan gastrointestinal bagian atas. Untuk
mengatasi hal ini, maka dikembangkan suaatu sistem penghantar obat tertahan di
lambung (Gastroretentive Drug Delivery System).

Sistem penghantaran di lambung merupakan suatu sistem penghantar obat


dengan menggunakan polimer yang setelah pemberiaan secara oral, obat akan
tertahan lebih lama dalam lambung dan melepaskan obat se ara terkendali dan
kontinyu. Salah satu pendekatan sistem penghantaran obat tertahan di lambung
adalah sistem penghantaran obat mengapung ( floating drug delivery system).
Mekanisme keterapungan terjadi karena densitas sediaan lebih rendah dibandingkan
densitas cairan lambung. "ada sistem mengapung, obat akan diperpanjang waktu
tinggalnya di lambung melalui mekanisme keterapungan yang disebabkan oleh
matriks. Matriks pada sistem mengapung terdiri dari polimer yang dapat
mengembang, seperti hidroksipropil metilselulosa, dan kandungan zat efferfessent,
seperti natrium bikarbonat, asam tartrat dan asam sitrat.

ketika kontak dengan asam lambung, karbondioksida akan dilepaskan dan


terperangkap di polimer hidrokoloid yang mengembang, sehingga menyebabkan
sediaan mengapung. Keuntungan dari bentuk floating system adalah dapat
mengontrol frekuensi pemberian obat karena obat memiliki kemampuan
mengambang kemudian mengapung di dalam lambung untuk beberapa waktu.
Sedangkan kerugian dari bentuk floating system adalah tidak bisa untuk obat-obat
yang absorbsinya kurang baik di lambung.

4
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana anatomi fisiologi saluran cerna terhadap obat gastroretentive floating
tablet?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi pelepasan obat gastroretentive floating
tablet?
3. Bagaimana mekanisme absorpsi obat gastroretentive floating tablet?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui anatomi fisiologi saluran cerna terhadap obat gastroretentive
floating tablet
2. Mengetahui faktor dari pelepasan obat gastroretentive floating tablet
3. Mengetahui mekanisme absorpsi obat gastroretentive floating tablet

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FISIOLOGI


1. Anatomi lambung
Lambung adalah organ pencernaan yang paling melebar, dan terletak di
antara bagian akhir dari esofagus dan awal dari usus halus. Lambung merupakan
ruang berbentuk kantung mirip huruf J, berada di bawah diafragma, terletak pada
regio epigastrik, umbilikal, dan hipokondria kiri pada regio abdomen.

Lambung memiliki panjang sekitar 25 cm dan 10 cm pada saat kosong,


volume 1 - 1,5 liter pada dewasa normal. Lambung terletak pada cavum abdomen
pada regio hipokondrium/ hipokondriaka sinistra persis di bawah diafragma, terdiri
dari kardia, fundus, korpus, antrum dan pylorus

Secara umum lambung di bagi menjadi 3 bagian:


1. kardia/kelenjar jantung ditemukan di regia mulut jantung. Ini hanya
mensekresi mukus
2. fundus/gastric terletak hampir di seluruh corpus, yang mana kelenjar ini
memiliki tiga tipe utama sel, yaitu :
 Sel zigmogenik/chief cell, mesekresi pepsinogen. Pepsinogen ini diubah
menjadi pepsin dalam suasana asam. Kelenjar ini mensekresi lipase dan
renin lambung yang kurang penting.
 Sel parietal, mensekresi asam hidroklorida dan factor intrinsic. Faktor
intrinsic diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 dalam usus halus.

6
 Sel leher mukosa ditemukan pada bagian leher semua kelenjar lambung.
Sel ini mensekresi barier mukus setebal 1 mm dan melindungi lapisan
lambung terhadap kerusakan oleh HCL atau autodigesti.
3. pilorus terletak pada regia antrum pilorus. Kelenajr ini mensekresi gastrin dan
mukus, suatu hormon peptida yang berpengaruh besar dalam proses sekresi
lambung.

Dinding lambung disusun menjadi empat lapisan, yaitu:


1) Mukosa adalah lapisan di mana sel-sel mensekresi berbagai jenis cairan,
seperti enzim, asam lambung, dan hormon. Lapisan ini berbentuk seperti
palung untuk meningkatkan rasio antara daerah dan volume meningkatkan
volume asam lambung yang dapat dikeluarkan.

