Anda di halaman 1dari 19

BAB V

PENGARUH INDEPENDENSI, GAYA KEPEMIMPINAN,


BUDAYA ORGANISASI DAN KOMITMEN ORGANISASI
TERHADAP KINERJA AUDITOR DAN TINJAUANNYA
DARI SUDUT PANDANG ISLAM

5.1 Independensi dari Sudut Pandang Islam

Independensi merupakan salah satu komponen utama yang harus dimiliki

oleh setiap auditor. Independensi dalam audit berarti adanya kejujuran dalam diri

auditor dalam mengemukakan fakta, adanya pertimbangan yang objektif dan tidak

memihak pihak manapun dalam menyatakan opini atau pendapat terhadap laporan

keuangan klien. Berdasarkan Kode Etik Akuntan Publik (2011) menyebutkan

bahwa independensi merupakan suatu sikap di mana seorang auditor diharapkan

untuk tidak memiliki kepentingan secara pribadi dalam pelaksanaan tugasnya yang

bertentangan dengan prinsip objektivitas (prinsip yang mengharuskan seseorang

untuk bertindak adil, tidak bias, tidak memihak pihak manapun) dan prinsip

integritas (prinsip moral yang jujur, mengemukakan fakta apa adanya, konsisten

dan keteguhan yang tidak dapat tergoyahkan).

Auditor sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mendeteksi

kecurangan (fraud) dan juga melaksanakan proses audit untuk memeroleh tingkat

keyakinan yang memadai apakah laporan keuangan tersebut telah terbebas dari

kesalahan material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan maupun kecurangan.

Oleh karena itu, seorang auditor dituntut untuk selalu mengedepankan integritas,
profesionalitas dan kejujuran yang tinggi untuk mendapatkan kepercayaan yang

utuh dari masyarakat.

Kepercayaan masyarakat akan menurun jika terdapat bukti bahwa

independensi auditor ternyata tidak sama dengan apa yang ada dipikirkannya,

bahkan dapat disebabkan oleh mereka yang berpikiran sehat (reasonable) yang

dianggap dapat memengaruhi sikap independen tersebut (Agoes, 2012:33). Untuk

dapat diakui sebagai akuntan yang independen, maka seorang auditor harus bebas

dan tidak boleh memiliki keterkaitan dalam bentuk apapun terhadap kepentingan

kliennya.

Di dalam Islam kata independensi berarti kesesuai fakta yang ada dan jujur

(sidiq) atas apa yang dilakukannya. Kejujuran dapat mengandung arti yang sangat

luas dan kejujuran adalah hal utama yang harus dimiliki oleh kita (umat manusia),

baik dalam bekerja maupun melakukan hal lainnya. Jujur merupakan kesesuaian

sikap antara hati, perkataan, perilaku dan perbuatan yang kita lakukan (Anshory,

2018). Hal tersebut berarti bahwa seorang auditor khususnya auditor muslim dalam

melakukan audit haruslah dilakukan dengan jujur, tidak menipu atau memalsukan

hasil laporan keuangan yang diauditnya. Sebagaimana Firman Allah SWT yang

terdapat dalam QS. Al-Ma’idah [5] ayat 8:

         

           

        


Artinya:
“8. Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang
selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa, dan
bertakwalah kepada Alah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Ma’idah [5]: 8)

Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahali & Jalaluddin As-Suyuthi: 2012)

makna surat Al-Ma’idah [5] ayat 8 tersebut adalah hendaklah kamu selalu berdiri

karena Allah, menegakkan kebenaran-kebenaran-Nya (menjadi saksi dengan adil

dan jujur) dan janganlah kamu terdorong oleh kebencian kepada suatu kaum) yakni

kepada orang-orang kafir untuk berlaku tidak adil baik terhadap lawan maupun

terhadap kawan. Karena hal itu menjadikan keadilan itu lebih dekat kepada

ketakwaan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui

apa yang kamu kerjakan sehingga kamu akan menerima pembalasan daripadanya.

