Anda di halaman 1dari 17

1.

Pengertian

Tuberkulosis atau TB adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang parenkim paru.
Tuberculosis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil mikrobacterium
tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah (Wijaya, 2013,
Hal. 137).

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit menular yang paling sering mengenai parenkim paru,
biasanya disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis (Smeltzer, 2014. Hal 525).

2. Etiologi

Penyebab tuberkulosis paru menurut Danusantoso (2012, Hal. 101) adalah sebagai mana telah
diketahui, tuberkulosis paru disebabkan oleh basil TB (mycobacterium tuberculosis humanis).

Mycobacterium tuberculosis termasuk family mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus,


satu diantaranya adalah mycobacterium, salah satu speciesnya adalah M. tuberculosis.

Mycobacterium tuberculosis yang paling berbahaya bagi manusia adalah type humani (kemungkinan
infeksi type bovinus saat dapat diabaikan, setelah hygiene peternakan makin di tingkatkan

Basil tuberculosis mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam basa. Karena itu, kuman
disebut pula Basil Tahan Asam (BTA)

Karena pada umumnya mycobacterium tahan asam, secara teoritis Basil Tahan Asam (BTA) belum
tentu identik dengan basil tuberculosis, mungkin saja Basil Tahan Asam (BTA) yang ditemukan adalah
mycobacterium atipik yang menjadi penyebab mycobacteriosis.

Kalau bakteri – bakteri lain hanya memerlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk mitosis, basil
tuberculosis memerlukan waktu 12 sampai 24 jam.

Basil tuberculosis sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja akan
mati. Basil tuberculosis juga akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alcohol 70 % atau
lisol 5%.

3. Patofisiologi TB Paru

Basil tuberkel yang mengcapai permukaan alveoli biasanya diinhalasi sebagai suatu unit yang terdiri
dari satu sampai tiga basil karena gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di rongga hidung
dan tidak menyebabkan penyakit, setelah berada dalam ruang alveolus (biasanya di bagian bawah
lobus atas atau di bagian atas lobus bawah) basil tuberculosis ini membangkitkan reaksi peradangan.
Lekosit polimorfunuklear tampak pada tempat tersebut dan mefagosit bakteri tetapi tidak
membunuh organisme tersebut. Sesudah hari – hari pertama maka lekosit diganti oleh magrofat
(Wijaya, 2013, Hal. 138).
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala-gejala pneumonia akut. Basil
juga menyebar melalui kelenjar limfe regional. Makrofag yang mengalami infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel spiteloid yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini biasanya berlangsung selama 10-20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan
gambaran yang relatif padat seperti keju, lesi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
mengalami nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblas menimbulkan respon berbeda. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa, membentuk
jaringan parut yang akhirnya membentuk suatu kapsul yang mengelingi tuberkel (Wijaya, 2013, Hal.
138).

Lesi primer paru –paru disebut focus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar limfe regional dan
lesi primer dinamakan kompleks ghon. Kompleks ghon yang mengalami perkapuran ini dapat dilihat
pada orang sehat yang kebetulan menjalani pemeriksaan radiogram rutin. Respon lain yang terjadi
pada daerah nekrosis adalah percairan dimana bahan cair lepas ke dalam bronkus dan menimbulkan
kavitas. Materi tubercular yang dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk ke percabangan
trakeobronkial. Proses ini dapat terulang kembali pada bagian lain dari paru atau basil dapat
terbawa ke laring, telinga tengah atau usus. Kavitas kecil dapat menutup sekalipun tanpa
pengobatan dan meninggalkan parut fibrosa(Wijaya, 2013, Hal. 138).

Bila peradangan mereda lumen bronkus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang
terdapat dekat dengan perbatasan bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran yang ada dan lesi mirip dengan lesi berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan
ini dapat tidak menimbulkan gejala dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan
bronkus dan menjadi tempat peradangan aktif. Penyakit dapat menyebar melalui saluran limfe atau
pembuluh darah (limfohematogen). Organisme yang lolos dari kelenjar limfe akan memcapai aliran
darah dalam jumlah yang lebih kecil yang kadang-kadang dapat menimbulkan lesi pada berbagai
organ lain (ekstrapulmaner). Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan tuberculosis milier. Ini terjadi apabila focus nekrotik merusak pembuluh
darah sehingga banyak organisme masuk ke dalam sistem vascular dan tersebar ke dalam sistem
vaskuler ke organ – organ tubuh (Wijaya, 2013, Hal. 138).

