Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Periodontium

Periodontium adalah jaringan penyangga gigi atau jaringan yang

mensupport gigi. Jaringan tersebut mencakup gingiva, tulang alveolar

disepanjang akar gigi, ligamen periodontal, dan sementum. Gingiva adalah

jaringan lunak atau mukosa terkeratinisasi yang melapisi seluruh tulang alveolar

sampai leher gigi, tulang alveolar adalah tulang yang menjadi soket atau tempat

gigi untuk berdiri yang terdiri atas rahang atas dan rahang bawah, ligament

periodontal adalah serat-serat yang menjaga gigi tetap pada soketnya yakni

terdiri atas bagian yang menempel pada tulang dan bagian yang menempel pada

sementum, dan sementum adalah jaringan pembungkus akar gigi dan menjadi

tempat menempelnya ligamen periodontal (Chandraet al., 2004).

Gambar 2.1 Anatomi Periodontium (Clerehughet al., 2009)

6
7

Epitel gingiva terdiri atas epitel oral, epitel sulkus oral, dan junctional

epithelium. Epitel oral adalah epitel squamous berlapis / epitel berlapis gepeng

orthokeratinized, yaitu sel yang telah kehilangan inti sel dan mengalami

keratinisasi (protein keratin) berfungsi sebagai barrier terhadap bakteri patogen.

Epitel sulkus oral merupakan kumpulan sel terkeratinisas yang masih memiliki inti

beberapa diantaranya, junctional epithelium merupakan gingiva yang menjadi

perlekatanya terhadap tulang dengan cara perlekatan lapisan hemidesmosomal

dan perlekatan melalui basal lamina yang dihasilkan oleh sel epitel (Clerehughet

al., 2009).

Gingiva terdiri atas marginal gingiva disebut juga free gingiva atau

unattached gingiva, attached gingiva, dan interdental gingiva. Marginal gingiva

atau free gingiva yakni bagian gingiva yang tidak mengalami perlekatan pada

tulang. Marginal gingiva mengelillingi gigi dan menjadi dinding bagian atas dari

sulkus. Attached gingiva merupakan bagian di bawah marginal gingiva yang

menempel pada tulang dan merupakan batas antara free gingiva dan

mucogingival junction. Interdental gingiva adalah bagian interproksimal gigi atau

gingiva yang berada diantara dua gigi yang saling berkontak (Chandraet al.,

2004). Gingiva memiliki bagian-bagian yaitu jaringan konektif atau lamina propria

yang terdiri atas serat kolagen yang disebut gingival fibres, kolagen ini dikelilingi

oleh komponen lain seperti fibroblas, pembuluh darah, pembuluh limfa, dan

jaringan saraf (Clerehughet al., 2009).


8

2.2 Gingival Enlargement

2.2.1 Definisi Gingival Enlargement

Gingiva yang sehat merupakan sumber kenyamanan secara psikologis

dan fisik. Sebaliknya, pembesaran pada gingiva dapat menyebabkan tekanan

fisik dan psikologis yang signifikan, depresi, kecemasan, rasa takut, dan rasa

sakit (Nowzari & Rich, 2012).

Hiperplasi gingiva merupakan salah satu ciri adanya penyakit gingiva,

disebut juga dengan inflammatory enlargement,terjadi karena adanya plak gigi,

faktor yang memudahkan terjadinya akumulasi dan perlekatan plak. Hiperplasi

gingiva sering disebut juga sebagai hyperthropic gingivitis atau gingival

hiperplasia, merupakan keradangan gingiva yang mengarah pada keadaan

patologis. Pembesaran gingiva atau gingival enlargement dapat disebabkan oleh

berbagai faktor. Penyakit ini dapat bersifat herediter atau disebabkan oleh efek

samping obat sistemik seperti phenytoin, cyclosporin, atau nifedipine. Terdapat

juga klasifikasi idiopathic gingival enlargement dimana faktor penyebabnya tidak

dapat diidentifikasi (Reenesh et al., 2012).

Gambar 2.2 Gingival Enlargement

Sumber: Greenberg et al., 2008, hal. 137


9

Gingival enlargement merupakan kondisi multifaktor. Terjadinya

pembesaran dapat berhubungan dengan berbagai variabel seperti jenis obat,

tingkat dosis, interaksi dengan obat lain, penyakit periodontal yang sudah ada

sebelumnya, plak gigi, kebersihan mulut, dan variasi respon individu. Gingival

enlargement oleh karena induksi obat berkembang sebagai akibat dari

peningkatan matriks ekstraseluler jaringan ikat (Nowzari & Rich, 2012).

Perawatan periodontal diawali dengan fase perawatan tahap awal yang

meliputi dental health education (DHE), supra dan subgingival scaling, dan

polishing. Gingival hiperplasia dapat dirawat dengan scaling, bila gingiva tampak

lunak dan ada perubahan warna, terutama bila terjadi edema dan infiltrasi seluler,

dengan syarat ukuran pembesaran tidak mengganggu pengambilan deposit pada

permukaan gigi. Apabila gingival hiperplasia terdiri dari komponen fibrotik yang

tidak bisa mengecil setelah dilakukan perawatan scaling atau ukuran pembesaran

gingiva menutupi deposit pada permukaan gigi, dan mengganggu akses

pengambilan deposit, maka perawatannya adalah pengambilan secara bedah

(gingivektomi) (Ruhadi dan Aini, 2005).

2.3 Gingivektomi

2.3.1 Definisi Gingivektomi

Gingivektomi merupakan prosedur bedah untuk menghilangkan jaringan

gingiva yang berlebih. Prosedur gingivektomi menyebabkan perdarahan, rasa

tidak nyaman dan rasa sakit pada pasien (O’Toole, 2013). Gingiva kaya akan

vaskularisasi, prosedur gingivektomi maupun gingivoplasti cenderung

mengakibatkan pendarahan intraoperatif yang cukup banyak (Gorrel & Hale,

2012).
10

Prosedur gingivektomi mampu menyediakan visibilitas dan aksesibilitas

untuk menghilangkan kalkulus, menghaluskan akar, menciptakan lingkungan

yang menguntungkan bagi penyembuhan gingiva dan pemulihan kontur gingiva

secara fisiologis. Teknik gingivektomi mempunyai keuntungan dari segi

kesederhanaan dan merupakan prosedur yang tidak memakan waktu lama

namun terdapat ketidaknyaman pasca prosedur berupa adanya peningkatan

pendarahan postoperative (Carranza et al., 2006).

2.3.2 Prosedur Gingivektomi

Prosedur Gingivektomi menurut Cohen (2009) adalah sebagai berikut:

1. Fase Presurgical

Persiapan sebelum pembedahan dilakukan untuk mengurangi

peradangan dan menghilangkan faktor-faktor lokal (kalkulus, plak, dan restorasi

yang overhanging). Setelah proses penyembuhan awal, jaringan ikat terposisikan

dengan benar. Pada saat prosedur operasi bedah, diberikan anestesi lokal yang

adekuat. Digunakan vasokonstriktor untuk mengendalikan pendarahan, terutama

karena penyembuhan yang terjadi adalah penyembuhan sekunder. Di bawah

anestesi, poket ditandai agar tidak melebihi mucogingival. Perlu diperhatikan juga

kebutuhan akan koreksi tulang karena gingivektomi merupakan kontraindikasi

bagi bedah yang membutuhkan perbaikan tulang.

2. Mengukur Kedalaman Poket

Periodontal probe digunakan untuk menandai dasar poket dengan

serangkaian titik perdarahan kecil. Tiga titik (mesial, distal dan bukal) dibuat pada

setiap permukaan bukal dan lingual. Tanda ini menggambarkan batas

penghilangan poket. Penanda poket atau pocket marker diletakkan ke dalam


11

poket dan diposisikan sejajar dengan gigi. Ketika dasar poket telah tercapai,

jaringan ditandai. Setelah titik-titik perdarahan telah ditetapkan, titik-titik tersebut

akan membentuk garis putus-putus yang menguraikan sayatan. Penanda poket

tidak boleh diletakkan miring karena dapat membentuk garis sayatan yang terlalu

dalam.