Pada ayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan kita (umat

manusia) untuk selalu menegakkan kebenaran dan janganlah kita sampai berlaku

tidak adil baik kepada kawan maupun lawan, sesungguhnya Allah SWT Maha

Mengetahui apapun yang kita kerjakan. Maka dalam bekerja, khususnya pada hal

ini bekerja sebagai auditor dituntut untuk harus selalu jujur, menjunjung

profesionalitas serta berpegang teguh pada kebenaran karena segala sesuatu yang

kita perbuat selama di dunia pasti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di

akhirat. Sebagaimana hal tersebut diperkuat dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah

bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu menuturkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫الصدْقَ يَ ْهدِى إِلَى ْالبِ ِر َوإِ َّن ْالبِ َّر يَ ْهدِى إِلَى ْال َجنَّ ِة َو َما يَزَ ا ُل‬
ِ ‫ق فَإ ِ َّن‬ ِ ِ‫علَ ْيكُ ْم ب‬
ِ ْ‫الصد‬ َ
َ ‫صدِيقًا َوإِيَّاكُ ْم َو ْال َكذ‬
‫ِب فَإ ِ َّن‬ َّ َ‫ب ِع ْند‬
ِ ِ‫َّللا‬ َ َ ‫الصدْقَ َحتَّى يُ ْكت‬
ِ ‫صد ُ ُق َويَت َ َح َّرى‬ْ َ‫الر ُج ُل ي‬
َّ
ُ ‫الر ُج ُل يَ ْكذ‬
‫ِب‬ ِ َّ‫ور يَ ْهدِى إِلَى الن‬
َّ ‫ار َو َما يَزَ ا ُل‬ َ ‫ور َوإِ َّن ْالفُ ُج‬ِ ‫ِب يَ ْهدِى إِلَى ْالفُ ُج‬ َ ‫ْال َكذ‬
‫َّللاِ َكذَّابًا‬ َ ‫َويَت َ َح َّرى ْال َكذ‬
َ َ ‫ِب َحتَّى يُ ْكت‬
َّ َ‫ب ِع ْند‬

Artinya:
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya kejujuran akan
mengantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan mengantarkan
pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan selalu berusaha untuk
jujur, maka akan dicatat di sisi Allah sebagai orang yang sidiq (jujur). Kalian
harus menjauhi kedustaan, karena kedustaan itu akan mengantarkan kepada
perbuatan dosa dan sesungguhnya dosa itu akan mengantarkan kepada neraka.
Jika seseorang senantiasa berdusta dan berupaya untuk berdusta, maka ia akan
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Muslim, No: 2607)

Berdasarkan hadits riwayat Muslim tersebut Allah SWT memerintahkan

kita (umat manusia) untuk senantiasa berlaku jujur dan berpegang teguh pada

kebenaran, dengan tujuan untuk selalu beristiqomah di jalan Allah SWT, serta

mengharapkan ridha dan surga-Nya. Untuk selalu menegakkan kejujuran dalam

semua kegiatan kita tidaklah mudah. Apalagi ketika sudah memikirkan duniawi

saja, yang meliputi harta, takhta, gengsi, dll. Untuk itu sebaiknya kita harus

meluruskan niat, terus melatih diri kita dengan mempraktikan kejujuran dalam

setiap kata maupun perbuatan yang kita lakukan.

Di manapun kita bekerja pasti akan mendapatkan berbagai macam

persoalan. Dan setiap profesi pasti memiliki risiko dan tantangan masing-masing

dalam menjalankan profesinya. Begitu pula dengan auditor. Dalam menjalankan

tugas dan fungsinya, seorang auditor tentunya selalu dihadapkan pada persoalan

atau keadaan-keadaan yang dilematis sehingga dapat mempertaruhkan

keindependensiannya. Seperti halnya seorang auditor dituntut untuk selalu

independen dan netral.


Pada hakikatnya, bersikap independen dan netral itu terkadang sulit untuk

dijalani, apabila ketika kita dihadapkan pada 2 (dua) pilihan yang sulit yaitu antara

yang benar dan yang salah, antara kepentingan orang banyak atau kepentingan

perusahaan, serta antara kebijakan/regulasi pemerintah dengan kebijakan

perusahaan. Keaadaan-keadaan itulah terkadang tidak dapat dihindari dan membuat

posisi auditor dilematis, disatu sisi auditor harus independen dalam menyajikan

laporan keuangan untuk kepentingan banyak pihak, namun disisi lain auditor harus

mampu memenuhi tuntutan dari kliennya yang telah membayar fee atas jasa

auditnya tersebut.