2) Submukosa adalah lapisan di mana arteri dan vena dapat ditemukan untuk
mendistribusikan nutrisi dan oksigen ke sel-sel perut sekaligus untuk
membawa nutrisi yang diserap, urea, dan karbon dioksida dari sel.

3) Lapisan otot dari otot-otot perut yang membantu dalam pencernaan mekanis.
Lapisan ini dibagi menjadi tiga lapisan otot, yang merupakan otot melingkar,
memanjang, dan diagonal. Jenis ketiga kontraksi otot dan lapisan yang
dihasilkan.

4) Peristaltik menyebabkan makanan di perut bergejolak. Lapisan terluar adalah


serosa berfungsi sebagai lapisan pelindung lambung. Sel-sel di lapisan ini
mengeluarkan sejenis cairan untuk mengurangi gaya gesekan antara perut
dengan anggota tubuh lainnya.

Persarafan dan Aliran Darah Pada Lambung


Persarafan pada lambung umumnya bersifat otonom. Suplay saraf
parasimpatis untuk lambung di hantarkan ke dan dari abdomen melalui saraf
vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastric, pilorik, hepatic dan seliaka.
Persarafan simpatis melalui saraf splangnikus mayor dan ganglia seliakum.
Serabut-serabut afferent simpatis menghambat pergerakan dan sekresi lambung.
Pleksus auerbach dan submukosa ( meissner ) membentuk persarafan intrinsic
dinding lambung dan mengkoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa
lambung.
Suplai darah dilambung berasal dari arteri seliaka. Dua cabang arteri yang
penting dalam klinis adalah arteri duodenalis dan pankreas tikoduodenalis
(retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus posterior duodenum.
Tukak dinding posterior duodenum dapat mengerosi arteri itu
menyebabkan perdarahan. Darah vena dari lambung dan duodenum serta berasal
dari pankreas, limpa dan bagian lain saluran cerna berjalan ke hati melalui vena
porta.

2. Fisiologi Lambung
Fungsi Lambung

 Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit


dicernakan dan bergerak ke saluran pencernaan.

7
 Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan mencampurnya
dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang mengelilingi lambung.

Secara umum gaster memiliki fungsi motorik dan fungsi pencernaan &
sekresi, berikut fungsi Lambung :

1) Fungsi motorik
a. Fungsi reservoir
Menyimpan makanan sampai makanan tersebut sedikit demi sedikit
dicernakan dan bergerak ke saluran pencernaan. Menyesuaikan peningkatan
volume tanpa menambah tekanan dengan relaksasi reseptif otot polos yang
diperantarai oleh saraf vagus dan dirangsang oelh gastrin.

b. Fungsi mencampur

Memecahkan makanan menjadi partikel-partikel kecil dan


mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi otot yang
mengelilingi lambung.

c. Fungsi pengosongan lambung

Diatur oleh pembukaan sfingter pylorus yang dipengaruhi oleh


viskositas, volume, keasaman, aktivitas osmotis, keadaan fisisk, emosi, obat-
obatan dan kerja. Pengosongan lambung di atur oleh saraf dan hormonal.

2) Fungsi pencernaan dan sekresi

 Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL


 Sintesis dan pelepasan gastrin. Dipengaruhi oleh protein yang di makan,
peregangan antrum, rangsangan vagus.
 Sekresi factor intrinsik. Memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus halus
bagian distal.
 Sekresi mucus. Membentuk selubung yang melindungi lambung serta
berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah untuk diangkut.

2.2 FASE BIOFARMASETIKA


Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia formulasi
obat terhadap bioavaibilitas obat. Bioavaibilitas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif
yang mencapai sirkulasi sistemik (Shargel dan Yu, 2005). Fase biofarmasetik melibatkan
seluruh unsur-unsur yang terkait mulai saat permberian obat hingga terjadinya penyerapan zat
aktif. Peristiwa tersebut tergantung pada cara pemberian dan bentuk sediaan. Fase
biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap utama yaitu liberasi (pelepasan), disolusi
(pelarutan) dan absorpsi (penyerapan) (Aiache, 1993).

1. Liberasi (Pelepasan) Apabila pasien menerima obat berarti ia mendapat zat aktif
yang diformulasi dalam bentuk sediaan dan dosis tertentu. Proses pelepasan zat

8
aktif dari bentuk sediaan tergantung pada jalur pemberiaan dan bentuk sediaan
serta dapat terjadi secara cepat. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan biologis dan mekanisme pada tempat pemasukan obat, misalnya gerak
peristaltik usus, hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang kenyal
(tablet, supositoria dan lain-lain). Tahap pelepasan ini dapat dibagi dalam dua
tahap yaitu tahap pemecahan dan peluruhan, misalnya untuk sebuah tablet (Aiache,
1993).
2. Disolusi (Pelarutan) Setelah terjadi pelepasan, maka tahap kedua adalah pelarutan
zat aktif. Tahap kedua ini merupakan keharusan agar selanjutnya terjadi
penyerapan (Aiache, 1993).
3. Absorpsi (Penyerapan) Absorpsi atau penyerapan suatu zat aktif adalah masuknya
molekulmolekul obat ke dalam tubuh atau menuju ke peredaran darah tubuh
setelah melewati membran biologik. Penyerapan ini hanya dapat terjadi bila zat
aktif berada dalam bentuk terlarut. Tahap ini merupakan bagian dari fase
biofarmasetik dan tahap awal dari fase farmakokinetika. Penyerapan zat aktif
bergantung pada berbagai parameter, terutama sifat fisikokimia molekul obat.
Dengan demikian proses penyerapan zat aktif terjadi apabila sudah dibebaskan dari
sediaan dan sudah melarut dalam cairan biologis (Aiache, 1993). Menurut Shargel
dan YU (2005) pada umumnya produk obat mengalami absorpsi sistemik melalui
suatu rangkaian proses. Proses itu meliputi:
1. Disintegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat. Sebelum absorpsi terjadi,
suatu produk obat padat harus mengalami disintegrasi ke dalam partikel–
partikel kecil melepaskan obat.
2. Pelarutan obat dalam media “aqueous” Pelarutan merupakan proses di mana
suatu bahan kimia atau obat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem
biologik pelarutan obat dalam media “aqueous” merupakan suatu bagian
penting sebelum kondisi absorpsi sistemik.
3. Absorpsi melewati membran sel menuju sirkulasi sistemik. Agar suatu obat
dapat mencapai tempat kerja di jaringan suatu organ, obat tersebut harus
melewati berbagai membrane sel. Pada umumnya, membrane sel mempunyai
struktur lipoprotein yang bertindak sebagai membrane lipid semipermeabel.
Banyak obat mengandung substituen lipofilik dan hidrofilik. Obat–obat yang
lebih larut dalam lemak lebih mudah melewati membrane sel daripada obat
yang kurang larut dalam lemak atau obat yang lebih larut dalam air.

Pelepasan dengan
OBAT Cara penghancuran PARTIKEL Pelarutan OBAT diabsorbsi OBAT
DALAM OBAT DALAM DALAM
PRODUK PADAT LARUTA TUBUH
OBAT N

9
2.3 MEKANISME PELEPASAN OBAT DALAM TUBUH
Nasib obat dalam tubuh merupakan peristiwa-peristiwa yang di alami obat
dalam tubuh. Aksi beberapa obat membutuhkan suatu proses untuk mencapai
konsentrasi yang cukup dalam jaringan sasarannya. Dua proses penting yang
menentukan konsentrasi obat di dalam tubuh pada waktu tertentu adalah :
• Translokasi dari molekul obat.
Translokasi obat yang menentukan proses absorpsi dan distribusi.
• Transformasi senyawa obat.
Transformasi obat menerangkan proses metabolisme obat atau proses
eliminasi lain yang terlibat dalam tubuh.

A. ABSORBSI

Menurut Siswandono dan Soekardjo (2000) Adapun faktor–faktor yang


mempengaruhi proses absorpsi obat di saluran cerna antara lain:

1. Bentuk sediaan obat, meliputi ukuran partikel bentuk sediaan, adanya bahan-
bahan tambahan dalam sediaan.
2. Sifat kimia fisika obat, misalnya: bentuk garam, basa, amorf, kristal.
3. Faktor biologis, seperti: gerakan saluran cerna, luas permukaan saluran cerna,
waktu pengosongan lambung, banyaknya pembuluh darah dalam usus, aliran
(perfusi) darah dari saluran cerna.
4. Faktor-faktor lain, seperti: usia, interaksi obat dengan makanan, interaksi obat
dengan obat lain, penyakit tertentu.

