Anda di halaman 1dari 7

Reading Teks (A)

Drs. Muhammad Yusron, M.A.


Kelompok II :

1. Rofi' Irhas Putratama : 17105030038


2. Aisyah Adella Lestari : 17105030039
3. Abdullah Khoirur Rofiq : 17105030044
4. Nazifatul Ummy Al Amin : 17105030045
5. Jamaludin Hadi Kusuma : 17105030100

BAB I
KECENDERUNGAN MODERN DALAM TAFSIR AL-QUR’AN
Buku ini menyajikan pendekatan kontekstualisasi dalam penafsiran Al-Qur’an
serta menyuguhkan panduan teoritis dan praktis dalam menafsirkan Al-qur’an secara
kontekstual. Buku ini juga berusaha menekankan relevansi Al-Qur’an dengan zaman
kita sekarang. Tafsir kontekstual sama sekali tidak bermaksud mengurangi signifikansi
ajaran Al-Qur’an bagi zaman kontemporer bahkan berusaha memperluas cakupannya.
Tafsir kontekstual menawarkan alternatif yang amat penting bagi umat Islam
kontemporer demi mengimbangi tafsir tekstual yang begitu dominan saat ini.

Spektrum tafsir tekstual merentang dari pendekatan yang bergantung hamper


sepenuhnya pada makna literal teks (hard textualism) hingga pendekatan yang
mempertimbangkan sejumlah elemen kontekstual (soft textualism). Pendekatan
tekstual yang sangat bergantung pada makna “literal” ayat telah menjadi pendekatan
ulama dalam tradisi tafsir,khususnya dalam pendekatan ayat-ayat hukum/etika (ethico-
legal),dan literatur fiqih. Namun dalam semua variannya,pendekatan tekstual gagal
memberikan keadilan yang utuh atas ayat-ayat tertentu yang ditafsirkan. Akibatnya
ayat-ayat tersebut dipandang tidak relevan bagi kondisi masyarakat muslim
kontemporer,atau dipraktekkan secara tidak semestinya,sehingga justru merusak
prinsip-prinsip dasar Al-Qur’an.

Gagasan-gagasan Kunci dalam Pendekatan Kontekstual


Kelompok kontekstualis cenderung melihat Al-Qur’an sebagai sumber panduan
praktis. Mereka meyakini bahwa panduan tersebut seharusnya bisa diimplementasikan
dengan cara-cara baru,apabila kondisi menuntutnya, dan sejauh penerapan pemahaman
yang baru tersebut tidak melanggar prinsip-prinsip Islam. Inti pendekatan kontekstual
terletak pada gagasan mengenai konteks. Dan yang lebih menarik serta berguna bagi
pendekatan kontekstual adalah “konteks makro”, yang bermakna pada upaya
pendekatan kepada kondisi sosial,politik,ekonomi,kultural dan intelektual disekitar
teks Al-Qur’an .

Pemahaman akan elemen-elemen tersebut sangatlah penting dalam kegiatan


penafsiran. Tujuan mengkaji konteks makro ini adalah untuk memperoleh pemahaman
yang baik atas keseluruhan kondisi dimana teks-teks Al-Qur’an tertentu di turunkan
dan untuk memahami bagaimana “makna” teks tersebut berkaitan dengan kondisi
tersebut. Hal tersebut dapat kita istilahkan dengan “konteks makro 1”. Tak kalah
pentingnya dengan konteks makro masa kini,yaitu konteks dimana kegiatan penafsiran
Al-Qur’an sedang terjadi saat ini. Konteks ini juga memiliki beragam elemen yang
mencakup aneka norma budaya dan agama kontemporer,pemikiran politik,gagasan
ekonomi dan aneka sistem maupun nilai. Hal tersebut dapat kita istilahkan dengan
“konteks makro 2”.

Bagi penganut kontekstualis,membangdingkan kedua konteks makro ini


sangatlah penting dalam rangka menterjemahkan makna Al-Qur’an dari konteks makro
1 menuju konteks makro 2. Perlu di catat bahwa banyak bagian Al-Qur’an yang tidak
menyaratkan pemahaman kontekstual,karena memang langsung relevan dengan
beragam konteks. Beberapa teks tertentu dalam Al-Qur’an merujuk pada berbagai
situasi dan masalah spesifik yang secara erat berkaitan dengan saat turunnya wahyu
atau utamanya betkaitan dengan aspek-aspek tertentu dari konteks makro 1. Teks-teks
tersebut berada dalam sebuah kategori yang luas,yang menekan masalah
etika,moral,sosial dan hukum.

Jenis teks ini relevan dan bermakna dalam konteks pewahyuan,namun relevansi
teks-teks tersebut menjadi berkurang jika dipahami secara literal pada masa
kontemporer lantaran ada perbedaan antara konteks makro 1 dan konteks makro 2.
Karena itu pendekatan kontekstual dalam penafsiran Al-Qur’an secara sensial
diperlukan utamanya bagi teks-teks ethico-legal di dalam Al-Qur’an yang berdasarkan
ciri dasarnya berkait erat dengan masyarakat Arab pada abad ke 7. Ummat islam
peranggapan bahwa Al-Qur’an adalah teks yang sesuai bagi segala waktu dan tempat.
Penafsiran kontekstual akan mampu merealisasikan keyakinan tersebut dengan
menyodorkan sebuah metodologi sistematis penafsiran Al-Qur’an yang berangkat dari
makna literal beberapa perintah Al-Qur’an,sementara tetap mempertahanan tujuan dan
semangat utama dari perintah-perintah tersebut.

Struktur Buku
Terdapat empat bagian dalam buku ini:

1. Membahas perkembangan al-Qur’an hingga masa modern


2. Gagasan-gagasan kunci yang berkaitan dengan penafsiran kontekstual dan
petunjuk praktis penafsirannya.
3. Menyajikan contoh penafsiran yang berkaitan dengan empat tema: sosial,
theologis, politik dan ekonomi. Dengan membandingkan penafsiran pra-
modern dan masa kini yang digunakan oleh para sarjana muslim.
4. Penutup yang berisi kesimpulan
Kontribusi yang diberikan buku ini:
1. Memberikan pemahaman kontekstual al-Qur’an dan menawarkan serangkaian
prinsip dan strategi dari tradisi masa lampau dan praktik kekinian yang
berhubungan erat dengan pemahaman dalam penafsiran itu.
2. Menunjukkan keabadian al-Qur’an sebagai teks suci umat Islam.

Tafsir Tradisional, Tekstualisme, dan Kontekstual


Al-Qur’an adalah sebuah teks kompleks yang membutuhkan penafsiran. Pembaca
Al-Qur’an sebetulnya bukanlah para pengkaji yang netral dan objektif, melainkan
menjadi penafsirnya. Perbedaan pengalaman hidup, kesan, nilai, dan lingkungan
kultural tiap individu akan membentuk makna dengan cara berbeda untuk mencapai
pemahaman terhadap teks. Para sarjana musim mengembangkan usaha untuk
memahami dan menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan dan menentukan relevansi
teks-teks Al-Qur’an yang khusus dengan mengembangkan teori mengenai karakteristik
kebahasaan dan makna.