3. Insisi

Insisi dapat dibuat menggunakan scalpel atau pisau gingivektomi,

meskipun pisau gingivektomi lebih mudah digunakan karena memiliki angulasi

dan ketajaman yang baik. Bagian tumit pisau digunakan untuk insisi primer, yang

dimulai dari apikal sampai bleeding point. Pisau dipegang sedemikian rupa,

sedekat mungkin dengan tulang untuk menghilangkan poket dengan

memposisikannya bevel 45˚ terhadap jaringan. Scaler dan kuret yang digunakan

untuk scaling dan root planing digunakan juga untuk menghilangkan sisa jaringan

granulasi, kalkulus, dan sementum.

4. Gingivoplasti

Kontur akhir dari gingiva dibentuk menggunakan gunting, tissue nippers,

atau diamond stone. Gingivoplasti diperlukan untuk membentuk permukaan

interradikular dan membuat kontur lebih rata. Jaringan yang sembuh akan tipis,

daerah dari interdental ke permukaan interradikular akan lebih rata sehingga tidak

mudah untuk dijadikan retensi makanan.

Gambar 2.3 Prosedur Gingivektomi

Sumber: Carranza et al., 2006, hal. 913


12

2.4 Inflamasi

2.4.1 Definisi Inflamasi

Inflamasi adalah respon fisiologis tubuh terhadap suatu injuri dan gangguan

oleh faktor eksternal.Inflamasi terbagi menjadi dua pola dasar. Inflamasi akut

adalah radang yang berlansung relatif singkat, dari beberapa menit sampai

beberapa hari, dan ditandai dengan perubahan vaskular, eksudasi cairan dan

protein plasma serta akumulasi neutrofil yang menonjol. Inflamasi akut dapat

berkembang menjadi suatu inflamasi kronis jika agen penyebab injuri masih tetap

ada. Inflamasi kronis adalah respon proliferatif dimana terjadi proliferasi fibroblas,

endotelium vaskuler, dan infiltrasi sel mononuklear (limfosit, sel plasma dan

makrofag). Respon peradangan meliputi suatu suatu perangkat kompleks yang

mempengaruhi perubahan vaskular dan selular

2.4.2 Jenis Inflamasi

2.4.2.1 Inflamasi Akut

Inflamasi akut memiliki 2 komponen utama antara lain

a. Perubahan pembuluh darah

Perubahan pembuluh darah mengakibatkan meningkatnya peredaran darah dan

perubahan struktur yang menyebabkan protein plasma meninggalkan sirkulasi.

b. Aktifitas Sel

Perpindahan leukosit dari dalam pembuluh darah mikro dan berakumulasi pada

fokus kerusakan (penarikan sel dan aktifasi). Sel utama yang berperan adalah

neutrofil.

Ketika di tubuh manusia terdapat agen perusak atau sel yang mati, fagosit

yang berada di sisi luar jaringan akan mengeliminasinya. Pada saat yang sama
13

fagosit dan sel-sel tubuh akan bereaksi terhadap substansi asing atau abnormal

dengan melepaskan molekul protein dan lemak yang berfungsi sebagai mediator

kimia dari inflamasi. Mediator-mediator juga dihasilkan oleh protein plasma yang

bereaksi dengan mikroba atau jaringan yang rusak.

Beberapa aksi mediator-mediator yang berada di sekitar pembuluh darah

kecil juga menarik plasma dan leukosit dari dalam pembuluh darah untuk keluar

menuju agen tersebut berada. Leukosit yang sudah keluar tersebut diaktifkan

oleh agen perusak dan secara lokal oleh produk mediatormediator untuk

menghilangkan agentersebut dengan fagositosis. Efek samping dari aktivasi

leukosit adalah rusaknya beberapa jaringan normal tubuh. 3,38 Setelah agen

perusak hilang, mekanisme anti inflamasi aktif. Setelah proses ini berakhir, maka

tubuh akan menjadi kembali normal. Jika agen perusak tidak dapat dihilangkan

maka proses ini akan berubah menjadi kronik.

2.4.2.2 Infalamasi Kronis

Inflamasi kronik adalah inflamasi yang durasinya panjang (minggu sampai

bulan sampai tahun) pada inflamasi aktif, jaringan yang cedera, dan proses

penyembuhan dengan stimulasi. Inflamasi kronik ini dikarakteristikan sebagai

berikut :

a. Infiltrasi oleh sel mononuklear, termasuk diantaranya makrofag, limfosit, dan

sel plasma

b. Destruksi jaringan, sebagian besar diinduksi oleh produk dari selsel yang

terinflamasi

c. Perbaikan, keterlibatan proliferasi pembuluh baru (angiogenesis) dan fibrosis.

Inflamasi akut dapat berkembang menjadi inflamasi kronik. Transisi ini terjadi
14

ketika respon akut tidak dapat diselesaikan, bisa oleh karena persisten dari agen

perusak atau oleh karena keterlibatan proses normal dari penyembuhan

Gambar 2.4 Konsep inflamasi akut dan kronis

Sumber: Robbins

2.5 Luka

2.5.1 Definisi Luka

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Keadaan ini dapat

disebabkan oleh trauma benda tajam atau tumpul, perubahan suhu, zat kimia,

ledakan, sengatan listrik, atau gigitan hewan. Ketika luka timbulm beberapa efek

akan muncul seperti hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ, respon stres

simpatis, perdarahan dan pembekuan darah, kontaminasi bakteri, kematian sel.

Proses yang kemudian terjadi pada jaringan yang rusak ini ialah penyembuhan

luka yang dapat dibagi dalam tiga fase inflamasi, proliferasi, dan penyudahan yang

merupakan remodeling jaringan (Smeltzer & Bare, 2001)


15

2.5.2 Klasifikasi Luka

Luka sering digambarkan berdasarkan bagaimana cara mendapatkan luka itu

dan menunjukan derajat luka (Smeltzer & Bare, 2001).

1. Berdasarkan derajat kontaminasi

a. Luka bersih

Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang

merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk

terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun

traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih.

Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%.

b. Luka bersih terkontaminasi

Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan,

saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses

penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.

Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.

c. Luka terkontaminasi

Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran

pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda

infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau

kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan

infeksi luka 10% - 17%.

d. Luka kotor

Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati

dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat

pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera,


16

abses dan trauma lama

2 Berdasarkan Penyebab

a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan

epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing.

Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas,

terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.

b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka

berupa garis lurus dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada

aktifitas sehari-hari seperti terkena pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng,

kaca ), dimana bentuk luka teratur .

c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan

atau compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul.

Luka ini dapat kita jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk

luka tidak beraturan dan kotor, kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa

hingga lapisan otot.

d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing

yang biasanya kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau

yang menembus lapisan otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya.

Kesemuanya menimbulkan efek tusukan yang dalam dengan permukaan luka

tidak begitu lebar.

e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan

memiliki bentuk permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit.

Dengan kedalaman luka juga menyesuaikan gigitan hewan tersebut.

f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas

maupun sengatan arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak
17

beraturan dengan permukaan luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam.

Biasanya juga disertai bula karena kerusakan epitel kulit dan mukosa.

3. Berdasarkan kedalaman dan luasnya luka

a. Stadium I : Luka Superfisial (“Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi

pada lapisan epidermis kulit.

b. Stadium II : Luka “Partial Thickness” : yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan

epidermis dan bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya

tanda klinis seperti abrasi, blister atau lubang yang dangkal.

c. Stadium III : Luka “Full Thickness” : yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi

kerusakan atau nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah

tetapi tidak melewati jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan

epidermis, dermis dan fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis

sebagai suatu lubang yang dalam dengan atau tanpa merusak jaringan

sekitarnya.

d. Stadium IV : Luka “Full Thickness” yang telah mencapai lapisan otot, tendon

dan tulang dengan adanya destruksi/kerusakan yang luas

2.5.3 Tahap Penyembuhan luka

2.5.3.1 Penyembuhan Primer / Healing by Primary Intention (Penutupan luka

primer)

Penutupan ini akan merapatkan jaringan yang terputus dengan bantuan

benang, klip dan verban perekat. Setelah beberapa waktu, maka sintesis,

penempatan dan pengerutan jaringan kolagen akan memberikan kekuatan dan

integritas pada jaringan tersebut. Pertumbuhan kolagen tersebut sangat penting

pada tipe penyembuhan ini. Pada penutupan primer tertunda, perapatan jaringan
18

ditunda beberapa hari setelah lukadi buat atau terjadi. Penundaan penutupan

luka ini bertujuan mencegah infeksi pada luka-luka yang jelas terkontaminasi oleh

bakteri atau yang mengalami trauma jaringan yang hebat (Sugiaman, 2011).

