Revisi 3 UAS Kolokium - Muhammad Suharto Rijalul Faiq Yasna (1) (AutoRecovered)
Revisi 3 UAS Kolokium - Muhammad Suharto Rijalul Faiq Yasna (1) (AutoRecovered)
oleh:
Muhammad Suharto Rijalul Faiq Yasna
12915037
oleh:
Muhammad Suharto Rijalul Faiq Yasna
12915037
Pembimbing
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Komponen-komponen pasang surut utama dan pasang surut perairan dangkal
(shallow water tides) ................................................................................................. 5
Tabel 2. 2 Komponen-komponen pasang surut perairan dangkal.............................................. 7
Tabel 3. 1 Data yang terkumpul ................................................................................................. 8
Tabel 5. 1 Rencana pengerjaan tugas akhir ............................................................................. 11
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Tujuan
Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengkaji dinamika spasial pasang surut dari
laut lepas ke arah sungai yang meliputi komponen pasang surut utama serta komponen pasang
surut perairan dangkal (shallow water).
2
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Dengan 𝛾 adalah suatu konstanta yang menyatakan gaya tarik antara dua satuan massa
yang berjarak satu satuan jarak. Misalkan bumi dengan radius 𝑎 dan massa 𝐸, dimana
diasumsikan massanya ini terkonsentrasi pada pusat bola bumi, maka gaya yang timbul pada
suatu partikel di permukaan bumi:
3
𝐸×1 (2.2)
𝐹=𝛾
𝑎2
Karena gaya tarik bumi pada suatu partikel per satuan massa di permukaan bumi sama
dengan berat partikel itu sendiri, yang merupakan hasil kali massa dengan perceparan gravitasi,
maka:
𝐹 = 𝑚𝑔 (2.3)
untuk 𝑚=1
𝐹=𝑔 (2.4)
sehingga didapatkan harga 𝛾 sebagai berikut:
𝐸×1 𝑎2 (2.5)
𝐹=𝛾 atau 𝛾 = 𝑔
𝑎2 𝐸
4
Tabel 2. 1 Komponen-komponen pasang surut utama dan pasang surut perairan dangkal
(shallow water tides)
(Sumber: Ali, dkk., 1994)
Jenis, nama, dan simbol Kecepatan sudut Periode
komponen-komponen pasut (derajat/jam) (jam)
Semi diurnal
1. Principal Lunar (M2) 28,9841 12,42
2. Principal Solar (S2) 30,0000 12,00
3. Larger Lunar Eliptic (N2) 28,4397 12,66
4. Luni Solar (K2) 30,0821 11,97
Diurnal
1. Luni Solar (K1) 15,0411 23,33
2. Principal Lunar (O1) 13,9430 25,82
3. Principal Solar (P1) 14,9589 24,07
Long Period
1. Diurnal Fortnightly (Mf) 1,0980 327,82
2. Lunar Monthly (Mm) 0,5444 661,30
3. Solar Semi Annual (Ssa) 0,0821 2191,43
Shalow Water
1. 2SM2 31,0161 11,61
2. MNS2 27,4240 13,13
3. MK3 44,0250 8,18
4. M4 57,9680 6,21
5. MS4 58,0840 6,20
5
Proses tersebut menyebabkan komponen diurnal (K1, O1, dan P1) dan semidiurnal (M2,
S2, N2, dan K2) akan saling berinteraksi satu sama lain atau dengan komponen itu sendiri dan
membentuk komponen pasang surut perairan dangkal seperti S4, MS4, MK3, dan M4
(Mohamad, 2012).
Komponen pasang surut di perairan dangkal terbagi menjadi dua, yaitu overtide dan
compound tide. Overtide dan compound tide merupakan proses fisis non-linier yang dominan
di beberapa daerah pesisir dan dapat menghasilkan pasang dan surut yang asimetris karena
waktu pasang yang lebih pendek daripada waktu surut (Mohamad, 2012).
a. Overtide
Overtide adalah komponen pasang surut harmonik dimana lajunya merupakan
perkalian eksak dari laju suatu komponen dasar pasang surut yang dibangkitkan dari gaya
pembangkit pasang surut. Biasanya overtide ini muncul atau dominan di perairan dangkal.
Faktor-faktor seperti gesekan dan morfologi dari perairan membangkitkan komponen overtide
seperti M4 (Mandang dan Yanagi, 2007). Overtide yang biasa ditinjau dalam analisis pasang
surut adalah dibangkitkan oleh komponen utama principal lunar (M2) dan solar semidiurnal
(S2) dengan lambang M4, M6, M8, S4, S6, dst. Komponen pasang surut M4 termasuk ke dalam
kategori overtide, yaitu komponen pasang surut yang kecepatan sudutnya 2 kali laju komponen
M2. Ada juga komponen pasut M6, yang lajunya 3 kali laju komponen M2, dan M8 yang
kecepatan sudutnya 4 kali dari kecepatan sudut M2 (Parker, 1991).
b. Compound Tide
Compound tide adalah suatu komponen yang terbentuk dari hasil interaksi antara
beberapa komponen pasang surut utama (primary constituents). Apabila dua komponen yang
berinteraksi merupakan komponen semidiurnal (M2 dan N2) maka akan menghasilkan
komponen pasang surut quarterdiurnal (MN4). Sedangkan interaksi antara M2 dan K1 akan
menghasilkan komponen pasang surut terdiurnal MK3 (Parker, 1991). Contoh komponen
pasang surut compound tide yang lain adalah MS4, 2MS2, 2SM6, dan 2MS6, keempat compound
tide tersebut merupakan hasil interaksi antara komponen pasang surut utama M2 dan S2, dan
termasuk komponen perairan dangkal. Ada juga MNS6 yang merupakan interaksi dari
komponen pasang surut M2, N2, dan S2. Tabel 2.2. menunjukkan compound tide dari interaksi
antara M2 dengan komponen astronomis N2, S2, K1 dan O1.
Untuk menghitung kecepatan sudut dan periode komponen perairan dangkal dapat
dilakukan dengan perhitungan yang sederhana. Kecepatan sudut (𝜎) rumusnya 360°/𝑇,
satuannya derajat per jam matahari (deg per solar hour). Jika periode komponen M2=12,42
jam, maka kecepatan sudutnya adalah 360°/12,42 = 28,985 derajat/jam. Maka
6
𝜎M4=2*28,985, dst. Sedangkan untuk compound tide seperti MS4, 2SM2, DAN 2SM6 masing-
masing perhitungan kecepatan sudutnya sebagai berikut:
𝜎MS4= 𝜎M2+𝜎S2 (2.6)
𝜎2SM2= 𝜎S2-𝜎M2 (2.7)
𝜎2SM6= 2* 𝜎S2+𝜎M2 (2.8)
Tabel 2. 2 Komponen-komponen pasang surut perairan dangkal
(Sumber: Parker, 1991)
Menghasilkan komponen
M2 berinteraksi dengan
|𝜎M2-𝜎𝐶| |2𝜎M2-𝜎𝐶| |𝜎M2+𝜎𝐶| |2𝜎M2+𝜎𝐶| |4𝜎M2-𝜎𝐶|
M2 M4 M6 M8
N2 MN 2MN2 MN4 2MN6 4MN8
S2 MS 2MS2 MS4 2MS5 4MS8
K1 MK1 2MK3 MK3 2MK5 4MK7
O1 MO1 2MO3 MO3 2MO5 4MO7
Beberapa komponen perairan dangkal yang dihasilkan dari interaksi komponen pasang
surut utama memiliki nilai kecepatan sudut yang sama dengan komponen pasang surut utama.
Seperti interaksi antara M2 dan N2 yang menghasilkan MN4 yang memiliki nilai kecepatan
sudut yang sama dengan Mm. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan cara:
Dimana 0,5444 merupakan nilai dari 𝜎Mm. Selain MN, berikut adalah beberapa
komponen perairan dangkal lain yang memiliki kecepatan sudut yang sama (Parker, 1991):
7
amplitudo komponen-komponen semidiurnal M2 dan S2. Perbandingan tersebut dinyatakan
dalam hubungan:
𝐾1 + 𝑀1 (2.10)
𝐹=
𝑀2 + 𝑆2
Berdasarkan harga 𝐹 (yang dikenal sebagai bilangan pembentuk Formzahl) tipe pasang surut
dibagi menjadi empat, yaitu:
1. 0 < 𝐹 < 0,25 : semidiurnal murni. Pasang surut yang dalam satu hari terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dengan tinggi hampir sama
2. 0,25 < 𝐹 < 1,5 : campuran condong berganda (mixed tide predominantly semidiurnal).
Pasang surut yang dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, tetapi
terkadang terjadi satu pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang
berbeda.
3. 1,5 < 𝐹 < 3,0 : campuran condong tunggal (mixed tide predominantly diurnal). Pasang
surut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, tetapi terkadang
dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu.
4. 𝐹 > 3,0 : diurnal murni. Pasang surut yang dalam satu hari hanya terjadi satu kali
pasang dan satu kali surut.
2
Gambar 2. 2 Hubungan bentuk delta dengan fenomena dominan pembentuknya
(Sumber: Sassi, 2013)
Dari Gambar 2.8 menunjukkan hubungan antara bentuk delta dengan fenomena
dominan yang berperan dalam pembentukannya. Jika melihat bentuk Delta Berau yang
menyerupai bentuk dari Delta Mahakam, maka dapat dikatakan bahwa Delta Berau merupakan
delta yang terbentuk akibat pengaruh aliran sungai dan pasang surut.
3
perairan dangkal overtide (M4 dan M6) dan compound tide (MK3 dan MS4) dan nilai
perbandingan amplitudo M4/ K1, MK3/ K1 dan MS4/ K1 membesar ke arah hulu sungai. Nilai
amplitudo elevasi komponen pasut perairan dangkal (M4, MK3 dan MS4) lebih tinggi pada saat
bulan Juni (Q = 4,63 m3/det) yaitu ketika debitnya kecil dibandingkan pada bulan November
(Q = 35,8 m3/det) ketika debitnya besar.
Widyastuti dkk. (2012) melakukan penelitian karakteristik pasang surut di Delta
Mahakam, studi kasus di Bekapai dan Tunu dengan metode admiralty. Pemilihan daerah studi
karena merupakan daerah operasi berbagai perusahaan minyak dan gas (Migas) serta
merupakan jalur navigasi banyak kapal. Selain itu, pemilihan Bekapai dan Tunu ditujukan
untuk melihat perbedaan pasang surut di suatu delta dengan pasang surut di lepas pantai. Data
yang digunakan berasal dari Total E&P Indonesie selama 15 hari, yaitu 1 s.d. 12 Januari 2010
untuk Bekapai, 1 s.d. 15 Februari 2008 untuk Tunu dengan interval data adalah 1 jam. Data
kemudian direvifikasi dengan data lapangan selama 29 hari, untuk Bekapai 1 s.d. 29 Januari
2010 dan Tunu 1 s.d. 29 Februari 2008. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Bekapai dan
Tunu mempunyai tipe pasang surut yang sama, yaitu campuran condong ke semidiurnal. Tetapi
ampliduto pasang surut di Tunu lebih tinggi daripada Bekapai, yang diduga dikarenakan
batimetri Tunu lebih dangkal dibandingkan Bekapai. Perbedaan fasa yang terjadi
menginformasikan bahwa kondisi air tinggi (high water) akan tiba 15 menit lebih awal di
Bekapai dibandingkan di Tunu.
Nurrohim, dkk (2012) melakukan kajian intrusi air laut di kawasan pesisir Kecamatan
Rembang, Kabupaten Rembang untuk mengetahui distribusi spasial daerah yang terkena
dampak intrusi air laut dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya intrusi air laut. Metode
yang digunakan adalah observasi, wawancara, dokumentasi, dan uji laboratorium terhadap 30
sampel air sumur dan penduduk sebanyak 90 orang. Hasil yang didapatkan adalah faktor yang
berpengaruh terhadap terjadinya intrusi air laut di kawasan pesisir Kecamatan Rembang, (1)
kondisi geologi pada wilayah dengan material alluvium; (2) kondisi geohidrologi pada wilayah
produktivitas ekuiver sedang; (3) kepadatan penduduk tinggi dan (4) penggunaan lahan
tambak. Jarak intrusi laut dari garis pantai menuju daratan yang mencapai dataran dari wilayah
penelitian mencapai 4 kilometer. Akan tetapi, faktor jarak tidak berpengaruh besar terhadap
terjadinya intrusi air laut du daerah penelitian, karena beberapa sampel tidak menunjukkan
adanya intrusi padahal dekat dengan pantai.
Buschman, dkk (2012) melakukan penelitian tentang variasi ketinggian muka air di
wilayah subtidal dan tidal yang dipengaruhi oleh aliran sungai dan pasang surut di Sungai
Berau, Kalimantan Timur. Data yang digunakan adalah data ketinggian air dan debit sungai
4
selama beberapa bulan. Dengan menggunakan beberapa regresi untuk pengolahan, evaluasi,
dan analisis data. Data observasi di wilayah tidal ketinggian muka air menunjukkan variasi 1
m saat neap tide dan 2,5 m saat spring tide. Tipe pasang surut di area kajian adalah tipe pasang
surut campuran condong semidurnal. Dalam perjalanannya menuju daratan, khususnya
ketinggian air minimum bertambah, dimana ketinggian air bertambah sedikit. Di wilayah
subtidal variasi ketinggian air yang dipengaruhi pasang surut mulai melemah dan terkadang
tidak ada pengaruh dari pasang surut. Pengaruh pasang surut terbesar terdapat di antara Batu-
Batu dan Gunung Tabur. Debit sungai yang tinggi akan meningkatkan gaya friksi rata-rata
harian. Secara umum, debit sungai saat puncak ebb dan puncak flood nilai kecepatannya sama.
Periode ebb lebih lama dibandingkan periode flood. Korelasi antara ketinggian air di Gunung
Tabur dan debit sungai di wilayah subtidal kecil. Hal ini diduga karena debit sungai di Berau
merespon dengan cepat hujan, debit sungai dianggap tidak terkontrol oleh pengaruh pasang
surut.
5
BAB III
METODOLOGI
6
sekitar 1,5 m di atas dasar perairan dan di antara 2,5 m dan 4,5 m di bawah permukaan air
selama beberapa bulan. Meski dilengkapi dengan pembersih dan sangkar untuk melindungi
sensor, sinyal konduktivitas sering membaca peningkatan jumlah puncak yang salah di setiap
seri waktu. Sebagian besar puncak disebabkan oleh pengotoran biologis, dengan gulma,
ganggang, dan cangkang yang tumbuh pada intsrumen. Setelah data didapat dalam rentang
waktu tertentu, data kemudian dimasukkan ke dalam komputer.
Pengambilan data menggunakan alat Keller. Data diukur tiap 5 menit. Dengan
menggunakan teknologi mikroprosesor terbaru, yang memberikan akurasi dan resolusi tinggi
untuk sinyal tekanan dan suhu dari sensor kedalaman dan sensor barometrik. Nilai yang terukur
dikompensasi secara matematis untuk semua kesalahan linearitas dan suhu sensor tekanan.
7
Data yang terkumpul menggunakan alat pengukuran adalah sebagai berikut:
8
pengolahan data pasang surut juga dapat diketahui komponen pasang surut dominan pada titik-
titik lokasi kajian (Gambar 3. 1). Setelah itu dapat diketahui dinamika komponen pasang surut
dari laut lepas ke perairan dangkal. Dari hasil yang didapatkan, maka dapat ditentukan
prosentase perubahan komponen pasang surut.
9
BAB IV
HASIL YANG DIHARAPKAN
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini, yaitu dinamika elevasi muka air laut pasang
surut di tiap titik lokasi kajian di Delta Berau dan sekitar Pulau Derawan (Gambar 3. 1). Selain
itu, dapat dapat diketahui komponen pasang surut dominan yang mempengaruhi terjadinya pola
pasang surut. Pada penjalaran pasang surut dari laut ke perairan dangkal akan terbentuk
komponen pasang surut di perairan dangkal, untuk itu akan dibandingkan perubahan komponen
pasang surut di tiap titik kajian. Kemudian dianalisis mengapa terjadi perubahan tersebut dan
pengaruhnya terhadap pola pasang surut yang terjadi di lokasi titik kajian.
10
BAB V
JADWAL PENGERJAAN TUGAS AKHIR
11
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., Mihardja, D.K., Hadi, S., 1994, Pasang Surut Laut, Institut Teknologi Bandung,
Bandung
Buschman, F. A., 2011, Flow and sediment transport in an Indonesian tidal network, Utrecht
University.
Dahuri, R., 1992, Strategi Penelitian Estuari di Indonesia, Pros, Loka. Nas. Peny. Prog. Pen.
Bio, Kelautan dan Proses Dinam.Pesisir, Universitas Diponegoro: Semarang.
Hadi, S. dan I. M. Radjawane, 2009, Arus Laut, Program Studi Oseanografi Institut Teknologi
Bandung, Bandung.
Mohamad, R. P., 2012, Kajian Komponen Pasang Surut Perairan Dangkal di Estuari Sungai
Kapuas Kecil, Program Studi Oseanografi Institut Teknologi Bandung, Bandung.
Nurrohim, A., Tjaturahono B. S., dan Wahyu S., 2012. Kajian Intrusi Air Laut di Kawasan
Pesisir Kecamatan Rembang, Kabupaten Rembang, Jurusan Geografi, Fakultas Ilmu
Sosial, Universitas Negeri Semarang.
Parker, B.B., 1991, Tidal Hydrodynamics, U.S. Department of Commerce, Rockville,
Maryland. John Wiley & Sons, Inc.
Rositasari, R., dan Rahayu, S.K. 1994. Sifat-Sifat Estuari dan Pengelolaannya. Oseana. Vol.
29 (3): 21-31.
Sassi, M. G., 2013, Discharge regimes, tides and morphometry in the Mahakam delta channel
network.
Van Rijn, L. (1990) : Principles of Fluid Flow and Surface Wave in Rivers, Estuaries, Seas,
and Ocean. Aqua Publication.
Widyastuti, M. S., Nining S. N., dan R. Rinaldi, 2012, Karakteristik Pasang Surut di Delta
Mahakam (Studi Kasus di Bekapai dan Tunu), Program Studi Oseanografi Institut
Teknologi Bandung, Bandung.
12