Pendekatan Tafsir Al-Qur’an


a. Masa Nabi Muhammad
Pada masa Nabi Muhammad, Al-Qur’an lebih mudah dipahami karena
beberapa alasan, yaitu Al-Qur’an turun dalam bahasa Arab, para penerima Al-
Qur’an pertama memiliki kontek personal dan sosial secara langsung dengan nabi,
nabi hadir untuk memberi penjelasan terhadap ayat mutasysbihat, dan Al-Qur’an
memiliki dialogis dengan nabi seperti masa pewahyuan (610-632 H), tempat
turunnya wahyu (Hijaz di Jazirah Arab), serta tradisi dan konteks sosial masyarakat
pada masa wahyu diturunkan.
b. Masa Sahabat
Pada masa ini terdapat kekurangan penafsiran berupa catatan penafsiran yang
dilakukan nabi karena pada masa nabi penafsiran dilakukan dalam bentuk praktis
(penerapan ajaran Al-Qur’an). Ada dua hal yang hilang pasca wafatnya nabi, yaitu
kehadira nabi sebagai kunci pemahaman Al-Qur’an dan konteksnya. Para sahabat
kemudian menggunakan berbagai pendekatan untuk memahami Al-Qur’an seperti
menggunakan satu ayat untuk menjelaskan ayat yang lain, penghimpunan hadits,
dan pengumpulan tradisi ahli kitab untuk memahami kisah para nabi dan kejadian
masa lalu yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Pasca wafatnya nabi, umat Islam mengendalikan kekuatan politik yang besar
dengan berhasil menggabungkan berbagaai kawasan, budaya, dan bangsa kedalam
cakupan kekhalifahan Islam. Pada masa ini sahabat bertindak sebagai perantara Al-
Qur’an yang melakukan penafsiran berdasarkan keakraban mereka dengan konteks
pewahyuan yang asli. Namun dengan hilangnya elemen kunci yang berperan
membentuk pondasi pemahaman terhadap Al-Qur’an, para tokoh mulai
mengedepankan pemahamannya masing-masing.
c. Masa Tabi’in
Pada masa ini kebutuhan tafsir meningkat karena tabi’in tidak lagi memiliki akses
langsung pada konteks awal pewahyuan Al-Qur’an dan mereka kebanyakan
berasal dari berbagai budaya, sosial, dan intelektual yang beragam, sehingga
mereka bergantung pada teks dan laporan lisan para sahabat untuk memahami
konteks pewahyuan pada masa nabi. Teks tersebut berupa hadits dan atsar.
Padamasa ini juga berkembang kajian filologi dengan mengedepankan prinsip
kebahasaan sebagai pemandu penafsiran Al-Qu’an.
Pada masa selanjutnya, yaitu tabi’it tabi’in konteks asli pewahyuan menjadi
berjarak karena tidak ada pembahasan memadai mengenai petingnya konteks
dalam menafsirkan Al-Qur’an dan tidak ada prinsip signifikan yang dikembangkan
untuk menghubungkan Al-Qur’an dengan konteksnya sehingga sekarang hanya
mengandalkan analisis kebahasaan saja.

Tradisi Tafsir
Pendekatan utama dalam tradisi tafsir Al-Qur’an ada empat, yaitu :
a. Linguistik, yaitu pemahaman literal teks setepat-tepatnya, khususnya dalam
menafsirkan teks hukum dan teologis.
b. Logika, yaitu pemahaman yang bergantung pada penggunaan logika dan
digunakan untuk menafsirkan teks teologis.
c. Tasawuf, yaitu pemahaman yang berorientasi mistik untuk menemukan makna
tersembunyi didalam teks.
d. Riwayat, yaitu pemahaman yang bersandar pada hadits dan atsar.

Penafsiaran Tradisional dan Penekanannya


Tafsir-tafsir tradisional al-Quran (pra-modern) umumnya memberi perhatian
lebih pada kajian lingustik-filologis terhadap teks, ditambah dengan tinjuan hukum,
politik keagamaan, teologi dan mistisisme. Penafsiran atas isu-isu utama, seperti hukum
dan aspek teologis, umumnya masih seragam. Sementara kisah-kisah dalam al-Quran
lebih dianggap sebegai kebenaran literal dan historis, daripada mitos atau legenda.
Keseragaman ini terlihat daru banyaknya para mufasir yang saling mengutip secara
sangat bebas. Meski demikian, tidak lantas kita beranggapan bahwa corak penafsiran
pra-modern homogen, termasuk dalam kajian literalnya. Artinya, setelah menggarap
analisis gramatikal, para mufasir ini biasanya meningkatkan elaborasi penafsiran sesuai
dengan kecenderungan hukum atau fikih, politik, teologis dan mistisisme mereka itu.

Sebagai contoh, kalangan Sunni dan Syiah telah mengenal tingkat-tingkat


pemahaman atau makna al-Quran dan mengakomodasi berbagai pandangan dalam
tafsir mereka. Thabari (w.312 H/ 923 M) misalnya, mengumpulkan sejumlah
pandangan secara bersamaan mengenai makna dari sebuah atau bagian dari ayat, baik
dari generasi pertama, kedua, maupun ketiga, yang kemudian mensistesiskannya
dengan tetap mengakui keabsahannya, yang beberapa di antaranya berlawanan. Dari
kalangan Syiah juga seperti itu. Thabathaba’i misalnya mengamini bahwa al-Quran
memiliki dua level; esoterik dan eksoterik yang tidak saling berlawanan, namun, seperti
kata Thabathaba’i, “Seperti jiwa yang memberi kehiduoan atas jasadnya”. Maka,
konsekuensinya, setidaknya menurut kaum Syiah, adalah bahwa al-Quran harus
ditafsirkan oleh otoritas yang mampu menguraikan rahasia-rahasia al-Quran pada level
batin dan lahirnya.