Fase-fase dalam intention primer :

1. Fase inisial berlangsung 3-5 hari

2. Sudut insisi merapat, migrasi sel-sel epitel,mulai pertumbuhan sel

3. Fase granulasi (5 hari – 4 mg)

Fibroblas bermigrasi kedalam bagian luka dan mensekresi kolagen. Selama fase

granulasi luka berwarna merah muda dan mengandung pembuluh darah. Tampak

granula-granula merah. Luka beresiko dehiscence dan resisten terhadap infeksi.

Epitelium pada permukaan tepi luka mulai terlihat. Dalam beberapa hari lapisan

epithelium yang tipis akan bermigrasi menyebrangi permukaan luka. Epitel

menebal dan mulai matur dan luka mulai merapat. Pada luka superficial,

reepitelisasi terjadi 3-5 hari.

4. Fase kontraktur scar (7 hari – beberapa bulan)

Serabut-serabut kolagen terbentuk dan terjadi proses remodeling. Pergerakan

miofibroblast yang aktif menyebabkan kontraksi area penyembuhan, menutup

defek dan membawa ujung kulit tertutup bersama-sama. Skar yang matur

selanjutnya terbentuk. Skar yang matur tidakmengandung pembuluh darah dan

pucat, serta lebih terasa nyeri dari pada fase granulasi.

2.5.3.2 Penyembuhan Sekunder /Healing by Secondary Intention (Penutupan

luka sekunder)

Luka yang terjadi dari trauma, ulserasi dan infeksi dan memiliki sejumlah

besar eksudat dan luas, batas luka ireguler dengan kehilangan jaringan yang
19

cukup luas menyebabkan tepi luka tidak merapat. Reaksi inflamasi dapat lebih

besar dari pada penyembuhan luka. Kegagalan penutupan sekunder dari luka

terbuka akan berakibat terbentuknya luka terbuka kronis (Sugiaman, 2011).

2.5.3.3 Penyembuhan tertier /Healing by Tertiary Intention (Penutupan luka

tertier)

Penutupan ini Adalah intension primer yang tertunda. Terjadi karena dua

lapisan jaringan granulasi dijahit bersama-sama. Ini terjadi ketika luka yang

terkontaminasi, terbuka dan dijahit rapat setelah infeksi dikendalikan. Juga dapat

terjadi ketika luka primer mengalami infeksi, terbuka dan dibiarkan tumbuh

jaringan granulasi dan kemudian dijahit. Intension tersier biasanya

mengakibatkan skar yang lebih luas dan lebih dalam dari pada intension primer

atau sekunder (Sugiaman, 2011).

Gambar 2.5 Jenis Penyembuhan Luka

Sumber:http://creasoft.com//.Accessed January01, 2016.


20

2.5.4 Fase Penyembuhan Luka

2.5.4.1 Fase Inflamatori

Fase ini berlangsung sejak terjadinya luka sampai kira-kira hari ke-lima.

Dalam fase ini terjadi akumulasi sel-sel radang pada daerah yang terluka yang

disebabkan oleh respon vaskuler dan seluler. Pada fase vaskuler, pembuluh

darah yang robek akan menyebabkan perdarahan dan tubuh akan mencoba

menghentikannya melalui vaso-konstriksi, pengerutan ujung pembuluh darah

yang putus, dan reaksi homeostasis. Pada fase ini terjadi aktivitas seluler yaitu

dengan pergerakan leukosit menembus dinding pembuluh darah (diapedesis)

menuju luka karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik

yang membantu mencerna bakteri dan debris pada luka. Beberapa jam setelah

luka, terjadi invasi sel inflamasi pada jaringan luka. Sel polimorfonuklear (PMN)

bermigrasi menuju daerah luka dan setelah 24-48 jam terjadi transisi sel PMN

menjadi sel mononuklear atau makrofag yang merupakan sel paling dominan

pada fase ini selama lima hari dengan jumlah paling tinggi pada hari ke-dua

sampai hari ke-tiga. Pada fase ini, luka hanya dibentuk oleh jalinan fibrin yang

sangat lemah. Setelah proses inflamasi selesai, maka akan dimulai fase

proliferasi pada proses penyembuhan luka (Morison, 2003).

Gambar 2.6 Fase inflamatori

Sumber:http://blog.umy.ac.idAccessed January02, 2016.


21

2.5.4.2 Fase Proliferatif

Fase proliferasi ini disebut juga fase fibroplasia, karena yang menonjol

adalah proses proliferasi fibroblas. Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi

sampai kira-kira akhir minggu ke-tiga yang ditandai dengan deposisi matriks

ekstraselular, angiogenesis, dan repitelisasi. Fibroblas memproduksi matriks

ekstraselular, kolagen primer, dan fibronektin untuk migrasi dan proliferasi sel.

Fibroblas berasal dari sel mesenkim yang belum berdiferensiasi, menghasilkan

mukopolisakarida, asam amino-glisin, dan prolin yang merupakan bahan dasar

serat kolagen yang akan mempertautkan tepi luka. Proses angiogenesis juga

terjadi pada fase ini yang ditandai dengan terbentuknya formasi pembuluh darah

baru dan dimulainya pertumbuhan saraf pada ujung luka (Suriadi, 2004). Pada

keadaan ini, keratinosit berproliferasi dan bermigrasi dari tepi luka untuk

melakukan epitelisasi menutup permukaan luka, menyediakan barier pertahanan

alami terhadap kontaminan dan infeksi dari luar. Epitel tepi luka yang terdiri atas

sel basal, terlepas dari dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka.

Tempatnya kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses mitosis.

Proses ini baru terhenti ketika sel epitel saling menyentuh dan menutup seluruh

permukaan luka. Dengan tertutupnya permukaan luka dan dengan pembentukan

jaringan granulasi, maka proses fibroplasia akan berhenti dan dimulailah proses

pematangan dalam fase remodeling

Gambar 2.7 Fase proliferatif

Sumber:http://blog.umy.ac.id/topik/files/2011/12/Merawat-luka.pdf. .Accessed January02,

2016.
22

2.5.4.3 Fase Maturasi

Menurut Smeltzer & Bare (2001), fase maturasi disebut juga sebagai fase

diferensiasi, resorptif, remodeling atau plateau. Fase maturasi mencakup

re-epitelisasi, kontraksi luka dan reorganisasi jaringan ikat (Morison, 2003).Pada

fase ini terjadi perubahan bentuk, kepadatan, dan kekuatan luka. Selama proses

ini, dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis, lemas, dan mudah digerakkan dari

dasarnya. Terlihat pengerutan maksimal dari luka, terjadi peningkatan kekuatan

luka, dan berkurangnya jumlah makrofag dan fibroblas yang berakibat terhadap

penurunan jumlah kolagen. Secara mikroskopis terjadi perubahan dalam susunan

serat kolagen menjadi lebih terorganisasi. Fase ini dapat berlangsung

berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir apabila semua tanda radang sudah

hilang. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua yang abnormal karena

adanya proses penyembuhan.

Gambar 2.8 Fase maturasi

Sumber:http://blog.umy.ac.id.Accessed January02, 2016.

2.5.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyembuhan Luka

Faktor yang mempercepat penyembuhan luka terdiri dari (Smeltzer & Bare,

2001):

1). Pertimbangan perkembangan Anak dan orang dewasa lebih cepat lebih cepat
23

penyembuhan luka daripada orang tua. Orang tua lebih sering terkena penyakit

kronis, penurunan fungsi hati yang dapat mengganggu sintesis dari faktor

pembekuan darah .

