Anda di halaman 1dari 14

Studi fenomenologi ketidakpatuhan pasien dengan TB paru dipoli klinik

RSUD dr. Ansari Saleh Banjarmasin

BAB 5
PEMBAHASAN

5.1. Interprestasi Hasil dan Analisis Tema


Ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan TB Paru yang
membutuhkan waktu panjang (6-8) bulan untuk mencapai kesembuhan
akan dihadapkan pada kondisi permasalahan-permasalahan pasien yang
berbeda-beda (Bagianda, 2010). Pembahasan hasil penelitian berdasarkan
Penelitian ini peneliti memaparkan bahasan hasil penelitian yang bisa
menjadikan beberapa petunjuk yang diketahui oleh peneliti sendiri yakni :

5.1.1. Alasan Putus Obat


Tema pertama pada penelitian ini adalah alasan putus obat pasien
TB Paru yaitu meliputi:
Keterbatasan kondisi personal, ter terjadi dalam diri pasien sendiri
dimana pasien mengalami penurunan kondisi yang menyebabkan
ketidaknyamanan fisik yang dapat mengganggu melaksanakan
kegiatan rutinitas.
Ketidakterjangkauan sering dialami oleh pasien-pasien yang jarak
tempuh cukup jauh dari fasilitas kesehatan dan kesulitan dalam alat
transportasi menuju ke fasilitas kesehatan. dan efek dari
pengobatan medis penyakit TB Paru yang telah dijalani beberapa
waktu. Kedua alasan tersebut diatas merupakan sebagai penyebab Commented [BH1]: Sebaiknya dibahas satu persatu, baru
integrasikan sebagai satu kesatuan. Pertama anda jelaskan dulu
pasien dengan TB Paru mengalami terputusnya pengobatan TB alasan kondisi person
al, ketidakterjangkauan apa dan mengapa, lalu efek pengobatan
Parunya.
Efek dari pengobatan medis penyakit TB Paru ada yang
mengalami gejala ringan dan ada yang mengalami gejala berat
setelah menjalani meminum obat beberapa waktu. Kalau yang
gejala ringan seperti warna kemerahan pada air seni, nyeri sendi,
kesemutan sampai rasa terbakar serta nafsu makan berkurang.
Kalau yang gejala berat seperti gatal dan kemerahan pada kulit,

44
45

gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan


keseimbangan lambung, serta bisa menyebabkan warna kuning
pada mata dan kulit tanpa penyebab lain.
Waktu yang panjang obat yang banyak merupakan penyebab
sering pasien dengan TB Paru terancam putus obat. Faktor
penyebab yang dapat mempengaruhi akan terapi dan meminum
obat OAT pada klien dengan TB Paru adalah memerlukan jangka
waktu 6-8 bulan yang dapat mengakibatkan klien kurang patuh
(Dinkes kota Surabaya 2015,Wulandari 2015).

Pengobatan TB Paru diberikan dalam 2 tahap, yakni tahap awal


(intensif) dan tahap lanjutan. Pasien tidak datang ke pelayanan
kesehatan untuk berobat (drop out) pada fase intensif karena
motivasi yang rendah dan informasi serta pengetahuan terbatas
tentang penyakit yang dideritanya, serta konsekuensi jika tidak
mematuhi terapi. Pada tahap ini pemberian terapi obat anti
tuberkolosis (OAT) secara tepat, dan pemberian obat diawasi Commented [BH2]: Apakah ringkasan ini sudah ditulis
sebelumnya, jika belum, maka perlu dijelaskan
secara langsung pada setiap pasien memastikan bahwa pasien
meminum obat setiap hari.

Kepatuhan ini sangat penting untuk mencegah terjadinya resistensi


obat (RHZES) yang bersifat bakterisid dan membunuh kuman
dalam jumlah besar dengan cepat dan pada kondisi pasien menular
menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu, sehingga gejala
akan hilang dan pasien merasa sembuh. (Dep Kes RI 2008, WHO
2008, Sari, 2014)

Penelitian di kota Medan terdapat perbedaan yang sangat signifikan


antara laki laki dan perempuan tentang tingkat kepatuhan terhadap
pengobatan. Menurut Zuliana (2009 dalam Ruditya 2015), pasien
46

Laki laki memiliki kepatuhan yang lebih rendah daripada


perempuan, karena mobilitas pasien laki laki lebih tinggi
dibandingkan mobilitas perempuan, terutama dikaitkan dengan
mencari nafkah. Perempuan mempunyai lebih banyak waktu untuk
lebih memperhatikan kesehatan mereka.

