LP Gps 1
LP Gps 1
“Di Sususn Umtuk Memenuhi Tugas PPN Keperawatan Medikal Bedah 2 di Ruang GPS 1 RSUP Fatmawati”
DISUSUN OLEH :
FUJA AMANDA, S.Kep
A. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, lempeng epiphyseal atau
permukaan rawan sendi. Karena tulang dikelilingi oleh struktur jaringan lunak,
tekanan fisik yang menyebabkan terjadinya fraktur, dan tekanan fisik juga
menimbulkan pergeseran mendadak pada fragmen fraktur yang selalu menghasilkan
cedera jaringan lunak disekitarnya. Hal ini bisa disebabkan karena : trauma tunggal,
trauma yang berulang- ulang, kelemahan pada tulang atau fraktur patologik
(Hardisman dan Riski, 2014).
Menurut Muttaqin, (2011) Fraktur humerus adalah terputusnya hubungan
tulang humerus disertai kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf,
pembuluh darah) sehingga memungkinkan terjadinya hubungan atara fragmen tulang
yang patah dengan udara luar yang disebabkan oleh cedera dari trauma langsung yang
mengenai lengan atas.
B. Klasifikasi
1. Fraktur suprakondilar humerus
a. Tipe ekstensi. Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan
bawah dalam posisi supinasi. Hal ini menyebabkan fraktur pada suprakondilar,
fragmen distal humerus akan mengalami dislokasi keanterior dari fragmen
proksimalnya.
b. Tipe fleksi. Trauma terjadi ketika posisi siku dalam keadaan fleksi, sedangkan
lengan bawah dalam keadaan pronasi. Hal ini megakibatkan fragmen distal
humerus mengalami dislokasi ke posterior dari fragmen proksimalnya.
Hal ini akan menyebabkan komplikasi jika terjadi penekanan pada arteri brakialis
yang disebut dengan iskemia volkmanss diantaranya akan timbul rasa sakit, denyut
arteri radialis berkurang, pucat, rasa kesemutan, dan kelumpuhan.
2. Fraktur interkondilar humerus
Pada fraktur ini bentuk garis patah yang terjadi berupa bentuk huruf Y atau T.
Didaerah tersebut akan tampak jejas pembengkakan, kubiti varus atau kubiti
valgus.
3. Fraktur batang humerus
Biasanya terjadi pada penderita dewasa, fraktur dapat terjadi karena trauma
langsung yang menyebabkan garis patah transversal atau kominutif.
4. Fraktur kolum humerus
Sering terjadi pada wanita tua karena osteoporosis. Biasanya berupa fraktur
impaksi. Ditandai dengan sakit didaerah bahu tetapi fungsi lengan masih baik
karena fraktur impaksi merupakan fraktur yang stabil (Arif Manjoer, 2015).
C. Etiologi
Penyebab fraktur humerus diantaranya adalah:
1. Akibat peristiwa trauma: karena adanya tekanan tiba-tiba dengan kekuatan yang
melebihi batas kemampuan tulang yang berupa pemukulan, penghancuran,
penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Trauma ada dua, yaitu:
- Trauma langsung: tulang bisa patah pada tempat yang terkena benturan,
kemungkinan ada kerusakan pada jaringan lunak.
- Trauma tidak langsung: tulang dapat mengalami frakture pada tempat yang
jauh dari tempat terkena benturan, kerusakan jaringan lunak pada fraktur
kemungkinan tidak terjadi.
2. Akibat tekanan: disebabkan adanya tekanan yang berulang-ulang sehingga dapat
menyebabkan retak pada tulang.
3. Kondisi abnormal pada tulang: fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal
pada tulang jika tulang tersebut lemah misalnya oleh tumor atau tulang tersebut
dalam kondisi rapuh (osteoporosis).
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada fraktur humerus adalah:
1. Nyeri terus menerus dan meningkat, terjadi karena adanya spasme otot dan
kerusakan sekunder sehingga fragmen tulang tidak bisa digerakkan.