2). Nutrisi

Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian metabolisme pada tubuh.

Klien memerlukan diit kaya Protein, Karbonhidrat, Lemak, Vitamin dan Miniral (Fe,

Zn) Bila kurang nutrisi diperlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi setelah

pembedahan jika mungkin. Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka

dan penyembuhan lama karena supply darah jaringan adipose tidak adekwat .

3). Infeksi

Ada tidaknya infeksi pada luka merupakan penentu dalam percepatan

penyembuhan luka. Sumber utama infeksi adalah bakteri. Dengan adanya infeksi

maka fase-fase dalam penyembuhan luka akan terhambat.

4) Sirkulasi dan Oksigenasi

Sejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka. Saat kondisi fisik

lemah atau letih maka oksigenasi dan sirkulasi jaringan sel tidak berjalan lancar.

Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak yang memiliki sedikit

pembuluh darah berpengaruh terhadap kelancaran sirkulasi dan oksigenisasi

jaringan sel. Pada orang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan lemak

lebih sulit menyatu, lebih mudah Infeksi danlama untuk sembuh. Aliran darah

dapat terganggu pada orang dewasa yang mederita gangguan pembuluh darah

prifer, hipertensi atau DM. Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang

menderita anemia atau gangguan pernafasan kronik pada perokok.

5). Keadaan luka

Kedaan kusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan


24

luka. Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu dengan cepat. Misalnya luka

kotor akan lambat penyembuhannya dibanding dengan luka bersih.

6). Obat

Obat anti inflamasi (seperti aspirin dan steroid), heparin dan anti neoplasmik

mempengaruhi penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat

membuat tubuh seseorang rentan terhadap Infeksi luka. Dengan demikian

pengobatan luka akan berjalan lambat dan membutuhkan waktu yang lebih lama.

b. Faktor yang memperlambat penyembuhan luka

Tidak adanya penyembuhan luka akibat dari kerusakan pada satu atau lebih dari

proses penyembuhan normal. Proses ini diklasifikasikan menjadi faktor Intrinsik

dan ekstrinsik (Suriadi, 2004).

1) Faktor Intrinsik

Ketika luka terinfeksi, respon inflamatori berlangsung lama dan penyembuhan

luka terlambat. Luka tidak akan sembuh selama ada infeksi. Infeksi dapat

berkembang saat pertahanan tubuh lemah. Diagnosa dari infeksi jika nilai kultur

luka melebihi nilai normal. Kultur memerlukan waktu 24-48 jam dan selama

menunggu pasien di beri antibiotika spektrum luas. Kadang-kadang benda asing

dalam luka adalah sumber infeksi. Suplai darah yang adekuat perlu bagi tiap

aspek penyembuhan. Suplai darah dapat terbatas karena kerusakan pada

pembulu darah Jantung/ Paru. Hipoksia mengganggu aliran oksigen dan nutrisi

pada luka, serta aktifitas dari sel pertumbuhan tubuh. Neutropil memerlukan

oksigen untuk menghasilkan oksigen peroksida untuk membunuh patogen.

Demikian juga fibroblast dan fagositosis terbentuk lambat. Satu-satunya aspek

yang dapat meningkatkan penyembuhan luka pada keadaan hipoksia adalah

angio genesis.
25

2) Faktor ekstrinsik

Faktor ektrinsik dapat memperlambat penyembuhan luka meliputi malnutrisi,

perubahan usia dan penyakit seperti diabetes melitus. Malnutrisi dapat

mempengaruhi beberapa area dari proses penyembuhan. Kekurangan protein

menurunkan sintesa dari kolagen dan leukosit. Kekuranganlemak dan

karbonhidrat memperlambat semua fase penyembuhan luka karena protein di

rubah menjadi energi selama malnutrisi. Kekurangan Vitamin menyebabkan

terlambatnya produksi dari kolagen, respon imun dan respon koagulasi. Pasien

tua yang mengalami penurunan respon inflamatari yang memperlambat proses

penyembuhan. Usia tua menyebabkan penurunan sirkulasi migrasi sel darah

putih pada sisa luka dan fagositasis terlambat. Ditambah pula kemungkinan

Pasien mengalami gangguan yang secara bersamaan menghambat

penyembuhan luka seperti Diabetes Melitus. Diabetes Melitus adalah gangguan

yang menyebabkan banyak pasien mengalami kesulitan dalam proses

penyembuhan karena gangguan sintesa kolagen, angiogenesis dan fagositosis.

Peningkatan kadar glucosa mengganggu transport sel asam askorbat kedalaman

bermacam sel termasuk fibroblast dan leukosit. Hiperglikemi juga menurunkan

leukosit kemotaktis, arterosklerosis, kususnya pembuluh darah kecil, juga pada

gangguan suplai oksigen jaringan. Neurapati diobotik mrupakan gangguan

penyembuhan lebih lanjut dengan mengganggu komponen neurologis

daripenyembuhan. Kontrol dari gulu darah setelah operasi memudahkan

penyembuhan luka secara normal. Merokok adalah gangguan Vaso kontriksi dan

hipoksia karena kadar Co2 dalam rokok serta membatasi suplai oksigen ke

jaringan. Merokok meningkatkan arteri sklerosis dan platelet agregasi. Lebih

lanjut kondisi ini membatasi jumlah oksigen dalam luka. Penggunaan steroid
26

memperlambat penyembuhan dengan menghambat kologen sintesis, Pasien

yang minum steroid mengalami penurunan strenght luka, menghambat kontraksi

dan menghalangi epitilisasi. Untungnya Vitamin A ada untuk meningkatkan

penyembuhan luka yang terhambat karena gangguan atau penggunaan steroid.

2.6 Penyembuhan Luka Pasca Gingivektomi

Penyembuhan luka yang dibuat oleh prosedur gingivektomi dapat

diperkirakan. Studi penelitian menunjukkan bahwa epitel tumbuh sepanjang

jaringan ikat dengan kecepatan 0,5 mm per hari (Nield & Willmann, 2003).

Setelah 12–24 jam, sel epitel pinggiran luka mulai migrasi ke atas jaringan

granulasi. Epitelisasi permukaan pada umumnya selesai setelah 5–14 hari.

Selama 4 minggu pertama setelah gingivektomi keratinisasi akan berkurang,

keratinisasi permukaan mungkin tidak tampak hingga hari ke 28–42 setelah

operasi. Repair epithel selesai sekitar satu bulan, repair jaringan ikat selesai

sekitar 7 minggu setelah gingivektomi. Vasodilatasi dan vaskularisasi mulai

berkurang setelah hari keempat penyembuhan dan tampak hampir normal pada

hari keenam belas. Enam minggu setelah gingivektomi, gingiva tampak sehat,

berwarna merah muda dan kenyal. Kenyataannya secara klinis perawatan

gingival hiperplasia dengan perawatan gingivektomi sering menimbulkan

kekambuhan (Ruhadi dan Aini, 2005).

2.7 Neutrofil

Dalam keadaan segar, neutrofil PMN berdiameter 7-9 µm dan 10-12 µm

dalam hapusan darah kering. Dalam darah manusia, neutrofil jumlahnya paling

banyak dan merupakan 65-75 % dari jumlah seluruh leukosit (Leeson et al, 2006).
27

Inti sangat polimorf dan memperlihatkan berbagai bentuk, yaitu oval, bentuk huruf

S, bersegmen (memiliki lobus), seperti kuda (horseshoe). Inti umumnya terdiri

atas 3 sampai 5 lobus berbentuk lonjong yang tidak teratur, yang saling

dihubungkan oleh benang-benang kromatin yang halus. Jumlah lobus bertambah

sesuai dengan bertambahnya umur sel . (Juncqueira, 2000). Neutrofil membentuk

pertahanan terhadap invasi mikroorganisme, terutama bakteri dan merupakan

fagosit aktif terhadap partikel kecil (Juncqueira, 2000).

Gambar 2.9 Neutrofil PMN

Sumber: Atlas Histologi di Fiore, Victor P. Eroschenko (2003:63)

Neutrofil merupakan sel matang yang dapat menyerang dan merusak bakteri

dan virus bahkan dalam sirkulasi darah. Dalam suatu proses radang, neutrofil

bertugas untuk membersihkan jaringan dari agen infeksi atau toksik. Sifat-sifat

neutrofil yaitu:

1. Diapedesis

Neutrofil dapat keluar melalui pori-pori pembuluh darah dengan proses

diapedesis. Walaupun ukuran pori jauh lebih kecil daripada ukuran sel, sebagian

kecil sel menerobos pori, bagian yang menerobos untuk sementara mengecil

sampai seukuran pori (Guyton & Hall, 2007).

2. Gerak Amuboid

Neutrofil bergerak menuju jaringan dengan gerak amuboid. Neutrofil dapat


28

bergerak paling sedikit tiga kali panjangnya setiap menit (Guyton & Hall, 2007).

3. Kemotaksis

Zat kimia dalam jaringan menyebabkan neutrofil bergerak mendekati sumber zat

kimia. Fenomena ini dikenal sebagai kemotaksis. Bila jaringan meradang,

sejumlah produk berbeda dapat menyebabkan kemotaksis, termasuk sejumlah

toksin bakteri, produk degeneratif jaringan yang meradang itu sendiri, dan

senyawa lainnya (Guyton & Hall, 2007).

4. Fagositosis

Fungsi neutrofil yang paling penting adalah fagositosis. Sewaktu mendekati

sebuah partikel untuk difagositosis, sel-sel neutrofil mula-mula melekat pada

reseptor yang melekat pada partikel itu kemudian akan menonjolkan pseudopodia

ke semua jurusan di sekeliling partikel tersebut dan akan saling bertemu satu

sama lainnya pada sisi yang berlawanan dan akan bergabung sehingga terjadilah

ruangan tertutup yang berisi partikel-partikel yang sudah difagositosis (Guyton &

Hall, 2007).

Respon Terhadap Radang Setelah peradangan dimulai, neutrofil menginvasi

daerah yang meradang dengan segera untuk melaksanakan fungsinya

membersihkan jaringan dari agen infeksi atau toksik. Beberapa jam sesudah

dimulainya radang akut, terjadi kenaikan jumlah neutrofil dalam darah,

kadang-kadang sampai empat hingga lima kali lipatdari jumlah normal 4000

sampai 5000 menjadi 15.000 sampai 25.000 neutrofil permikroliter, keadaan ini

disebut neutrofilia. Neutrofilia disebabkan oleh produk peradangan yang

memasuki aliran darah, yang kemudian ditransport ke sumsum tulang dan disitu

bekerja pada kapiler sumsum dan pada neutrofil yang tersimpan untuk

menggerakkan neutrofil-neutrofil ini dengan segera ke dalam sirkulasi darah. Hal


29

ini menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah neutrofil yang tersedia pada area

jaringan yang meradang (Guyton & Hall, 2007). Produk dari jaringan yang

meradang juga menyebabkan neutrofil pindah dari sirkulasi ke dalam daerah

yang meradang. Hal ini dilakukan dalam tiga fase yaitu:

1) Marginasi, dimana dinding kapiler dirusak oleh sel neutrofil dan menyebabkan

neutrofil melekat.

2) Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler dan venula kecil serta hal ini

memungkinkan neutrofil lewat dengan diapedesis ke dalam ruangan jaringan.

3) Fenomena kemotaksis menyebabkan neutrofil bermigrasi ke arah jaringan

yang cedera. Dalam beberapa jam setelah dimulai kerusakan jaringan, area ini

dipenuhi dengan neutrofil. Karena neutrofil merupakan sel yang telah matang,

maka neutrofil siap melakukan fungsinya untuk membuang benda asing dari

jaringan yang meradang (Guyton & Hall, 2007). Selama radang, lisosom neutrofil

merupakan sumber fosfolipase yang penting. Aktivasi fosfolipase ini berguna

untuk membebaskan asam arakhidonat dan fosfolipid selaput sel sehingga

proses keradangan dapat berlangsung (Robbins & Kumar, 2011).

2.8 Asam arakhidonat

Asam arakhidonat merupakan suatu asam lemak tak jenuh ganda dengan 20

atom karbon. Asam arakhidonat dilepaskan oleh fosfolipid melalui fosfolipase sel

yang telah diaktifkan oleh rangsang mekanik, kimiawi, atau fisik. Proses

metabolisme asam arakhidonat terjadi melalui dua jalur utama, yaitu

siklooksigenase dengan menyintesis prostaglandin juga tromboksan dan

lipooksigenase yang menyintesis leukotrien dan lipoksin.


30

Jalur utama metabolisme asam arakhidonat, yaitu:

a) Jalur siklooksigenase, produk yang dihasilkan oleh jalur ini adalah

prostaglandin E2 (PGE2), PGD2, prostasiklin (PGI2), dan tromboksan A2

(TXA2). TXA2 adalah pengagregasi trombosit dan vasokonstriktor,

merupakan produk utama prostaglandin dalam trombosit. PGI2 adalah suatu

vasodilator dan inhibitor agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit

utama jalur siklooksigenase dalam sel mast, bersama dengan PGE2

menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan pembentukan edema.

Prostaglandin juga berperan dalam patogenesis nyeri dan demam pada

inflamasi, PGE2 membantu menigkatkan sensitivitas nyeri terhadap berbagai

rangsang dan berinteraksi dengan sitokin yang menyebabkan demam.

b) Jalur lipooksigenase, merupakan enzim yang memetabolisme asam

arakhidonat yang menonjol dalam neutrofil. Enzim ini menghasilkan

leukotrien. Leukotrien pertama yang dihasilkan disebut leukotrien A4 (LTA4)

yang selanjutnya akan menjadi LTB4 melalui hidrolisis enzimatik. LTB4

merupakan agen kemotaksis danmenyebabkan agregasi neutrofil. LTC4 dan

metabolit berikutnya, LTD4 dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi,

bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Kemudian lipoksin

A4 (LXA4) yang menyebabkan vasodilatasi danmenghambat kemotaksis

neutrofil.
31

Gambar 2.10 Jalur Metabolisme asam arakidonat (Lullman dkk, 2000)

2.9 Penatalaksanaan Luka Pasca Gingivektomi

Pada periode pasca operasi, permukaan gigi dan deposit yang masih tersisa

dan jaringan yang nekrose dibersihkan dengan bantuan ultasonik skaler lakukan

pembersihan dengan saline agar bersih dan tidak terjadi pendarahan, kemudian

dipasang periodontal dressing. Periodontal dressing dipasang untuk

meningkatkan kenyamanan pasca operasi. Dressing ini akan menghalangi

pembentukan jaringan granulasi yang berlebihan dan melindungi luka dari trauma

mekanis dan kimia (Suryono, 2014).

Penempatan dressing harus, menempati sepanjang leher gigi dan tidak

menutupi permukaan oklusal, serta membentuk kerucut pada daerah interdental.

Dressing digunakan pada gingivektomi ditujukan untuk :


32

a. Melindungi luka dari iritasi

b. Menjaga agar daerah luka tetap dalam keadaan bersih

c. Mengontrol perdarahan

d. Mengontrol produksi jaringan granulasi yang berlebihan

Karena itu, dresing dapat mempercepat pemulihan dan memberikan

kenyamanan pasca operasi. Dresing periodontal yang digunakan pada bedah

periodontal harus memenuhi persyaratan :

1. Non iritatif dan non alergi (tidak merangsang terjadinya reaksi alergi)

2. Waktu penegerasan cukup untuk dilakukan manipulasi/timing

3. Dapat mencegah akumulasi sisa makanan dan saliva

4. Mempunyai sifat antibakteri atau bukan media untuk pertumbuhan bakteri

5. Rasanya tidak mengganggu

Dresing yang berbahan dasar zinc-oxide eugenol kurang disukai oleh sebagian

pasien karena rasa dan bau serta dilaporkan dapat merangsang terjadinya kontak

alergi. Selama menggunakan dressing, pasien diinstruksikan untuk menghindari

makan atau minum selama 1 jam setelah operasi atau sampai periodontal pack

mengeras. Pasien harus menghindari makanan yang panas, menyikat gigi

terbatas pada permukaan oklusal dan incisal pada daerah operasi, dan

memebersihkan dressing dengan sikat yang lembut. Selain itu pasien disarankan

untuk berkumurdengan mouthwash setelah makan. Pasien diintruksikan untuk

datang kembali dan mengganti dressing dalam 3-5 hari atau lebih awal jika letak

dressing berubah.Pada saat penggantian dressing, luka dan permukaan akar

diperiksa dan dibersihkan kembali. Jika terdapat jaringan granulasi yang

berlebihan dapat dihilangkan dengan kuret. Setelah pengambilan dressing

terakhir, pasien diinstruksikan untuk membersihkan daerah operasi secara normal


33

dengan menggunakan sikat gigi extra soft untuk 1-2 minggu awal (Suryono,

2014).