Penyakit TB Paru memerlukan terapi jangka panjang, sehingga


komitmen pasien bersama keluarga menjadi sangat penting. Ini
perlu didukung oleh masyarakat dan tenaga kesehatan di pelayanan
dasar (Puskesmas) Kesadaran tenaga kesehatan tentang belum
maksimalnya program pengobatan TB Paru untuk menangani
masalah ketidakpatuhan pasien TB Paru untuk menjalani terapi
pengobatan jangka panjang. Menjadi penting peran Puskesmas
dan rumah sakit untuk memberikan asuhan yang
berkesinambungan melalui kunjungan ke rumah ke rumah pasien
secara berkala. Apabila ada temuan anggota keluarga terdiagnosa
positif TB Paru, maka perlu dilakukan pengawasan oleh petugas
kesehatan dengan melibatkan pihak keluarga maupun kader
kesehatan sebagai pengawas minum obat (PMO). Pengawasan ini Commented [BH3]: Tulis kepanjangan PMO

perlu terjadwal dengan baik dalam kunjungan rumah untuk


memasikan ketepatan waktu minum obat. Pemantauan yag
dilakukan ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah putus
obat. Edukasi pada pasien, keluarga dan kader kesehatan tentang
pentingnya kepatuhan minum obat, penting dilakukan oleh perawat
dan tenaga kesehatan lain.
Keterbatasan kondisi personal, ter terjadi dalam diri pasien sendiri
dimana pasien mengalami penurunan kondisi yang menyebabkan
ketidaknyamanan fisik yang dapat mengganggu melaksanakan
kegiatan rutinitas.
Ketidakterjangkauan sering dialami oleh pasien-pasien yang jarak
tempuh cukup jauh dari fasilitas kesehatan dan kesulitan dalam alat
47

transportasi menuju ke fasilitas kesehatan. dan efek dari


pengobatan medis penyakit TB Paru yang telah dijalani beberapa
waktu. Kedua alasan tersebut diatas merupakan sebagai penyebab Commented [BH4]: Sebaiknya dibahas satu persatu, baru
integrasikan sebagai satu kesatuan. Pertama anda jelaskan dulu
pasien dengan TB Paru mengalami terputusnya pengobatan TB alasan kondisi person
al, ketidakterjangkauan apa dan mengapa, lalu efek pengobatan
Parunya.
Selama pasien tidak memahami tentang penyakit TB Paru, maka
instruksi yang diberikan tidak akan dijalankan pasien dan keluarga
sebagaimana seharusnya. Setiap pasien yang pertama kali
dinyatakan dengan diagnosa medis TB Paru aktif, petugas poli
DOTS maka petugas langsung mengadakan pertemuan dengan
pihak pasien maupun keluarga untuk mendapatkan keterangan
langsung akan informasi penyakit yang dialami oleh pasien,
informasi yang di sampaikan berupa nama penyakit, penyebabnya,
cara pencegahannya, cara penularannya, cara pengobatannya, dan
dijelaskan dan setelah itu ditanyakan kembali oleh petugas apakah
sudah paham atau belum yang sudah dijelaskan tadi.

Memang di sadari oleh petugas bahwa daya tangkap atau tingkat


pemahaman sangat berbeda-beda dikarenakan setiap individu
memiliki 3 kelemahan yakni ketidaktahuan merupakan suatu
kelemahan dan kesederhanaan cara berpikir dalam memahami
sesuatu informasi. Ketidakmampuan sering di tunjukan dalam
sikap tidak memiliki komitmen untuk melakukan perubahan.

Ketidakmauan kata lain tidak mau melakukan padahal sudah tahu


dampaknya. Untuk menanamkan ketidakpahaman menjadi paham
maka diperlukan contoh-contoh yang sederhana tentang pentingnya
hidup sehat. Pasien atau keluarga mau melakukan perubahan
dalam proses pengobatan sesuai dengan program DOTS maka
tingkat kesembuhannya lebih tinggi.
48

Tingkat pendidikan akan mempengaruhi pelaksanaan pengobatan,


makin rendah pendidikan partisipan akan menyebabkan kurangnya
pengertian partisipan akan penyakit yang dialami oleh partisipan
terhadap penyakit dan bahayanya. Semakin tinggi akan pendidikan
partisipan maka semakin baik akan tingkat pemahaman tentang
penyakit yang di alami oleh penderita. Penyerapan pengetahuan
tentang penyakit TB Paru sangat berpengaruh terhadap perilaku
kepatuhan pasien dalam pengobatan (Niven 2002 : Aditama 2013, Commented [BH5]: Susun kalimat agar lebih baik tentang
keterkaitan antara pemahaman dengan edukasi dan pendidikan.
Atmarita 2004, Bello dan Italio 2010 : Dewa 2016,Asmariani, 2012 Gunakan kalimat pendek yang mudah dimengerti. Ingat bahwa ada
tiga bentuk kelemahan pada klien: ketidakmampuan, ketidaktahuan
: Made, 2016). dan ketidakmauan. Lalu bagaimana ketidakpahaman ini
mempengaruhi motivasi pasien.

Kurangnya pengetahuan akan penyakit TB Paru pada pasien akan


menjadikan masalah pengendalian TB. Memberikan pendidikan
kesehatan kepada pasien TB Paru dan masyarakat umum sangat
berguna untuk menghindari ketidakpatuhan akan proses
pengobatan. Pelayanan kesehatan sebagai edukator perlu
mengetahui tingkat pengetahuan pasien TB Paru sebelum
dilaksanakan edukasi. Penyerapan pengetahuan tentang penyakit
TB Paru sangat berpengaruh terhadap perilaku kepatuhan pasien
dalam pengobatan (Asmariani 2010 :Made, 2016).

Pengetahuan pasien akan berpengaruh terhadap sedikitnya


informasi yang diterimanya mengenai penyakitnya. Hal ini akan
mengakibatkan pasien TB Paru mengembangkan pemahaman dan
harapan dari sudut pandang mereka sendiri (Pasek dan Satyawan,
2013 : Made, 2016). Pemahaman seseorang akan dipengaruhi oleh
dirinya sendiri, keluarga ,teman, petugas kesehatan maupun
lingkungan disekitar tempat tinggalnya. Pemahaman itu sendiri
juga dipengaruhi oleh tingkat pengetahuannya, semakin tinggi
pengetahuannya tingkat kepatuhan untuk menjalankan program
pengobatan lebih tinggi.
49

5.1.2. Respons Pasien yang pernah putus obat


Tema ketiga pada penelitian ini adalah respons pertama ketika
pasien terdiagnosa TB paru, dengan sub kategori respons
psikologis meliputi perasaan terkejut, sedih, takut, gelisah,
khawatir dan bingung. Kemudian pada sub tema respons sosial
adalah mengurangi kontak sosial dan tetap mempertahankan kontak
sosial.

Hasil penelitian Rofiqoh, et., al (2018) menyatakan bahwa analisis


statistik diketahui bahwa ada hubungan yang signifikan antara
model adaptif konsep diri berbasis teori Callista Roy dan
kemampuan interaksi sosial. Roy mengemukakan bahwa manusia
sebagai sebuah system yang dapat menyesuaikan diri (adaptif
system). Calista Roy (1984), dalam asuhan keperawatan sebagai
penerima asuhan keperawatan adalah individu, keluarga,
kelompok , dan masyarakat yang dipandang sebagai ”Holistic
adaptif system” dalam segala aspek yang merupakan satu kesatuan.
Sistem adalah satu kesatuan yang dihubungkan karena fungsinya
sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling
ketergantungan dari setiap bagian-bagiannya. System terdiri dari
proses input, output, kontrol, dan umpan balik (Roy, 1991).

Stimuli Coping Physiologic


function Self Adaptive and
Adaptation Mechanism concept role ineffective
function responeses
level regulator interdependence

Commented [BH6]: Tidak perlu anda mensitir semua tulisan


yang tidak relevan atau berhubungan langsung dengan hasil riset
anda. Selalu kembalikan apa yang anda argumentasikan adalah
Umpan balik menjastifikasi apa yang menjadi temuan anda yaitu tema tema yang
dihasilkan. JANGAN ANDA MENCIPLAK TULISAN ORANG KRN AKAN
Sistem Calis Ro1991 MERUPAKAN PLAGIAT, JIKA JUMLAH % KEMIRIPAN MELEBIHI 20%.
ANDA BOLEH MENSITASI DENGAN MENULIS ULANG TULISAN
ORANG LAIN TAPI MENGGUNAKAN BAHASA ANDA SENDIRI.
INGAT!!!
50

Penelitian ini tergambar bahwa respon ketika terdiagnosa


TB paru adalah respon masih dalam kategori adaftif karena
partisipan ketika terdiagnosa mereka langsung melakukan
pengobatan.

