Anda di halaman 1dari 15

5

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ekosistem Perairan Tawar


Ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungan. Sistem ekologi dikenal dengan ekosistem.
Ekosistem adalah suatu kawasan alam yang didalamnya terdapat unsur-unsur hayati
(organisme) dan unsur-unsur non-hayati (zat-zat yang tidak hidup) serta antara
unsur-unsur tersebut mempunyai hubungan timbal-balik (Resosoedarmo et al.
1984), sedangkan menurut Odum (1993) ekosistem adalah satuan yang mencangkup
semua organisme didalam suatu daerah yang saling mempengaruhi dengan
lingkungan fisiknya sehingga arus energi mengarah ke struktur makanan,
keanekaragaman biotik, dan daur-daur bahan yang jelas. Lingkungan perairan tawar
secara garis besar terbagi menjadi dua yaitu perairan tawar yang tidak bergerak
(lactic) dan perairan tawar yang bergerak (lotic). Karakteristik-karakteristik yang
dimiliki oleh perairan tawar yang tidak bergerak diantaranya arus air relatif tenang
dan stagnan, organisme didalamnya tidak memiliki adaptasi khusus, ada stratifikasi
suhu dan residence time relatif lama. Salah satu contoh bentuk lingkungan perairan
tawar yang tidak bergerak adalah situ. Situ adalah suatu wadah genangan air yang
berada di permukaan tanah yang terbentuk secara alami atau buatan, airnya
bersumber dari mata air, air hujan, dan/atau limpasan air permukaan. Proses
pembentukkan situ dapat terbentuk melalui dua cara yaitu secara alami dan buatan
(Puspita et al. 2005). Situ alami yaitu situ yang terbentuk karena kondisi topografi
yang menyebabkan terperangkapnya sejumlah air dan membentuk cekungan,
sedangkan situ buatan yaitu situ yang terbentuk karena dibendungnya suatu
cekungan (basin). Sumber air tersebut berasal dari mata air, air hujan dan/atau
limpasan air permukaan (Suryadiputra 2005).
Menurut Suryadiputra (2005), keberadaan air di dalam situ bersifat permanen
atau sementara. Pada musim kemarau panjang (misalnya: selama berlangsungnya
fenomena el-nino), biasanya beberapa situ dapat mengalami kekeringan secara total
dan beralih fungsi menjadi suatu lapangan terbuka yang dimanfaatkan oleh
penduduk sekitarnya untuk melakukan aktivitas, seperti bercocok tanam atau
lapangan sepak bola.
6

Secara ekosistem situ memiliki berbagai nilai dan manfaat untuk kepentingan
makhluk hidup diantaranya (Puspita et al. 2005) :
a. Nilai ekologis situ
Berdasarkan nilai ekologis situ diantaranya dimanfaatkan sebagai habitat
berbagai jenis tumbuhan dan hewan baik yang endemik maupun yang dilindungi,
sebagai pengatur fungsi hidrologis karena dapat menampung air tanah maupun
limpasan air permukaan serta menjaga sistem dan proses-proses alami yaitu
dijadikan lahan pertanian karena tanahnya menjadi subur, kesuburan tersebut
disebabkan adanya proses penambahan unsur hara dari hasil sedimentasi serta situ
berperan sebagai penghasil oksigen melalui berbagai jenis fitoplankton yang hidup
didalamnya.
b. Nilai ekonomis situ
Berdasarkan nilai ekonomis situ diantaranya dimanfaatkan sebagai penghasil
sumberdaya alam yang bernilai ekonomis baik hewan maupun tumbuhan, penghasil
energi, sarana wisata dan olahraga, sumber air dan memiliki nilai sosial dan budaya
situ.
Menurut Ubaidillah dan Maryanto (2003) situ merupakan salah satu
sumberdaya yang potensial dan belum dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan
fungsinya. Namun, situ memiliki beberapa permasalahan diantaranya:
a. Aspek kelembagaan
Permasalahan pada aspek kelembagaan diantaranya belum adanya
keberpihakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam mengupayakan
konservasi situ, belum adanya pembagian tugas dalam melakukan pengelolaan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, belum adanya perpaduan dalam
pelaksanaan program pengelolaan situ, keterbatasan kapasitas dan kemampuan
kelembagaan pemanfaatan situ serta masih lemahnya kampanye publik mengenai
manfaat dan fungsi situ, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
b. Aspek hukum
Permasalahan aspek hukum diantanya kurangnya penegasan hukum yang
berorientasi pada wisata, kurang diberlakukan Undang-Undang No.22 Tahun 1991
tentang pemerintah daerah dan belum adanya legalitas penguasaan atas situ.
7

