Anda di halaman 1dari 9

SIAPA PEMILIK TANAH INI?

Analisis Makna Tanah dalam Imamat 25:23-28 terhadap Riwayat Hak Milik Tanah
ditengah Konflik Reforma Agraria

Antonius Prasetyo Jati1

01170110

Pendahuluan

UUD 1945 menetapkan tujuan negara yang dicantumkan dalam alinea keempat
pembukaan dengan menyatakan bahwa, “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut membutuhkan peranan negara terutama
dalam pengelolaan sumber daya alamnya. Pasal 33 ayat (3) mengatur bahwa, “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besar kemakmuraan rakyat”. Penguasaan oleh negara hanya untuk memberikan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang mencakup setiap elemen dalam tujuan bernegara, sehingga apabila hal
tersebut tercapai maka tujuan negara terpenuhi. Salah satu elemen penting dalam sumber daya
alam yang dikuasai negara adalah tanah. Tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan dan kematian manusia. Bagi manusia tanah memiliki berbagai fungsi, yaitu fungsi
religius, sosial, budaya, historis, politis dan ekonomi.

Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, dari masa ke masa permasalahan dan konflik
agraria sulit mencapai titik temu. Malahan hanya titik tengkarlah yang mewarnai sejarah
pertanahan di Indonesia. Titik tengkar tersebut memperlihatkan adanya perlawanan dari berbagai
pihak. Baik petani sebagai penggarap tanah dan rakyat kecil yang menjadikan sebagai tempat

1
Mahasiswa Sarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Angkatan 2017
tinggal dengan para pemilik kantong besar dan kecil yang menanamkan investasinya yang
dibentengi oleh pemerintah dengan sistem tangan besinya. Dimulai dari masa penjajahan di
Indonesia yang ditandai dengan lahirnya sistem pengelolaan tanah yang tidak adil dari kolonial
Belanda yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dengan menindas penduduk asli yang
mayoritas petani. Pada masa kolonial tersebut lahirlah Undang-undang Agraria atau Agrarishe
Wet pada tahun 1870 yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuan dari Agrarishe
Wet adalah untuk mengatur penggunaan tanah Indonesia oleh asing.2 Tetapi, hal tersebut
menimbulkan dualisme peraturan, yaitu hukum tanah menurut barat dan hukum tanah menurut
adat yang sudah ada secara turun-menurun.

Dualisme peraturan tersebut menjadi titik tengkar dalam sejarah pertanahan di Indonesia.
Tidak hanya menjadi catatan masa lalu, tetapi juga catatan masa kini dan bahkan masa yang akan
datang. Masa pemerintah kolonial Belanda tidak hanya menjadi luka dan duka dalam catatan
sejarah pertanahan di Indonesia, tetapi juga dimasa Orde Baru, masa reformasi, dan masa kini.
Nampaknya, praktik tangan besi pada masa kolonial Belanda menjadi warisan pada masa-masa
setelahnya. Pertentangan dalam pertanahan di Indonesia tidak hanya berkutat pada masalah
dualisme hukum negara dengan hukum adat, tetapi juga berkutat pada masalah kemanusiaan dan
ekologi. Keprihatinan masyarakat akan konflik agraria dari masa kolonial sampai reformasi
setidaknya juga menjadi keprihatinan bagi kalangan Kristen. Kekristenan merupakan agama
dengan dimensi sosial yang kuat sehingga tidak mungkin menutup diri terhadap berbagai
masalah ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Dengan demikian, Kekristenan tidak hanya
berpusat pada orthodoksi semata, tetapi juga orthopraxis.

Dalam Imamat 25: 23-28 mengatur sistem pertanahan yang mempertimbangkan agar
tidak terjadinya sistem feodalisme, keadilan bagi manusia dan tanah sebagai bagian dari ciptaan.
Tujuan dari tulisan yang sederhana ini untuk merespon dalam analisis makna tanah dari
perspektif Imamat 25: 23-28 terhadap konflik reforma agraria. Secara spesifik tulisan ini
membantu untuk merespon apakah dualisme antara hukum negara dan hukum adat mengenai
pertanahan tidak dapat berjalan secara berdampingan? Untuk merespon pertanyaan tersebut akan
dibagi dalam sistematikan dengan beberapa sub-judul. Pertama, penulis akan menjelaskan

2
Andria Perangin-angin, Petani Melawan Negara dan Pengusaha: dalam Jurnal Landreform “Membangun
Kekuatan Politik Agraria”, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Volume II, 2014, h. 41-54
mengenai apakah Allah mengijinkan kekerasan? Kedua, penulis akan memaparkan tafsiran
Emanuel Gerrit Singgih terhadap Imamat 25: 23-28. Ketiga, penulis akan memaparkan mengenai
refroma agraria di Indonesia. Bagian terakhir adalah “Siapa Pemilik Tanah Ini?”.