Untuk dapat menjadi auditor yang berintegritas tinggi diperlukan untuk

selalu bersikap netral dan jujur dalam menghadapi situasi apapun, hal tersebut

diharapkan auditor mampu untuk tetap memegang teguh independensinya. Jika

auditor dapat memegang teguh independensinya, dapat bermanfaat bukan hanya

untuk kepentingan klien atau kepentingan banyak pihak saja. Melainkan untuk diri

auditor itu sendiri juga akan mendatangkan keuntungan bagi keberlangsungan

hidupnya sendiri sebagai seorang auditor. Hal tersebut menunjukkan bahwa

independensi auditor menjadi dasar untuk menjaga kredibilitas auditor dan kantor

akuntan publik yang menaunginya.

5.2 Gaya Kepemimpinan dari Sudut Pandang Islam

Konsep kepemimpinan sering kali erat hubungannya dengan kekuasaan

pemimpin dalam memeroleh alat untuk memengaruhi perilaku, tingkah laku dan

perasaan orang lain baik secara individual maupun kelompok dalam arahan

tertentu, sehingga melalui kepemimpinan tersebut merujuk pada proses untuk


membatu mengarahkan dan memobilisasi orang atau ide-idenya. Jika ditelaah lagi

lebih dalam, pengertian gaya merupakan suatu sikap, gerakan, tingkah laku, sikap

yang elok, gerak gerik yang bagus, kekuatan, kesanggupan untuk berbuat baik.

Sedangkan gaya kepemimpinan adalah sekumpulan ciri yang digunakan pimpinan

untuk memengaruhi bawahannya agar tujuan organisasi dapat tercapai atau dapat

pula dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola perilaku dan strategi yang

disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin (Zainal et al, 2017:41).

Kepemimpinan dalam Islam secara umum tidaklah jauh berbeda dengan

metode kepemimpinan pada umumnya. Secara umum, gaya kepemimpinan terbagi

atas gaya kepemimpinan otoriter, gaya kepemimpinan kendali bebas dan gaya

kepemimpinan demokratis. Kepemimpinan otoriter merupakan suatu tipe

kepemimpinan di mana dalam kepemimpinan ini biasanya lebih menempatkan

kekuasaan di tangan satu orang pemimpin. Pemimpin tersebut akan memandang

dirinya lebih baik dari segala hal dan memandang rendah bawahannya sehingga

sering kali dianggap tidak mampu untuk berbuat sesuatu tanpa adanya perintah.

Kepemimpinan kendali bebas merupakan suatu tipe kepemimpinan di mana

kepemimpinan tersebut akan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh

kepada pemimpin dalam mengambil keputusan dan melakukan kegiatan untuk

kehendak dan kepentingan masing-masing. Biasanya pada tipe pemimpin seperti

ini, seorang pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasihat. Dan

kepemimpinan demokratis merupakan tipe kepemimpinan di mana dalam

kepemimpinan ini sangat mementingkan musyawarah. Apapun kemauan, kehendak,

kemampuan, pendapat, kritik, buah pikiran, kreativitas maupun inisiatif yang


berbeda-beda akan sangat dihargai, serta disalurkan dan diwujudkan pada setiap

jenjang dalam unit atau divisi masing-masing.

Di dalam Islam, seorang pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang dimiliki

oleh Rasulullah SAW, antara lain: Sidiq (benar atau jujur) yakni benar atau jujur

baik dalam perkataan maupun perbuatan, Tablig yakni menyampaikan apapun yang

telah diamanatkan kepadanya, Amanah (dapat dipercaya) yakni dapat dipercaya

saat diberikan mandat atau kepercayaan dari bawahannya sehingga harus dijalankan

dengan baik dan tidak boleh menyia-nyiakan amanat bawahannya, dan Fathanah

(cerdas) yakni seorang pemimpin harus cerdas atau berpengetahuan luas mengenai

hal-hal yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan demikian, kita sebagai pemimpin

muslim tidak dapat mempraktikan tipe kepemimpinan pada umumnya yaitu

kepemimpinan otoriter dan kendali bebas, namun untuk kepemimpinan demokratis

dapat diambil contoh dari kepemimpinan pada zaman Rasulullah SAW dengan

memiliki 4 (empat) sifat yang telah disebutkan di atas. Sebagaimana telah

tercantum dalam Firman Allah SWT dalam Surat Al-Ahzab [33] ayat 21:

             

   

Artinya:
“21. Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab [33]: 21)
Berdasarkan tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahali & Jalaluddin As-Suyuthi:

2012) menjelaskan bahwa sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri

teladan bagi kalian, dapat dibaca iswatun dan uswatun (yang baik) untuk diikuti

dalam hal berperang dan keteguhan, serta kesabarannya, yang masing-masing

diterapkan pada tempat-tempatnya (bagi orang) lafal ayat ini berkedudukan menjadi

badal dari lafal lakum (yang mengharap rahmat Allah) yakni takut kepada-Nya (dan

hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah) berbeda halnya dengan orang-orang

selain mereka.