2.10 Sukun (Artocarpus altilis)

2.10.1 Definisi

Sukun merupakan tanaman yang banyak tumbuh dan dibudidayakan di

seluruh daerah tropis lembab, diperkirakan tanaman ini berasal dari daerah Asia

Tenggara, New Guinea, dan Pasifik Selatan. Tanaman sukun di Indonesia sendiri

penyebarannya sudah sangat luas, tapi belum dapat dipastikan bagaimana dan

kapan tanaman ini masuk Indonesia. Sukun adalah tanaman tahunan yang

tumbuh baik pada lahan kering (Diane, 2006).

Gambar 2.11 Sukun

Sumber:www.en.wikipedia.org.Accessed January02, 2016.

Sukun (Artocarpus altilis) merupakan suatu jenis tumbuhan yang dapat

tumbuh di daerahberiklim basah tropis. Tumbuhan ini merupakan pohon yang

dapat mencapai tinggi sekitar 30meter, berbatang tegak, bulat, percabangan

simpodial, bergetah, merupakan tumbuhan berumahsatu (bunga jantan dan betina

terletak pada satu pohon). Bunga jantan berbentuk silindrik sepertigada bertangkai
34

antara 3-6 cm. Bunga betina berkelopak menyerupai kerucut ujungnya,

berbaulemah dan pendek, putik bercabang dua, sedangkan buahnya berduri lunak

merupakan buahmajemuk berbentuk bola atau elips, berwarna hijau dengan

diameter antara 20-30 cm(Rostinawati, maharani, mitha,2009).

Tanaman sukun daunnya berwarna hijau, bentuk tunggal berseling, lonjong,

ujungruncing, tepi bertoreh, panjang 50-70 cm, lebar 25-50 cm, pertulangan daun

menyirip (Djumidi,1997). Daun tanaman sukun ini berganti-ganti, tidak terbagi

ketika daun masih muda,daundewasa sangat tebal, keras, hijau gelap dan kilap di

bagian atas, hijau pucat dan kasar di bagianbawah (Rostinawati, maharani,

mitha,2009).

2.10.2 Taksonomi

Kingdom : Plantae

Subkingdom : Traceobionta

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Sub kelas : Dilleniidae

Ordo : Urticales

Famili : Moraceae

Genus : Artocarpus

Spesies : Artocarpus altilis

2.10.3 Morfologi

Morfologi dan karakteristik spesifik dari setiap bagian tanaman Sukun :

1. Pohon
35

Merupakan bentukan pohon yang kuat dan tumbuh dengan beberapa batang

yang menyebar, pertumbuhan pohon tanaman sukun relatif cepat(0,5-1,5 meter

per tahunnya), tinggi darii tanaman ini mencapai 21 meter, tetapi

didaerahindonesia kebanyakan tanaman sukun dapat tumbuh 12-15 meter, juga

memiliki batang yang kokoh yang dapat tumbuh hingga mencapai 0,6-1,8 meter

pada setiap batangnya. Semua bagian dari pohon, termasuk buah mentah, kaya

akan susu dan lateks bergetah (kartikawati dan Adi Nugraha, 2003; Diane, 2006)

2. Bunga

Bunga-bunga sukun berkelamin tunggal (bunga betina dan bunga jantan

terpisah), tetapi berumah satu. Bunganya keluar dari ketiak daun pada ujung

cabang dna ranting. Bunga jantan berbentuk tongkat panjang disebut ontel,

panjang 10-20 cm berwarna kuning. Bunga wanita berbentuk bulat bertangkai

pendek (babal) seperti nangka. Kulit buah menonjol rata sehingga tampak tidak

jelas yang merupakan bekas putik dari bunga sinkarpik. (Diane, 2006)

3. Daun

Karakteristik daun pada tanaman ini sangat beragam, warna daunnya

kebanyakan hijau tua atau bisa juga ditemui warna lain tergantung dimana tempat

tumbuhnya dan kondisi iklim dimana tanaman ini tumbuh. Bentuk daunnya juga

sangat bervariasi tetapi banyak ditemukan secara luas bentuk dan daunnya lebar

dan menjari dengan struktur yang keras. Dengan beebrapa guratan berwarna

hijau atau hijau kekuning-kuningan, pada beberapa varietas lainnya dapat ditemui

warna guratan putih kemerahan. Ukuran daun sangat bervariasi tergantung dari

jenis varietasnya, dapat ditemui daun dengan ukuran 15-60 cm. Bahkan lewat

daunnya saja tanaman sukun sudah dapat dibedakan jenis dan varietasnnya

(Diane,2006)
36

4. Buah

Buah sukun terbentuk dari keseluruhan jambak bunganya. Buahnya

terbentuk bulat atau sedikit bujur. Ukuran garis pusatnya ialah diantara 10 hingga

30 cm. Berat normal buah sukun ialah diantara 1 hingga 3 kg. ia mempunyai kulit

yang berwarna hijau kekuningan dan terdapat segmen-segmen petak berbentuk

polygonal pada kulitnya. Segmen polygonal ini dapat menentukan tahap

kematangan buah sukun. Polygonal yang lebih besar menandakan buahnya telah

matang manakala buah yang belum matang mempunyai segmen-segmen

polygonal yang lebih kecil dan lebih padat. Buah-buah sukun mirip dangan buah

keluwih (timbul). Perbedaannya adalah duri buah sukun tumpul, bahkan tidak

tampak pada permukaan buahnya (Ramadhani, 2009)

5. Akar

Akar tanaman sukun mempunyai akar tunggang yang dalam dan akar

samping yang dangkal. Akar sampingdapat tumbuh tunas yang sering digunakan

untuk bibit. Akar tanaman sukun tergolong akar adventif karena sebagian besar

menyebar didekat permukaan tanah. Bila tanaman sudah besar, kadang-kadang

sebagian akar menyembul pada permukaan tanah. Jika dilukai, dari akar akan

muncul tunas sebagai tanaman baru (Angkasa dan Nazaruddin, 2004)

6. Biji

Biji berbentuk ginjal, panjang 3-5 cm, dan berwarna hitam (Angkasa dan

Nazaruddin, 2004)

2.10.4 Kandungan Zat Aktif Daun Sukun

Daun tanaman sukun mengandung zat seperti saponin, polifenol, asam

hidrosianat, asetilcolin, tanin, riboflavin, phenol, quercetin, champorol dan


37

artoindonesianin. Dimana artoindonesianin dan quercetin adalah kelompok

senyawa flavonoid (Anwar, 2010).

Hasil skrining fitokimia daun sukun menunjukkan sangat banyak mengandung

senyawa flavonoid. Senyawa flavonoid tersebut adalah flavonol, flavon, flavan,

flavanon, dihidroflavonol, flavan-3-ol, flavan-4-ol, flavan-3, 4-diol. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan sebelumnya, telah dilakukan pengujian fitokimia pada

daun sukun. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa ekstrak daun

sukun memiliki kadar tanin sebesar 593,596 mg TAE/g ekstrak dan kadar flavonoid

sebesar 1503,763 QE ekstrak. Dalam penelitian yang lain dilaporkan bahwa

kandungan flavonoid tertingggi terdapat pada sukun tua, yaitu sebesar (100,68

mg/g), daun sukun muda (87,03 mg/g), dan daun sukun tua yang sudah gugur

(42,89 mg/g) (Mardiana, 2012).

2.11 Saponin

Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi lebih dari

90 tumbuhan. Merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun,

serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan

menghemolisis sel darah merah. Saponin yang sifatnya mirip seperti sabun

merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat hingga dapat menurunkan

tegangan permukaan sel yang mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding sel.

Senyawa saponin yang meresap pada permukaan sel akan mengakibatkan

kebocoran membran sel sehingga sel kehilangan bahan-bahan esensialnya

(Manguwardoyo, dan Cahyaningsih, 2009).

Saponin yang ditemukan dalam tanaman memiliki beberapa aktivitas

farmakologis seperti antimikroba, antitumor, penurun kadar kolesterol, immune


38

potentiating dan antioksidan (Blumert dan Liu, 2003). Aktivitas antiinflamasi

saponin dari berbagai tumbuhan sudah banyak dilaporkan namun belum banyak

yang diketahui tentang mekanisme antiinflamasi yang dilakukan oleh saponin

secara pasti. Mekanisme antiinflamasi yang paling mungkin adalah diduga

saponin juga mampu berinteraksi dengan banyak membran lipid (Nutritional

Therapeutics, 2003) seperti fosfolipid yang merupakan prekursor prostaglandin

dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Selain itu, saponin juga potensial dalam

proses pembentukan kolagen, protein yang berperan dalam proses pemulihan

luka (Isnaini, 2009)

2.12 Tanin

Tanin merupakan senyawa kimia yang tergolong dalam senyawa polifenol

yang mempunyai kemampuan mengendapkan protein, karena tanin mengandung

sejumlah kelompok ikatan fungsional yang kuat dengan molekul protein yang

selanjutnya akan menghasilkan ikatan silang yang besar dan komplek yaitu

protein tanin (Deaville et al, 2010). Tanin dapat menginaktivasi molekul adhesin sel

mikroba (molekul yang menempel pada sel inang) yang terdapat pada permukaan

sel. Tanin yang mempunyai target pada polipeptida dinding sel akan menyebabkan

kerusakan target pada dinding sel, karena tanin merupakan senyawa fenol (naim,

2004). Tanin adalah senyawa polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi

sebagai antioksidan kuat, anti perdangan, dan antikanker. Menurut Simon and

Kerry (2000), senyawa flavonoiddan tanin dalam bentuk bebas dan kompleks

tanin-protein berkhasiat sebagai anti inflamasi.


39

2.13 Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu dari sekian banyak senyawa metabolit

sekunder yang dihasilkna olehsuatu tanaman, yang bisa dijumpai pada bagian

daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, bunga dan biji. Flavonoid terdiri atas

antosianidin, biflavon, katekin, flavanon, flavon, dan flavonol. Flavonoid memiliki

kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon, dimana dua cincin

benzene (C6) terikat pada suatu rantai (C3) sehingga membentuk suatu susunan

C6-C3-C6. Sebagian besar flavonoid alami ditemukan dalam bentuk glikosida (Waji

dan Sugrani, 2009).

Gambar 2.12 Kerangka Dasar Flavonoid

Sumber: Kumar, 2011, hal. 26

Flavonoid merupakan senyawa yang memiliki aktivitas biologi sebagai

antialergi, antiinflamasi, dan antivirus. Flavonoid juga berperan sebagai antibiotik

dengan mengganggu fungsi dari mikroorganisme seperti bakteri atau virus.

Flavonoid sebagai antioksidan dapat mengurangi pembentukan radikal bebas

(Pietta, 2000). Antioksidan adalah substansi yang diperlukan untuk menetralisir

radikal bebas. Peran flavonoid sebagai antioksidan dikaitkan dengan

kemampuannya sebagai ‘hydrogendonating’. Flavonoid akan menghambat

peroksidasi lipid pada tahap awal dengan menyumbangkan atom hidrogen ke


40

peroksi radikal dan membentuk flavonoid radikal (Kumar, 2011). Senyawa

flavonoid oleh Willman dalam Sumastuti (2001) disebutkan dapat mengurangi

pembengkakan, berefek bakterisidal, antivirus, dan antihistamin. Flavonoid

mampu melindungi membran lipida terhadap reduksi yang bersifat merusak.

Flavonoid tertentu merupakan komponen aktif tumbuhan yang digunakan secara

tradisional untuk mengobati gangguan fungsi hati, mampu melindungi membran

sel hati dan menghambat sintesis prostaglandin (Robinson, 2001).

Mekanisme antiinflamasi yang dilakukan oleh flavonoid dapat melalui

beberapa jalur yaitu :

a. Penghambatan aktivitas enzim COX dan/atau lipooksigenase

Aktivitas antiinflamasi flavonoid dilaporkan oleh Pearson (2005), Landolfi et al.

(1984) dalam Nijveldt et al. (2001), dan Robak dan Gryglewski (2000) karena

penghambatan COX atau lipoooksigenase. Penghambatan jalur COX dan

lipooksigenase ini secara langsung juga menyebabkan penghambatan biosintesis

eikosanoid (Damas et al., 1985 dalam Nijveldt et al., 2001) dan leukotrien

(Mueller, 2005), yang merupakan produk akhir dari jalur COX dan lipooksigenase.

b. Penghambatan akumulasi leukosit

Ferrandiz dan Alcaraz (2001) mengemukakan bahwa efek antiinflamasi flavonoid

dapat disebabkan oleh aksinya dalam menghambat akumulasi leukosit di daerah

inflamasi. Menurut Frieseneker et al. (1994) dalam Nijveldt et al. (2001), pada

kondisi normal leukosit bergerak bebas sepanjang dinding endotel. Namun

selama inflamasi, berbagai mediator turunan endotel dan faktor komplemen

mungkin menyebabkan adhesi leukosit ke dinding endotel sehingga

menyebabkan leukosit menjadi immobil dan menstimulasi degranulasi neutrofil.

Frieseneker et al. (1994) dalam Nijveldt et al. (2001) menyebutkan bahwa


41

pemberian flavonoid dapat menurunkan jumlah leukosit immobil dan mengurangi

aktivasi komplemen sehingga menurunkan adhesi leukosit ke endotel dan

mengakibatkan penurunan respon inflamasi tubuh.

c. Penghambatan degranulasi neutrofil

Tordera et al. (1994) dalam Nijveldt et al. (2001) menduga bahwa flavonoid dapat

menghambat degranulasi neutrofil, sehingga secara langsung mengurangi

pelepasan asam arakhidonat oleh neutrofil.

d. Penghambatan pelepasan histamin

Efek antiinflamasi flavonoid didukung oleh aksinya sebagai antihistamin. Histamin

adalah salah satu mediator inflamasi yang pelepasannya distimulasi oleh

pemompaan kalsium ke dalam sel. Amella et al. (1985) dalam Nijveldt et al. (2001)

melaporkan bahwa flavonoid dapat menghambat pelepasan histamin dari sel

mast. Walaupun mekanisme yang tepat belum diketahui namun Mueller (2005)

menduga bahwa flavonoid dapat menghambat enzim c-AMP fosfodiesterase

sehingga kadar c-AMP dalam sel mast meningkat, dengan demikian kalsium

dicegah masuk ke dalam sel yang berarti juga mencegah pelepasan histamin

(Gomperts et al., 2002).

e. Penstabil Reactive Oxygen Species (ROS)

Efek flavonoid sebagai antioksidan secara tidak langsung juga mendukung efek

antiinflamasi flavonoid. Adanya radikal bebas dapat menarik berbagai mediator

inflamasi (Halliwell, 1995 dalam Nijveldt et al., 2001). Korkina (1997) dalam

Nijveldt et al. (2001) menambahkan bahwa flavonoid dapat menstabilkan

Reactive Oxygen Species (ROS) dengan bereaksi dengan senyawa reaktif dari

radikal sehingga radikal menjadi inaktif.


42

2.14 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi terhenti saat telah tercapai

keseimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan kosentrasi

dalam tanaman. Ekstraksi merupakan langkah awal dalam memisahkan

komponen bioaktif dalam tanaman (Mukhriani, 2014).