Apakah Allah Mengijinkan Kekerasan?

“Tuhan memberikan tanah kepada Israel” merupakan rumusan teologis umat Israel akan
janji Allah kepada umat pilihan-Nya. Dalam rumusan teologis tersebut menekankan pada Tuhan
yang bertindak atau subjek aktif. Tindakan Tuhan diungkapkan dengan kata kerja “memberi”
atau natan dalam kata Ibraninya. Kata kerja tersebut dipakai dalam bentuk masa lampau, akan
datang, dan kini. Hal ini berarti tindakan Allah merupakan fakta sejarah, penantian janji, dan apa
yang sedang terjadi bagi umat pilihan-Nya, Israel. Objek yang ditawarkan oleh Allah ialah
“tanah” atau erets dalam kata Ibraninya sebagai kata pelengkap langsung. Tindakan pemberian
tanah kepada umat Israel menjadi titik pangkal kepercayaan kepada Allah. Peristiwa eisodus
(jalan masuk) tidak terlepas dengan peristiwa eksodus (jalan keluar) dalam bebasnya Israel dari
perbudakan di bawah Imperium Mesir.3

Menurut pola para leluhur, imigrasi suku-suku Israel datang mencari padang
penggembalaan untuk ternaknya dan menetap di wilayah pegunungan serta berbaur bersama
penduduk setempat.4 Akan tetapi, pada peristiwa eisodus bangsa Israel mengungkapkan bahwa
semua bangsa yang diam di Kanaan ditolak oleh karena mereka dianggap sebagai “yang asing”.
Di sini kita menemui keanehan dari bangsa Israel. Israel yang adalah pendatang malah melihat
penduduk asli Kanaan sebagai bangsa kafir. Alasannya bahwa mereka menajiskan tanah dengan
berbagai kejahatan, seperti kota-kota yang bertatanan feodal, orang kecil ditindas, beribadah
kepada dewa-dewi dan bukan persoalan rasial.5

Tanah Kanaan bukanlah tanah yang kosong yang diberikan kepada Israel. Legitimasi
sebagai umat terpilih membuat Israel sewenang-wenang menggunakan previllage tersebut untuk
menjarah dan merebut tanah dengan praktik tangan besi. Terdapat unsur kekerasan kepada
bangsa-bangsa yang tinggal di sana lebih dahulu dalam rangka mengambil tanah Kanaan.

3
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016),
h. 7
4
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, h. 4
5
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, h. 20
Bahkan Israel juga melakukan penjarahan terhadap bangsa-bangsa lain ketika telah berhasil
mengalahkan mereka. Tidak hanya mengatasnamakan tindakan kekerasan dengan legitimasi
sebagai umat pilihan Tuhan, tetapi juga melakukan penjarahan untuk dikhusukan kepada Tuhan
atau kherem dalam kata Ibraninya.6 Dalam hal ini, timbullah kesan bahwa Tuhan mengijinkan
dan menerima tindakan Israel tersebut. Dalam hal ini apakah karya Allah yang membebaskan
bangsa Israel dari Mesir menjadi upaya legitimasi pembenaran untuk melakukan invasi bangsa
Israel di tanah Kanaan? Jika begitu, pola yang tercipta adalah yang tertindas, pada giliran
pembebasan dirinya layak menjadi penindas?

Israel bukanlah suatu masyarakat etnis, melainkan suatu umat yang dipersatukan oleh
iman kepada Tuhan dan mengikuti hukum yang diberikan untuk menjamin keadilan.7 Termasuk
dalam tatanan hukum sendiri dari Imamat 25 yang menekankan bagaimana dan sejauh mana
hukum mampu menjamin suatu masyarakat yang adil dan egaliter. Akan tetapi, hukum tanah
Israel tersebut berbeda dengan hukum umum yang berlaku di Timur Tengah Kuno yang melihat
tanah sebagai milik pribadi raja yang dipinjamkan kepada bawahannya. 8 Di sini terdapat
distingsi sistem pemerintahan antara sistem keadilan dari Allah yang menjamin nilai keadilan
dan egalitariaan dengan sistem feodal dari bangsa-bangsa di Kanaan. Dalam hal ini, Christoph
Barth terkesan mengungkapkan bahwa Israel yang sebagai umat terpilih menjadi legitimasi
untuk menggunakan kekerasan demi mengekspansi tanah yang bukan miliki Israel.

Tafsiran Imamat 25: 23-28

Narasi Imamat 25: 23-28 menjadi salah satu undang-undang Kekudusan yang memiliki
formulasi dasar etis akan relasi kedekatan Tuhan dengan umat. Dasar etis tersebut menekankan
bahwa Tuhan adalah kudus dan Israel sebagai umat-Nya menjadi kudus jika pada kehidupan
umat berpartisipasi dalam kekudusan Tuhan.9 Dalam hal ini juga termasuk bagaimana dan sejauh
mana dalam praktik kehidupan umat Israel bertanggungjawab atas tanah yang diberikan oleh
Allah. Penulis membagi tiga bagian dalam pemahaman Imamat 25: 23-28 atas tafsiran EGS.
Bagian pertama, terdapat pada ayat 23 menjadi pemaknaan konsep Tuhan sebagai tuan atas

6
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, h. 23
7
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, h. 4
8
Christoph Barth, Marie-Claire Barth-Frommel, Teologi Perjanjian Lama 2, h. 30
9
Jan Christian Gertz, dkk, Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian Lama dan Deuterokanonika,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), h. 340
tanah. Bagian kedua, terdiri dari ayat 24-27 menjadi hal-hal normal atas persoalan tanah di
Israel. Bagian terakhir, terdapat pada ayat 28 sebagai hal yang luar biasa.

Bagian I

Ayat 23: “Akulah pemilik tanah ini” menyatakan bahwa Tuhan sebagai tuan atau pemilik
atas tanah itu sendiri. Terdapat distingsi konsep kepemilikan tanah bagi orang Barat termasuk
kebanyakan dari kita dengan orang Afrika. Dalam membaca Imamat pasal 25, bagi orang Afrika,
firman Tuhan mengkonfirmasi keyakinan tradisional mereka, sedangkan bagi orang Barat,
firman Tuhan mengkonfrontasi keyakinan tradisional tersebut oleh sebab tanah menjadi milik
pribadi.10 Dari distingsi tersebut fungsi sosial lebih dapat dirasakan bagi orang Afrika daripada
orang Barat. Bagi bangsa Israel, tanah menjadi hak milik mutlak Yahweh, Allah Israel sehingga
bangsa Israel hanya memiliki hak pakai.11 Tanah dapat dijual tetapi bukan menjadi hak
kepemilikikan selama-lamanya.

Konsep Tuhan sebagai tuan atas tanah memberikan penjelaskan identitas siapa itu bangsa
Israel. Bangsa Israel adalah gerim dan tosyebim atau orang asing dan pendatang. Identitas
tersebut menunjukkan adanya nilai egalitarian (kesetaraan) antara satu sama lain. EGS
mengungkapkan pokok dari identitas bangsa Israel tersebut memperlihatkan bahwa tanah
Kanaan adalah anugerah Tuhan di mana boleh dipakai atas nama Tuhan, tetapi tidak boleh
dimiliki secara mutlak dan dieksploitasi demi kepentingan diri sendiri. Tanah dimaknai memiliki
fungsi sosial bagi keadilan dan kesejahteraan semua orang.

Pemaknaan tanah sebagai sarana bagi keaadilan dan kesejahteraaan semua orang
didukung oleh penelaahan istilah tanah Kanaan dalam penelitian yang lebih berkembang. Dalam
TB-LAI, tanah Kanaan diartikan sebagai “milik pusaka” yang dalam bahasa Ibrani nahalah
dimaknai lebih kemudian sebagai “tempat kediaman”.12 Terdapat juga istilah ahuzzah yang
dalam TB-LAI diartikan sebagai “tanah milik”, tetapi pada perkembangannya diartikan sebagai
“tanah garapan”.13 Terdapat juga istilah morasyah dan yerusysyah yang dari kata kerja yarasy
sebagai “menduduki, dan mewarisi”, tetapi kedua istilah yang memaknai tanah Kanaan sebagai

10
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2019), h. 207
11
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 207
12
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 207
13
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 207
milik umat Israel lebih dimaknai sebagai “menduduki”.14 Nampak bahwa terjemahan TB-LAI
kurang mendalam sehingga berkembangnya penelitian dari sisi bahasa membawa pada
pemaknaan bahwa tanah Kanaan bukan sebagai “milik pusaka” umat Israel.

Bagian II

Ayat 24: Utang piutang dapat menjadi faktor orang jatuh miskin lalu terpaksa menjual
tanah, bahkan menyerahkan diri kepada orang lain di Israel kuno. Dalam keadaan tersebut,
terdapat kewajiban menolong orang yang terpaksa menjual tanah miliknya dengan tebusan – hak
penebusan tanah (ge’ula).15 Ayat 25: konsep “penebus” (go’el) dilakukan oleh kerabat yang
terdekat sebagai pemilik hak dan kewajiban dalam melakukan penebusan tanah.16 Ayat 26-27:
Apabila si penjual tanah mampu mengumpulkan uang tebusan, maka kepadanya harus diberikan
ruang untuk menebus kembali tanah tersebut tanpa bersitegang leher.17

Bagian III

Ayat 28: Inilah titik istimewa bagi si penjual tanah yang memang jatuh miskin dan tidak
bisa menebus kembali miliknya. Dalam hal ini, orang tersebut tidak kehilangan tanah untuk
selama-lamanya. Menurut EGS, inilah keadilan sosial berdasarkan peraturan Yahweh, Sang
Tuan mutlak atas tanah atau negeri Israel oleh karena kesadaran bahwa keberadaan mereka
hanyalah gerim dan tosyebim.18

Konflik Reforma Agraria

Reforma Agraria merupakan penataan kembali atau pembaruan struktur pemilikan,


penguasaan dan penggunaan tanah atau wilayah, demi kepentingan dan kesejahteraan petani
kecil, penyakap, dan buruh tani tak bertanah.19 Tujuan dari reforma agraria adalah transformasi
sosial dan menangani konflik sosial serta mengurangi peluang terjadinya konflik di masa
depan.20 Akan tetapi, tujuan dan motif dari reforma agraria yang telah berjalan cukup panjang di

14
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 207
15
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 208
16
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 208
17
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 208
18
Emanuel Gerrit Singgih, Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, h. 208
19
Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, (Yogyakarta: STPN
Press, 2009), h. 94
20
Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, h. 96
Indonesia tidak dapat dipungkiri malah melahirkan konflik. Hal tersebut dikarenakan oleh
adanya proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam memperebutkan
objek yang sama demi kepentingan masing-masing.21 Dalam proses interakti tersebut, terdapat
pihak dari masyarakat asli yang bersaing dengan pihak lain seperti para pemilik modal besar dan
kecil yang biasanya dibentengi oleh aparat denga tangan besinya.

Dalam melihat akar rumput konflik agraria ini, menurut Eko Cahyono dalam
pemahamannya atas pembagian paradigma dari Witter dan Bitmer terdapat tiga mazhab dalam
memandang sumber agraria, yaitu paradigma konservasionistik, developmentalistik, dan eko-
populistik.22 Pertama, konservasionistik yang mendudukkan sumber agrariaa dan alam semata
untuk pelestarian. Kedua, developmentalistik yang memandang sumber agraria dan alam sebagai
aset pembangunan. Ketiga, eko-populistik yang memandang secara holistik bahwa manusia,
flora-fauna, dan lingkungannya menjadi entitas dari ekosistem. Dalam catatan sejarah pertanahan
di Indonesia sampai saat ini, banyak kebijakan politik sumber daya alam yang diterapkan
bercorak paradigma developmentalistik. Akibat dari penerapa paradigma tersebut maka sumber
agraria hanya sebagai aset dan potensi dalam dominasi pembangunan dan komoditas pasar.

Paradigma developmentalistik menjadi corak yang dominan di mana terbukti dalam data
sepanjang 2017 menunjukkan terdapat 659 konflik agraria yang terjadi di lahan seluas
520.491,87 hektar dan melibatkan 652.738 kepala keluarga.23 Dalam data tersebut dikatakan
bahwa sektor perkebunan penyumbang konflik terbanyak, yakni 208 konflik (32%), sektor
properti 199 konflik (30%), sektor infrastruktur 94 konflik (14%), sektor pertanian 78 konflik
(12%), sektor kehutanan 30 konflik (5%), sektor pesisir dan kelautan 28 konflik (4%), dan
konflik pertambangan 22 konflik (3%).24 Terdapat juga beberapa kasus yang terjadi di mana
kombinasi paradigma developmentalistik dan konservasionistik. Kesannya seolah-olah demi
tujuan konservasi dan pelestarian lingkungan, tetapi pada penerapannya malah pemerkosaan
terhadap alam (nature raping). Hal tersebut terlihat pada hak dasar masyarakat adat atau lokal
boleh digusur dan diabaikan atas nama ekowisata, eco-park, dan lain-lain.

