Anda di halaman 1dari 4

“Keblinger betul Pak Kades kita ini, coba bayangkan, ia meminta partisipasi

warga untuk menyelesaikan sisa pekerjaan pembangunan talut. Dana yang


tertera di papan proyek, rupanya tidak cukup untuk merampungkan talut
kampung. Semestinya dana itu cukup, malah lebih, dan tidak harus meminta
lagi partisipasi warga,” ketus Karim yang kebetulan saat pelesiran keliling
kampung, tiba-tiba lewat di lokasi pembangunan talut. Deki yang dari tadi
sedang asyik dengan update statusnya terperanjat heran melongok ke arah
Karim. “Belum lama ini, sebelum kau datang berlibur di kampung, Pak Kades
membuat heboh sekampung. Dia meminta seluruh warga yang memelihara babi
agar mau menutupkan kandang babi dengan menggunakan jaring kawat.
Alasan Pak Kades cukup absurd, agar bau yang tak sedap bisa berkurang,
bahkan hilang sama sekali. Entah dari mana ide itu bersarang di kepala Pak
Kades, tapi menurut tetangga saya yang suka bantu-bantu di rumah Pak Kades,
bercerita bahwa, Pak Kades kita ini sangat nge-fans sama gubernur DKI,” Deki
menyambung komentar Karim. Karim menggelengkan kepala sambil cekrak-
cekrek dengan ponsel pintarnya yang siap diunggah ke media sosial yang entah
apa caption-nya.

Satu tahun belakangan ini warga di kampung Karim resah dan lesa. Pasalnya
kepala desa yang baru oleh orang-orang di kampung dinilai tidak cukup
mampu mengurus desa mereka.

Suatu pagi, di kantor desa, saat orang-orang berjulur-julur keluar masuk


membawa perkara masing-masing yang entah, Pak Sunaryo datang menghadap
Pak Kades.

“Perlu apa Yo,” sapa Pak Kades.

“Begini Pak Kades,” Sunaryo mengutarakan maksudnya. “Jalanan di kampung


kita ini kan umumnya masih telanjang dan saat musim hujan tiba, jalanan jadi
licin penuh liat sehingga membuat lambat langkah petani-petani kita yang
hendak berkebun. Nah, Pak Kades, maksud saya datang ke sini, mewakili
perkumpulan petani kampung, mengusulkan bagaimana kalau dibuatkan
jalanan beton,” Pak Sunaryo berhenti sejenak sambil sumringah menunggu
reaksi Pak Kades.
“Bagus sekali usulmu Yo.” Pak Kades yang tahu seluk-beluk mengelola dana
desa diam-diam tersungging penuh makna dan langsung pada manisnya.
“Berapa biaya untuk mewujudkan itu Yo? Kau punya gambarannya?” tanya Pak
Kades sambil tersenyum.

“Kebetulan si Karim anak Pak Haryo yang kuliah di jurusan teknik membantu
kelompok tani kami dengan mengirimkan rencana serta perkiraan biaya
pembangunan jalan ini Pak.” Jawab Pak Sunaryo sambil menyerahkan sebundel
kertas dan tak lama kemudian langsung berpamitan.

Belum juga Sunaryo berlalu dari pintu kantor desa, mata Pak Kades langsung
tertuju pada tulisan Total Anggaran Pembangunan. Dengan tergesa-gesa ia
menyuruh petugas administrasi desa untuk menyadur ulang isi dari bundel
yang diserahkan Pak Sunaryo.

“Judulnya harus Rencana Gapura Desa,” pesan Pak Lurah kepada petugas
administrasi sambil berlalu pergi untuk melihat proyek pembangunan talut
desa.

Dari balik bukit nampak pemandangan desa yang teduh disiram cahaya
matahari sore. Sambil di sana-sini mengepul asap yang tebal-tebal
mengeluarkan aromanya yang khas. Ditambah lagi suasana desa yang hening
meski dari balik celah hutan ada suara sahut menyahut tanda petani-petani desa
bergegas pulang. Karim dan Deki larut dalam nuansa senja.

Tiba-tiba keheningan itu pecah.

“Pilihan yang bagus berada di bukit ini untuk menikmati pesona desa kita di
sore hari,” kata Pak Sunaryo kepada keduanya.

“Eh, Pak Sunaryo,” sahut mereka serentak.

“Dari mana Pak?” tanya Karim.

“Habis bertemu Pak Kades Rim. Rancangan yang kamu buat dua bulan lalu
sudah saya berikan tadi.”

“Wah, semoga terwujud ya Pak.” Balas Karim.


“Semoga saja Rim,” tutup Pak Sunaryo sambil ketiganya tenggelam dalam
suasana senja di bukit desa. Tak lupa Deki mengambil gambar sore itu dengan
caption Menuju Senja, tak ketinggalan pula hashtag #Payung Teduh. Mata
ketiganya menuju senja, bersamaan dengan tatapan nanar akan hari esok.

Setahun berlalu. Jalan beton yang di idam-idamkan warga tak kunjung


terbangun. Malahan Gapura Desa yang berdiri menjulang pongah di batas
kampung. Pak Sunaryo merasa diingkari. Kelompok tani merasa kecewa, dan
lacur dikata seluruh desa mulai membangun desas-desus. Warga desa mulai
membandingkan dengan kepala desa sebelumnya yang jauh lebih baik, namun
tak terpilih sebagai pemenang pada pemilihan Kades beberapa waktu lalu. Sesal
warga desa takkan kembali. Kini mereka hanya boleh bersungut. Janji-janji Pak
Kades selama kampanye hanya bermanis-manis di bibir. Seperti peribahasa
yang selalu digunakan, lain di mulut lain di hati.

Karim yang telah selesai dari berlibur di kampung sedang memantau media
sosial miliknya sambil tidur-tiduran di kamar indekosnya, jemari Karim asik
berselancar di layar kaca silikon. Gerak ibu jarinya mengalun berulang ke atas
ke bawah. Tiba-tiba jemarinya terhenti pada postingan sahabatnya, Deki.
Matanya menajam membaca selebaran pengumuman yang bertuliskan
undangan terbuka,

“Dalam rangka menyambut hari ulang tahun Republik Indonesia, maka


semua warga diminta untuk berkumpul di balai desa dengan agenda:

1. Pembuatan monumen peringatan hari kemerdekaan


2. Pembangunan jalan beton untuk jalan setapak.
3. Pembangunan saluran air di sepanjang jalan setapak.
Berhubung anggaran desa kita tahun ini telah tandas di tengah tahun,
maka pentingnya rapat ini kiranya boleh menjadi perhatian seluruh
warga untuk dicarikan solusinya secara tanggung-renteng.

Ttd
Kepala Desa

A. B.”
Edan...! Seru Karim, sambil tombol power Handphone ditekan.

Anda mungkin juga menyukai