Anda di halaman 1dari 22

1

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dari optik ilmu hukum, antropologi hukum pada dasarnya adalah sub disiplin ilmu hukum
empiris yang memusatkan perhatiannya pada studi-studi hukum dengan menggunakan
pendekatan antropologis. Kendati demikian, dari sudut pandang antropologi, sub disiplin
antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada fenomena empiris kehidupan hukum
dalam masyarakat secara luas dikenal sebagai antropologi hukum. Antropologi hukum pada
dasarnya mempelajari hubungan timbal-balik antara hukum dengan fenomena-fenomena sosial
secara empiris dalam kehidupan masyarakat; bagaimana hukum berfungsi dalam kehidupan
masyarakat, atau bagaimana hukum bekerja sebagai alat pengendalian sosial (social control)
atau sarana untuk menjaga keteraturan sosial (social order) dalam masyarakat. Dengan kata
lain, studi-studi antropologis mengenai hukum memberi perhatian pada segi-segi kebudayaan
manusia yang berkaitan dengan fenomena hukum dalam fungsinya sebagai sarana menjaga
keteraturan sosial atau alat pengendalian sosial.

Pada tingkat pertama dalam proses perkembangan masyarakat dan kebudayaannya,


manusia mula-mula hidup mirip sekawan hewan berkelompok, pria dan wanita hidup bebas
tanpa ikatan. Kelompok keluarga inti sebagai inti masyarakat karena itu juga belum ada.
Lama-lama manusia sadar akan hubungan antara seorang ibu dan anak-anaknya, yang
menjadi satu kelompok keluarga inti karena anak-anak hanya mengenal ibunya, tetapi tidak
mengenal ayahnya. Dalam kelompok seperti ini ibulah yang menjadi kepala keluarga.
Perkawinan antara ibu dan anak yang berjenis pria di hindari, sehingga timbullah adat
eksogami. Kelompok ibu, dengan ini telah mencapai tingkat dalam proses perkembangan
kebudayaan manusia. Sistem kekeluargaan merupakan salah satu segi dari kebudayaan
bermacam-macam pengelompokan. Manusia sejak dilahirkan telah langsung termasuk dari
bagian satu jenis kelompok yang terdapat di mana- mana atau yang universal sifatnya yaitu
keluarga.

Dalam kehidupan manusia di dunia ini yang berlainan jenis kelaminnya secara
alamiah mempunyai daya tarik-menarik antara satu dengan yang lainnya untuk dapat hidup
bersamanya atau untuk membentuk suatu ikatan lahir dan batin dengan tujuan menciptakan
2

suatu keluarga atau rumah tangga yang rukun, bahagia, sejahtera, dan abadi. Melalui
perkawinan manusia dapat memenuhi kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya secara lebih
baik serta dapat mengembangkan kebudayaan untuk meningkatkan kenyamanan hidupnya.

Setelah itu, kita juga mengenal adanya kewarisan di dalam setiap budaya dalam suatu
daerah. Ini biasa dikenal dengan hukum waris adat. Hukum waris adat adalah Hukum yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta
warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasa dan
pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat sesungguhnya adalah Hukum
penerusan serta mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya.
Selanjutnya, hukum kewarisan juga merupakan bagian dari hukum keluarga yang memegang
peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan sistem dan bentuk hukum
yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat
kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Penyelesaian hak-hak dan kewajiban
seseorang tersebut diatur oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan sebagai himpunan
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal
dunia oleh ahli waris atau bahan hukum lainnya.

Dalam budaya dikenal pula sistem adat , religi , dari kepercayaan tiap-tiap suatu daerah.
Koentjaraningrat, sebagai salah seorang tokoh antropologi terkemuka di Indonesia,
mengatakan bahawa religi adalah sebagai bagian dari kebudayaan. Sistem religi mempunyai
wujud sebagai sistem keyakinan, dan gagasan tentang Tuhan, dewa, roh halus, neraka, surga,
dan sebagainya, tetapi mempunyai juga wujud berupa upacara, baik yang bersifat musiman
maupun yang kadangkala, dan selain itu setiap sistem religi juga mempunyai wujud sebagai
benda-benda suci dan benda-benda religius. Oleh karena itu , dapat disimpulkan bahwa
kebudayaan memiliki kaitan yang sangat erat dengan religi ( ritual ) pula, dan setiap daerah
pasti memiliki hal tersebut yang berbeda-beda.

Kemudian di sisi lain, keberadaan dan praktek peradilan adat di Indonesia sudah
berlangsung dalam waktu yang lama.Mungkin seusia dan sejalan dengan sejarah dan
perkembangan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah
nusantara ini. Prof Hilman Hadi kusuma memastikan, bahwa jauh sebelum agama Islam
masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan tertib
peradilannya. Meskipun istilah yang digunakan pada waktu itu bukan pengadilan atau
peradilan, hakikatnya tetap pada misi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Tujuan
3

dari penyelesaian mesalah tersebut diutamakan untuk pencapaian cita-cita dan tujuan dari
masyarakat tersebut, yaitu ketentraman dan kedamaian melalui penciptaan harmoni dengan
sesama, dengan alam dan dengan sang pencipta. Dengan demikian tujuan dari proses
penyelesaian sengketa tidak saja ditujukan untuk menegakkan keadilan, tetapi jauh lebih dari
itu. Penggunaan istilah ini tidak berarti, bahwa proses yang dipraktekkan itu sama sekali tidak
memperhatikan aspek keadilan seperti yang dipersepsikan oleh hukum modern. Meskipun
demikian kewenangan dari hakim peradilan adat tidak semata-mata terbatas pada perdamaian
saja, tetapi juga kekuasaan memutus semua silang sengketa dalam semua bidang hukum yang
tida terbagai kedalam pengertian pidana, perdata, publik, dan lain-lain. Dalam statusnya yang
demikian peradilan adat selalu didasarkan pada asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan
untuk hasil dan proses penyelesaian yang bisa diterima semua pihak.