Untuk pemilihan lokasi pemakaian dalam tubuh untuk obat sediaan lepas
lambat oral mengapung, ada beberapa tempat. Yaitu :
1. Lambung Lambung merupakan suatu organ pencampur dan pensekresi di mana
makanan dicampur dengan cairan cerna dan secara periodik dikosongkan ke
dalam usus halus. Akan tetapi gerakan makanan dan produk obat dalam lambung
dan usus halus sangat berbeda tergantung pada keadaan fisiologik. Dengan adanya
makanan lambung melakukan fase “digestive” dan tanpa adanya makanan
lambung melakukan fase “interdigestive”. Selama fase digestive partikel – pertikel
makanan atau partikel – partikel padat yang lebih besar dari 2 mm ditahan dalam
lambung, sedangkan partikel – partikel yang lebih kecil dikosongkan melalui
sphincter pilorik pada suatu laju order kesatu yang tergantung pada isi dan ukuran
dari makanan. Selama fase interdigestive lambung istirahat selama 30 – 40 menit
sesuai dengan waktu istirahat yang sama dalam usus halus. Kemudian terjadi
kontraksi peristaltik, yang diakhiri dengan housekeeper contraction. Suatu obat
dapat tinggal dalam lambung selama beberapa jam jika diberikan selama fase
pencernaan, bahan – bahan berlemak, makanan dan osmolitas dapat

10
memperpanjang waktu tinggal dalam lambung. Di samping itu, bila obat diberikan
selama fase pencernaan dalam, obat berpindah secara cepat ke dalam usus halus.
Pelarutan obat dalam lambung juga dapat dipengaruhi oleh ada atau tidaknya
makanan. Harga normal pH lambung pada istirahat adalah 1, bila ada makanan pH
sering naik menjadi 3 – 5 disebabkan adanya pendaparan bahan makanan. Suatu
obat diuji secara In Vitro dengan HCl 0,1 N melepaskan obat pada laju order nol,
dapat tidak melepaskan obat pada laju yang sama pada pH 3-5
2. Usus Halus Bagian proksimal dari usus halus mempunyai pH sekitar 6
sehubungan dengan netralisais asam dengan bikarbonat yang disekresi oleh
duodenum ddan pankreas. Dengan adanya mikrovili usus halus 14 memberi suatu
luas permukaan yang sangat besar untuk absorbsi obat. Waktu transit dalam usus
halus suatu sediaan padat dari 95% populasi disimpulkan sekitar 3 jam atau
kurang. Untuk memperkirakan waktu transit, berbagai penelitian telah dilakukan
dengan menggunakan uji lactulose hidrogen yang mengukur penampakan
hidrogen dalam nafas penderita (laktulosa dimetabolisme secara cepat oleh bakteri
– bakteri didalam usus besar yang menghasilkan hidrogen yang secara normal
tidak terdapat dalam pernapasan orang). Hal ini sesuai bahwa waktu transit G1
yang relatif pendek dari mulut ke cecum yaitu 4 – 2,6 jam. Jarak ini disimpulkan
terlalu pendek untuk sedian sustained release yang bekerja sampai 12 jam, kecuali
kalau obat untuk diabsorbsi dalam kolon. Kolon mempunyai sedikit cairan dan
bakteri yang berlimpah yang dapat membuat absorbsi obat tidak menentu dan
tidak sempurna. Waktu transit untuk pellet telah diteliti dalam bentuk disintegrasi
yang keduanya menggunakan bahan radiopaq tidak larut dan terlarut. Sebagian
besar pellet yang tidak larut dilepaskan dari kapsul setelah 15 menit , setelah 3
jam pellet telah tersebar dalam lambung dan sepanjang usus halus. Pada waktu 12
jam seluruh pellet berada pada kolon bagian naik dan setelah 24 jam berada pada
kolon bagian menurun yang siap memasuki rektum.
3. Usus Besar. Dalam kolon ada sedikit cairan dan transit obat diperlambat, absorbsi
obat dalam daerah ini tidak banyak diketahui, meskipun obat tak terabsorbsi yang
mencapai daerah. Daerah ini dapat dimetabolisme oleh bakteri. Obat – obat
diabsorbsi cepat bila diberikan dalam sediaan rektal. Tetapi laju transit
dipengaruhi oleh kecepatan defekasi. Mungkin obat – obat yang diformulasi untuk
24 jam akan tinggal dalam daerah ini untuk diabsorbsi. Ada sejumlah produk
sustained release yang diformulasi untuk memperoleh keuntungan dari kondisi
fisiologis saluran GI. Butir – butir salut enterik telah terbukti melepaskan obat
lebih 8 jam bila digunakan bersama – sama makanan, sehubungan dengan
pengosongan butir – butir salut enterik berangsur 15 – angsur ke dalam usus halus.
Formulasi khusus floating tablet yang tetap tinggal di bagian atas lambung telah
digunakan untuk memperpanjang waktu tinggal obat dalam lambung. Untuk
pengobatan yang manjur, tidak satupun metode ini memberikan keterandalan yang
cukup konsisten.

11
B. DISTRIBUSI

Faktor yang mempengaruhi distribusi obat :


1) Permealibilitas membran : untuk masuk ke suatu oragan, obat harus menembus
semua membran yang memisahkan organ itu dari tempat pemberian otot
sebagai contoh, benzodiazepin, yang sangat lipofilik, mudah melintasi dinding
usus, dinding kapiler, dan sawar darah otak. Karenanya, obat ini
didistribusikan ke otak dengan cepat serta berguna untuk mengobati kecemasan
dan kejang. Sebaliknya, beberapa antibiotik mampu melintasi dari usus ke
dalam aliran darah, tatepi tidak dapat masuk ke otak. Obat-obat ini dapat
digunakan untuk mengobati infeksi di otak. Beberapa obat obat kanker kurang
dapat melalui sawar darh otak dan sawar darah testis sehingga angka
kekambuhan beberapa tumor otak dan testis relatif tinggi. Sawar darah plasenta
mencegah terpajannya janin terhadap beberpa obat- obat lain dapat melaluinya.
2) Pengikatan protein plasma, seperti albumin, mengurangi jumlah obat-obatan
yang “bebas” dalam darah (yang tidak terikat oleh protein). Molekul-molekul
obat “bebas”, tetapi bukan molekul obat yang terrikst protein, mencapai
keseimbangan di antara darah dan jaringan. Jadi penurunan obat dapat masuk
ke organ tertentu.
3) Depot penyimpanan : obat-obat lipofilik seperti tiopental yang bersifat sedatif,
berakumulasi dalam lemak. Obat-obat dari penyimpanan lemak. Jadi orang
yang gemuk dpat disedasi lebih lama dari pada orang yang kurus yang diberi
dosis yang sama. Obat-bat pengikat kalsium, seperti antibiotik tetra siklin,
berakumulasi dalam tulang dan gigi.

C. METABOLISME
Metabolisme obat atau biotransformasi adalah suatu perubahan secara
biokimia atau kimiawi suatu senyawa di dalam organisme hidup. Definisi lainnya
adalah perubahan suatu senyawa menjadi senyawa lainnya yang disebut metabolit
yang terjadi pada sistem biologis. Reaksi metabolisme obat tersebut sebagian besar
terjadi pada oragn hati khususnya pada sub-seluler retikulum endoplasma. Organ-
organ yang bertanggung jawab dalam metabolisme obat adalah hati, paru, ginjal,
mukosa dan darah merah.
Metabolisme obat adalah sangat komplek. Biasanya, metabolit obat adalah
lebih larut dalam air daripada obatnya karena mengandung gugus fungsional yang
dapat berkonjugasi dengan gugus hidrofilik. Meskipum metabolit biasanya larut
dalam air tetapi ada pengecualian pada p-asam klorofenaseturat (metabolit p-asam
4
klorofenilasetat) atau N -asetilsulfanilamid (metabolit sulfanilamid). Sering bahwa
metabolit obat lebih diionisasi pada pH fisiologi daripada obatnya sehingga bentuk
garam yang larut dalam air dapat menurunkan kelarutannya dalam lipid sehingga
mudah untuk diekskresikan
Metabolisme obat di dalam tubuh dapat mengalami perubahan dan hal ini
membawa dampak pada perubahan efek farmakologi obat yang bersangkutan. Faktor-

12
faktor yang mempengaruhi kecepatan metabolisme obat yaitu faktor genetik, umur,
lingkungan dan penyakit yang diderita.

D. EKSKRESI

Ekskresi merupakan perpindahan obat dari sirkulasi sistemik (darah) menuju


ke organ ekskresi. Obat mengalami ekskresi untuk keperluan detokstfikasi obat
tersebut. Apabila obat tidak diekskresi maka obat akan tertinggal dalam tubuh dan
mengakibatkan ketoksikan pada organisme bersangkutan. Tempat atau jalur ekskresi
adalah melalui ginjal (organ utama), hati atau empedu, paru, kelenjar saliva, kelenjar
susu dan kelenjar keringat, seperti disajikan pada tabel V. Pada kesempatan ini hanya
dibahas detail ekskresi melalui ginjal dan hati karena dua mekanisme tersebut
merupakan mekanisme ekskresi dari kebanyakan obat.