c. Aspek fisik hidrologis


Permasalahan aspek fisik hidrologis diantaranya semakin menurunnya
kualitas perairan, adanya pendangkalan, dan penutupan perairan oleh gulma
d. Aspek tata ruang
Permasalahan aspek tata ruang diantaranya kurang terkendalinya perubahan
akan tata guna lahan atau alih fungsi situ, batas daerah penguasaan situ belum jelas,
serta belum adanya rencana yang detail akan pengembangan kawasan dan rencana
teknis kawasan.
e. Aspek sosial kemasyarakatan.
Permasalahan aspek sosial kemasyarakatan diantaranya masih rendahnya
pemahaman masyarakat akan pentingnya fungsi dan manfaat situ, kurangnya
partisipasi masyarakat dalam mengelola dan memanfaatkan situ.

2.2. Faktor Pembatas Fisika-Kimia-Biologi Perairan Situ


Faktor pembatas perairan tawar diantaranya suhu, kekeruhan dan debit arus
(Odum 1993). Parameter fisika yang dianalisis diantaranya: suhu, kecerahan, warna
dan bau perairan. Pada badan air suhu dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian
dari permukaan laut, sirkulasi udara, adanya penutupan awan, pergerakkan aliran air,
kedalaman dari badan air serta waktu dalam satu hari. Perubahan suhu dapat
mempengaruhi proses fisik, kimia dan biologi suatu badan air. Kecerahan air
tergantung pada warna dan kekeruhan air tersebut, yang mempengaruhi kecerahan
air diantaranya keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan dan padatan
tersuspensi, serta tingkat ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Warna
perairan dikelompokkan menjadi dua, yaitu warna sesungguhnya (true color) dan
warna tampak (apparent color). Warna perairan dipengaruhi oleh keberadaan bahan
organik dan bahan anorganik, serta keberadaan plankton, humus, dan ion-ion logam
(misalnya besi dan mangan), serta bahan-bahan lain (Effendi 2003). Aroma atau bau
(odor) bersifat chemical sense karena adanya kontak langsung bahan air sampel
dengan reseptor cell yang terletak di hidung. Senyawa organik dan anorganik yang
terdapat di perairan berpengaruh terhadap aroma atau bau.
Faktor pembatas di perairan secara kimia yang dianalisis diantaranya: DO,
BOD dan pH. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen/DO) adalah gas oksigen yang
8

terlarut di dalam air. Oksigen yang terlarut di perairan dari proses fotosintesis oleh
fitoplankton atau tumbuhan air dan difusi udara (APHA. 1992 in Effendi 2003).
Sumber oksigen yang terlarut berasal dari difusi oksigen di atmosfer (sekitar 35%)
dan sebagian besar berasal dari hasil sampingan aktifitas fotosintesis oleh tumbuhan
air dan fitoplankton (Novotny dan Olem 1994). Kebutuhan Oksigen Biokimiawi
(Biochemical Oxygen Demand/BOD) merupakan gambaran secara tidak langsung
kadar bahan organik yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob
untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air, diukur pada
suhu 20o selama 5 hari dengan keadaan tanpa cahaya (Davis & Cornwell 1991 in
Effendi 2003). Kadar keasaman (pH) berkaitan dengan karbondioksida dan
alkalinitas (Mackereth et al. 1989 in Effendi 2003), semakin tinggi nilai pH maka
nilai alkalinitas akan semakin tinggi pula dan kadar karbondioksida bebas semakin
sedikit.
Faktor pembatas biologi di perairan yang dianalisis adalah biota perairan
yaitu ikan dan tanamana air. Keberadaan ikan diperoleh melalui pengamatan dan
wawancara dengan wisatatawan pemancing, sedangkan tanaman air diperoleh
melalui pengamatan kemudian diidentifikasi.

