Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tradisi keilmuan dalam islam terbentuk seiring dengan kelahiran islam itu sendiri,
peletakan landasan dasarnya pada abad ke-7. Dunia islam telah membentuk tradisi
keilmuan jauh sebelum dunia Eropa masuk ke dalam tradisi keilmuan modern. Tradisi yang
berangkat peletakkan dasar filsafat ilmu pengetahuan yang dalam dunia keilmuan Barat
dikenal sebagai ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Manusia memiliki akal untuk meraih
ilmu dan mengembangkannya. Menurut Qudamah ibn Ja’far, akal terbagi dua, yakni akal
pemberian (mauhub) dan akal yang diusahakan (maksub).
Dari sini kita dapat mengetahui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan yang begitu maju
dan pesat sekarang, tidak terlepas dari peran Ilmuan Muslim terdahulu. Karena itulah
sangat penting bagi kita untung mengetahui dan memahami bagaiman paradigma
keIlmuan dalam Islam dan tradisi keIlmuan dan peradaban Islam, sehingga kita dapat
menerapkan pola pikir keIlmuan yang berlandaskan paradigma keIlmuan Islam tersebut.
Sehingga kedepanya, kita tidak akan tersesat dan salah memahami dan menyalahgunakan
kemajuan teknologi, sehingga kita dapat memanfaatkanya sesuai dengan fitrah manusia
sebagai khalifah di muka bumi yang mampu mengolah alam secara benar dan tepat.

B. Rumusan Masalah
1. Pasang surut perkembangan ilmu
2. Tradisi keilmuwan didunia islam
3. Kontribusi dunia islam
BAB II

TINJAUAN TEORI

a. Tradisi KeIlmuan dalam Islam

Paradigma keIlmuan terkait erat dengan pembentukan sebuah tradisi keIlmuan.


Tradisi keIlmuan dalam Islam sebenarnya telah terbentuk seiring dengan kelahiran Islam
itu sendiri. Namun peletakan landasan dasarnya adalah pada abad ke-7. Sejak abad ini
hingga abad ke-10, bahasa arab sudah menjadi bahasa kaum terpelajar bagi bangsa-bangsa
yang terentang mulai dari Persia hingga Spanyol (Jerome R. Ravertz:20). Data sejarah ini
menunjukkan mengenai pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam.
Semuanya ini tak dapat dilepaskan pembentukan sebuah tradisi keIlmuan yang mapan, dan
atas dasar landasan paradigma yang baku.

Selanjutnya, dalam membangun tradisi keIlmuan di kalangan umat Muslim, Rasul Allah
Saw. Memberi contoh pengakuan terhadap pendapat para ahli atau pakar bidangnya. Dua
kasus dikemukakan oleh Yusuf Al-Qardlawi, yakni dalam strategi dan taktik peperangan.
Pertama, pendapat Al-Hubab ibn Munzir dalam Perang Badar. Hubab berpendapat kalau
tempat pasukan beristirahat seperti dikemukakan Rasul Allah Saw. kurang tepat. Lokasi
yang dianggap paling tepat adalah kawasan yang memiliki sumber air. Rasul Allah
menyatakan: “Engkau telah mengeluarkan pendapat yang jitu” (Yusuf Al-Qardlawi: 4

Adapun yang kedua, adalah pendapat Salman Al-Farisi dalam Al Ahzab. Salman Al-Farisi
mengajukan pendapat agar pasukan kaum Muslimin menggali parit sebagai benteng
pertahanan. Usul ini kemudian diterima Rasul Allah saw., sebagai strategi yang tepat. Tak
heran bila para penyerang sempat tersentak kagum saat kuda yang dipacu terhenti oleh
parit, sempat berkata: “Demi Allah, ini benar-benar tipu daya yang tidak pernah dikenal
orang Arab.” (Yusuf Al-Qardlawi:55).