4. Manifestasi klinis TB Paru

Menurut Wijaya, (2013, Hal. 140) Gambaran klinik TB paru dapat di bagi menjadi 2 golongan, gejala
respiratorik dan gejala sistemik :

a. Gejala respiratorik, meliputi ;

Batuk : Gejala batuk timbul paling dini dan merupakan gangguan yang paling sering dikeluhkan.
Mula-mula bersifat non produktif kemudian berdahak bahkan bercampur darah bila sudah ada
kerusakan jaringan.
Batuk darah : darah yang dikeluarkan dalam dahak bervariasi, mungkin tampak berupa garis atau
bercak-bercak darah, gumpalan darah atau darah segar dalam jumlah sangat banyak.

Sesak napas : gejala ini ditemukan bila kerusakan parenkim paru sudah luas atau karena ada hal-hal
yang menyertai seperti efusi pleura, pneumothorax, anemia, dan lain – lain.

Nyeri dada : Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Gejala ini timbul apabila
sistem persarafan di pleura rusak.

b. Gejala sistemik, meliputi :

Demam : Merupakan gejala yang sering dijumpai biasanya timbul pada sore dan malam hari mirip
demam influeza, hilang timbul dan makin lama makin panjang serangannya sedang masa bebas
serangan makin pendek.

Gejala sistemik lain : Gejala sistemik lain ialah keringat malam, anoreksia, penurunan berat badan
serta malaise.

Timbulnya gejala biasanya gradual dalam beberapa minggu-bulan, akan tetapi penampilan akut
dengan batuk, panas, sesak napas walaupun jarang dapat juga timbulnya menyerupai gejala
pneumonia\tuberkulosis paru termasuk insidius Wijaya, (2013, Hal. 140)

5. Penatalaksanaan TB Paru

Menurut Ardiansyah (2012. Hal: 309) Penatalaksanaan dari TB dibagi menjadi 3 bagian, yaitu
pencegahan, pengobatan dan penemuan penderita :

a. Pencegahan Tuberkulosis paru.

Pencegahan tuberkulosis paru dilakukan dengan pemeriksaan terhadap individu yang bergaul erat
dengan penderita tuberkulosis paru BTA positif.

mass chest X-ray. Yaitu Pemeriksaan massal terhadap kelompok-kelompok tertentu misalnya:
Karyawan rumah sakit/puskesmas/balai pengobatan, penghuni rumah tahanan, siswa-siswai
pesantren.

Vaksinasi BCG (bacille Calmette -Guerin); reaksi positif terjadi jika setelah mendapat vaksinasi BCG
langsung terdapat reaksi lokal yang besar dalam waktu kurang dari tujuh hari.

Kemoprofilaksis yaitu dengan menggunakan INH 5mg/kgBB selama 6-12 bulan dengan tujuan
menghancurkan atau mengurangi populasi bakteri yang masih sedikit
Komunikasi, informasi dan edukasi tentang penyakit tuberkulosis paru kepada masyarakat di tingkat
Puskesmas maupun rumah sakit oleh petugas pemerintah atau petugas lembaga swadaya
masyarakat.

b. Pengobatan Tuberkulosis Paru

Tujuan Pengobatan pada penderita tuberkulosis paru, selain untuk mengobati, juga untuk mencegah
kematian, kekambuhan, reistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis serta memutuskan rantai
penularan.

c. Penemuan Penderita TB Paru

Penatalaksnaan terapi: asupan nutrisi adekuat/mencukupi.

Kemoterapi yang mencakup pemberian : isoniazid (INH) sebagai bakterisidial terhadap basil yang
tumbuh aktif. Obat ini diberikan selama 18 s.d 24 bulan dan dengan dosis 10-20mg/kg berat
badan/hari melalui oral. Kombinasi antara NH, rifampicin, dan prrazinamid yang diberikan selama 6
bulan. Obat tambahan antara lain streptomycin (diberikan intramuskuler) dan ethambutol. Terapi
kortikosteroid bersamaan dengan obat anti tuberkulosis untuk mengurangi respon peradangan,
misalnya pada meningitis.

Pembedahan dilakukan jika kemoterapi tidak berhasil. Tindakan ini dilakukan dengan mengangkat
jaringan paru yang rusak.

Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak langsung dengan orang yang terinfeksi basil
tuberkulosis serta mempertahankan asupan nutrisi yang memadai. Pemberian imunisasi BCG juga
diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh.