2.3. Situ sebagai Kawasan Ekowisata


Situ memiliki nilai ekonomis yang dapat digunakan sebagai sarana wisata
dan olahraga (Puspita et al. 2005), karena keberadaan situ identik dengan
keberadaan air dan pemandangan alam yang indah. Menurut Yulianda (2007),
wisata merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa
alam untuk kepuasaan manusia. Oleh karena itu, situ sebagai sarana wisata
diperlukan pengelolaan dan tata ruang yang baik dengan konsep ekowisata agar
pemanfaatannya berkelanjutan. Ekowisata merupakan suatu konsep dalam
mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan, bertujuan untuk mendukung dan
mengupayakan kelestarian lingkungan (alam dan budaya) serta meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya, sehingga dapat menambah
pendapatan masyarakat setempat. Dilihat dari segi pengelolaannya, ekowisata
merupakan penyelenggara kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-
tempat alami atau berdasarkan kaidah alam dan berkelanjutan, mendukung untuk
9

mengupayakan kelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan


kesejahteraan masyarakat setempat . Selain itu, perencanaan dan pengembangan
wisata harus memperhatikan daya dukungnya.
Konsep pengembangan ekowisata dilandasi pada prinsip dasar ekowisata
yang meliputi :
1. Mencegah dan menaggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap
alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat
dan karakter alam dan budaya setempat.
2. Pendidikan konservasi lingkungan; mendidik pengunjung dan masyarakat
akan pentingnya konservasi.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan; restribusi atau pajak konservasi
(conservation tax) dapat digunakan untuk pengelolaan kawasan.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan; merangsang masyarakat agar
terlibat dalam perecanaan dan pengawasan kawasan.
5. Penghasilan bagi masyarakat; masyarakat mendapat keuntungan ekonomi
sehingga terdorong untuk menjaga kelestariaan kawasan.
6. Menjaga keharmonisan dengan alam; kegiatan dan pengembangan fasilitas
tetap mempertahankan keserasian dan keaslian alam.
7. Daya dukung sebagai batas pemanfaatan; daya tampung dan pengembangan
fasilitas hendaknya mempertimbangkan daya dukung lingkungan.
8. Kontribusi pendapatan bagi negara (pemerintah daerah dan pusat).
Menurut Sulaksmi (2007) in Rahmawati (2009) bentuk-bentuk wisata yang
akan dikembangkan dan direncanakan berdasarkan beberapa hal diantaranya:
1. Kepemilikan (ownerhip) atau pengelolaan areal wisata dikelompokkan
kedalam tiga sektor yaitu sektor pemerintahan, sektor organisasi nirlaba dan
perusahaan konvensional,
2. Sumberdaya (resource) yaitu sumberdaya alam (natural) atau budaya
(cultural),
3. Perjalanan wisata atau lama tinggal (touring/longstay),
4. Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan
(outdoor),
5. Wisatawan utama atau wisatawan penunjang (primary/secondary),
10

6. Daya dukung (carryng capacity) tampak dengan tingkat penggunaan


pengunjung yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif.
Dalam pengembangan wisata diperlukan sumberdaya agar dapat memberikan
kepuasan bagi manusia. Sumber daya yang terkait dengan pengembangan pariwisata
tersebut meliputi sumber daya alam, sumber daya budaya dan sumber daya manusia.
Elemen dari sumber daya alam misalnya air, pepohonan, udara, hamparan,
pegunungan, pantai, bentang alam dan sebagainya. Sumber daya alam tersebut tidak
akan berguna bagi pariwisata kecuali semua elemen tersebut dapat memuaskan dan
memenuhi kebutuhan manusia. Oleh karena itu, sumber daya memerlukan intervensi
manusia untuk mengubahnya agar menjadi bermanfaat.
Sumberdaya alam yang dapat dikembangkan menurut Fennel (1999) in
Pitana dan Diarta (2009), adalah sebagai berikut :
1. Lokasi geografis, menyangkut karakteristik ruang yang menentukan kondisi
terkait dengan variabel lainnya.
2. Iklim dan cuaca, ditentukan oleh latitude dan elevation diukur dari
permukaan air laut, daratan, pegunungan, dan sebagainya. Faktor geologis
dan iklim merupakan penentu utama dari lingkungan fisik yang
mempengaruhi vegetasi, kehidupan binatang, angin dan sebagainya.
3. Topografi dan landform, merupakan bentuk umum dari permukaan bumi
dan membuat beberapa areal geografis menjadi bentang alam yang unik
(landform). Kedua aspek tersebut menjadi daya tarik tersendiri dalam
membedakan kondisi geografis suatu wilayah/ benua dengan wilayah/ benua
lainnya, sehingga sangat menarik untuk menjadi atraksi wisata.
4. Surface materials, menyangkut sifat dan ragam material yang menyusun
permukaan bumi, misalnya formasi bebatuan alam, pasir, mineral, minyak
dan sebagainya, sangat unik dan menarik untuk dikembangkan menjadi
atraksi wisata alam.
5. Air, memegang peran sangat penting dalam menentukan tipe dan level dari
rekreasi outdoor, misalnya bisa dikembangkan jenis wisata pantai/ bahari,
danau, sungai, dan sebagainya (sailing, cruise, fishing, snorkeling, dan
sebagainya).
6. Vegetasi, merupakan keseluruhan kehidupan tumbuhan yang menutupi
11

suatu area tertentu. Kegiatan wisata sangat tergantung pada kehidupan dan
formasi tumbuhan seperti misalnya ekowisata pada kawasan konservasi
alam/ hutan lindung.
7. Fauna, berperan sangat signifikan terhadap aktivitas wisata baik di pandang
dari sisi konsumsi (misalnya wisata berburu dan memancing) maupun non-
konsumsi (misalnya birdwatching).
Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting dalam
pembangunan pariwisata, karena elemen pariwisata memerlukan sumberdaya
manusia untuk menggerakkannya (Pitana dan Diarta 2009). Selain itu, sumberdaya
manusia menentukan eksistensi pariwisata sebagai salah satu industri jasa yang
diberikan kepada wisatawan yang secara langsung akan berdampak pada
kenyamanan, kepuasan dan kesan atas kegiatan wisata yang dilakukannya
sedangkan sumberdaya budaya dijadikan sebagai faktor penarik dalam
mempromosikan karakteristik budaya dari destinasi. Selain itu pariwisata budaya
dapat dijadikan sebagai peluang bagi wisatawan untuk mengalami, memahami, dan
menghargai karakter dari destinasi, kekayaan, dan keragaman budayanya dan
memberikan kesempatan kontak pribadi secara langsung dengan masyarakat lokal
(Pitana dan Diarta 2009).
Sumberdaya budaya yang dapat dikembangkan menjadi daya tarik wisata
diantaranya sebagai berikut (Pitana dan Diarta 2009) :
1. Bangunan bersejarah, situs, monument, museum, galeri seni, situs budaya
kuno dan sebagainya.
2. Seni dan patung kontemporer, arsitektur, tekstil, pusat kerajinan tangan dan
seni, pusat desain, studio artis, industri film dan penerbit dan sebagainya.
3. Seni pertunjukkan, drama, sendratari, lagu daerah, teater jalanan, eksibisi
foto, festival dan even khusus lainnya.
4. Peninggalan keagamaan seperti pura, candi, masjid, situs dan sejenisnya.
5. Kegiatan dan cara hidup masyarakat lokal, sistem pendidikan, sanggar,
tekhnologi tradisional, cara kerja dan sistem kehidupan setempat.
6. Perjalanan ke tempat bersejarah menggunakan alat transportasi unik (berkuda,
dokar, cikar, dan sebagainya).
7. Mencoba kuliner (masakan) setempat.
12

2.4. Pengelolaan Sistem Pariwisata


Sistem dalam pariwisata adalah memandang pariwisata sebagai suatu
aktivitas yang kompleks, yang dapat dipandang sebagai suatu sistem yang besar,
yang mempunyai berbagai komponen, seperti ekonomi, ekologi, politik, sosial,
budaya dan sebagainya (Pitana dan Diarta 2009). Pariwisata sebagai suatu sistem
tidak dapat dilepaskan dari subsistem yang lain, seperti politik, ekonomi, budaya dan
sebagainya yang saling ketergantungan dan saling terkait (interconnectedness).
Pengelolaan menurut Leiper (1990) in Pitana dan Diarta (2009) adalah
seperangkat peranan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, atau
merujuk pada fungsi-fungsi yang melekat pada peran tersebut. Fungsi-fungsi
manajemen tersebut adalah sebagai berikut : 1). Planning (perencanaan),
2). Directing (mengarahkan), 3). Organizing (termasuk coordinating) dan
4). Controlling (pengawasan). Pengelolaan pariwisata harus mengacu kepada
prinsip-prinsip pengelolaan yang menekankan nilai-nilai kelestarian lingkungan
alam, komunitas dan nilai sosial yang memungkinkan wisatawan menikmati
kegiatan wisatanya serta bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat lokal (Pitana dan
Diarta 2009). Menurut Cox (1985) dan Fennel (2003) in Pitana dan Diarta (2009),
pengelolaan pariwisata harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut :
1) Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus didasarkan pada
kearifan lokal dan special local sense yang merefleksikan keunikan
peninggalan budaya dan keunikan lingkungan.
2) Preservasi, proteksi, dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi
basis pengembangan kawasan pariwisata.
3) Pengembangan atraksi wisata tambahan yang mengakar pada khasanah
budaya lokal.
4) Pelayanan kepada wisatawan yang berbasis keunikan budaya dan
lingkungan lokal.
5) Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan
pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif,
tetapi jika sebaliknya maka menghentikan aktivitas pariwisata tersebut
jika melampaui ambang batas (Carrying capacity) lingkungan alam atau
akseptabilitas sosial.
13

2.5. Kesesuaian dan Daya Dukung Kawasan


Daya dukung ekowisata mempertimbangkan dua hal (Yulianda 2010), yaitu
kemampuan alam untuk mentolerir gangguan atau tekanan dari manusia, dan
keaslian sumberdaya alam. Kemampuan alam mentolerir kegiatan manusia serta
mempertahankan keaslian sumberdaya ditentukan oleh besarnya gangguan yang
kemungkinan akan muncul dari kegiatan wisata. Suasana alami lingkungan juga
menjadi persyaratan dalam menentukan kemampuan tolerir gangguan dan jumlah
pengunjung dalam unit area tertentu. Tingkat kemampuan alam untuk mentolerir
dan menciptakan lingkungan yang alami dihitung dengan pendekatan potensi
ekologis pengunjung. Potensi ekologis pengunjung dihitung berdasarkan area yang
digunakan untuk beraktifitas dan alam masih mampu untuk mentolerir kehadiran
pengujung.
Daya dukung lingkungan (carrying capacity), adalah jumlah individu
maksimum yang dapat ditampung pada suatu area dengan tidak mempengaruhi atau
merusak lingkungan dan dapat memberikan kepuasan bagi pengunjung dan
masyarakat setempat (Maryadi 2003 in Maulana 2009). Aspek ekologi dan aspek
pemanfaatan sumberdaya dapat dilihat dari kesesuaian karakteristik sumberdaya dan
lingkungan dalam mengembangkan wisatanya. Pertimbangan aspek ekologi
bertujuan untuk mempertahan keberadaan sumberadaya dan keseimbangan sistem
kehidupan biota perairan agar tetap lestari dan berkelanjutan, sedangkan
pertimbangan aspek pemanfaatan adalah kepuasan manusia dalam menjalani
kegiatan wisata. Oleh karena itu, kepuasan manusia akan tercapai apabila
sumberdaya dapat dinikmati secara alami dan nyaman. Menurut Yulianda (2010)
sumberdaya harus dipertahankan keaslian dan keserasiannya, serta jumlah
pengunjung harus disesuaikan dengan kapasitasnya sehingga wisatawan tidak
merasa terganggu oleh pengunjung lainnya.
Faktor lingkungan yang diperlukan untuk mendukung pengembangan
pariwisata yang berkelanjutan (Soemarwoto 2004) yaitu :
1. Terpeliharanya proses ekologi yang esensial,
2. Tersedianya sumberdaya yang cukup,
3. Lingkungan sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai.
14

Strategi pengelolaan situ sebagai sumberdaya air harus dilakukan secara


lintas sektoral dengan tetap memperhatikan fungsi air, yaitu fungsi ekologi, ekonomi
dan sosial. Keterpaduan pengelolaan harus diwujudkan mulai dari tahap
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian dan pengawasan. Untuk itu, aparatur
Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, harus mempunyai
visi dan persepsi yang sama dalam identifikasi tujuan konservasi situ (Ubaidillah
dan Maryanto 2002). Dalam kerangka pemikiran ini, kegiatan yang perlu dilakukan
adalah:
1. Penetapan pedoman pengelolaan situ.
2. Penetapan standarisasi teknis pengelolaan situ (meliputi penyelenggaraan
penataan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang, penanganan dan
rehabilitasi penyimpangan fungsi ruang, pengendalian penggunaan lahan,
penatagunaan sumberdaya air, pengendalian dan pemanfaatan sumberdaya
air, tertib administrasi pertanahan, kriteria kerusakan, pencegahan,
penanggulangan dan pemulihan kerusakan).
3. Pembangunan sistem informasi.

2.6. Peluang Wisata (ROS)


Recreation Opportunity Spectrum (ROS) merupakan suatu alat manajemen
rekreasi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat melalui Dinas Kehutanan pada
awal 1980-an untuk mengelola dan melaksanakan pengaturan alam bagi para
wisatawan yang berkunjung. ROS fokus kepada identifikasi dan pengelolaan
sumberdaya yang tersedia antara lain ruang, fasilitas, kondisi sosial dan ekologi.
Tujuan utamanya yakni untuk mencapai konsistensi dalam pengelolaan rekreasi
melalui integrasi rekreasi, perencanaan dan pengelolaan sumber daya. ROS lebih
proaktif dan konstruktif dalam mendukung integrasi dari pengalaman dan
kesempatan rekreasi dengan mempertimbangankan kondisi ekologi yang diperlukan
dalam sumberdaya alam yang berkelanjutan. Menurut Clark dan Stankey (1979),
ROS merupakan suatu kerangka pemikiran konseptual untuk membantu
memperjelas hubungan antara kondisi kawasan, aktivitas dan pengalaman rekreasi.
Kerangka ini menganalisis tiga parameter, yatu fisik (physical attribute),
pengelolaan (managerial attribute) dan sosial (social attribute) yang digunakan
15

untuk menguraikan kondisi kawasan rekreasi. Selain itu, ROS juga didefinisikan
sebagai suatu konsep pemikiran yang digunakan dalam pengelolaan kawasan alam
dan perencanaan kawasan wisata yang bertujuan menangani terjadinya suatu konflik
penggunaan lahan melalui identifikasi kegiatan wisata berdasarkan pada tingkat
keberagaman faktor alam, infrastruktur dan pengelolaan yang ada di suatu kawasan.
Konsep ROS merekomendasikan pembagian zonasi dan kegiatan rekreasi dimana
pemanfaatan kawasan diklasifikasikan dan dibagi berdasarkan kondisi lingkungan
dan aktivitas rekreasi. Pemanfaatkan dan pengembangan suatu potensi pariwisata
harus memperhatikan faktor lingkungan, sosial dan pengelolaan sesuai dengan
peruntukan dan tujuan pengembangan suatu kawasan.
Faktor lingkungan (environmental conditions) dilihat dari kondisi suatu
kawasan apakah masih bersifat alami atau sudah tekontaminasi oleh aktivitas
manusia. Faktor lingkungan suatu kawasan pariwisata beguna untuk menentukan
jenis dan arah pengembangan wisata, sedangkan faktor sosial (social conditions)
berguna untuk menggambarkan intensitas pemanfaatan suatu kawasan wisata. Oleh
karena itu, diperlukan strategi khusus untuk mempertahankan kondisi yang telah ada
menjadi lebih baik.
Faktor utama yang dianalisis ROS adalah identifikasi parameter kondisi
kawasan rekreasi (setting). Parameter kondisi kawasan rekreasi merupakan kondisi
dari keseluruhan kawasan rekreasi termasuk parameter fisik, sosial dan pengelolaan
sebagai satu kesatuan. Parameter fisik berpengaruh dalam menentukan jenis
kegiatan dan tipe rekreasi yang dapat dikembangkan. ROS merangkum keragaman
dari berbagai parameter kondisi kawasan wisata berdasarkan pengalaman tertentu.
Kombinasi dari parameter - parameter tersebut membentuk suatu spektrum yang
mengarah pada jenis tipe rekreasi yang dapat dikembangkan bagi kawasan wisata
tersebut. Berikut parameter kondisi kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute)
pada Tabel 1.
16

Tabel 1. Parameter kawasan rekreasi (Recreation Setting Attribute)


Parameter fisik/lingkungan Parameter Sosial Parameter pengelolaan
(Physical Attributes) (Social Attributes) (Managerial Attributes)
 Sumberdaya alam (perairan  Pendidikan dan tenaga kerja  Sarana dan prasarana
dan daratan)  Demografi rekreasi
 Topografi wilayah  Presepsi terhadap kawasan  Transportasi dan
 Kualitas perairan wisata komunikasi
 Klimatologi  Isu dan permasalahan  Kebijakan pengelolaan
 Pembuangan limbah cair  Kondisi Pariwisata
dan dampak  Kondisi perikanan
Sumber : Clark dan Stankey (1979) .

ROS juga mengintegrasikan kesempatan rekreasi dan non-kegiatan rekreasi


di lahan-lahan masyarakat, sehingga para pengelola dapat membuat sebuah
keputusan. Pendekatan yang berlaku pada metode ROS ini mengunakan pendekatan
kriteria fisik, sosial, dan pengelolaan untuk menggambarkan kondisi yang sudah
ada, sehingga dapat menentukan kemampuan dan kesesuaian untuk menyediakan
berbagai kegiatan rekreasi.
ROS dibagi menjadi empat kelas berdasarkan kepadatan lingkungan untuk
kegiatan pengaturan. Kondisi fisik, sosial dan pengelolaan berbeda-beda pada setiap
kelasnya. Keempat kelas yang terdapat pada metode ROS diantaranya primitive
dicirikan dengan area yang belum ada kegiatan yang dapat mengubah lingkungan
alam yang cukup besar sehingga lingkungan alam masih tergolong alami dan lestari,
semi-primitive non-motorized dicirikan oleh lingkungan yang belum berubah, semi-
primitive motorized dicirikan oleh lingkungan alam yang belum dipengaruhi oleh
aktivitas-aktivitas dan rural dicirikan oleh lingkungan alam yang telah berubah
secara substansial, salah satunya terjadi akibat adanya aktivitas-aktivitas yang
menyebabkan lingkungan berubah seperti telah adanya kegiatan bisnis struktur
lainnya (Tabel 2).
17

Tabel 2. Klasifikasi Kelas ROS


Kelas ROS Keterangan
Primitive Area ini ditandai dengan belum ada kegiatan yang dapak mengubah
lingkungan alam yang cukup besar. Pengguna masih tergolong minim.
Sistem jalan belum ada. Infrastruktur masih tergolong sedikit dan sederhana.
Secara umum, sumber daya masih alami dan belum berubah. Vegetasi berada
dalam keadaan alami.
Semi-primitive non- Lingkungan alam yang belum berubah. Pengguna dengan konsentrasi
motorized rendah. Daerah lebih mudah diakses dari kelas primitif, tetapi masih jauh
dari keramaian dan jalan raya. Vegetasi, dan sumber daya yang sebagian
besar adalah alami tetapi mungkin ada beberapa dampak seperti adanya
kegiatan manusia.
Semi-primitive motorized Lingkungan alam yang belum dipengaruhi. Konsentrasi pengguna sudah ada
tetapi jarang. Tidak bisa diakses oleh kendaraan beroda empat. Beberapa
bagian dari daerah mungkin jauh dari jalan raya. Vegetasi sebagian besar
adalah alami tapi wilayah lokal mungkin ada gangguan seperti kerusakan
akibat terkena dampak kegiatan manusia.
Rural lingkungan alam yang telah berubah secara substansial. Adanya kegitan
pemanfaatan sumberdaya. Area biasanya bisa diakses oleh kendaraan
bermotor dari daerah mana pun , bisnis, dan struktur lainnya juga telah ada.
Lalu Lintas tingkat daerah cukup konstan karena dihuni.Vegetasi dan
sumberdaya juga telah mengalami perubahan akibat dampak yang
ditimbulkan dari kegiatan pemanfaatan sumberdaya.
Sumber: Clark dan Stankey (1979).

Berdasarkan keempat kelas tersebut dapat dilihat karakteristik-karakteristik


disetiap kelasnya, terdapat perbedaan - perbedaan dilihat dari kriteria fisik (sumber
dan fasilitas), kriteria sosial (pengunjung dan pengguna) dan kriteria administratif
(pengelolaan dan pengaturan pelayanan) (Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5). Kriteria
berdasarkan fisik-sumber dan fasilitas digunakan untuk mengetahui pengelolaan di
kawasan wisata, pengelolaan kawasan wisata yang baik adalah pengelolaan yang
disesuaikan dengan konsep ekowisata. Mengetahui kondisi pemandangan dikawasan
masih bersifat alami atau sudah terkontaminasi, dan untuk mengetahui keberadaan
sarana dan prasarana yang terdapat di kawasan wisata (Tabel 3). Informasi-informasi
tersebut diperoleh berdasarkan pengamatan di lapang dan wawancara.
18

Tabel 3. Klasifikasi berdasarkan kriteria fisik - sumber dan fasilitas


Semi-Primitive Semi-Primitive
Keterangan Primitive Rural
non-motorized Motorized
Remoteness  besarnya  kecil kesempatan  kecil kesempatan  sangat
kesempatan untuk untuk sendirian untuk sendirian kecil
sendiri  5 mil dari jalan  mudah diakses kesempa-
 lebih dari 5 mil  sudah ada  sudah ada tan untuk
dari jalan pembangunan pembangunan sendiri
 belum ada infrastruktur infrastruktur tetapi  tinggi
pembangunan tetapi tidak tidak menggagu perasaan
infrastruktur menggagu pemandangan aman
pemandangan  dekat
jalan
utama di
dekat
sebuah
kota

Naturalness pemandangan alam  munculnya munculnya lansekap sudah


terganggu lansekap dan tetapi tidak dominan dibangun
pembangunan dan adanya Infrastruk-
infrastruktur pembangunan tur
infrastruktur sehingga
kesan
alami tidak
terlihat lagi
Fasilitas umumnya tidak ada, jalan kaki yang bermotor trails fasilitas
walaupun ada agak dipertahankan (mungkin pernah modern
biasanya dalam musiman atau yang
jumlah yang sedikit. pembatasan lainnya) tersedia
yang dipelihara
Sumber: Clark dan Stankey (1979).

Kriteria berdasarkan sosial-pengunjung dan pengguna digunakan untuk


mengetahui keadaan sosial wisatawan dalam melakukan beberapa aktivitas wisata
yang terdapat di Situ Cigayonggong dan kelompok kunjungan wisatawan,
sedangkan bukti-bukti digunakan untuk mengetahui dampak yang ditimbulkan oleh
aktivitas wisata (Tabel 4).
Kriteria berdasarkan administratif-pengelolaan dan pengaturan pelayanan
digunakan untuk mengetahui sumber informasi yang diperoleh wisatawan dalam
mengetahui keberadaan kawasan wisata, mengetahui pengelolaan yang diterapkan
dalam mengelola kawasan wisata dan mengetahui dana yang dikeluarkan untuk
pembangunan, pengelolaan dan perawatan kawasan wisata sehingga keindahan dan
kelestarian kawasan tetap terjaga (Tabel 5).
19

Tabel 4. Klasifikasi berdasarkan kriteria sosial – pengunjung dan pengguna


Semi-Primitive Semi-Primitive
Keterangan Primitive Rural
non-motorized Motorized
Sosial  kecil  ada kemunginan  ada kemunginan  tinggi
Encounters kemunginan untuk bertemu untuk bertemu kemung-
untuk bertemu dan melihat dan melihat kinan
dan melihat pengunjung lain pengunjung lain untuk
pengunjung secara langsung secara langsung bertemu
lain secara  ukuran grup  ukuran grup dan
langsung sosial (<5) sosial (<5) melihat
 ukuran pengun-
kelompok kecil jung lain
(<3) secara
lang-
sung
 ukuran
grup
sosial
sangat
bervaria-
si
 banyak
pengun-
jung
Bukti-bukti ditemukan bekas ditemukan Bukti ada jalan, peningkat
orang yang sumberdaya yang kebisingan, serta jumlah
berekreasi rusak akibat ada tempat-tempat sampah
dulunya kegiatan manusia rekreasi

Sumber: Clark dan Stankey (1979)

Tabel 5. Klasifikasi berdasarkan kriteria administratif - pengelolaan dan pengaturan


pelayanan
Semi-Primitive Semi-Primitive
Keterangan Primitive Rural
non-motorized Motorized
Perjalanan  ada peta  ada peta  ada peta  ada iklan
pengunjung  ada guide  tempat mudah  tempat mudah wisata
 (pembimbing dicari dicari  ada buku
wisata)  ada guide  ada guide panduan
(pembimbing (pembimbing wisata
wisata wisata
Pengelolaan  tidak ada  tidak ada  ada pengunjung  memilki
pengunjung pengunjung yang yang menguasai aturan yang
yang menguasai menguasai dan memiliki jelas
 dan tidak ada  dan tidak ada perbatasan tertentu  ada kegiatan
batasan batasan  terbatas dalam patroli
menggunakan kawasan
sumberdaya
 ada hukum yang
berlaku
Biaya tidak ada tidak ada tidak ada Ada
penggunaan
Sumber: Clark dan Stankey (1979).kl

Anda mungkin juga menyukai