Pada ayat diatas menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus memiliki

sifat-sifat yang dimiliki oleh Rasulullah SAW yang menjadi suri teladan yang baik

bagi umat-Nya dengan memiliki keteguhan hati maupun kesabarannya dalam

berperang melawan apapun demi mengharap rahmat dari Allah SWT dan selalu

takut kepada-Nya hingga hari kiamat Rasulullah SAW banyak menyebut Allah

SWT. Dalam menjalankan suatu negara maupun organisasi, seorang pemimpin

muslim dituntut untuk selalu menjadikan Rasulullah SAW sebagai contoh atau

acuan dalam memimpin, agar mendapat rahmat dan ridha dari Allah SWT. Menjadi

pemimpin haruslah memberi teladan yang baik bagi seluruh bawahannya. Dalam

Islam, setiap orang merupakan pemimpin yang memiliki tanggung jawab besar

yang diembannya, sebagaimana hal tersebut diperkuat dengan hadits riwayat

muslim, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

َ ‫اْل َما ُم َراعٍ َو َم ْسئُو ٌل‬


َّ ‫ َو‬،‫ع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬
‫الر ُج ُل‬ َ ‫ َو ُكلُّ ُك ْم َم ْسئُو ٌل‬،ٍ‫ُكلُّ ُك ْم َراع‬
ِ ْ :‫ع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬
‫ع ْن‬ ِ ‫ َو ْال َم ْرأَة ُ َرا ِع َيةٌ ِفي َب ْي‬،‫ع ْن َر ِعيَّ ِت ِه‬
َ ٌ‫ت زَ ْو ِج َها َو َم ْسئُولة‬ َ ‫َراعٍ ِفي أ َ ْه ِل ِه َو ُه َو َم ْسئُو ٌل‬
َ ‫ َو ْالخا َ ِد ُم َراعٍ ِفي َما ِل‬،‫َر ِعيَّ ِت َها‬
َ ‫س ِي ِد ِه َو َم ْسئُو ٌل‬
.‫ع ْن َر ِعيَّ ِت ِه‬

Artinya:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai
pertanggungjawabannya atas yang dipimpinnya. Seorang imam adalah pemimpin
atas keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka. Seorang
suami dalam keluarganya adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas mereka. Seorang istri adalah pemimpin di dalam rumah
tangga suaminya dan terhadap anak-anaknya akan dimintai pertanggungjawaban
atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah pemimpin dalam urusan harta tuannya
dia akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Ketahuilah bahwa setiap kalian
adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas siapa
yang dipimpinnya .” (H.R Muslim, No: 4789)

Berdasarkan uraian diatas menjelaskan bahwa setiap manusia adalah

seorang pemimpin. Seorang pemimpin sering kali berkaitan dengan amanah yang

diembannya, janji yang diberikan kepada bawahannya, serta bagaimana ia

menggunakan jabatannya untuk mendapat keberkahan dan ridho Allah SWT dan

juga kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah ia pimpin.

5.3 Budaya Organisasi dan Komitmen Organisasi dari Sudut Pandang

Islam

Budaya organisasi merupakan suatu pola asumsi dasar, diciptakan,

diketahui, atau dikembangkan oleh suatu kelompok untuk mengatasi masalah

adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga dianggap perlu diajarkan kepada

para anggta baru sebagai cara yang benar dalam memandang, berpikir dan

berperasaan mengenai masalah yang dihadapinya (Soetopo, 2010:122).


Atau dengan kata lain, budaya organisasi adalah sebuah rangkaian sistem

makna bersama yang dianut oleh suatu organisasi sebagai pembeda antara satu

organisasi dengan organisasi lainnya. Maksud dari sistem makna bersama itu

adalah suatu sistem yang mengandung nilai-nilai, norma, aturan, adat, perilaku,

sikap yang dipahami bersama dan menjadikan sebuah komitmen atau kesepakatan

bersama dalam bekerja guna menghadapi tantangan baik yang berasal dari internal

maupun eksternal organisasi.

Budaya organisasi berfungsi sebagai pembeda antara satu organisasi dengan

organisasi lainnya, menjadi perekat antar individu yang ada didalam organisasi

tersebut, membangun rasa identitas bagi anggota organisasi dan mempermudah

tumbuhnya komitmen terhadap organisasinya (Robbins dan Judge, 2015:512). Pada

dasarnya, manusia (individu) cenderung berkelompok dengan orang-orang yang

memiliki kesamaan nilai, perilaku, sikap, norma, adat, kepercayaan dan asumsi-

asumsi lainnya. Dari kesamaan tersebut membawa individu-individu yang berbeda

untuk menjalin kesepakatan atau kerja sama dalam mencapai tujuan organisasi. Jika

hilangnya kebersamaan, maka yang terjadi adalah musnahnya organisasi tersebut.

Sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran [3] ayat 103:

           

          
           

 

Artinya:
“103. dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu,
lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan
kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu
mendapat petunjuk.” (QS. Ali Imran [3]: 103)

Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahali & Jalaluddin As-Suyuthi: 2012)

menjelaskan makna surat Ali Imran [3] ayat 103 tersebut adalah berpegang

teguhlah kamu kepada agama Allah SWT dan janganlah kamu berpecah-belah, lalu

jadilah kamu berkat nikmat-Nya bersaudara, sehingga tidak ada lagi pilihan bagi

kamu kecuali terjerumus ke dalamnya dan mati dalam kekafiran, lalu diselamatkan-

Nya kamu dari padanya melalui iman kalian.

Berdasarkan tafsir tersebut Allah SWT memerintahkan agar kita (umat

manusia) tidak ada yang terpecah belah atau bermusuh-musuhan baik dalam

keluarga, kelompok maupun organisasi. Untuk itu, manusia diharuskan untuk selalu

rukun dan mencapai kesepakatan bersama agar tidak menghancurkan keluarga,

kelompok maupun organisasi itu sendiri. Sebagaimana hal tersebut diperkuat

dengan hadits riwayat bukhari dan muslim, sebagaimana Rasulullah SAW

bersabda:

َ ‫ط ِف ِه ْم َمث َ ُل ْال َج‬


ُ‫س ِد إِذَا ا ْشت َ َكى ِم ْنه‬ ُ ‫َمث َ ُل ْال ُمؤْ ِمنِينَ فِي ت َ َو ِاد ِه ْم َوت َ َرا ُح ِم ِه ْم َوت َ َعا‬
‫س َه ِر َو ْال ُح َّمى‬ َّ ‫س ِد ِبال‬َ ‫سائِ ُر ْال َج‬ َ ُ‫عض ٌْو تَدَا َعى لَه‬ ُ
Artinya:
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi,
berbelas kasih sesama mereka itu bagaikan satu jasad yang apabila ada anggota
badan itu ditimpa sakit, maka seluruh anggota badan lain akan merasakannya
dengan tidak bisa tidur dan demam.” (H.R Muslim, No: 6011 dan Muslim, No:
2586)

Berdasarkan hadits riwayat Muslim dan Bukhari diatas menjelaskan bahwa

setiap manusia antara satu dengan yang lainnya ibarat seperti sebuah anggota tubuh,

apabila satu anggota badan merasakan sakit maka anggota badan lainnya pun akan

merasakan sakit juga. Untuk itu, sesama manusia harus selalu rukun ditengah

perbedaan yang ada. Sama halnya seperti di dalam sebuah kelompok atau

organisasi tidak dapat dipungkiri bahwa pasti selalu ada perbedaan di setiap

individunya baik dalam menentukan visi, misi, tujuan maupun nilai-nilai guna

mencapai tujuan organisasi. Selain itu, diperlukan juga kesepakatan bersama dalam

menentukan perbedaan tersebut agar tidak menjadi masalah besar nantinya. Dengan

memiliki kejelasan mengenai hal-hal tersebut individu yang berada di dalam

organisasi akan dapat menentukan strategi atau cara yang terbaik untuk mencapai

tujuan bersama, sehingga pencapaian tujuan organisasi dapat lebih terencana,

terkoordinir dan terukur secara lebih efektif dan efisien.