7. Pemeriksaan Penunjang TB Paru

Menurut Somantri (2007. Hal 62) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada klien dengan dengan
tuberkulosis paru untuk menunjang dignosis yaitu :

Sputum culture: untuk memastikan apakah keberadaan M. Tuberkulosis pada stadium aktif.

Ziehl neelsen (Acid-fast staind applied to smear of body fluid) : positif untuk BTA.

Skin test (PPD, mantoux, tine, and vollmer patch): reaksi postif (area indurasi 10 mm atau lebih,
timbul 48-72 jam setelah injeksi antigen intradermal) mengindikasikan infeksi lama dan adanya
antibodi, tetapi tidak mengindikasikan penyakit yang sedang aktif.
Chest X-ray: dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal dibagian paru paru, deposit kalsium
pada lesi primer yang membaik atau cairan pleura. Perubahan yang mengindikasikan TB yang lebih
berat dapat mencakup area berlubang dan fibrosa.

Histlogi atau kultur jaringan ( teramasuk kumbah lambung, urin dan CSF, serta biopsi kulit): positif
untuk M. Tuberkulosis.

Needle biopsi of lung tissue: positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar yang mengindikasikan
nekrosis.

Elektrolit: mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi misalnya hiponatremia
mengakibatkan retensi air, dapat ditemukan pada TB paru-paru lanjut kronis.

ABGs: mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat, dan sisa kerusakan paru paru.

Bronkografi: merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan bronkhus atau kerusakan
paru-paru karena TB.

Darah: leukositosis, LED meningkat.

Tes fungsi paru paru: VC menurun, dead space meningkat, TLC meningkat, dan menurunnya saturasi
O2 yang merupakan gejala sekunder dari fibrosis/infiltrasi parenkim paru-paru dan penyakit pleura.

8. Komplikasi TB Paru

Corwin (2009. Hal 547) mengatakan Komplikasi yang serius dan meluas Tuberkulosis Paru saat ini
adalah berkembangnya basil tuberculosis yang resisten terhadap berbagai kombinasi obat.
Resistensi terjadi jika individu tidak menyelesaikan program pengobatannya hingga tuntas, dan
mutasi basil mengakibatkan basil tidak lagi responsive terhadap antibiotic yang digunakan dalam
waktu jangka pendek. Basil tuberculosis bermutasi dengan cepat dan sering. Tuberculosis yang
resisten terhadap obat obatan juga dapat terjadi jika individu tidak dapat menghasilkan respons
imun yang efektif sebagai contoh, yang terlihat pada pasien AIDS atau gizi buruk. Pada kasus ini,
terapi antibiotik hanya efektif sebagian. Tenaga kesehatan atau pekerja lain yang terpajan dengan
galur basil ini, juga dapat menderita tuberculosis resistens multi obat, yang dalam beberapa tahun
dapat mengakibatkan morbiditas dan sering bahkan kematian. Mereka yang mengidap tubrkulosis
resisten multiobat memerlukan terapi yang lebih toksit dan mahal dengan kecendrungan mengalami
kegagalan.

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian TB Paru

Pengkajian keperawatan pada pasien dengan tuberkulosis paru menurut Ardiansyah (2012, hal 319-
323) adalah sebagai berikut :

1. Aktivitas/Istirahat
a. Gejala :1) Kelelahan umum dan kelemahan, 2) Napas pendek saat bekerja atau beraktivitas, 3)
Kesulitan tidur pada malam hari atau demam malam, 4) Setiap hari menggigil dan berkeringat, serta
mimpi buruk

b. Tanda :1) Takikardia, Takipnea atau dispnea pada saat beraktivitas, 2) Kelelahan otot, nyeri dan
sesak (Tahap Lanjutan)

2. Integritas Ego:

a. Gejala1) Adanya faktor stres lama, 2) Masalah keuangan dan rumah tangga, 3) Perasaan tak
berdaya/tak ada harapan, 4) Serta biasa terjadi di bangsa Amerika asli atau imigran dari Amerika
Tengah, Asia Tenggara, dan suku indian.

b. Tanda :1) Menyangkal (khususnya selama tahap dini), 2) Kecemasan berlebihan, ketakutan, serta
mudah marah.