2. Deformitas atau kelainan bentuk. Terdapat perubahan pada fragmen tulang yang
disebabkan oleh adanya deformitas tulang dan fraktur itu sendiri. Hal ini akan
tampak saat dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
3. Terdapat gangguan fungsi. Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat
digunakan dan cenderung menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak
berfungsi secara teratur karena fungsi normal otot tergantung pada integritas
tulang yang mana tulang tersebut saling berdekatan.
4. Bengkak dan memar, terjad karena adaya hematoma pada jaringan lunak.
5. Pemendekan. Pada frakture tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada
ekstremitas yang disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempetan di atas dan di
bawah lokasi fraktur humerus.
6. Krepitasi. Suara derik tulang dapat didengar atau dirasakan ketika humeri
digerakkan yang disebabkan oleh trauma langsung maupun tak langsung.
E. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang
yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda
Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam
korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan
terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula
tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai
denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih.
Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya.
Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan
membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh
aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-
sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 –
48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
a) Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro
kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang
telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk
ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan
terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru
yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini
berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
b) Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk
tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan
osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang
yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal.
Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat
sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah
fraktur menyatu.
c) Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
d) Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih
tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang
tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk
struktur yang mirip dengan normalnya.
F. Pathway
Terlampir
G. Komplikasi
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan
embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini
biasanya terjadi pada fraktur.
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan
waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena
penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion
ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran
darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
H. Pemeriksaan Penunjang
Pada pasien fraktur menurut Doenges (2000:762) adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Rontgen Untuk menentukan lokasi atau luasnya fraktur.
2. CT Scan Untuk memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Hb mungkin meningkat atau juga dapat menurun (pendarahan)
b. Leukosit meningkat sebagai respon stress.
c. Kreatinin , trauma meningkat beban kreatinin untuk klien ginjal.
d. Arteriogram
e. Dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
I. Penatalaksanaan
Prosedur penatalaksanaan fraktur ekstermita atas adalah sebagai berikut:
a. Pembedahan
Metode penatalaksanaan yang paling banyak keunggulannya saat ini adalah
pembedahan. Berikut ini jenis pembedahan pada pasien fraktur antebrachii:
1) ORIF (Open Reduction Internal Fixation) yaitu prosedur pembedahan untuk
memperbaiki fungsi dengan mengembalikan stabilitas dan mengurangi rasa
nyeri pada tulang yang patah yang telah direduksi dengan skrup, paku dan pin
logam
2) Reduksi terbuka dengan melakukan kesejajaran tulang yang patah setelah
terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemanjangan tulang yang patah
3) Fiksasi ekterna yaitu mengobati fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan
lunak dimana garis fraktur direduksi, disejajarkan dan diimobilisasi dengan
sejumlah pin yang dimasukkan ke dalam fragmen tulang.
b. Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan bentuk tubuh.
Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :
1) Immobilisasi dan penyangga fraktur;
2) Istirahatkan dan stabilisasi;
3) Koreksi deformitas;
4) Mengurangi aktifitas;
5) Membuat cetakan tubuh orthotic.
c. Traksi (mengangkat/menarik)
Traksi secara umum dilakukan dengan menempatkan beban dengan tali pada
ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Identitas Klien
Lakukan pengkajian pada identitas klien dan isi identitasnya yang meliputi:
nama, jenis kelamin, suku bangsa, tanggal lahir, alamat, agama, dan tanggal
pengkajian serta siapa yang bertanggung jawab terhadap klien.
b) Keluhan utama : Penderita biasanya mengeluh nyeri.
c) Riwayat kesehatan
Riwayat kesehatan dahulu : Pada klien fraktur pernah mengalami
kejadian patah tulang apa pernah mengalami tindakan operasi apa tidak.
Riwayat kesehatan sekarang : Pada umumnya penderita mengeluh nyeri
pada daerah luka (pre/post op).
Riwayat kesehatan keluarga : Didalam anggota keluarga tidak / ada yang
pernah mengalami penyakit fraktur / penyakit menular.
d) Keadaan umum Kesadaran: compos mentis, somnolen, apatis, sopor koma
dan koma dan apakah klien paham tentang penyakitnya.
e) Pengkajian Kebutuhan Dasar
Rasa nyaman/nyeri
Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan/kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi),
tidak ada nyeri akibat kerusakan saraf. Spasme/kram otot (setelah
imobilisasi)
Nutrisi
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain
itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
Kebersihan Perorangan
Klien fraktur pada umumnya sulit melakukan perawatan diri.
