Anda di halaman 1dari 5

A.

Pengertian Euthanasia

- Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau
gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia
dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harfiah, euthanasia tidak bisa
diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.

- euthanasia merupakan tindakan penghentian kehidupan manusia baik dengan cara


menyuntikkan zat tertentu atau dengan meminum pil atau dengan cara lainnya. Tindakan ini
muncul akibat terjadinya penderitaan yang berkepanjangan dari pasien. Di beberapa negara
eropa dan sebagian Amerika Serikat, tindakan euthanasia ini telah mendapat izin dan legalitas
negara. Pada umumnya mereka beranggapan bahwa menentukan hidup dan mati seseorang
adalah hak asasi yang harus dijunjung tinggi.

- Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:


1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat yang beriman
dengan nama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri
& keluarganya.

- Menurut Philo (50-20 SM) Euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceaserum mengatakan bahwa
Euthanasia “mati cepat tanpa derita”. Sejak abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk
penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang menghadapi
kematian dengan pertolongan dokter.

B. Macam euthanasia
Ada dua macam euthanasia:

1. Aktif
Euthanasia aktif artinya mengambil kehidupan seseorang untuk mengurangi penderitaannya.
Ada aspek kesengajaan mematikan orang tersebut, misalnya dengan menyuntikkan zat kimia
tertentu untuk mempercepat proses kematiannya.
2. Pasif
Euthanasia pasif artinya membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat bantu
seperti pemberian obat, makanan, atau alat bantu buatan. Euthanasia pasif, membiarkan
kematian. Euthanasia pasif biasanya dibedakan atas euthanasia pasif alamiah dengan bukan
alamiah. Euthanasia pasif alamiah berarti menghentikan pemberian penunjang hidup alamiah
seperti makanan, minuman dan udara. Sedangkan euthanasia pasif bukan alamiah berarti
menghentikan penggunaan alat bantu mekanik buatan misalnya mencabut respirator (alat
bantu pernapasan) atau organ-organ buatan. Euthanasia pasif alamiah sama dengan
pembunuhan sebab dengan sengaja membiarkan si sakit mati tanpa makan-minum
(membunuh pelan-pelan). Sedangkan mencabut alat bantu yang mungkin hanya berfungsi
memperpanjang ‘penderitaan’ tidak sama dengan membunuh sebab memang si sakit tidak
sengaja dimatikan melainkan dibiarkan mati secara alamiah.

1. Auto euthanasia,
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis
& dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan
penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia
pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Selain itu, euthanasia bisa juga dibedakan atas euthanasia voluter dan euthanasia non-
voluter. Yang pertama berarti si sakit menghendaki dan meminta sendiri dan mengetahui
kematiannya. Maka euthanasia voluter sering disamakan dengan bunuh diri, sedangkan
euthanasia non-voluter sering disamakan dengan pembunuhan.

- Voluntary euthanasia: Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau


penyakit jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik & jiwa yang tidak menunjang.

- Involuntary euthanasia: Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan
karena, misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau keinginan
untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.

1. Sejarah Euthanasia
a. Asal-usul kata eutanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa Yunaniyaitu “eu” (= baik) and “thanatos”
(maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti “kematian yang baik”.
Hippokrates pertama kali menggunakan istilah “eutanasia” ini pada “sumpah
Hippokrates” yang ditulis pada masa 400-300 SM.
Sumpah tersebut berbunyi: “Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan
obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu”.
Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat “bunuh
diri” ataupun “membantu pelaksanaan bunuh diri” tidak diperbolehkan.
b. Eutanasia dalam dunia modern
Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan
pergerakan di wilayah Amerika Serikat dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang
anti eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa
tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.
Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung
dilakukannya eutanasia secara sukarela.
2. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Hukum Euthanasia dalam syariah islam dapat di jawab menurut macamnya, yakni :
a. Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam
kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan
pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri.
b. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam
praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien
Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI,
tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan
nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma’ruf Amin ( Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia ) mengatakan, euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat
khusus.
Kondisi pasif tersebut, dimana seseorang yang tergantung oleh alat penunjang
kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih dibutuhkan oleh orang lain atau pasien
lain yang memiliki tingkat peluang hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut
keberadaannya sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Sedangkan, kondisi aktif adalah
kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya dicabut alat medis perawatan, tetapi
memang harus dimatikan.
Mengenai dalil atau dasar fatwa MUI tentang pelarangan “euthanasia”, dia
menjelaskan dalilnya secara umum yaitu tindakan membunuh orang dan karena
faktor keputusasaan yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia mengungkapkan,
dasar pelarangan euthanasia memang tidak terdapat secara spesifik dalam Al Quran
maupun Sunnah Nabi. “Hak untuk mematikan seseorang ada pada Allah SWT,”
ujarnya menambahkan.
3. Hubungan Eutahanasia dengan Jarimah
Tindakan euthanasia dalam hukum Islam belum ada kejelasan dalam hal
pengkategorian tindakan pembunuhan yang merupakan suatu jarimah.
Sebagaimana diketahui bahwa suatu perbuatan dapat digolongkan sebagai suatu
jarimah apabila memenuhi unsur-unsur jarimah. Dalam hukum pidana Islam dikenal
dua unsur jarimah yaitu jarimah umum dan khusus. Yang dimaksud dengan unsur-
unsur umum yaitu unsur-unsur yang terdapat pada setiap jarimah, sedangkan unsur
khusus adalah unsur yang hanya ada pada jenis jarimah tertentu dan tidak terdapat
pada jenis jarimah yang lain.
Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah
memenuhi syaratsyarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh, sehat, dan berakal
2. Ada kesengajaan membunuh
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan)
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban
5. Jarimah dilakukan secara langsung.