Pola ekskresi
Jalur ekskresi Mekanisme Contoh
Urin Filtrasi glomerulus, sekresi Semua obat dalam bentuk ion,
Empedu tubular aktif penisilin, diuretik merkurat organic
Intestin / usus Transport aktif, difusi pasif dan Senaya ammonium striknin, kuinin,
Saliva kuartener, pinositosis tetrasiklin
Paru Difusi pasif dan sekresi empedu Asam organic terionisasi
Keringat Difusi pasif dan transport aktif Penisilin, tetrasiklin, tiamin, etanol
Susu Difusi pasif dan eter
Difusi pasif Kamfor, amonium klorida, iodida,
Difusi pasif dan transport aktif natrium bikarbonat
Asam dan basa lemah organik,
tiamin
Basa organik lemah, anastesi,
eritromisin, streptomisin, kanamisin
dan gentamisin

13
2.4 PENERAPAN GASTRORETENTIVE FLOATING SYSTEM

• Sustained Drug Delivery


SistemHBS(Hydrodynamicallybalancedsystems)dapat tetap berada
diperu dalam waktu lama sehingga dapat melepaskan obat melalui jangka
waktu lama.

• Site-SpecificDrug Delivery
Sistem ini sangat menguntungkan bagi obat-obatan yang secara khusus
diserap dari perut atau bagian proksimal dari usus kecil, misalnya, riboflavin
dan furosemide.

• Absorption Enhancement
Obat yang memiliki bioavailabilitas rendah, karena penyerapan pada
site specific dari bagian atas saluran pencernaan merupakan suatu potensi
untuk menformulasikan sistem penghantaran obat floating, sehingga
memaksimalkan penyerapan obat ini.

2.5 KELEBIHAN DAN KEKURANGAN

KELEBIHAN KEKURANGAN
 Mengurangi frekuensi pemberian  Sistem mengambang tidak cocok bagi
 Mengurangi efek merugikan karena obat-obat yang memiliki masalah
tidak ada fluktuasi kadar obat di kelarutan atau stabilitas dalam cairan
dalam darah gastrik atau lambung.
 Obat dihantarkan secara terkontrol  Sistem ini memerlukan tingkat cairan
 Durasi efek terapi yang diinginkan tinggi dalam perut sehingga obat
lebih panjang. mengambang dan bekerja efisien dengan
 Menghantarkan obat untuk aksi lokal air.
 Mudah diberikan dan pasien merasa  Obat-obatan yang diabsobsi baik
lebih nyaman sepanjang saluran pencernaan dan yang
menjalani firs-pass metabolisme
signifikan, mungkin kurang cocok untuk
GRDDS karena pengosongan lambung
yang lambat dapat menyebabkan
penurunan bioavailabilitas sistemik.
 Beberapa obat dapat menyebabkan iritasi
mukosa lambung

14
BAB III
PEMBAHASAN

Mekanisme Biofarmasi Floating System

Sistem yang seimbang secara hidrodinamis (Hydrodynamically Balance Systems =


HBS) yang dapat berupa tablet atau kapsul, dirancang untuk memperpanjang waktu tinggal
sediaan di dalam saluran cerna (dalam hal ini dilambung) dan meningkatkan absorpsi. Sistem
dibuat dengan menambahkan 20-75% b/b hidrokoloid tunggal atau campuran ke dalam
formula tablet atau kapsul.

Pada sistem ini akan dicampurkan bahan aktif obat, hidrokoloid (20- 75% dari bobot
tablet) dan bahan bahan pembantu lain yang diperlukan (pada umumnya proses pencampuran
ini diikuti dengan proses granulasi), selanjutnya granul dicetak menjadi tablet atau diisikan ke
dalam kapsul. Setelah dikonsumsi, di dalam lambung, hidrokoloid dalam tablet atau kapsul
berkontak dengan cairan lambung dan menjadi mengembang. Karena jumlahnya
hidrokoloidnya banyak (sampai 75%) dan mengembang maka berat jenisnya akan lebih kecil
dari berat jenis cairan lambung. Akibatnya sistem tersebut menjadi mengapung di dalam
lambung. Karena mengapung sistem tersebut akan bertahan di dalam lambung, tidak mudah
23 masuk ke dalam pylorus dan terus ke usus.

Hidrokoloid yang mengembang akan menjadi gel penghalang yang akan membatasi
masuknya cairan lambung ke dalam sistem dan berkontak dengan bahan aktif obat, sekaligus
akan mengatur pelepasan bahan aktif obat dari sistem terapung itu ke dalam cairan lambung.
Sistem HBS paling baik diterapkan pada obat yang memiliki kelarutan yang lebih baik dalam
lingkungan asam dan obat yang memiliki tempat absorpsi khusus di daerah usus bagian atas.

Untuk dapat bertahan dalam lambung untuk waktu yang lebih lama maka bentuk
sediaan harus memiliki bobot jenis kurang dari satu. Sediaan tersebut harus bertahan dalam
lambung, integritas strukturnya terjaga dan melepaskan obat secara konstan dari bentuk
sediaan.

Rancangan sistem pelepasannya berdasarkan kemampuan mengembang dari sediaan


tiga lapis. Sistem ini dapat digambarkan sebagai berikut. Sediaan dibuat menjadi 3 lapis.
Lapis pertama berisi garam bismut yang diformulasikan untuk pelepasan segera. Bahan aktif
berada di lapis kedua, dimasukkan sebagai komponen tablet inti yang pelepasannya
dikendalikan oleh matriks. Lapis ketiga berisi komponen pembentuk gas. Efek mengapung
disebabkan oleh lapisan pembentuk gas yang terdiri dari natrium bikarbonat : kalsium
karbonat (1:2). Saat berkontak dengan cairan lambung, karbonat pada komponen pembentuk
gas bereaksi dengan asam lambung membentuk karbondioksida. Karena diformulasikan
untuk pelepasan segera, lapis pertama akan segera terdiintegrasi dan garam bismut akan
segera terlepas dari sediaan tablet itu. Sedangkan lapis kedua, hidrokoloidnya akan
mengembang. Adanya karbondioksida yang terperangkap dalam hidrokoloid yang
mengembang menyebabkan sistem menjadi mengapung. Dan hidrokoloid yang mengembang

15
itu akan menjadi gel penghalang pelepasan bahan aktif ke dalam cairan lambung, sehingga
pelepasannya dikatakan diperlambat.

Contoh Obat Gastroretentive Floating System

 Captropil
Captopril merupakan obat antihipertensi yang menurunkan tekanan darah
tinggi dengan jalan menghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE) dan
pembentukan angiotensin II, yang bersifat vasokonstriksi kuat (Tjay, 1986).
Pengembangan Captopril dibuat Sustained Release dengan sistem floating memiliki
beberapa kelebihan diantaranya aktivitas obat yang diperpanjang, mengurangi
terjadinya efek samping obat, mengurangi frekuensi pemberian obat, dan
meningkatkan kepatuhan pasien (Ansel, 2005).
Alasan Captopril dibuat sustained release karena waktu paruhnya yang pendek
yaitu 1-3 jam dengan dosis pemakaian rendah yaitu 12,5 mg; 25 mg dan 50 mg,
digunakan dalam jangka waktu lama untuk hipertensi, mudah larut dalam air dan
teroksidasi pada pH usus (Asyarie et al., 2007).
Salah satu metode yang digunakan untuk membuat Sustained Release adalah
bentuk sediaan yang dirancang untuk tinggal di lambung dalam waktu yang lama.
Bentuk Sediaan yang dapat mempertahankan obatnya di lambung dalam waktu
tertentu disebut Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS). Salah satu tehnik
gastroretentive adalah sistem floating (Arora et al., 2005).
Sistem Floating pada lambung berisi obat yang dilepaskan secara perlahan-
lahan dari sediaan yang memiliki densitas lebih rendah dari cairan lambung sehingga
dapat tetap mengapung pada lambung tanpa mempengaruhi kondisi lambung dan obat
dapat lepas secara perlahan sesuai kecepatan yang diinginkan (Sulaiman et al., 2007).
Hydroxyprophyl methylcellulosa merupakan matriks hidrokoloid yang
mempunyai daya pengembang dan etilselulosa merupakan matriks hidrofobik yang
memiliki stabilitas baik dalam berbagai pH dan kelembaban (Prajapati and Patel,
2010).
Ganesh and Deecaraman (2011) menunjukkan bahwa kombinasi keduanya
dapat digunakan sebagai matriks Sustained Release floating Captopril yang
menghasilkan tablet floating Captopril yang baik. 25 Alasan hydroxypropyl
methylcellulosa dikombinasi dengan Ethylcellulosa dalam pengembangan sustained
release adalah untuk obat dengan daya larut cepat didalam air, matriks hidrofilik
dikombinasi dengan matriks hidrofobik. Hydroxypropyl methylcellulosa merupakan
matriks hidrofilik yang terbatas penggunaannya untuk obat-obat yang kelarutannya
tinggi didalam air dikarenakan difusi melalui gel hidrofilik sangat cepat sehingga
untuk mengatasi hal tersebut digunakan kombinasi dengan ethylcellulosa yang
merupakan matriks hidrofobik yang memiliki keuntungan stabilitas baik pada
berbagai pH dan kelembaban (Prajapati and Patel, 2010).
Dengan penambahan ethyllcellulosa maka dapat meningkatkan viskositas
sehingga pelepasan dapat diperlambat (Rowe etal., 2009). Ganesh and Deecaraman
(2011) menunjukkan bahwa kombinasi matriks hidrofilik dan matriks hidrofobik