Cairan
Perdarahan dapat terjadi pada klien fraktur sehingga dapat menyebabkan
resiko terjadi kekurangan cairan.
Aktivitas dan Latihan
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena dimana Aktifitas dan
latihan mengalami perubahan/gangguan akibat adanya luka sehingga
perlu dibantu.
Eliminasi
Untuk kasus fraktur tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi
walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau
feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi urin dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini
juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
Neurosensory
Biasanya klien mengeluh nyeri yang disebabkan oleh adanya kerusakan
jaringan lunak dan hilangnya darah serta cairan seluler ke dalam
jaringan. Gejala : Kesemutan, Deformitas, krepitasi, pemendekan,
kelemahan.
Keamanan
Tanda dan gejala : laserasi kulit, perdarahan, perubahan warna,
pembengkakan local
Seksualitas
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
Keseimbangan dan Peningkatan Hubungan Resiko serta Interaksi Sosial
- Psikologis : gelisah, sedih, terkadang merasa kurang sempurna.
- Sosiologis : komunikasi lancar/tidak lancar, komunikasi verbal/non
verbal dengan orang terdekat/keluarga, spiritual dibantu/tidak dalam
beribadah.
f) Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum
Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien
Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang , berat,
dan pada kasus fraktur biasanya akut
Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
2. Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Sistem integument : terdapat eritema, suhu sekitar daerah trauma
meningkat, bengkak, odema, nyeri tekan.
Kepala : tidak ada gangguan yaitu semetris, tidak ada penonjolan,
tidak ada nyeri kepala.
Leher : tidak ada gangguan yaitu semetris, tidak ada penonjolan,
reflek menelan ada.
Muka : Wajah terlihat menahan sakit , lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk, tidak ada lesi, simetris, tidak odema.
Mata : Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan).
Telinga : tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal, tidak
ada lesi atau nyeri tekan.
Hidung : tidak ada deformitas, tidak ada pernapasan cuping hidung
Mulut dan faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi
perdarahan , mukosa mulut tidak pucat.
Thoraks : tidak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada
simetris.
Paru
- Inspeksi : Pernafasan meningkat, regular atau tidaknya
tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan
dengan paru.
- Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
- Perkusi : Suara ketok sonor, tidak ada redup, suara tambahan
lainnya.
- Auskultasi : Suara napas normal, tidak ada wheezing, atau suara
tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi
Jantung
- Inspeksi : Tidak tampak iktus jantung
- Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba
- Perkusi : Sonor
- Auskultasi: Suara s1 dan s2 tunggal, tidak ada mur-mur
Abdomen
- Inspeksi : Bentuk datar , simetris,tidak ada hernia
- Palpasi : Turgor baik, tidak ada defands muskuler (nyeri tekan
pada seluruh lapang abdomen), hepar tidak teraba
- Perkusi : Suara timpani, ada pantulan gelembang cairan
- Auskultasi : Peristaltik usus normal kurang lebih 20 kali
permenit.
Inguinal-Genetalia-Anus : Tak ada hernia , tak ada pembesaran
limfe, tak ada kesulitan BAB.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cedera fisik.
b. Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan faktor mekanik:
perubahan sirkulasi, imobilisasi dan penurunan sensabilitas (neuropati).
c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan muskuloskeletal.
d. Risiko terhadap infeksi berhubungan dengan pengetahuan yang kurang
untuk menghindari pajanan pathogen.
e. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan akses terhadap makanan terbatas.
f. Defisit perawatan diri : mandi/hygiene berhubungan dengan nyeri,
kelemahan.
g. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Brunner, Suddarth. 2012. Buku Ajar keperawatan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Mansjoer Arif, dkk. 2015. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius.
Mutaqqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Herdman, T. Heather (2015) Nanda International Inc. diagnosis keperawatan : definisi &
Bulechek Gloria, Butcher Howard,dkk (2016) Nursing Interventions Classification (NIC), 6th
Moorhead Sue, Marion Johnson, dkk (2016) Nursing Outcomes Classification (NOC), 5th