Beberapa Tema Dalam Anthropologi Hukum
Beberapa Tema Dalam Anthropologi Hukum
BAB I
Pendahuluan
Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum
empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan
pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin
antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum
dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada
dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial
secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan
masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control)
atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata
lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan
manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga
keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial.
Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya secara
alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup
bersamanya atau untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan
2
suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan abadi. Melalui
perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya secara lebih
baik serta dapat mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan kenyamanan hidupnya.
Setelah itu, kita juga mengenal adanya kewarisan di dalam setiap budaya dalam suatu
daerah. Ini biasa dikenal dengan hukum waris adat. Hukum waris adat adalah Hukum yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan
pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah Hukum
penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya.
Selanjutnya, hukum kewarisan juga merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang
peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban
seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal
dunia oleh ahli waris atau bahan hukum lainnya.
Dalam budaya dikenal pula sistem adat , religi , dari kepercayaan tiap-tiap suatu daerah.
Koentjaraningrat, sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia,
mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan. Sistem religi mempunyai
wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga,
dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman
maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai
benda-benda suci dan benda-benda religius. Oleh karena itu , dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan memiliki kaitan yang sangat erat dengan religi ( ritual ) pula, dan setiap daerah
pasti memiliki hal tersebut yang berbeda-beda.
Kemudian di sisi lain, keberadaan dan praktek peradilan adat di Indonesia sudah
berlangsung dalam waktu yang lama.Mungkin seusia dan sejalan dengan sejarah dan
perkembangan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah
nusantara ini. Prof Hilman Hadi kusuma memastikan, bahwa jauh sebelum agama Islam
masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan tertib
peradilannya. Meskipun istilah yang digunakan pada waktu itu bukan pengadilan atau
peradilan, hakikatnya tetap pada misi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Tujuan
3
dari penyelesaian mesalah tersebut diutamakan untuk pencapaian cita-cita dan tujuan dari
masyarakat tersebut, yaitu ketentraman dan kedamaian melalui penciptaan harmoni dengan
sesama, dengan alam dan dengan sang pencipta. Dengan demikian tujuan dari proses
penyelesaian sengketa tidak saja ditujukan untuk menegakkan keadilan, tetapi jauh lebih dari
itu. Penggunaan istilah ini tidak berarti, bahwa proses yang dipraktekkan itu sama sekali tidak
memperhatikan aspek keadilan seperti yang dipersepsikan oleh hukum modern. Meskipun
demikian kewenangan dari hakim peradilan adat tidak semata-mata terbatas pada perdamaian
saja, tetapi juga kekuasaan memutus semua silang sengketa dalam semua bidang hukum yang
tida terbagai kedalam pengertian pidana, perdata, publik, dan lain-lain. Dalam statusnya yang
demikian peradilan adat selalu didasarkan pada asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan
untuk hasil dan proses penyelesaian yang bisa diterima semua pihak.
1.2.Rumusan Masalah
1.Apa yang dimaksud dengan sistem kekerabatan dan bagaimana sistem kekerabatan
dalam Anthropologi Hukum ?
4.Apa yang dimaksud dengan sistem adat , religi ( mitos dan ritual ) dari kepercayaan
?
1.3.Tujuan Masalah
4.Untuk mengetahui sistem adat, religi ( mitos dan ritual ) dari kepercayaan dalam
anthropologi hukum
BAB II
Pembahasan
A.Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
Kekerabatan merupakan unit-unit sosial yang terdiri atas beberapa keluarga yang mempunyai
hubungan darah secara vertikal maupun horisontal atau akibat dari perkawinan.1 Anggota dari
sistem kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
nenek, dan seterusnya.2 Kekerabatan juga dapat diartikan sebagai hubungan seseorang atau
entitas yang sama secara silsilah, keturunan, maupun adat yang sama. Kekerabatan adalah suatu
unit terkecil dari masyarakat yang berasal dari dua keluarga, yakni keluarga inti dan keluarga
besar.
Sistem kekerabatan adalah cara yang digunakan atau aturan yang digunakan untuk
mengatur penggolongan orang-orang yang termasuk ke dalam kerabat. Aturan sistem
kekerabatan yang telah disepakati bersama menjadi sebuah identitas untuk mempermudah
penggolongan seseorang dalam garis kekerabatan. Sistem kekerabatan yang berupa aturan
kemudian terbentuk atas berbagai jenis sesuai dengan kesepakatan masing-masing daerahnya.
Sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat digunakan untuk menggambarkan struktur sosial
masyarakat yang bersangkutan.
Jadi sistem kekerabatan merupakan kumpulan dari beberapa kekerabatan yang bertempat
disebuah wilayah tertentu dan membentuk sebuah aturan yang disepakati dan dijalankan
bersama.
1
M. Yahya Mansur, Sistem kekerabatan dan pola pewarisan, (Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1998), hlm 43
2
T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm 15
6
Kekerabatan bilateral merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan
ayah dan ibu secara bersama-sama. Seorang anak otomatis menjadi anggota keluarga dari pihak
ayah maupun pihak ibu. Kelompok kekerabatan ini disebut kinred.3 Sistem kekerabatan
bilateral ini diterapkan oleh masyarakat Jawa dan Sunda. Dalam masyarakat Jawa ada tujuh
generasi secara vertikal keatas dan kebawah yang menjadi warga kinred. Jika tujuh generasi
diurutkan yakni: anak (ego)- ayah/ibu- kakek/nenek- buyut- canggah- wareng- udeg-udeng-
gantung siwur. Adapun secara horizontal dikenal dengan saudara kandung, seluruh saudara
ayah dan ibu, seluruh saudara kakek dan nenek, seluruh saudara sepupu dari pihak ayah dan
b. Kekerabatan Patrilineal
dari ayah saja. Hak waris hanya diberikan kepada anggota-anggota kerabat laki-laki, terutama
anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki mendapat penghargaan dan penghormatan
lebih tinggi dari kaum wanita.4 Sistem kekerabatan patrilineal diterapkan oleh masayarakat
Batak. Kekerabatan patrilinel lebih lazim disebut marga, sebuah kelompok kekerabatan yang
didasarkan kesamaan asal-usul nenek moyang jauh ke atas. Sistem kekerabatan patrilineal
menganut sisitem perkawinan eksogami, artinya jodoh harus berasal dari luar marganya
sendiri. Adat menetap setelah menikah disebut patrilokal, yakni istri menetap dilingkungan
suami.
3
Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm 93
4
Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya 1, (Jakarta: Setia Purna, 2009), hlm 43
7
c. Kekerabatan matrilineal
Kekerabatan marilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturnan
ibu saja. Anak-anak menjadi hak ibu, termasuk dalam kekerabatan ibu. Setelah perkawinan
pengantin menetap dipusat kediaman kerabat istri. Sistem waris diturunkan kepada anggota
kerabat perempuan dan kedudukan sosial perempuan lebih tinggi dari pada kaum laki-laki.
Akan tetapi lelaki tetap berperan sebagai pengelola waktu, harta, usaha, dan adat keluarga.5
Barat. Kekerabatan pada masyarakat Minang didasarkan pada garis keturunan ibu. Seorang
ayah berada diluar kerabat istri dan anak-anaknya, sehingga berbagai kepentingan dan urusan
keluarga menjadi tanggung jawab saudara laki-laki yang sudah dewasa (ninik mamak).
Keluarga luas disebut uxorilokal (keluarga senior ditambah keluarga dari anak-anaknya yang
perempuan). Adat menetap setelah menikah disebut matrilokal (suami menetap dilingkungan
keluarga istri). Kesatuan kerabat kecil disebut pariuk (saudara seperut), ini bersifat genealogis
menurut garis ibu. Kelompok yang agak besar disebut kampueng (satu kampung) dan yang
lebih besar lagi disebut suku. Sistem perkawinan pada kekerabatan matrilineal yakni sisitem
perkawinan eksogani (jodoh diambil dari luar sukunya). Tidak ada larangan berpoligami pada
5
Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman..op.cit. hlm 44
6
Ibid, hlm 22
8
7
Triyanto, DKK, Sosiologi.. po.cit., hlm 23
9
sosial. Dalam masyarakat primitif, kegiatan kegiatan yang pada dasarnya bersifat ekonomi,
politik, agama dan lain lain dilakukan dalam konteks kelompok kelompok kekerabatan.8
Ada tiga bentuk perkawinan mendasar yang dijumpai masyarakat didunia yaitu:
1. Monogami
2. Poligini
3. Poliandri
8
Drs. Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Hlm. 150
10
dan nilai nilai peradaban manusia. Apabila terjadi poliandri, hal itu bersifat fraternal,
yaitu seorang wanita mengawini sekelompok pria yang bersaudara. Masyarakay yang
melakukan poliandri biasanya melakukan poligini. Karena poliandri jarang terjadi,
kondisi kondisi untuk terjadinya poliandri sangat khusus. Biasanya poliandri
disosiasilkan dengan situasi hipergini. yaitu secara sistematis mengawini beberapa pria
yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi. Poliandri terjadi pada masyarakat yang
sangat kekurangan wanita. Dalam situasi demikikan, poliandri merupakan pilihan satu
satunya. Pakar antropolog memandang bahwa jarangnya poliandri dibandingkan
dengan poligini mengidentifikasika faktor faktor sosio biologi memegang tindakan
demikian. Pengaruh norma sosial, nilai niali ajaran agama, peraturan perundang
undangan sangat kuat menghilangkan poliandri.9
Hukum islam dan hukum adat tidak menetapkan sistem atau cara tertentu dalam hal
pembagian harta waris, yang mana dari itu bisa dilaksanakan secara bagaimana juga, dengan
tulisan atau dengan lisan. Balamana dengan tulisan bisa dengan akta notaris atau dengan akta
dibawah tangan, asal terang dan nyata saja.
Oleh Burgerlijk Wetboek pun tidak menetapkan laian cara tertentu, apabila para ahli
waris seluruhnya menurut hukum mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum yang sah
dan bila mana mereka seluruhnya hadir sesuai pasal 1069 BW.
9
Ibid , hlm 154
10
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya,2006)
11
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A, M.M., Keadilan Hukum Waris Islam dalam pendekatan teks
dan konteks, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013)
11
Dari uraian diatas disebut istilah “akta”, tetapi ini tidak berarti tulisan, melainkan
perbuatan hukum, yang mana seluruh penulis ahli hukum Belanda sependapat mengenai hal
ini.
Lain pula bilamana di antara para ahli waris ada yang belum dewasa atau berada
dibawah pengawasan yang tidak hadir atau tidak mau ikut serta dalam pembagian harta
warisan. Yang mana dalam hal ini, menurut Pasal 1071 Ayat 2 BW mesti menuruti cara yang
ditetapkan dalam pasal 1072, dan seterusnya, yaitu sebegai berikut:
a. Pembagian harta waris mesti dilaksanakan dengan dihadiri oleh Balai Peninggalan
Harta (pasal 1072 BW)
b. Pembagian harta waris mesti dilaksanakan didepan seorang notaris yang ditunjuk oleh
para ahli waris, atau bilamana mereka berselisih pendapat dalam hal memilih ini,
maka notaris itu akan dipilih oleh pengadilan negri.
c. Harus ada perincian atau inventarisasi benda-benda dari harta warisan. Bilamana
sejak meninggalnya orang yang meninggalkan harta warisan keadaan benda-benda
telah berubah, maka mesti dinyatakan keadaan pada saat meninggalnya itu dan
perubahan yang kemudian terjadi.
Kebenaran dari keterangan mengenai keadaan benda-benda warisan itu mesti
dikuatkan dengan sumpah dimuka notaris oleh ahli waris yang memegang harta benda
itu.
d. Benda-benda warisan mesti ditaksir harganya, ini sesuai dengan pasal 1077 BW efek-
efek dan saham-saham mesti ditaksir menurut catatan resmi, sedangkan harga dari
barang tak bergerak harus ditaksir oleh tiga orang penaksir.
2. Sistem Perhitungan
Pasal 1093 BW tentang benda-benda tak bergerak dan pasal 1095 tentang benda-benda
bergerak, seolah-olah ada perbedaan dalam peraturannya mengenai kedua macam benda tadi,
seakan-akan peraturan dalam ayat 2 dan 3 dari pasal 1093 hanya berlaku bagi benda tak
bergerak. Tapi rasio untuk ayat 2 dan 3 itu juga berlaku bagi benda-benda bergerak.
Jadi sehubungan dengan hal tersebut, kita mesti menganggap , bahwa peraturan untuk
kedua jenis benda-benda tadiadalah sama, perhitungan benda-benda itu yang dihibahkan
kepada ahli waris sebelumnya meninggalkannya orang yang meninggalkan harta warisan. 12
12
Ibid, hlm186.
12
3. Sistem Membagi-Bagi
Bilamana perhitungan (inbreng) telah sesesai dan hal pembayaran utang-utang dari si
peninggal warisan, maka oleh pasal 1097 BW dijelaskan bahwa, sisa dari harta wasisan mesti
dibagi-bagi antara para ahli waris dengan pesetujuan semua ahli waris.
Ayat 2 dari pasal tersebut, menetapkan dua sistem membagi-bagi yaitu:
Ke1 masing-masih ahli waris menerima benda tertentu yang harga nilainya tepat sama
dengan bagiannya seperti separo, sepertiga atau seperlima dan sebagainya dari harta nilai
semua harta warisan.
Ke2 diantara para ahli waris yang menerima barang-barang yang harga nilainya lebih dari
bagiannya itu dan ada yang kurang. Yang dalam hal ini ahli waris yang memperoleh lebih dari
itu, diharuskan memberi sejumlah uang tunai kepada yang mendapat kurang dari bagiannya.
Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku
bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang memiliki perbedaan walaupun ada juga
persamaannya. Demikian pula mengenai ketentuan tentang pewarisannya terdapat banyak
perbedaan, namun ada juga persamaannya. Hukum adat tidak dapat dipisahkan dari dalam
kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, karena setiap anggota masyarakat di
masing-masing daerah tersebut selalu patuh pada hukum adat, yang merupakan hukum tidak
tertulis, hukum tersebut telah mendarah daging dalam hati sanubari anggota masyarakat yang
dapat tercermin dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tersebut.
Negara Republik Indonesia sampai sekarang ini masih berlaku hukum waris yang
bersifat pluralistik, yaitu :
1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli.
2. Hukum Waris Islam, untuk warga negara Indonesia asli di berbagai daerah dari kalangan
tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama Islam.
3. Hukum Waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, yang
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ada beberapa sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Sistem Keturunan
Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan dalam tiga corak:
13
a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua,
atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di
dalam pewarisan.
2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris
mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing
waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati
ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain.
Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.
3. Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya
dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan
pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau
mendapat hasi dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan
kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh
semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat. Sistem
kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga di tanah Batak atau
di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.
4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi
itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut,
yaitu:
a. Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, terutama yang
beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura
Papua.
14
D. Pola Relasi Antara Sistem Adat, Religi (Mitos dan Ritual ) Dari Kepercayaan
Hubungan antara manusia dengan kebudayaan dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut
sebagai berikut:
1. penganut kebudayaan,
2. pembawa kebudayaan,
4. pencipta kebudayaan.
Hubungan antara manusia dan kebudayaan secara sederhana adalah manusia sebagai perilaku
kebudayaan dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia dari sisi lain
hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan
antara manusia dan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis. Proses dialektis tercipta melalui
tiga tahap :
Agar hawa nafsu seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila
potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka
13
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/18/sistem-pewarisan-masyarakat-adat-di-indonesia/, di
akses pada tanggal 1 mei 2018 pukul 12.00 WIB.
15
prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh
potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri,
minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi)itu terkendalikan (dalam
arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus
dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai
agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan
dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu
mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran
agama.
Masyarakat artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama.
Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam bentuk hukum-hukum alam,
tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia. Dengan kata lain tidak akan
dapat diganggu gugat, sehingga dikatakan juga tidak akan layu dianjak tidak akan mati
diinjak. Suku bangsa yang memilikiadat istiadat tertentu, bahkan tidak boleh mengklaim adat
istiadatnya lebih majuapalagi merasa lebih benar dari adat istiadat yang lain. Adat istiadat
dari manusia dalam masyarakat di daerah tertentu yang menginginkan tata tertib dan tingkah
Kajian antropologi melihat hukum hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan,yaitu
aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur prilaku
14
Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, ( Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008 )
16
manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang
Dengan demikian prilaku yang kemudian menjadi kebiasaan pribadi atau sekelompok
manusia,yang selanjutnya menjadi adat masyarakat dan merupakan sistem kontrol sosial itu
lembaga adat yang biasa disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim
dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan pemuka agama.
Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja,
tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke
budaya dan agama yang mempengaruhinya,maka prilaku budaya manusia itu berbeda-beda
antara satu dan yang lain.Atas dasar itu juga sistem peradilan adat dalam satu masyarakat
Sebagai contoh pada Masyarakat suku bangsa Rejang dan masyarakat suku bangsa
Melayu di Propinsi Bengkulu sejak lama telah melaksanakan proses penyelesaian sengketa
15
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,(Bandung: PT Alumni,1986),hlm 8
16
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,(Bandung: PT Alumni,1986),hlm 7
17
dengan prinsip musyawarah. Musyawarah adat yang didasarkan mufakat terbukti telah
berhasil menyelesaikan konflik dimasyarakat dengan cepat dan biaya murah serta lebih
memenuhi rasa keadilan baik bagi pelaku dan korban serta keluarganya dan secara efektif
untuk mencapai mufakat menjadi semangat proses peradilan sejak awal hingga penjatuhan
putusan. Para pihak dihargai dan didengar dengan sungguh-sungguh, sehingga memberikan
Selain itu ada juga Masyarakat suku Baduy yang mengisolasi diri dari kehidupan luar
dan berpegang teguh pada pikukuh atau ajaran adat setempat.Apabila terjadi sengketa dalam
Jika penyelesaian di keluarga mengalami kebuntuan, maka Jaro Tangtu (kepala kampung)
dengan tokoh adat lainnya melakukan penyelidikan ke lapangan, kalau masalahnya ringan,
maka cukup diselesaikan oleh Jaro Tangtu, namun jika tidak selesai maka diserahkan pada
dikedepankan, “pengadilan” adat hanya berlaku ketika pendekatan keluarga tidak dapat
pembunuhan yang harus langsung dihadapkan di muka “persidangan” adat dan dikeluarkan
beserta keluarganya dari Baduy Dalam selama tujuh turunan dan tidak diikutsertakan dalam
acara-acara adat.18
Dengan adanya latar budaya yang beragam di Indonesia,maka sistem peradilan dan
penegakan hukum adat merupakan tema yang menarik jika dikaji secara antropologi
17
Herlambang,Membangun Azas-Azas Peradilan Adat (Studi pada Masyarakat Rejang dan Masyarakat Melayu
Bengkulu),Jurnal Ilmu Hukum Kanun No.56,Universitas Syiah Kuala,2012,hlm 115
18
Ferry Fathurokhman, Hukum pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaruan Hukum Pidana, Tesis
Master, Universitas Diponegoro, 2010,hlm 93
18
masyarakat adat dengan latar belakang budayanya terhadap penegakan hukum yang berlaku
BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
Sistem kekerabatan adalah cara yang digunakan atau aturan yang digunakan untuk
mengatur penggolongan orang-orang yang termasuk ke dalam kerabat. Sistem perkawinan dan
keluarga merupakan pranata dalam masyarakat. Pranata tersebut berfungsi mengorganisasi dan
menjalankan kegiatan kegiatan penting, seperti reproduksi, pelaksaan ajaran agama, dan lain
lain. Pranata perkawinan memberikan hak yang sah untuk melakukan hubungan sexual,
pengasuhan anak, pengorganisasian kerja dalam rumah tangga sesuai jenis kelamin dan
masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya
seorang manusia. Hubungan antara manusia dengan kebudayaan dapat dilihat dari kedudukan
1. penganut kebudayaan,
2. pembawa kebudayaan,
4. pencipta kebudayaan.
Kajian antropologi melihat hukum hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan,yaitu
aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur prilaku
manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi
Dalam kenyataannya terkadang masyarakat adat dihadapi oleh sengketa-sengketa yang dapat
menyelesaikannya dengan musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat yang biasa
disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah
B.Saran
Dalam sistem adat dan budaya di kehidupan manusia terdapat aturan-aturan yang
mengisi hal tersebut. Mulai dari sistem kekerabatan , waris , dan penegakkan serta pelaksanaan
hukum adat. Dalam penerapannya ini di harapkan masyarakat yang masih memegang teguh
adat dan tradisinya, dapat merawat dan menjaga tradisi yang telah dilakuakn secara turun
DAFTAR PUSTAKA
Mansur,Yahya M. 1998. Sistem kekerabatan dan pola pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika
Kita
T.O Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Herlambang. 2012. Membangun Azas-Azas Peradilan Adat (Studi pada Masyarakat Rejang
Kuala,2012
Suma,Amin Muhammad.2013. Keadilan Hukum Waris Islam dalam pendekatan teks dan