16
tersebut menghasilkan suatu tablet yang memiliki viskositas yang baik yang akan
berpengaruh pada proses swelling, integritas matriks dan kemungkinan floating yang
baik. Berdasarkan uraian diatas, perlu dilakukan penelitian pengaruh kombinasi
matriks ethylcellulosa dan hydroxyprophyl metilselulosa tablet sustained release
sistem floating Captopril terhadap sifat fisik dan disolusi tablet serta mengetahui
konsentrasi yang dapat menghasilkan tablet Captopril floating yang optimum.

17
BAB IV
KESIMPULAN

1. Gastro Retentive DDS merupakan sistem penghantaran obat yang memiliki


kemampuan menahan obat di dalam saluran pencernaan khususnya di
lambung untuk memperpanjang periode waktu. Setelah obat lepas selama
periode waktu yang disyaratkan, bentuk sediaan harus terdegradasi tanpa
menyebabkan gangguan pencernaan.
2. Tablet floating adalah system dengan densitas yang kecil, yang memiliki
kemampuan mengambang kemudian mengapung dan tinggal dilambung untuk
beberapa waktu. Pada saat sediaan mengapung dilambung, obat dilepaskan
perlahan pada kecepatan yang dapat ditentukan, hasil yang diperoleh adalah
peningkatan gastric residence time (GRT) dan pengurangan fluktuasi
konsentrasi obat dalam plasma (Chawla et al., 2003).
3. Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan
matriksmatriks hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically
balanced system (HBS), karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun
akibat matriknya mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang
dipermukaan bagian luar. Bentuk-bentuk ini diharapkan tetap dalam keadaan
mengapung selama tiga atau empat jam dalam lambung tanpa dipengaruhi
oleh laju pengosongan lambung karena densitasnya lebih rendah dari
kandungan gastrik. Hidrokoloid yang direkomendasikan untuk formulasi
bentuk floating adalah cellulose ether polymer, khususnya hydroxypropyl
methylcellulose (Moes, 2003).
4. Zat aktif yang digunakan dalam membuat sediaan tablet floting adalah zat
aktif yang digunakan untuk terapi lambung, tidak stabil karena adanya reaksi
dengan cairan lambung (terdegradasi didalam saluran intestinal / kolon),
kelarutannya rendah pada pH tinggi, zat yang dapat diabsorbsi secara cepat
dilambung dan memiliki rentang absorbs yang sempit.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. http://repository.usu.ac.id di akses pada 23/11/2019 pukul 14:26


2. http://repository.ump.ac.id/443/3/BAB%20II_YUSNI%20ULFIANA%20ZULAIKH
A_FARMASI%2716.pdf di akses pada 22/11/2019 pukul 20:30
3. https://id.scribd.com/document/377032698/Faktor-Yang-Mempengaruhi-Distribusi-Obat di
akses pada 23/11/2019 pukul 15:21
4. https://id.scribd.com/presentation/393148318/Gastroretentive-Floating di akses pada
23/11/2019 pukul 17:44
5. https://www.gurupendidikan.co.id/fungsi-lambung/ diakses pada 23/11/2019 pukul 18:09

19

Anda mungkin juga menyukai