Anda di halaman 1dari 2

Plagiarisme berasal dari Bahasa Yunani.

Plagiarius bermakna penculik dan plagium berarti


menculik. Istilah ini pertama kali dimunculkan pada abad pertama masehi oleh seorang penyair
bernama Markus Velerius Martilias. Konteksnya waktu itu, ia mengeluhkan puisi lain yang kata-
katanya sama dengan yang telah dibuatnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia "plagiat" diartikan sebagai pengambilan karya orang lain
dan menjadikannya seolah-olah karangan sendiri. Sementara menurut Sardy S. (2004)
plagiarisme adalah tindak pengambilan atau pencurian pendapat, ide, gagasan, pemikiran, kata,
kalimat, karangan orang lain dengan menjadikan milik sendiri. Plagiarisme tentu merupakan
pelanggaran atas hak cipta sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2010.

Jika merujuk pada buku "Kode Etik Peneliti" yang disusun oleh LIPI, plagiarisme diartikan
sebagai mengambil alih gagasan atau kata-kata tertulis dari seseorang tanpa pengakuan
pengambilalihan dan niat menjadikannya sebagai bagan dari karya keilmuan yang
mengambilnya.

Di dunia pendidikan, plagiarisme terjadi dalam berbagai macam bentuk. Pertama, tindakan
menjiplak satu gagasan besar dari sebuah tulisan lalu menuliskannya kembali dengan gaya
bahasa dan penulisan yang lain dari tulisan aslinya tanpa mengakui dan menyebutkan
sumbernya. Hal ini dikategorikan sebagai plagiarisme sumber gagasan atau ide (plagiarism of
source).

Kedua, plagiarisme kata demi kata (word of word plagiarism), di mana seseorang mengutip kata
atau kalimat orang lain atau memparafrasekannya dan dengan sengaja tidak mencantumkan
sumbernya.

Penyebabnya bisa bermacam-macam, mulai dari lupa sampai gengsi memasukkan sumber
tulisan. Hal ini biasanya dilakukan karena si pengutip punya gelar intelektual yang lebih tinggi
dari yang dikutip.

Level yang paling berat adalah plagiarisme kepengarangan (plagiarism of authorship), yakni
mengklaim hasil karya orang lain sebagai hasil karya sendiri. Yang terjadi di UNJ, sebagaimana
diberitakan sejumlah media daring, merupakan tindakan plagiasi tingkat berat, karena sudah
menjiplak keseluruhan karya tulis orang lain, disunting sedikit lalu diklaim sebagai karya tulis
miliknya.

Ketiga tipe plagiarisme itu biasanya dilatari faktor kesengajaan. Artinya ,memang abai pada etika
intelektualitas. Ada pula plagiarisme yang dilatari faktor ketidaktahuan atau ketidaksengajaan.

Self plagiarism adalah salah satunya. Yakni, ketika seseorang mempubikasikan karya ilmiahnya
lebih dari satu kali atau mendaur ulangnya tanpa ada unsur kebaruan sama sekali, ditambah tidak
menyertakan rujukan atau referensi di mana tulisan itu pernah dipublikasikan sebelumnya.
Harus diakui bahwa yang jamak terjadi di institusi-institusi pendidikan adalah plagiarisme yang
dilakukan karena sengaja. Dalam banyak kasus, plagiarisme terang-terangan dilakukan oleh
intelektual atau akademisi demi kepentingan pribadi.

Edukasi dan Sanksi

Memberantas plagiarisme bukan perkara mudah. Sejumlah kampus gencar mengkampanyekan


gerakan anti plagiarisme. Bentuknya macam-macam -mulai dari kampanye anti-plagiarisme,
kewajiban melampirkan surat pernyataan keasilan setiap menyerahkan karya ilmiah sampai
penggunaan aplikasi khusus pendeteksi plagiarisme.

Saat ini memang ada sejumlah situs daring yang menyediakan layanan pengecekan keaslian
karya ilmiah secara gratis. Tersedia pula beragam aplikasi yang juga dapat diunduh secara gratis.

Meski demikian, harus diakui bahwa lebih banyak perguruan tinggi yang abai atau menutup mata
pada praktik-praktik plagiarisme tersebut. Bahkan, ada perguruan tinggi yang secara langsung
terlibat dalam semacam konspirasi tindak plagiarisme para mahasiswanya.

Lembaga pendidikan, utamanya perguruan tinggi, seharusnya mengedukasi para mahasiswa dan
akademisinya mengenai penyusunan karya ilmiah agar terhindar dari praktik plagiarisme.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah menanamkan paradigma berpikir bahwa tujuan
menyusun karya ilmiah tidaklah sekadar memperoleh nilai, gelar atau sebagai syarat kenaikan
pangkat. Lebih dari itu, para intelektual harus sadar bahwa karya ilmiah adalah bentuk
sumbangsih pada masyarakat.

Penting juga intelektual dan akademisi menguasai hal-hal teknis dalam menulis karya ilmiah
agar nantinya terhindar dari unsur plagiarisme. Mereka harus paham bagaimana cara mengutip
secara langsung atau tidak langsung, memparafrasekan kalimat atau paragraf dari tulisan orang
lain, membuat catatan kaki, daftar pustaka dan hal-hal teknis lainnya.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Riset Dikti serta
lembaga perguruan tinggi terkait sepatutnya memberikan perhatian lebih pada fenomena
plagiarisme. Aturan memang telah dibuat, berikut sanksi bagi para pelanggar. Namun di
lapangan, pelaku plagiarisme acapkali hanya mendapat teguran lisan atau sanksi administratif
ringan.

Aturan dan sanksi yang tegas mutlak diperlukan demi membuat jera para plagiat. Jangan sampai,
plagiarisme disikapi secara permisif dan tanpa sadar kemudian menjadi sebuah kebiasaan.

Sumber : https://beritagar.id/artikel/telatah/plagiarisme-penyakit-akut-intelektual-dan-akademisi

Anda mungkin juga menyukai