Yang menjadi garapan utama dari para mufasir pra-modern ini adalah
bagaimana mengidentifikasi kejelasan dan ambiguitas teks atau ayat al-Quran, yang
sayangnya, tidak ada kesepakatan mengenai ayat-ayat spesifik yang musti dipandang
jelas (mahkum) atau sebaliknya, ambigu (mutasyabih). Jadi, fokus utamanya dalah
bagaimana mengidentifikasi mana ayat-ayat yang terbuka untuk perbedaan penafsiran
dan mana yang tidak. Masalah terkaitnya antara lain misalnya;

- Literal (haqiqi) dan metaforis. Apabila pemahaman literal atas sebuah teks tidak
memungkinkan, barulah makna metaforisnya dapat dipertimbangkan.
Misalnya, “Tangan Tuhan”, bisa dipahami secara metaforis sebagai kekuasaan
Tuhan.
- Tersurat (mantuq) dan tersirat (ghair mantuq/mafhum), misalnya soal “Jangan
berkata kepada keduanya ‘uff’”. Mantuqnya adalah jangan katakan uff,
sementara mafhumnya, uff saja tidak boleh apalagi sampai mengumpat.
- ‘Amm dan khas, misalnya, manusia, laki-laki, permpuan dan Muhammad,
Fir’aun dlsb.

Tekanan tekstualisme bertujuan untuk mempertahankan pemahaman berbasis


riwayat setepat mungkin dan mendukung pemahaman itu dengan mengutip serangkaian
teks, baik dari Quran, hadis, serta atsar (pendapat teolog dan ahli fikih generasi awal).
Bagi mereka pandangan bahwa mufasir harus memperibangkan konteks dipandang
kurang relevan, misalnya bila berurusan ayat tentang ethico-legal.

Seperti disinggung di awal, praktik tekstualime ini dapat kita kelompokkan


dalam dua spektrum: tekstualisme lunak dan tekstualisme keras. Tekstualisme lunak
berarti makna literal sebagai basis penafsiran sambil tetap berusaha memmpertahankan
makna berbasis riwayat. Sementara tekstualisme keras mempraktikkan pemahaman
makna literal secara kaku tanpa mempertimbangkan kompleksitas maknanya.

Pemahaman tekstual ini biasanya tunduk pada klaim ortoksi dan kesahihan
penafsirnya, dan ini menyisakan ruang kecil bagi mufasir untuk kritis dalam memahami
konteks ayat. Akibatnya, nilai universal dan spirit etis dan moral umum yang hendak
ditanamkan al-Quran sering gagal dijangkau.

Fokus dan Tekanan Modern dalam Tafsir Al-Qur’an


Masyarakat modern selalu berkembang setiap masanya. Perkembangan tersebut
meliputi kebutuhan serta masalah-masalah sosial yang ada. Sebagai pedoman, Al-
Qur’an masih terus menerus dikaji agar bisa disesuaikan dengan perkembangan yang
ada di masyarakat. Hal inilah yang mendasari tokoh-tokoh pembaharu Islam pada
sekitar abad ke-19 M beranggapan bahwa dibutuhkan penafsiran-penafsiran baru
terhadap Al-Qur’an. Mereka menentang sikap masyarakat pada masa itu yang masih
menerima penafsiran Al-Qur’an tradisional yang pada masa itu masih tekstual untuk
mengatasi permasalahan-permasalahan modern. Sedangkan menurut mereka tafsir Al-
Qur’an secara tekstual sudah tidak sesuai lagi, atau bahkan justru membuat suatu
permasalahan yang seharusnya teratasi malah semakin tidak jelas. Hal ini tentu tidak
sesuai dengan tujuan dari tafsir sendiri yang ditujukan agar masyarakat secara umum
dapat memahami kandungan Al-Qur’an sehingga dapat menjadi acuan hidup bagi siapa
saja yang mengimaninya.
Para tokoh Islam pada masa itu mengambil ibrah dari kemajuan pesat peradaban
bangsa Barat pada masa itu yang didasari dengan upaya pengembangan ilmu
pengetahuan secara besar-besaran. Perkembangan ilmu pengetahuan di Barat pula
memengaruhi cendekiawan muslim untuk menafsirkan Al-Qur’an dengan lebih
rasional. Mereka mengalihkan fokus penafsiran yang awalnya berkutat pada
pemecahan kata-kata misterius atau konsep gramatikal menjadi fungsi Al-Qur’an
sendiri sebagai petunjuk mengenai kemanusiaan. Hingga kemudian pada abad ke-20 M
para sarjana muslim mulai melakukan penafsiran Al-Qur’an dengan berbagai
pendekatan yang baru, seperti sastrawi, tematik, feminisme, dan kontekstual.

Menuju Tafsir Kontekstual


Kaum kontekstual beranggapan bahwa penafsiran Al-Qur’an perlu
memerhatikan kaitan antara cara pemahaman maknanya pada masa awal diturunkan
dan konteks modern. Mereka berendapat bahwa Al-Qur’an merupakan sumber
pedoman praktis yang dapat diimplementasikan secara berbeda ketika terjadi
perubahan dalam masyarakat. Hal ini tentu dilakukan dalam batasan tertentu, tanpa
melanggar hal-hal fundamental dalam Islam. Hingga kemudian mulai muncul
kontekstualisasi dalam penafsiran Al-Qur’an secara metodologi pada akhir abad ke-20
M sampai awal abad ke-21 M.

Al-Qur’an diturunkan disesuaikan dengan kondisi masyarakat penerima wahyu


pertama. Kalam Ilahi disampaikan kepada manusia dengan bahasa, budaya, dan
keagamaan masyarakat pada masa itu. Beberapa masyarakat yang berkutat pada tafsir
Al-Qur’an tradisional menganggap isi dari Al-Qur’an adalah pesan abadi yang tidak
bisa dikembangkan lagi pemaknaannya, disesuaikan secara kontekstual. Untuk
membebaskan hal tersebut Fazlur Rahman berpendapat mengenai pergerakan ganda
yang perlu dilakukan, yaitu:

 Seseorang harus memahami proses diturunkannya Al-Qur’an dan mengkajinya


secara historis.
 Melakukan generalisasi atas jawaban spesifik agar dapat disaring dan
dipertimbangkan latar belakang sosio-historisnya kemudian diwujudkan dalam
konteks sosio-historis yang konkrit saat ini.

Seiring berjalannnya waktu, penafsiran dan makna baru dalam Al-Qur’an akan
terungkap. Setiap mufasir harus menyadari bahwa teks yang diwahyukan dengan
sejarah adalah sesuat yang terus berinteraksi. Kemudian penafsiran Al-Qur’an
berkembang dan membentuk berbagai komunitas mufasir yang memiliki pandangan
dan kepentingan masing-masing, namun begitu mereka tetap sejalan pikiran mengenai
aplikasi linguistik umum atau cara bagaimana mendiskusikan teks dan maknanya.
Berbagai cara pandang dalam kontekstualisasi penafsiran Al-Qur’an ini menghasilkan
justifikasi-justifikasi pada awal perkembangannya.

Istilah-istilah:
- Gramatikal: sesuai dengan tata bahasa
- Tematik: bersangkutan dengan tema
- Feminisme: gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum wanita dan pria
- Konteks : situasi yang ada hubungannya dengan kejadian
- Kontekstual: berhubungan dengan sebuah uraian yang dapat mendukung atau
menambah kejelasan makna (konteks)
- Kontemporer : masa kini
- Implementasi: pelaksanaan; penerapan
- Fundamental: bersifat dasat (pokok)
- Historis: berkenaan dengan sejarah
- Kontemporer : masa kini
- Literal : arti kata sebagaimana aslinya
- Metodologi : ilmu tentang metode
- Linguistik: ilmu tata bahasa
- Justifikasi: putusan (alasan, pertimbangan) berdasarkan hati nurani.
- Sinstesis : perpaduan antar unsur sehingga membentuk sesuatu yang selaras
- Esoterik : bersifat khusus, rahasia, terbatas, batin
- Eksoterik : yang bersifat terbuka, lahir
- Otoritas : kekuasaan yang sah, wewenang
- Relevansi : hubungan, kaitan

Anda mungkin juga menyukai