3. Makanan/Cairan

a. Gejala :1) Kehilangan nafsu makan, 2) Tak dapat mencerna makanan dan terjadi penurunan berat
badan.

b. Tanda :1) Turgor kulit buruk, kering/kulit bersisik, 2) Kehilangan otot atau mengecil karena
hilangnya lemak subkutan

4. Nyeri/Kenyamanan

a. Gejala : 1) Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.

b. Tanda :1) Berhati-hati saat menyentuh atau menggerakkan area yang sakit, 2) Perilaku distraksi
(terganggu) seperti gelisah

5. Pernapasan

a. Gejala : 1) Batuk (produktif/tak produktif), 2) Napas pendek

b. Tanda :1) Peningkatan frekuensi pernapasan, 2) Fibrosis parenkimparu dan pleura yang meluas, 3)
Pasien menunjukkan pola pernapasan yang tak simestris (efusi pleura), 4) Perfusi pekak dan
penurunan fremitus (getaran dalam paru), 5) Penebalan pleura dan bunyi napas yang menurun, 6)
Aspek paru selama inspirasi cepat : namun setelah batuk biasanya pendek (krekels postusik), 7)
Karakteristik sputum (yang berwarna hijau/purulen dan mukoid, kadang kuning dan disertai dengan
bercak darah), 8) Deviasi trakeal (penyebab bronkogenik) menunjukkan sikap mudah tersinggung
yang jelas dan perubahan mental.

6. Keamanan

a. Gejala : Adanya kondisi tekanan pada sistem imun (contoh AIDS, kanker, tes HIV yang hasilnya
positif

b. Tanda : Demam rendah atau sakit panas akut

7. Interaksi Sosial

a. Gejala : Perasaan isolasi atau penolakan karena penyakit menular.

b. Tanda : Perubahan pola biasa dalam kapasitas fisik untuk melakukan peran

8. Penyuluhan/Pembelajaran

a. Gejala : 1) Riwayat keluarga Tuberkulosis Paru, 2) Ketidakmampuan umum/status kesehatan


buruk, 3) Gagal untuk menyembuhkan TB secara total, Tuberkulosis paru sering kambuh dan tidak
mengikuti terapi pengobatan dengan baik.

b.Pertimbangan : DRG menunjukkan bahwa secara lama pasien dirawat di rumah sakit sekitar 6,6
hari.

c. Rencana Pemulangan :

Pasien dengan Tuberkulosis paru dalam terapi obat dan bantuan perawatan diri serta pemeliharaan
rumah.

B. Diagnosa Keperawatan TB Paru

Diagnosa keperawatan pada pasien dengan tuberkulosis paru menurut Ardiansyah (2012, hal 323-
324) adalah sebagai berikut :
Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan sekresi mukus yang kental, hemoptitis,
kelemahan fisik, upaya batuk buruk dan edema trakheal/faringeal.

Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.

Risiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru,
atelektasi, kerusakan membran alveolar-kapiler dan edema bronchial.

Perubahan nutrisi : kurang asupan nutrisi dari kebutuhan ideal tubuh yang berhubungan keletihan,
anoreksia, dispnea dan peningkatan metabolisme tubuh.

Kecemasan berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan


untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.

Kurang imformasi dan pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya imformasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.

Infeksi dan risiko tinggi penyebaran atau aktivasi ulang kuman Tuberkulosis Paru berhubungan
dengan kerusakan jaringan/infeksi tambahan.

C. Intervensi keperawatan TB Paru

Intervensi keperawatan yang dapat dirumuskan pada pasien dengan Tuberkulosis Paru menurut
Ardiansyah (2012 Hal. 324-343) adalah sebagai berikut :

Tabel: 3.1

Intervensi Keperawatan

Diagnosa Keperawatan

Intervensi

Rasional

Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan secret kental, atau secret darah.

1. Kaji fungsi pernapasan (bunyi napas, kecepatan, irama, kedalama dan penggunaan otot bantu
napas).

2. Kaji kemampuan mengeluarkan sekresi, catat karakter, volume sputum dan adanya hemoptisis.
3. Berikan posisi fowler/semifowler tinggi (yakni posisi tidur dengan punggung bersandar di bantal
atau seperti tidur duduk) dan bantu pasien untuk bernapas dalam dan batuk efektif.

4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, bila perlu dilakukan pengisapan (suction).

5. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi OAT (Obat Anti Tuberkulosis).

1. Penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronkhi menunjukkan akumulasi secret dan
tidak efektifnya pengeluaran sekresi.

2. Pengeluaran dahak akan sulit bila secret sangat kental (efek infeksi dan hidrasi yang tidak
memadai).

3. Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas.

4. Hidrasi yang memadai dapat membantu mengencerkan secret dan mengefektifkan pembersihan
jalan napas.

5. Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi dua fase, yaitu fase intesif (2-3 bulan) dan fase lanjutan
(4-7 bulan). Paduan obat yang digunakan terdiri atas obat utama dan obat tambahan.

Ketidakefektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder
terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.

1. identifikasi faktor penyebab.

2. Kaji fungsi pernapasan, catat kecepatan pernapasan, dispnea, sianosis dan perubahan tanda
vital.
3. Berikan posisi fowler/semifowler (tidur bersandar) tinggi dan miring pada sisi yang sakit dan
bantu pasien untuk latihan napas dalam dan batuk efektif.

4. Auskultasi bunyi napas

5. Kaji pengembangan dada dan posisi trakea.

6. Kolaborasi untuk tindakan thorakosentesis atau kalau perlu WSD (Water Seal Drainage).

1. Dengan mengidentifikasi penyebab kita dapat menentukan jenis efusi pleura.

2. Distres pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stress fisiologi dan
nyeri.

3. Posisi fowler memaksimalkan ekspansi paru dan menurunkan upaya napas

4. Bunyi napas dapat menurun bahkan tidak ada, pada area kolaps yang meliputi satu lobus,
segmen paru, atau seluruh area paru (unilateral).

5. Ekspansi paru menurun pada area kolaps. Deviasi trakea ke arah sisi yang sehat pada tension.

6. Bertujuan sebagai evakuasi cairan atau udara dan memudahkan ekspansi paru secara maksimal.

Risiko tinggi gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan penurunan jaringan efektif paru,
atelektasi, kerusakan membran alveolar-kapiler dan edema bronchial.
1. Kaji dispnea, takipnea, bunyi napas, peningkatan upaya pernapasan, ekspansi toraks dan
kelemahan.

2. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan warna kulit, termasuk
membrane mukosa dan kuku.

3. Tunjukkan dan dukung pernapasan bibir selama ekspirasi, khususnya untuk pasien dengan
fibrosis dan kerusakan parenkim paru.

4. Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas dan bantu kebutuhan perawatan diri sehari-hari sesuai
keadaan pasien.

5. Kolaborasi pemeriksaan AGD.

6. Pemberian oksigen sesuai kebutuhan tambahan.


7. Kortikosteroid.

1. Tuberkulosis paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil bronkho pneumonia
sampai inflamasi difus yang luas, nekrosis, efusi pleura, dan fibrosis yang juga luas

2. Akumulasi secret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat mengganggu oksigenasi
organ vital dan jaringan tubuh.

3. Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau penyempitan jalan napas,
sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru dan mengurangi napas pendek

4. Menurunkan konsumsi oksigen selama periode penurunan pernapasan.

5. Penurunan kadar O2 (PO2) atau saturasi dan peningkatan PCO2 menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi atau perubahan program terapi.

6. Terapi oksigen dapat mengoreksi hipoksemia yang terjadi akibat penurunan ventilasi atau
menurunnya permukaan alveolar paru.

7. Kortikosteroid berguna dengan keterlibatan luas pada hipoksemia dan bila reaksi inflamasi
mengancam kehidupan.

Perubahan nutrisi : kurang asupan nutrisi dari kebutuhan ideal tubuh yang berhubungan keletihan,
anoreksia, dispnea dan peningkatan metabolisme tubuh.

1. Kaji status nutrisi pasien, turgor kulit, berat badan, derajat penurunan berat badan, integritas
mukosa oral, kemampuan menelan, riwayat mual atau muntah dan diare.

2. Fasilitasi pasien untuk memperoleh diet biasa yang disukai pasien (sesuai indikasi).

3. Pantau asupan dan output makanan dan timbang berat badan secara periodik (sekali seminggu

4. Lakukan dan ajarkan perawatan mulut sebelum dan sesudah makan, serta sebelum dan sesudah
intervensi atau pemeriksaan peroral.
5. kolaborasi dengan ahli gizi untuk menetapkan komposisi dan jenis diet yang tepat.

6. Kolaborasi untuk pemberian multivitamin.

7. Kolaborasi untuk pemeriksaan laboratorium, khususnya BUN (Blood Urea Nitrogen), protein
serum dan albumin.

1. Memvalidasi dan menetapkan derajat masalah untuk menetapkan pilihan intervensi yang tepat.

2. Memperhitungkan keinginan individu dapat memperbaiki asupan gizi.

3. Berguna dalam mengukur keefektifan asupan gizi dan dukungan cairan.

4. Menurunkan rasa tak enak karena sisa makanan, sisa sputum, atau obat pada pengobatan
sistem pernapasan yang dapat merangsang pusat muntah.

5. Merencanakan diet dengan kandungan gizi yang cukup memenuhi peningkatan kebutuhan
energy dan kalori, sehubungan dengan status hipermetabolik pasien.
6. Multivitamin bertujuan untuk memenuhi kebutuhan vitamin yang tinggi sekunder dari
peningkatan laju metabolism umum.

7. Menilai kemajuan terapi diet dan membantu perencanaan intervensi selanjutnya.

Kecemasan berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan


untuk bernapas) dan prognosis penyakit yang belum jelas.

1. Bantu dalam mengidentifikasi sumber koping yang ada.

2. Ajarkan teknik relaksasi.

3. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien.

4. Kaji factor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas.

5. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya.

1. Pemanfaatkan sumber koping yang ada secara konstruktif, sangat bermanfaat dalam mengatasi
stress.

2. Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan.


3. Hubungan saling percaya membantu memperlancarkan proses tarapeutik.

4. Tindakan secara tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi pasien dan
membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.

5. Rasa cemas merupakan efek emosi, sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik, perasaan
yang mengganggu dapat diketahui.

Kurang imformasi dan pengetahuan mengenai kondisi dan aturan pengobatan berhubungan dengan
kurangnya imformasi tentang proses penyakit dan penatalaksanaan perawatan dirumah.

1. kaji kemampuan pasien untuk mengikuti pembelajaran (tingkat kecemasan, kelelahan umum,
pengetahuan pasien sebelumnya dan suasana yang tepat).

2. Jelaskan tentang dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan mengapa
pengobatan TB berlangsun dalam waktu lama.

3. Ajarkan dan nilai kemampuan pasien untuk mengidentifikasi gejala atau tanda reaktifitas
penyakit (hemoptisis, demam, nyeri dada, kesulitan bernapas, kehilangan pendengaran, dan
vertigo).

4. Tekankan pentingnya mempertahankan asupan nutrisi yang mengandung protein dan kalori
yang tinggi serta asupan cairan yang cukup setiap hari.

1. Keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosional, dan lingkungan
kondusif.

2. Meningkatkan partisipasi pasien dalam program pengobatan dan mencegah putus obat karena
membaiknya kondisi fisik pasien sebelum jadwal terapi selesai.

3. Dapat menunjukkan pengaktifan ulang proses penyakit dan efek obat yang memerlukan evaluasi
lanjutan.
4. Diet TKTP (Tinggi Kalori TInggi Protein) dan cairan yang adekuat memenuhi peningkatan
kebutuhan metabolic tubuh.

1. Infeksi dan risiko tinggi penyebaran atau aktivasi ulang kuman Tuberkulosis Paru berhubungan
dengan kerusakan jaringan/infeksi tambahan.

1. Kaji patologi penyakit (aktif/fase tak aktif, yakni diseminasi infeksi melalui bronkus untuk
membatasi jaringan atau melalui aliran darah/sistem limfatik) dan potensi penyebaran infeksi
melalui butiran-butiran (droplet) udara selama batuk, bensin, meludah, bicara, tertawa dan
menyanyi.

2. Identifikasi orang lain yang berisiko, contoh anggota rumah, sahabat karib, atau teman.

3. Anjurkan pasien untuk menutup batuk/bersin dengan tisu dan minta pasien untuk menghindari
meludah.

4. Kaji tindakan control infeksi sementara dan contohnya penggunaan masker atau isolasi
pernapasan.

5. awasi suhu sesuai indikasi.

6. Tekankan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.

7. Dorong pasien untuk memilih atau mencerna makanan seimbang.


1. membantu pasien menyadari/menerima perlunya mematuhi program pengobatan untuk
mencegah pengaktifan berulang/komplikasi.

2. Orang-orang yang masuk dalam kelompok ini perlu mendapatkan program terapi obat untuk
mencegah penyebaran atau terjadi infeksi.

3. Perilaku-perilaku tersebut diperlukan untuk mencegah penyebaran infeksi.

4. Dapat membantu merunkan rasa terisolasi pasien dan membuang strigma social, sehubungan
dengan penyakit menular.

5. Reaksi demam merupakan indicator adanya infeksi lebih lanjut.

6. Periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi adanya rongga atau penyakit
dan risiko penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai tiga bulan.

7. Adanya anoreksia atau malnutrisi sebelumnya merendahkan tahanan terhadap proses infeksi
dan mengganggu penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai