Anda di halaman 1dari 5

Cultuurstelsel di Jawa

Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830, kas pemerintah Hindia Belanda terkuras habis.
Menurut Peter Carey dalam The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of An Old
Order in Java (2007), duit yang harus dikeluarkan kerajaan Belanda untuk membiayai tegaknya
kedaulatan Belanda sebesar 20 juta gulden (sekitar 3 miliar dolar Amerika dalam kurs sekarang).
Sebagian besar jumlah itu berasal dari utang.

Raja Wiliam I kemudian mengangkat Johannes van den Bosch sebagai Gubernur Jenderal
Hindia Belanda. Van den Bosch adalah birokrat berpengalaman yang sudah teruji
kemampuannya untuk mengatasi krisis. Tugas utama yang yang dia emban: mengeksploitasi
Jawa apapun caranya untuk mengisi kas kerajaan dan membayar utang yang bertumpuk. Dari
gubernur jenderal kelahiran Herwijnen itulah kebijakan bernama Cultuurstlesel (Cultivation
System) tercetus. Para sejarawan kemudian menyebutnya sebagai Tanam Paksa (Enforcement
Planting).

Pada intinya, Tanam Paksa merupakan sistem untuk menaikkan volume ekspor sebesar-
besarnya dari wilayah koloni. Ekspor ini berasal dari industri ekstraktif di sektor pertanian dan
perkebunan. Tanaman yang saat itu menjadi primadona di dunia di antaranya gula, karet, dan
indigo. Pemerintah kolonial yang langsung mengurus semua hal dari penanaman sampai panen,
tanpa campur tangan pihak swasta.

Tanam Paksa (Cultuur stelsel) secara harfiah yaitu “Sistem Kultivasi” atau secara kurang
tepat diterjemahkan sebagai “Sistem Budaya” yang oleh sejarawan Indonesia disebut sebagai
Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes Van
den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial.

Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%)
pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Pada praktiknya peraturan itu

1
dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku
ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk
praktik cultuurstelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian
wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.

Berdasarkan catatan Robert van Neil di buku Sistem Tanam Paksa di Jawa (2003), dalam
waktu 10 tahun sejak diterapkan, Tanam Paksa berhasil menaikkan rata-rata ekspor Hindia
Belanda sebesar 14%. Ini angka yang lumayan tinggi dan Belanda mendapat keuntungan raksasa
dari sistem tersebut. Utang Belanda yang menggunung itu akhirnya lunas, kas kerajaan pun terisi
lagi.

Di atas kertas, Tanam Paksa mewajibkan para petani atau pemilik tanah menyerahkan
seperlima bagian tanah mereka untuk ditanami tanaman impor. Praktiknya bisa lebih dari itu.
Kongkalikong antara birokrat kolonial dengan para penguasa pribumi menyebabkan jumlah
tanah yang diserahkan bisa melebihi ketentuan. Bahkan sebagian petani terpaksa menyerahkan
setengah bagian tanahnya.

Ketentuan – ketentuan pokok sistem tanam paksa terdapat dalam Lembaran Negara
(Staatsblad) tahun 1834 No. 22, beberapa tahun setelah tanam paksa di jalankan di pulau Jawa.
Bunyi dari ketentuan tersebut adalah sebagi berikut :
1. Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
2. Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak
boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak
boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Tanah yang disediakan penduduk tersebut bebas dari pajak.
5. Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika
harganya di tafsir melebihi pajak tanah yang harus di bayar oleh rakyat maka
kelebihan itu diberikan kepada penduduk.
6. Kegagalan panen yang bukan kesalahan petani akan menjadi tanggung jawab
pemerintah.

2
7. Penduduk desa yang bekerja di tanah – tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada
di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegwai – pegawai
Eropa melakukan pengawasan secara umum.
8. Bagi yang tidak mempunyai tanah akan dipekerjakan pada perkebunan atau pabrik
milik pemerintah selama 65 hari setiap tahun.
9. Adanya cultuur prosenten (presentasi keuntungan) yang diberikan kepada pengawas
tanam paksa.

Dalam mempraktikkan ketentuan – ketentuan tersebut pasti terdapat hal – hal yang menyimpang
sehingga rakyat banyak yang merasa dirugikan. Penyimpangan – penyimpangan tersebut adalah :
1. Perjanjian tersebut seharusnya dilakukan dengan sukarela, tetapi dalam
pelaksanaannya dilakukan dengan cara – cara paksaan.
2. Luas tanah yang disediakan penduduk lebih dari seperlima tanah mereka. Seringkali
semua tanah rakyat digunakan untuk tanam paksa.
3. Pengerjaan tanaman – tanaman ekspor sering kali jauh melebihi pengerjaan tanaman
padi.
4. Pajak tanah masih dikenakan pada tanah yang digunakan untuk proyek tanam paksa.
5. Kelebihan hasil panen seringkali tidak dikembalikan kepada petani.
6. Kegagalan panen menjadi tanggung jawab petani.
7. Buruh yang seharusnya dibayar oleh pemerintah malah dijadikan tenaga paksaan.

Studi James C. Scott bertajuk Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara (1983) menyebut sepanjang masa Tanam Paksa petani Jawa harus menanggung
penderitaan yang tak mereka alami di masa sebelumnya. Akibat sawah-sawah diambil alih
tanaman ekspor, luasan lahan untuk menanam padi semakin sempit.

Ditambah lagi, para petani semakin sibuk mengurus tanaman impor alih-alih merawat
lahan padi milik mereka. Padahal, para petani di masa itu menanam padi untuk kebutuhan
mereka sendiri (subsistens).

3
Scott mengibaratkan mereka bak seseorang yang tenggelam di sungai dengan air yang
sudah mencapai mulut. Ada riak sedikit saja, mereka akan karam. Dalam kondisi seperti itulah,
sebagaimana dianalisis Clifford Geertz dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia (1983), Tanam Paksa memicu perubahan ekologi besar-besaran di hampir seluruh
Pulau Jawa. Sistem yang dicetuskan van den Bosch itu tidak mendorong terjadinya evolusi
pertanian, tapi mengakibatkan apa disebut Geertz sebagai ‘involusi pertanian’.

Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den
Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839.

Cultuurstelsel kemudian dihentikan setelah muncul berbagai kritik dengan


dikeluarkannya UU Agraria 1870 dan UU Gula 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi
dalam sejarah penjajahan Indonesia.

4
Daftar Pustaka

Carey, Peter. 2007. The Power of Prophecy: Prince Dipanegara and the End of An Old Order in
Java. Den Haag : KILTV.

Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia. Berkeley :
University of California Press.

Scott, James C.. 1983. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara.
Yogyakarta : LP3ES.

Van Neil, Robert. 2003. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Yogyakarta : LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai