Anda di halaman 1dari 2

Setiap orang punya jalannya masing-masing.

Memulai yang baru dan mencoba menatap


apa yang seharusnya dilakukan. Pemberangkatan menuju kota pengabdian sudah di umumkan,
sisa memantapkan hati agar tetap mampu menjaga harapannya dan menetapkan hatiku atas
pilihan dalam memilihnya. “Disana tidak lama kok, hanya 3 bulan” kataku menenangkannya. Dia
hanya diam, matanya sendu. Aku jadi tidak tega berangkat ke kota tempatku mengabdi. Dia
memberikanku sebuah jaket berwarna abu-abu, katanya “jangan sampe kedinginan dan kepanasan,
kalau kembali jangan sampai sakit”. Aku menerimanya dengan tambahan senyuman. Aku
berangkat. Sebulan berlalu. Dua bulan berlalu dan mulai terbiasa dengan suasana pedesaan.
Hingga tiga hari sebelum kembali ke kota semuanya jadi berbeda dari sebelumnya.
Seperti biasa, setelah selesai berkegiatan aku menghubunginya, menanyakan kabarnya,
apa saja yang dia lalui hari itu. Percakapan dua insan yang sedang jatuh cinta, pembahasan
kami hanya terkait bagaimana aku dan dia hari ini. Entah karena sangat semangat, aku bahkan
menceritakan apa yang dilakukan teman-teman se-posko-ku. Dia masih mendengar
celotehanku, sampai sebuah pertanyaan muncul darinya “apa ada perempuan yang kau suka disana
? sepertinya kau sangat sering menyebutkan nama perempuan lain disitu” aku bingung harus
menjawab apa. Perempuan yang sering aku ceritakan adalah seorang anak kepala desa, dia
selalu membantu program-program kerja yang kami lakukan, jadi sangat sering aku
menyebutnya dalam percakapanku dengannya dan tak jarang aku menceritakan apa yang kami
lakukan. Terlebih lagi rumah posko kami adalah rumah kepala desa, otomatis rumah
perempuan itu. Tapi terlepas dari semua itu, aku tidak punya hubungan lebih dengannya. “Dia
itu anak kepala desa, dia sering bantuin kita disini” kataku menjelaskan “aku capek, besok aja lanjut
ngobrolnya” dia mematikan telfon tanpa menunggu jawaban iya atau tidak dariku “ya sudah”
kataku.
Aku tidak terlalu ingin mengambil pusing pertanyannya, dia memang suka cemburu
tidak jelas. “Paling besok baik lagi…” fikirku. Aku mencoba tidur, sudah pukul 9 malam. Kalau di
kota pukul 9 malam masih ramai dengan motor yang berlalu lalang, sedang disini suara
jangkrik berjalanpun bisa didengar, oke ini berlebihan. Sudah 20 menit aku menutup mata, belum
juga ada tanda-tanda tidur. Aku beranjak menuju dapur, mencari apa yang bisa jadi pengganjal
perut. Ada pisang goreng sisa rapat tadi, cukup ditambahkan teh panas maka sudah bisa untuk
menemani membaca buku. Aku menuju teras rumah, membawa segelas teh, pisang goreng dan
buku karya Pramoedya Ananta Toer yang berjudul Jejak Langkah. Satu halaman, dua
halaman…
Pagi harinya aku terbangun diteras, ternyata aku ketiduran. Aku bergegas mandi,
berangkat kesekolah untuk mengajar. Aku baru pulang pukul 6 sore, ada beberapa miscall dari
dia“sejam yang lalu, nanti aku telfon balik” kataku kepada handphone yang kuletakkan di atas
meja. Panggilan untuk breafing sudah berkumandang, setelah shalat magrib aku keluar menuju
ruang kelurga pak kepala desa yang sudah kami sulap beberapa bulan yang lalu menjadi aula.
Banyak sekali pembahasan hingga jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku belum sempat
menghubungi dia, “sudah pukul 11, mungkin dia sudah tidur” fikirku. Pukul 5 subuh aku
terbangun. Setelah menunaikan kewajiban, aku mengecek handphone. Ada pesan singkat
darinya “ apa kau terlalu sibuk dengannya. Sampai lupa mengabariku barang 5 menit saja” tanpa
basi-basi lagi, aku langsung menghubunginya. 1 kali panggilan, 2 kali panggilan. Tidak ada
jawaban. “Mungkin masih tidur, pesannya juga dari pukul 1 yang lalu”. “Hubungi aku jika sedang
senggang” kataku, disebuah pesan singkat. Tetap tidak ada jawaban.
Besok aku kembali ke kota, memulai lagi rutinitas normal yang biasa dinilai
membosankan oleh sebagian orang. Aku menghubungi dia, tapi tidak ada jawaban. Hingga aku
kekampus, melihat dia namun tanpa senyum darinya. Aku mencoba mengejarnya namun dia
menepis tanganku. Beranjak pergi dengan teman-temannya. Sampai pada akhirnya aku
menyadari sebuah kesalahan. Kesalahan yang kubuat adalah menunda untuk menyelesaikan
masalah. Membiarkannya berlarut-larut, lalu dia merasa bahwa tidak ada lagi jalan selain
menyudahi segalanya. Lalu bodohnya aku tidak tahu menahu perihal cemburu yang dirasakan
dia. Dan hubungan ini berakhir tanpa kata, selesai. Tapi raga meminta untuk selesai. Dan
hatinya memaksa untuk berhenti.
Untuk dia, maafkan aku.

Anda mungkin juga menyukai