21
Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian Agraria, h. 55
22
Eko Cahyono, Gemah Ripah loh Jinawi, Untuk Siapa?: Makin Jauhnya Cita-cita Kedaulatan Agraria, Jurnal
Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No,1,2017, h. 65-79
23
Lihat http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/
24
Lihat http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/
Dengan konflik reforma agraria yang lebih didominasi oleh pihak yang mengedepankan
pembangunan dan komoditas pasar maka dibutuhkan suatu alternatif pergeseran paradigma
(paradigm shift). Paradigma yang dapat ditawarkan adalah paradigma eko-populistik yang
memiliki prinsip untuk menjaga keseimbangan hubungan manusia, alam, dan Tuhan. Tawaran
tersebut membawa pada pemutusan lingkaran konflik agraria yang mengakar pada endapan
masalah historis sampai saat ini. Dalam melakukan tawaran ini dibutuhkan keberanian untuk
mengambil resiko dengan restrukturalisasi ketimpangan yang terjadi antara penguasaan tanah
dan sumber agraria.

“Siapa Pemilik Tanah Ini?”

Berbicara mengenai tanah, tentunya tidak terlepas dari siapa yang menjadi pemilik tanah.
Terdapat berbagai pandangan mengenai kepemilikan tanah. Bagi orang Barat, tanah menjadi
kepemilikan pribadi. Bagi orang Afrika, tanah menjadi kepemilikian Tuhan, sehingga fungsi
sosialnya lebih dapat diejawantahkan. Dalam pandangan Barth, kepemilikan tanah Kanaan
menjadi hak milik Israel yang diinvansi melalui kekerasan. Sedangkan, berdasarkan Imamat
25:23-28, Tuhan yang menjadi Tuan atas tanah dan bangsa Israel hanyalah oraang asing dan
pendatang. Sampai pada konteks saat ini, sulitnya hukum negara dan hukum adat yang mengatur
mengenai pertanahan sulit menemukan titik temunya, bahkan hanya titik tengkar.

Titik tengkar tersebut dikarenakan sulitnya dualisme hukum itu berdampingan mengenai
hak kepemilikan tanah. Dalam tulisan sederhana ini, penulis tidak memberikan bagaimana
caranya agar kedua hukum tersebut dapat berdampingan. Mengingat bahwa hukum negara pun
sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum adat oleh karena hukum negara pun juga
menjamin kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Yang membuatnya menjadi pertentangan
adalah bagaimana pemerintah yang menihilkan tujuan dari undang-undang dan reforma agraria.
Dan sebaliknya, melihat tanah dengan paradigma developmentalistik.

Dengan demikian, permasalahnnya bukan pada siapa yang menjadi pemilik tanah atau
kontradiksi antara hukum negara dan adat. Akan tetapi, permasalahnnya adalah pada siapa pun
yang melihat tanah dalam sudut pandang developmentalistik sehingga melupakan tujuan dari
hukum negara, hukum adat, dan reforma agraria. Untuk itu, penulis menawarkan untuk melihat
tanah dalam relasi yang setara sebagai sesama ciptaan. Dan, Tuhan sebagai pemilik atas ciptaan.
Daftar Pustaka

Buku

Barth, Christoph dan Barth-Frommel, Marie-Claire. 2016. Teologi Perjanjian Lama 2. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.

Gertz, Jan Christian, dkk. 2017. Purwa Pustaka: Eksplorasi ke dalam kitab-kitab Perjanjian
Lama dan Deuterokanonika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Singgih, Emanuel Gerrit. 2019. Dunia yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian
Lama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Wiradi, Gunawan. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria: Reforma Agraria dan Penelitian
Agraria. Yogyakarta: STPN Press.

Jurnal

Cahyono, Eko. 2017. Gemah Ripah loh Jinawi, Untuk Siapa?: Makin Jauhnya Cita-cita
Kedaulatan Agraria. Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya. Vol. 1, No,1. h. 65-79

Perangin-angin, Andria. 2014. Petani Melawan Negara dan Pengusaha: dalam Jurnal
Landreform “Membangun Kekuatan Politik Agraria”, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA),
Volume II. h. 41-54

Website

http://www.kpa.or.id/news/blog/kpa-launching-catatan-akhir-tahun-2017/

Anda mungkin juga menyukai