Pembangunan tradisi keIlmuan dalam Islam memang tidak dapat dilepaskan dari konsep
iqra’. Maka iqra’ itu sendiri: telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah alam,
bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak tertulis
(M. Quraish Shihab, 1996: 5). Jadi makna yang terkandung dalam dalam perintah (iqra’)
lebih dari hanya sekedar kemampuan atau keterampilan “mengeja huruf”. Konsep iqra’
mencakup pengertian perintah untuk: membaca, meneliti, mendalami, mengetahui ciri-ciri
sesuatu. Perintah tersebut mengacu kepada aktivitas membaca alam, tanda-tanda zaman,
sejarah, maupun diri sendiri, baik yang tertulis maupun tidak. Dengan demikian, perintah
iqra’ objeknya mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkau (M.Quraish Shihab, 1996:
433).Dalam bangunan tradisi keIlmuannya, Islam menempatkan hubungan antara, wahyu,
akal, dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan, bahwa Islam dan ilmu pengetahuan
tidak terpisahkan. Apalagi kalau sampai dipertentangkan. Hubungan ini terlihat nyata dari
pesan wahyu yang pertama tersebut. “Membaca segenap ciptaan Tuhan” mengawali
perintah dari agama ini (Islam). Membaca yang dalam istilah Seyyed Hossein Nasr
“Memperhatikan ayat-ayat Tuhan dalam alam” (Harun Nasution: 68). Al-Qur’an sendiri
selalu menggandengkan kata-kata ayat dengan bentuk varian kata ‘aqala seperti: nazara,
tadabbara, tafakkara, faqiha, tazakkara, fahima. Rangkaian iqra – ‘aql – ayat
menunjukkan kesatuan yang padu dalam tradisi keIlmuan Islam. Ketiganya sama sekali tak
dapat dipisahkan dalam segala bentuk aktivitas keIlmuan. Iqra (baca: teliti, dalami)
terhadap ayat (tanda-tanda, fenomena) hanya mungkin tercerahkan secara baik dan benar,
jika ‘aql difungsikan secara optimal. Langkah awal dari kajian keIlmuan adalah dengan
iqra. Ilmu (‘ilm) baik dalam bentuk proses, yaitu aktivitas pencapaian pengetahuan,
maupun produk pengetahuan berupa kejelasan (M.Quraish shihab: 434). Semuanya
terangkai dalam “komposisi” membaca secara teliti untuk memahami ayat-ayat ciptaan
Tuhan dengan menggunakan aktivitas akal secara maksimal. Dalam pandanganya tersebut,
Abdul Halim Abdul Hamid & Norizaton Azmin Mohd Nordin ingin mengungkapkan
bahwa ilmu dan pendidikan yang berasal dari membaca “iqra” tersebut sangat penting
memiliki kekuatan untuk kehidupan manusia. Dimana dengan membaca, manusia
memiliki modal berupa pengetahuan agar bisa mengetahui bagaimana caranya menjalani
kehidupanya yang sesuai dengan penciptaan awal manusia yaitu beribadah kepada-Nya,
dengan mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan ridha-Nya.

Dengan demikian, tujuan utama manusia adalah mendekatkan diri kepada Allah dan
mendapatkan ridha-Nya aktivitas-aktivitasnya harus difokuskan pada arah ini. Segala
seseuatu yang mendekatkan kepada Tuhan atau petunjuk-petunjuk pada arah tersebut
adalah terpuji. Jadi, ilmu hanya berguna jika dijadikan alat untuk mendapatkan
pengetahuan tentang Allah, keridhaan dan kedekatan kepada-Nya. Jika tidak ilmu itu
sendiri akan menjadi penghalang yang besar, apakah ia tercakup dalam ilmu-ilmu
kealaman maupun ilmu-ilmu syariah.

Al-Qur’an memberi petunjuk kepada manusia dalam tiap tahap kehidupan. Dengan
demikian, kita dapat berharap untuk menurunkan dasar-dasar petunjuk dari Al-Qur’anbagi
riset-riset yang dilakukan dalam ilmu-ilmu kealaman. Dengan menyimpulkan dari Al-
Qur’an kami yakin bahwa selain prinsip-prinsip logika seperti prinsip”nonkontrakdiksi”.
Prinsip-prinsip berikiut ini juga harus digunakan sebagai pembimbing daam riset ilmiah.

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tradisi keIlmuan dalam Islam tidak
terlepas dari wahyu pertama dari Allah SWT yaitu berupa perintah untuk membaca,
meneliti dan mendalami “iqra”. Rangkaian iqra – ‘aql – ayat menunjukkan kesatuan yang
padu dalam tradisi keIlmuan Islam. Ketiganya sama sekali tak dapat dipisahkan dalam
segala bentuk aktivitas keIlmuan. Dalam bangunan tradisi keIlmuannya, Islam
menempatkan hubungan antara, wahyu, akal, dan ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan,
bahwa Islam dan ilmu pengetahuan tidak terpisahkan.

Selain itu juga, dalam tradisi keIlmuan yang dicontohkan langsung dari Rosullulah SAW,
yang memberikan contoh pengakuan terhadap pendapat para ahli atau pakar bidangnya,
yaitu pendapat sahabat pada perang badar (Al-Hubab ibn Munzir ) dan penggalian parit
sebagai benteng pertahanan (Salman Al-Farisi). Sehingga pengakuan sumber ilmu yang
berasal dari otoritas sudah dicontohkan oleh Rosullulah SAW secara langsung di zamanya.

a. Perkembangan Tradisi KeIlmuan dalam Islam

Islam sangat menekankan pentingnya pencarian ilmu, untuk meneliti, memahami alam
semesta, dan kondisi alamiah yang berkaitan dengan hal tersebut. Mencari ilmu bukan
hanya semata-mata dianjurkan , melainkan diwajibkan atas setiap Muslim, sesuai Hadis
yang diriwayatkan Ibnu Majah, “mencari illmu adalah wajib bagi setiap Muslim”.
Sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa hasil dari aktivitas pencarian ilmu secara
menyeluruh ini akhirnya membentuk hubungan dari konsep-konsep yang pada akhirnya
menghasilkan skema konsep keIlmuan.
Hamid Fahmy Zarkasyi juga menjelaskan tahapan –tahapan kelahiran ilmu secara periodic
berdasarkan skema Acikgenc. Menurut Hamid, kelahiran ilmu dalam Islam dibagi kedalam
empat periode :

Pertama, turunnya wahyu dan lahirnya pandangan hidup Islam.Periode kedua


adalah lahirnya kesadaran bahwa wahyu yang turun tersebut mengandung struktur ilmu
pengetahuan seperti,struktur konsep tentang kehidupan,struktur konsep tentang
dunia,tentang ilmu pengetahuan,tentang etika, dan tentang manusia, yang kesemuanya itu
sangat potensial bagi timbulnya kegiatan keIlmuan. Periode ketiga adalah lahirnya tradisi
keIlmuan dalam Islam yang ditunjukkan dengan adanya komunitas Ilmuan. Bukti adanya
masyarakat Ilmuan yang menandai permulaan tradisi keIlmuan dalam Islam adalah
berdirinya kelompok belajar atau sekolah Ashhabus- Shuffah di Madinah. Periode
keempat adalah lahirnya disiplin ilmu-ilmu Islam. Dalam hal ini, Hamid dengan mengutip
Alparslan, mengemukakan bahwa kelahiran disiplin ilmu-ilmu Islam tersebut melalui tiga
tahap, yaitu: (1) Tahap problematik yaitu tahap dimana berbagai problem subjek kajian
dipelajari secara acak dan berserakan tanpa pembatasan pada bidang- bidang kajian
tertentu. (2) Tahap displiner yaitu tahap dimana masyarakat yang telah memiliki tradisi
ilmiah bersepakat untuk membicarakan materi dan metode pembahasan sesuai dengan
bidang masing-masing. (3) Tahap penamaan, pada tahap ini bidang yang telah memiliki
materi dan metode khusus itu kemudian diberi nama tertentu.

Menurut pandangan Mulyadi Kertanegara, hanya dengan memiliki sebuah tradisi


intelektual yang kaya dan intens inilah kita boleh berharap mampu memformulasikan
pandangan dunia yang independen yang meliputi system metafisika, epistimolg, etika,
ekonomi dan politik serta pandangan ilmiah yang seimbang dan holistick. Dan hanya
setelah kita mampu memformulasikan pandangan dunia yang sistematis, rasional dan
komprehensif seperti itulah kita bias berharap untuk mengadakan kritik dialog yang
konstruktif dengan dunia barat, dan yang lebih penting lagi dalam konteks kita sekarang
ini mampu menjawab tantangan-tantangan teologis, filosofis dan ideologis secara logis dan
rasional. Dari tahapan perkembangan tradisi keIlmuan dalam Islam tersebut, dapat dilihat
bahwa awal perkembangan tradisi keIlmuan Islam dimulai dari Al-Qur’an sebagai wahyu
yang diberikan oleh Allah SWT, kemudian yang kedua adalah kesadaran akan isi dan
makna dari wahyu tersebut yang memunculkan komunitas Ilmuan dan lahirnya disiplin
ilmu dalam Islam. Sehingga secara keseluruhan perkembangan ilmu yang berkembang
sekarang benar-benar berasal dari Al-Qur-an, karena dari tradisi keIlmuan Islam inilah,
para Ilmuan Barat menemukan titik cerah mengenai ilmu pengetahuan setelah mereka
mengalami masa kegelapan
BAB III
PENUTUP

Tentunya umat Islam semestinya tidak tinggal diam. Jika Eropa dan Barat
menyerap buah pemikiran para ilmuan muslim klasik, maka saat ini kita juga dapat
menyerap pemikiran-pemikiran dari Eropa dan Barat. Maka konsep tradisi yang ketiga ini
merupakan napak-tilas dari apa yang pernah dilakukan oleh umatIslam pada zaman klasik.
Bedanya adalah bahwa saat ini kita perlu menterjemahkan literatur-literatur Eropa dan
barat. Sudah barang tentu hasil dari proses penterjemahan ini harus didasarkan pada
kemauan keras untuk melahirkan berbagai disiplin ilmu sesuai dengan ajaran Al-Qur’an
dan Hadits yang dikombinasikan dengan globalisasi. Sehingga Islam akan kembali
merasakan kejayaannya.

Anda mungkin juga menyukai