4. Euthanasia Menurut Agama Kristen Katolik


Gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan pedoman sejelas mungkin
mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita sakit tak tersembuhkan,
sehubungan dengan ajaran moral Gereja mengenai euthanasia dan sistem penunjang
hidup. Paus Pius XII tidak hanya menjadi saksi dan mengutuk program-program
egenetika dan euthanasia Nazi, melainkan juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-
sistem modern penunjang hidup, Paus Yohanes Paulus II prihatin dengan semakin
meningkatnya praktek eutanasia, dalam ensiklik “Evangelium Vitae” (No. 64)
memperingatkan kita agar melawan “gejala yang paling mengkhawatirkan dari
`budaya kematian’. Katekismus Gereja Katolik (No 2276-2279) memberikan ikhtisar
penjelasan ajaran Gereja Katolik. Mengenai masalah ini, prinsip-prinsip berikut
mengikat secara moral: Pertama, Gereja Katolik berpegang teguh bahwa baik
martabat setiap individu maupun anugerah hidup adalah kudus. Kedua, setiap orang
terikat untuk melewatkan hidupnya sesuai rencana Allah dan dengan keterbukaan
terhadap kehendak-Nya, dengan menaruh pengharapan akan kepenuhan hidup di
surga. Ketiga, dengan sengaja mengakhiri hidup sendiri adalah bunuh diri dan
merupakan penolakan terhadap rencana Allah.

Sebagai contoh ada orang yang menghadapi ajal karena prostrate yang telah
menjalar ke
seluruh tubuhnya. Terakhir kali saya menjenguknya di rumah sakit, ia telah dalam
keadaan koma. ia makan lewat selang makanan dan bernapas lewat respirator. Ia
mengalami gagal ginjal pula. Para dokter menyampaikan kepada keluarga bahwa tak
ada lagi yang dapat mereka lakukan dan bahwa situasinya tak dapat berubah. Hingga
tahap itu, teknologi medis tak dapat memberikan pengharapan kesembuhan atau
manfaat, melainkan hanya sekedar menunda proses kematian. Keluarga memutuskan
untuk menghentikan respirator, yang sekarang telah menjadi sarana luar biasa, dan
beberapa menit kemudian oaring tersebut pun pergi menjumpai Tuhan-nya. Tindakan
ini secara moral dibenarkan dan dibedakan dari tindakan mengakhiri hidup secara
sengaja.
5. Euthanasia Menurut Agama Kristen Protestan
Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki
pendekatan yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang
yang membantu pelaksanaan eutanasia.
Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :
• Gereja Methodis (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan
bahwa : ” penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan pasien
terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung jawabkan
tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut benar-benar
dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas akhir kesempatan
hidup tersebut”.
• Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai suatu
perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental. Dalam kasus
dimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan memberatkan, maka secara
tanggung jawab moral dapat dihentikan atau dibatalkan dan membiarkan kematian
terjadi.
Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik untuk
melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa
kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan yang
lebih baik.
Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila
tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk
perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan
kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.
Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi
masalah “bunuh diri” dan “pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)
adalah dari sudut “kekudusan kehidupan” sebagai suatu pemberian Tuhan.
Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud
dan tujuan pemberian tersebut.

Anda mungkin juga menyukai