5.1.3. Faktor Resiko Pasien TB Paru


Faktor risiko TB paru adalah tema ke empat dalam penelitian ini,
dengan kategori lingkungan eksternal dan lingkungan internal
yang bisa merupakan faktor risiko.

Partisipan pada penelitian ini menjelaskan bahwa mereka sebelum


menderita TB Paru sering terpapar zat adiktif yaitu merokok
(sebagai perokok aktif), dan terpapar polusi udara di tempat
bekerja. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian bahwa faktor
risiko penderita TB paru adalah rokok. Hasil penelitian juga
mengungkapkan hal yang sama bahwa faktor risiko TB Paru di
Kabupaten Rejang Lebong yang paling dominan adalah interaksi
perokok. (Agus Nurjana 2015 Fitriana Eka 2013Sejati dan Sofiana
2015 Demsa Simbolon 2009).

Kebiasaan merokok kontradiksi dengan hasil penelitian Sianturi


Ruslanti (2014), yang mengungkapkan bahwa tidak ada hubungan
kebiasaan merokok dengan kekambuhan TB (paru). Begitu juga Commented [BH7]: Adakah referensi yang menjelaskan
tentang faktor eksternal keterpaparan pada polusi udara? Agar
penelitian yang dilakukan oleh Hsien Ho Lin (2009) di Taiwan ditambahkan

dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian yang dilakukan selama 3


tahun didapatkan 2 kali lipat resiko TB Paru aktif terdapat pada
perokok dibandingkan dengan mereka yang tidak merokok.

Pasien dengan TB Paru pada penelitian ini mengungkapkan bahwa


sebelum menderita TB paru, mereka memiliki kebiasaan
51

merokok, walaupun setelah menderita TB paru partisipan berhenti


total untuk merokok demi kesembuhannya.

5.1.4. Upaya pemanfaatan pelayanan kesehatan


Upaya pemanfaatan pelayanan Kesehatan klien TB Paru yang
pernah putus obat, terdiri dari kategori pengobatan medis,
pengobatan tradisional dan keperawatan.

Partisipan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa upaya yang


telah mereka lakukan diantaranya pengobatan medis dengan obat
baik itu melalui suntikan maupun diminum dalam bentuk pil/tablet.
Klien memanfaatkan pelayanan kesehatan yaitu puskesmas, dalam
mencari pengobatan TB di masyarakat. DItemukan dari ungkapan
pasien bahwa layanan kesehatan yang sering dimanfaatkan selain
Puskesmas adalah rumah sakit, B/BKPM dan dokter praktik
swasta.

Hasil studi prevalensi nasional TB tahun 2004 memperkirakan


bahwa sekitar 47-78% responden dengan riwayat TB mengawali
pengobatan di rumah sakit, B/BKPM dan dokter praktik swasta.
Selain itu, pasien TB dengan sosio-ekonomi rendah cenderung
memanfaatkan RS untuk diagnosis. Laporan program TB 2010,
fasilitas layanan kesehatan yang terlibat dalam strategi DOTS
sebagai berikut: Puskesmas sekitar 98%, rumah sakit dan BP4
(Balai Pengobatan Penyakit Paru Paru) sekitar 30% dan dokter
praktek swasta masih belum ada laporan (Kemenkes RI 2005,
Balitbangkes Kemenkes RI 2010, Kemenkes RI Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011).

Public Private Mix (PPM) atau “bauran layanan” intinya bahwa


merupakan kerja sama pemerintah-swasta, pemerintah- pemerintah,
52

dengan tujuan menjamin akses layanan TB yang bermutu dan


berkesinambungan bagi masyarakat. PPM juga diterapkan pada
kolaborasi pemeriksaan laboratorium, apotik, kolaborasi TB-HIV
maupun manajemen TB resisten obat.

Public Private Mix (PPM) atau “kombinasi layanan” bahwa


merupakan kerja sama pemerintah-swasta, pemerintah- pemerintah,
dengan tujuan menjamin akses layanan TB yang bermutu dan
berkesinambungan bagi masyarakat. PPM juga diterapkan pada
kolaborasi pemeriksaan laboratorium, apotik, kolaborasi TB-HIV
maupun manajemen TB resisten obat.

Secara umum fasyankes seperti rumah sakit, DPS, klinik memiliki


potensi yang besar dalam penemuan pasien TB (case finding),
namun memiliki keterbatasan dalam menjaga keteraturan
pengobatan pasien sampai selesai (case holding) jika dibandingkan
dengan Puskesmas. Kelemahan ini dapat diatasi dengan salah
satunya telah dikembangkan oleh Ners Yani dari Banjarmasin yang
telah diberi nama “ Jamo TB” merupakan kalender minum obat
dengan tujuan melaksanakan pemantoan keteraturan pasien
menelan OAT. Ada fase intensif dan fase lanjutan, perisipnya
setiap minum obat didampingi oleh pengawas minum obat (PMO),
dan setiap hari kalendernya diberi tanda silang setelah melakukan
minum obat.

5.1.5. Upaya pencegahan penularan Pasien TB Paru yang pernah putus


obat
Upaya Tema ke enam pada penelitian ini adalah upaya pencegahan
penularan TB paru dengan melakukan isolasi diri, memisahkan
peralatan makan dan penggunaan APD (masker). Sumber
53

penularan adalah pasien TB Paru BTA positif melalui percik renik


dahak yang dikeluarkannya. Namun bukan berarti bahwa pasien
TB dengan hasil pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung
kuman dalam dahaknya.

Infeksi akan terjadi pabila orang lain menghirup udara yang


mengandung percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat
menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.

Penelitian ini tergambar bahwa mereka mengupayakan pencegahan


TB paru, upaya pencegahan penularan TB paru tesebut dengan
melakukan isolasi diri dalam hal tidur terpisah dengan saudara,
memisahkan peralatan makan dan penggunaan APD (masker)
begitu juga kalau bersin-bersin atau batuk batuk dengan menutup
mulut supaya tidak menularkan penyakit kepada orang lain.
Pencegahan penularan pasien TB Paru yang pernah putus obat Commented [BH8]: Coba ditulis keterkaitannya dengan tema
yang anda hasilkan

5.1.7. Efek samping pengobatan pasien yang pernah putus obat


Tema ke 7 efek samping pengobatan medis terdiri dari kategori
gangguan integument, gangguan sistem pencernaan. Keluhan yang
alami oleh pasien berupa gatal-gatal dikulit dan mual ataupun
sampai muntah.

Eefek samping yang paling sering timbul adalah pada bulan pertama
adalah mual. Efek samping obat-obatan OAT memang sudah jelas
bahwa salah satunya adalah mual-mual bahkan sampai muntah, sakit
perut ,nyeri sendi, gatal-gatal dan kemerahan pada kulit serta warna
kemerahan pada air seni (Dep Kes RI 2008).
54

Pasien dipantau selama 6 bulan hingga periode penelitian berakhir.


Frekuensi kejadian efek samping yang paling sering timbul pada
bulan pertama dan kelima yaitu mual, pada bulan kedua pusing; serta
pada bulan ketiga, keempat dan keenam nyeri sendi. Efek samping
lain yang sering timbul akibat penggunaan OAT yaitu mengantuk
dan lemas pada bulan pertama, kedua dan ketiga.

Menurut peneliti bahwa asupan gizi seimbang untuk pasien dengan


pengobatan TB Paru harus diperhatikan, makan minum jangan yang
dingin-dingin tetapi harus hangat, makanan jangan yang
merangsang, disajikan tetap menarik.

5.1.8. Harapan pasien TB Paru yang pernah putus obat


Tema harapan pasien TB paru adalah keinginan untuk sembuh,
kunjungan rumah petugas kesehatan dan dukungan dari pihak
keluarga.

Partisipan pada penelitian ini mengungkapkan sangat


mengharapkan keluarga memberikan dukungan dalam pengobatan
TB paru. Sumber dukungan keluarga berupa bantuan yang diberikan
oleh orang yang berarti seperti anggota keluarga, teman, saudara,
dan rekan kerja. Individu yang memiliki dukungan keluarga yang
lebih kecil, cenderung mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
masalah, mengambil keputusan, dan menilai secara negatif terhadap
suatu kejadian yang yang membebani pasien Individu yang
memperoleh dukungan keluarga yang tinggi akan membuat mereka
lebih optimis dalam menghadapi kehidupan saat ini maupun masa
yang akan datang (Nuraenah, 2012).
55