Prinsip ekstraksi yang dipakai adalah melarutkan masing-masing senyawa

yang terkandung menurut kelarutanya, senyawa polar akan larut pada senyawa

polar dan senyawa non-polar akan larut pada senyawa nonpolar. Proses

pelarutan dilakukan bertahap, mulai dengan pelarut nonpolar (n-heksan)

kemudian pelarut dengan kepolaran yang menengah (diklorometan atau etil

asetat), dilanjutkan dengan pelarut yang bersifat polar (methanol atau ethanol).

Pelarut yang sering digunakan untuk pelarut flavonoid adalah methanol dan

ethanol karena zat ini bersifat polar dan sesuai dengan sifat flavonoid yang

berafinitas baik dengan senyawa polar, namun pelarut yang lebih cocok dalam

penelitian ini adalah ethanol karena memiliki bioavaibilitas yang lebih baik pada

tubuh dan memiliki besar rendemen yang tidak jauh beda dengan methanol

(Taroreh, 2015).

Metode ekstraksi yang sering digunakan adalah metode maserasi, perkolasi,

dan soxhlet.Berikut penjelasan masing-masing metode ekstraks:

1. Maserasi

Metode maserasi adalah metode sederhana yang paling mudah digunakan.

Metode ini dilakukan dengan menggunakan serbuk tanaman yang akan

diekstrak dan pelarutnya yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat

pada suhu kamar. Proses ekstraksi dihentikan saat telah terjadi


43

kesetimbangan konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi sel

tanaman. Metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu terhindarnya

kerusakan senyawa-senyawa yang termolabil (zat yang mudah rusak akibat

proses pemanasan), ikut terlarutnya metabolit sekunder dalam sitoplasma sel

karena pecahnya dinding sel ketika maserasi terjadi sehingga akan didapatkan

ekstrak yang maksimal namun tetap bergantung pada jenis pelarut yang

digunakan, dan tidak memerlukan alat khusus seperti metode soxhletasi.

Kerugian dari metode maserasi adalah membutuhkan waktu yang lama dan

membutuhkan banyak pelarut.

2. Perkolasi

Metode perkolasi adalah metode ekstraksi dengan melewatkan pelarut

organik pada sampel sehingga pelarut akan membawa senyawa organik

bersama-sama dengan pelarut. Metode ini menggunakan serbuk sampel yang

telah dibasahi secara perlahan dalam sebuah percolator (wadah silinder yang

dilengkapi kran pada bagian bawahnya).Pelarut ditambahkan pada bagian

atas serbuk kemudiaan dibiarkan menetes secara perlahan pada bagian

bawah. Keuntungan metode ini adalah sampel senantiasa dialiri pelarut baru

dan kerugianya adalah membutuhkan waktu yang lama serta pelarut yang

banyak, pelarut yang menjadi dingin menyebabkan tidak efisiennya proses

pelarutan senyawa.

3. Soxhlet

Metode soxhlet adalah metode yang menggunakan pencairan berulang dan

pemanasan.Metode ini dilakukan dengan memanaskan pelarut sampai

membentuk uap dan membasahi sampel, setelah itu pelarut turun menuju abu

pemanasan dan menjadi uap kembali untuk membasahi sampel. Metode ini
44

memiliki keuntungan yaitu proses ekstraksi yang kontinyu, menghemat pelarut,

dan menghemat waktu. Kerugian dari metode ini adalah peralatan yang rumit

dan dapat mendegradasi senyawa yang termolabil (zat yang mudah rusak

akibat proses pemanasan) (Mukhriani, 2014).

2.15 Gel

Gel merupakan sistem semipadat yang pergerakan medium

pendispersinyaterbatas oleh sebuah jalinan jaringan tiga dimensi dari

partikel-partikel ataumakromolekul yang terlarut pada fase pendispersi (Allen,

2002). Karakteristik yangumum dari semua gel adalah bahwa mereka

mengandung struktur yang kontinu yangmelengkapi sifat seperti-bahan padat

(Gibson, 2001).Gel harus memiliki kejernihan dan harus dapat memelihara

viskositas di atasrentang temperatur yang luas. Beberapa sistem gel

penampilannya sejernih air,sedangkan gel yang lainnya keruh karena

bahan-bahannya mungkin tidak terdispersisecara molekuler atau mungkin karena

terbentuk agregat yang mendispersi cahaya.Konsentrasi basis gel pada umumnya

kurang dari 10%, biasanya antara 0,5% sampai2,0% dengan beberapa

pengecualian (Allen, 2002).

2.15.1 Keuntungan Gel

Beberapa keuntungan sediaan gel adalah kemampuan penyebarannya baik

pada kulit, efek dingin, yang dijelaskan melalui penguapan lambat dari kulit, tidak

ada penghambatan fungsi rambut secara fisiologi, kemudahan pencuciannya

dengan air yang baik, pelepasan obatnya baik. Gel mempunyai aliran tiksotropik

dan pseudoplastik yaitu gel berbentuk padat apabila disimpan dan akan segera
45

mencair bila dikocok. Konsentrasi bahan pembentuk gel yang dibutuhkan hanya

sedikit untuk membentuk massa gel yang baik. Viskositas gel tidak mengalami

perubahan yang berarti pada suhu penyimpanan.

2.15.2 Pemberian Bahan

1) Hidroksipropil metilselulosa (HPMC)

Hidroksipropil metilselulosa adalah eter propilen glikol dari metilselulosa,

mengembang dalam air dan menjadi koloid kental bening sampai buram, tidak

berbau. Koloid tersebut stabil pada pH 3-11 dengan titik gel pada suhu 50º-90ºC,

tergantung pada tingkat konsentrasi bahan yang digunakan. Larut dalam air dingin

dan polietilen glikol namun tidak larut dalam alkohol (Ofner dan Klech-Gelotte,

2007). Jika digunakan sebagai basis gel aqueous, maka akan mudah rusak

karena ditumbuhi mikroba, sehingga dibutuhkan bahan tambahan yaitu

antimikroba.

2) Metilparaben

Metilparaben memiliki aktivitas antibakteri pada formula farmasetik dan akan

lebih efektif bila penggunaannya dikombinasikan dengan antibakteri lain seperti

propilen glikol. Dalam kosmetik, metilparaben lebih banyak digunakan sebagai

pengawet antibakteri (Johnson dan Steer, 2006).

3) Propilen Glikol

Propilen glikol bersifat higroskopis dan lebih tidak toksik bila dibandingkan

dengan glikol yang lain. Penggunaan propilen glikol harus di bawah 5% sebab

pada konsentrasi lebih dari 5% dapat mengiritasi kulit (Owen dan Weller, 2006).

Propilen glikol berupa larutan bening, tidak berwarna, kental, tidak berbau dan

berasa manis, sedikit tajam seperti gliserin (Kibbe, 2004).


46

2.16 Tikus putih

Tikus putih galur wistar merupakan bagian dari spesiesNorway Rat (Rattus

norvegicus). Tikus wistar adalah hewan yang sering dipergunakan dalam

berbagai penelitian. Berat badan tikus jantan galur wistar antara 200-400 gram,

dengan lama waktu hidup 2,5 sampai 3 tahun. Masa pubertas tikus adalah 50±10

hari (Husaeni, 2008).

Gambar 2.13 Tikus Wistar

Sumber:http://digilib.itb.ac.id.Accessed January02, 2016.

Standar perawatan tikus wistar sebagai hewan percobaan meliputi

makanan, minuman, dan lingkungan pada kandang diantaranya temperatur,

kelembapan dan intensitas cahaya. Tikus wistar memerlukan asupan makanan

sebanyak 5 gram/100 gram berat badan dan konsumsi cairan 8-11 ml/gram berat

badan dalam 24 jam. Temperatur kandang yang diperlukan untuk perawatan tikus

wistar adalah 21-240C dengan rata-rata kelembapan 40-60%. Intensitas

cahayayang diperlukan adalah 75-125 fc, dengan siklus siang-malam sebanyak

10-12 jam atau 10-14 jam.

Anda mungkin juga menyukai