Konsep komitmen organisasi berkaitan dengan tingkat keterlibatan individu

terhadap organisasi di mana ia bekerja dan memutuskan untuk tetap tinggal di

organisasi tersebut. Menurut Luthans (2012:249) mengemukakan bahwa komitmen

organisasi merupakan suatu keinginan yang kuat untuk tetap menjadi bagian dari

organisasi, keinginan untuk berusaha keras memenuhi keinginan organisasi,

memiliki keyakinan tertentu dan menerima nilai dan tujuan organisasi. Dengan kata

lain, komitmen merupakan suatu sikap yang mencerminkan tingkat loyalitas


karyawan terhadap organisasi di mana ia bekerja dan rasa ingin memiliki terhadap

organisasi tersebut.

Seorang auditor yang memiliki rasa komitmen yang tinggi terhadap

organisasinya, akan memiliki rasa tanggung jawab yang besar melakukan tugas-

tugasnya dengan sepenuh hati, karena karyawan yang memiliki komitmen yang

tinggi sudah menganggap organisasi tersebut menjadi bagian dari dirinya. Dalam

Islam, komitmen organisasi dapat diartikan sebagai iltizam. Secara Lughowi,

iltizam berasal dari kata luzum yang dalam pengertian bahasa Arab sama dengan

tsabata wa daama (berpegang teguh dan konsisten). Setiap karyawan harus

memiliki komitmen terhadap organisasi yang dinaunginya agar dapat meningkatkan

kualitas kinerjanya. Berdasarkan Firman Allah SWT dalam Surat Fushshilat [41]

ayat 30:

          

        

Artinya:
“30. Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah"
kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka Malaikat akan turun
kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa
sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah
kepadamu.” (QS. Fushshilat [41]: 30)

Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahali & Jalaluddin As-Suyuthi: 2012),

makna Surat Fushshilat [41] ayat 30 adalah Allah SWT memerintahkan kita (umat

manusia) untuk selalu berpegang teguh pendirian yang kuat terutama dalam ajaran

tauhid dan lain-lainnya yang diwajibkan dan hendaknya kita jangan merasa takut
akan mati maupun merasa sedih atas semua yang telah kalian tinggalkan yaitu istri

dan anak-anak, maka Kamilah yang akan menggantikan kedudukan mereka di sisi

kalian, maka bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah SWT kepada

kalian. Sebagaimana hal tersebut diperkuat dengan hadits riwayat Tarmidzi,

sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

: َ‫ي هللا ُ عَ نْ ه ُ ق َ ا ل‬
َ ‫ض‬ ِ ‫ أ َب ِ ي عَ ْم َر ة َ س ُ فْ ي َ ا ُن بْ ِن عَ بْ ِد هللا ِ َر‬: َ‫ َو ق ِ يْ ل‬،‫عَ ْن أ َب ِ ي عَ ْم رو‬
: َ‫ ق َ ا ل‬. ‫ت ي َ ا َر س ُ ْو لَ هللا ِ ق ُ ْل ل ِ ي ف ِ ي ا ْ ِإل سْ ال َ ِم ق َ ْو ال ً ال َ أ َسْ أ َلُ عَ نْ ه ُ أ َ َح دا ً غَ يْ َر َك‬
ُ ْ‫ق ُ ل‬
ُ ْ‫ق ُ ْل آ َم ن‬
):‫ رواه مسلم (المصدر السابق‬.‫ت ب ِ ا هلل ِ ث ُمَّ ا سْ ت َقِ م‬
Artinya:
“Dari Abu ‘Amrah Sufyan bin ‘Abdullah radhiyallahu anhu, ia berkata: “Aku telah
berkata: ‘Wahai Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam, suatu perkataan
yang aku tak akan dapat menanyakannya kepada seorang pun kecuali kepadamu’.
Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ‘Katakanlah: Aku telah
beriman kepada Allah, kemudia beristiqamahlah kamu.’” (H.R Muslim No: 38,
Ahmad 3/413, Tirmidzi No: 2410, Ibnu Majah No: 3972)

Berdasarkan uraian diatas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menjanjikan

Jannah-Nya kepada seluruh hamba-Nya untuk tetap meneguhkan pendiriannya atau

konsisten (istiqomah) terhadap apa yang telah ia pilih. Dalam konteks ini,

berpegang teguh pada pendiriannya adalah konsisten dalam berorganisasi. Dalam

berorganisasi tidak dapat dipungkiri bahwa pasti akan selalu ada permasalahan

yang timbul akibat perbedaan sikap. Untuk itu, dalam Islam Allah SWT

memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk selalu konsisten dan berpengan

teguh terhadap pendiriannya dan menjalankan dengan rasa tanggung jawab yang

tinggi dan sepenuh hati dengan meneguhkan hati yang kuat (keyakinan) dalam diri

individu anggota organisasi.


Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen merupakan salah

satu komponen penting untuk kita dapat tetap konsisten terhadap organisasi. Islam

memandang komitmen dalam diri individu sebagai kesanggupan dalam diri

individu itu sendiri untuk menjalankan sebuah amanah (di mana dalam konteks ini

adalah masa kontrak dengan organisasi) yang diembannya untuk dapat

dipertanggung jawabkan dikemudian hari. Maka hal ini akan mendorong individu

dalam anggota organisasi untuk tetap konsisten (istiqomah) dan bertanggung jawab

secara lahir maupun batin selama menjalani masa kontrak dengan organisasi sampai

tercapainya tujuan yang telah disepakati bersama.

5.4 Kinerja Auditor dari Sudut Pandang Islam

Secara etimologi, kinerja berasal dari kata performance yang berarti prestasi

kerja atau hasil kerja. Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2014:9)

menyatakan bahwa istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual

performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang)

yaitu hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai

dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang telah diberikan

kepadanya. Pada hakikatnya, kerja merupakan salah satu bentuk amalan ibadah

yang memiliki nilai lebih dimata Allah SWT. Meskipun nantinya akhirat lebih

kekal dari pada dunia, namun Allah SWT tidak memerintahkan hamba-Nya untuk

meninggalkan kerja hanya untuk urusan duniawi saja. Namun, Islam menganjurkan

bekerja untuk tujuan kedua-duanya. Kewajiban untuk bekerja telah dituliskan

dalam Firman Allah SWT dalam Surat At-Taubah [9] ayat 105:
         

       

Artinya:
“105. dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-
orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9]: 105)

Tafsir Jalalain (Jalaluddin Al-Mahali & Jalaluddin As-Suyuthi: 2012),

makna Surat At-Taubah [9] ayat 105 adalah “(Dan katakanlah) kepada mereka atau

kepada manusia secara umum (Bekerjalah kalian) sesuka hati kalian (maka Allah

SWT dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaan kalian itu

dan kalian akan dikembalikan) melalui dibangkitkan dari kubur (kepada Yang

Mengetahui alam gaib dan alam nyata) yakni Allah SWT (lalu diberikan-Nya

kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan) lalu Dia akan membalasnya kepada

kalian.”

Berdasarkan tafsir tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT memerintahkan

kepada seluruh umatnya untuk selalu bekerja terutama dilakukan dengan cara yang

halal. Sebab Allah SWT mengetahui apa yang telah diperbuat oleh umat-Nya,

sehingga Allah SWT akan membalas semua perbuatan yang telah dilakukan umat-

Nya. Dan akan diberikan-Nya kepada manusia atas apa yang telah mereka kerjakan.

Kaitannya dalam Islam, bekerja bagi seorang muslim merupakan suatu

keharusan atau kewajiban, di mana dalam bekerja memerlukan upaya yang

sungguh-sungguh untuk melakukan pekerjaan tersebut dengan mengerahkan

seluruh tenaga, pikiran, asset dan dzikirnya untuk menunjukkan bahwa dirinya
sebagai hamba Allah harus memberikan nilai kebahagiaan bagi seluruh alam

semesta (Dawwabah, 2006:14). Dalam hal ini, maksudnya adalah bekerja untuk

memakmurkan bumi dan Allah menyuruh umat manusia untuk bekerja dan

berusaha dengan sungguh-sungguh. Bekerja dalam pandangan Islam begitu tinggi

derajatnya, hingga Allah SWT dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa bekerja sama

halnya dengan jihad memerangi orang-orang kafir.

Di mana dalam Hadits Rasulullah SAW menyebutkan bahwa Rasulullah

SAW menganjurkan umat manusia agar bekerja dengan sungguh-sungguh yang

berarti sama halnya sebagai jihad di jalan Allah SWT yang terdapat dalam Hadits

Thabrani dan Baihaqi:

َّ ‫ ِإن‬:‫سلَّ َم‬
َ‫َّللا‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬
َ ‫ع َل ْي ِه َو‬ ِ ‫س ْو ُل‬
َ ‫هللا‬ ْ َ‫ي هللاُ َع ْن َها قَال‬
ُ ‫ قَا َل َر‬:‫ت‬ َ ‫ض‬ِ ‫شةَ َر‬ َ ‫ع ْن‬
َ ‫عا ِئ‬ َ
)‫ع ِم َل أ َ َحدُ ُك ْم َع َمالً أ َ ْن يُتْ ِقنَهُ (رواه الطبرني والبيهقي‬ َ ‫ت َ َعالى ي ُِحب ِإذَا‬
Artinya:
Dari Aisyah R.A., Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang melakukan suatu
pekerjaan, dilakukan secara itqan (tepat, terarah, jelas dan tuntas).”
(HR. Thabrani, No: 891, Baihaqi, No: 334)

Berdasarkan hadits riwayat diatas menjelaskan bahwa Allah SWT mncintai

orang-orang yang bekerja dengan cara itqan (proses pekerjaan yang dilakukan

dengan sungguh-sungguh, akurat, jelas, tuntas dan sempurna). Dapat dibayangkan

apabila auditor melakukan hal yang tidak kita sukai, ia pun tidak sungguh-sungguh

dalam mengerjakannya. Untuk itu seorang auditor dalam menjalankan tugasnya

harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, akurat, tuntas dan

sempurna demi menghadap ridha dari Allah SWT. Jika auditor bekerja dengan
sungguh-sungguh, maka kualitas kinerjanya juga akan meningkat dan lebih baik

lagi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kita (umat

manusia) dituntut untuk selalu bekerja keras dengan bersungguh-sungguh guna

memperoleh rizqi dan mengharapkan ridha dari Allah SWT. Kita juga tidak boleh

berdiam diri atau berpasrah begitu saja dengan menunggu datangnya rizqi dari

Allah SWT, karena Allah SWT tidak akan mengubah nasib atau keadaan suatu

kaum, kecuali kaum tersebut yang merubahnya sendiri. Tanpa adanya usaha dan

kerja keras, maka kita tidak akan bisa bertahan untuk hidup. Untuk itu kita haruslah

berjuang sekuat tenaga untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dengan

bekerja keras akan muncul sikap optimis dan tidak mudah putus asa dalam

menggapai apa yang kita harapkan.

5.5 Pengaruh Independensi, Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi dan

Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Auditor dan Tinjauannya

dari Sudut Pandang Islam

Kinerja auditor merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang

dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan

tanggung jawab yang telah diberikan kepadanya. Atau dengan kata lain, kinerja

auditor dapat disebut dengan bekerja. Dalam konsep Islam, bekerja bagi seorang

muslim merupakan suatu keharusan dan Allah SWT memerintahkan kita (umat

manusia) untuk selalu bekerja keras dengan bersungguh-sungguh guna memperoleh

rizqi dan mengharapkan ridha dari Allah SWT.


Kaitannya dengan independensi adalah independensi dapat menjadi salah

satu sikap harus dimiliki oleh seorang auditor guna meyakinkan masyarakat

terutama pemangku kepentingan (stakeholder) terhadap kredibilitas dari Kantor

Akuntan Publik (KAP) selaku pihak yang menjamin dan bertanggung jawab

terhadap kewajaran laporan keuangan klien yang diauditnya dan laporan tersebut

terbebas dari kesalahan material. Auditor sebagai profesi yang memegang tanggung

jawab penuh terhadap laporan keuangan yang diaudit telah bebas dari salah saji

yang material, sehingga tidak dapat merugikan pihak-pihak yang memerlukan

informasi tersebut tetapi tidak memiliki akses untuk mengetahui kebenaran

terhadap sumber informasi tersebut.

Jika seorang auditor memiliki independensi yang tinggi dapat memengaruhi

penilaian masyarakat terhadap auditor sehingga dapat memengaruhi kinerja auditor

didalamnya. Dalam hal ini, Islam memandang bahwa manusia (dalam konteks ini

adalah auditor) khususnya auditor muslim haruslah menyampaikan amanat yang

diberikan kepadanya dengan jujur, tidak menipu atau memalsukan hasil laporan

keuangan yang diauditnya. Dengan kata lain, seorang auditor muslim dalam

melaksanakan fungsi dan tugasnya harus bersikap independen, jujur, adil, tidak

mudah dipengaruhi dan tidak memihak kepentingan pihak manapun.

Anda mungkin juga menyukai