Dukungan keluarga menjadi harapan partisipan pada penelitian ini,


baik itu pihak kesehatan yang melakukan kunjungan ke rumah
pasien TB paru.). Dukungan keluarga menjadi harapan partisipan Commented [BH9]: Tambahkan apa saja bentuk dukungan
yang dibutuhkan, bagaimana cara memperolehnyan. Yang
pada penelitian ini, selain itu juga pasien berharap, saya cepat dijelaskan baru sumber dukungan. Dukungan dikaitkan dengan
pemenuhan harapan
sembuh, sehingga bisa melaksanakan kegiatan lagi, adanya
kunjungan kerumah dari petugas kesehatan

5.2. Implikasi Hasil Penelitian


5.2.1. Pasien Keluarga dan Masyarakat
Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya penanggulangan
Tuberkolosis dengan cara mempromosikan perilaku hidup bersih
dan hidup sehat, mengupayakan tidak terjadi stigma dan
diskriminasi terhadap kasus TB di masyarakat, membentuk dan
mengembangkan warga peduli dengan Tuberkolosis serta
memastikan warga terduga TB Paru memeriksakan diri ke fasilitas
pelayanan kesehatan .

5.2.2. Petugas Kesehatan


Bagi petugas kesehatan selalu meningkatkan kompetensinya
perawat melalui pendidikan berupa formal ,maupun pelatihan
khusus sesuai kompentensi yang diperlukan,, begitu juga dengan
seminar –seminar atau peer review untuk perawat yang
berhubungan dengan pelayanan TB Paru . Pengetahuan yang cukup
akan berdampak perawat atau petugas untuk tetap komit akan tugas
dan fungsinya dimana dia di tugaskan.

5.2.3. Program TB Paru


Pasien mendapatkan pelayanan pengobatan gratis, PMO harus aktif
dalam mengingatkan pasien minum, sering diadakan pelacakan
56

pasien TB Paru yang mangkir dalam pengobatan, menjaga


ketersediaan obat tetap ada.

5.2.4. Institusi Pelayanan (Dinas Kesehatan ,Rumah Sakit dan


Puskesmas)

Pemerintah sudah memberikan fasilitas fasilitas pelayanan


kesehatan secara lengkap dan terpadu dari pelayanan tingkat dasar ,
pelayanan tingkat menengah dan pelayanan ketingkat paling tinggi
dan beberapa pelayanan tingkat dasar sudah memiliki pelayanan
yang sudah cukup standar seperti program DOTS yang belum
merata di tingkat kabupaten / kota

5.3. Keterbatasan Penelitian


Partisipan pada kelompok umur tidak produktif dengan waktu kunjungan
di poliklinik paru sangat sebentar sehingga wawancaranya berhenti dan
peneliti harus berkunjung kerumah partisipan, oleh sebab itu harus
membuat janji dengan pasien maupun keluarga untuk meminta ijin untuk
bertemu dirumah partisipan, sementara setelah tahu bahwa alamatnya
cukup jauh, kurang lebih jarak tempuh dengan menggunakan sepeda motor
2 jam baru sampai di rumah partisipan seperti Tn S /umur 50 tahun di
daerah Wana Raya yang merupakan daerah transmigrasi di kabupaten
Barito Kuala Marabahan Kalimantan Selatan. Kegiatan Kegiatan
penelitian ini dapat diatasi dengan meminta persetujuan pasien untuk
kunjungan rumah, persetujuan untuk wawancara lanjutan.

Selain itu juga terjadi pada kelompok umur tidak produktif yang
memerlukan pendampingan dari pihak keluarga yang satu rumah yang bisa
memberikan informasi kepada peneliti karena bekerja maka sering tidak
57

berjumpa dengan pihak keluarganya dan membuat janji lagi sampai


ketemu dengan pihak keluarganya yang satu rumah.

Penelitian kualitatif ini yang terkait dengan jurnal jurnal kualitatif masih
sangat kurang sehingga peneliti banyak menggunakan jurnal jurnal dari
jenis penelitian kuantitatif yang dianggap bisa menjadi referensi atau pun
sumber. Commented [BH10]: Tulis keterbatasan penelitian yang
dialami karena tidak diantisipasi se belumnya. Jelaskan apa yang
Untuk meminimalkan resiko maka didalam menentukan populasi anda lakukan untuk meminimalkan risiko terhadapa penelitian ini.

seharusnya wilayah kota Banjarmasin saja sehingga tingkat resiko


terjadinya bisa diminimalisir sejak awal.

Anda mungkin juga menyukai