1.2.Rumusan Masalah

1.Apa yang dimaksud dengan sistem kekerabatan dan bagaimana sistem kekerabatan
dalam Anthropologi Hukum ?

2.Bagaimana sistem daur ulang kehidupan dan perkawinan dalam anthropologi


hukum ?

3.Apa yang dimaksud dengan sistem kewarisan dalam anthropologi hukum ?

4.Apa yang dimaksud dengan sistem adat , religi ( mitos dan ritual ) dari kepercayaan
?

5.Bagaimana sistem peradilan dan penegakkan hukum adat dalam anthropologi


hukum ?

1.3.Tujuan Masalah

1.Untuk mengetahui pengertian sistem kekerabatan dalam anthropologi hukum

2. Untuk mengetahui daur ulang kehidupan dan perkawinan dalam anthropologi


hukum

3. Untuk mengetahui sistem kewarisan dalam anthropologi hukum


4

4.Untuk mengetahui sistem adat, religi ( mitos dan ritual ) dari kepercayaan dalam
anthropologi hukum

5.Untuk mengetahui sistem peradilan dan penegakkan hukum adat dalam


anthropologi hukum
5

BAB II

Pembahasan

A.Sistem Kekerabatan

1.Pengertian Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial.
Kekerabatan merupakan unit-unit sosial yang terdiri atas beberapa keluarga yang mempunyai
hubungan darah secara vertikal maupun horisontal atau akibat dari perkawinan.1 Anggota dari
sistem kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek,
nenek, dan seterusnya.2 Kekerabatan juga dapat diartikan sebagai hubungan seseorang atau
entitas yang sama secara silsilah, keturunan, maupun adat yang sama. Kekerabatan adalah suatu
unit terkecil dari masyarakat yang berasal dari dua keluarga, yakni keluarga inti dan keluarga
besar.

Sistem kekerabatan adalah cara yang digunakan atau aturan yang digunakan untuk
mengatur penggolongan orang-orang yang termasuk ke dalam kerabat. Aturan sistem
kekerabatan yang telah disepakati bersama menjadi sebuah identitas untuk mempermudah
penggolongan seseorang dalam garis kekerabatan. Sistem kekerabatan yang berupa aturan
kemudian terbentuk atas berbagai jenis sesuai dengan kesepakatan masing-masing daerahnya.
Sistem kekerabatan suatu masyarakat dapat digunakan untuk menggambarkan struktur sosial
masyarakat yang bersangkutan.

Jadi sistem kekerabatan merupakan kumpulan dari beberapa kekerabatan yang bertempat
disebuah wilayah tertentu dan membentuk sebuah aturan yang disepakati dan dijalankan
bersama.

1
M. Yahya Mansur, Sistem kekerabatan dan pola pewarisan, (Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1998), hlm 43
2
T.O. Ihromi, Pokok-Pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hlm 15
6

2.Macam-Macam Sistem Kekerabatan

a. Kekerabatan bilateral (bilineal)

Kekerabatan bilateral merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan

ayah dan ibu secara bersama-sama. Seorang anak otomatis menjadi anggota keluarga dari pihak

ayah maupun pihak ibu. Kelompok kekerabatan ini disebut kinred.3 Sistem kekerabatan

bilateral ini diterapkan oleh masyarakat Jawa dan Sunda. Dalam masyarakat Jawa ada tujuh

generasi secara vertikal keatas dan kebawah yang menjadi warga kinred. Jika tujuh generasi

diurutkan yakni: anak (ego)- ayah/ibu- kakek/nenek- buyut- canggah- wareng- udeg-udeng-

gantung siwur. Adapun secara horizontal dikenal dengan saudara kandung, seluruh saudara

ayah dan ibu, seluruh saudara kakek dan nenek, seluruh saudara sepupu dari pihak ayah dan

ibu, dan sebagainya.

b. Kekerabatan Patrilineal

Kekerabatan patrilineal merupakan sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan

dari ayah saja. Hak waris hanya diberikan kepada anggota-anggota kerabat laki-laki, terutama

anak laki-laki. Bagi masyarakat patrilineal, laki-laki mendapat penghargaan dan penghormatan

lebih tinggi dari kaum wanita.4 Sistem kekerabatan patrilineal diterapkan oleh masayarakat

Batak. Kekerabatan patrilinel lebih lazim disebut marga, sebuah kelompok kekerabatan yang

didasarkan kesamaan asal-usul nenek moyang jauh ke atas. Sistem kekerabatan patrilineal

menganut sisitem perkawinan eksogami, artinya jodoh harus berasal dari luar marganya

sendiri. Adat menetap setelah menikah disebut patrilokal, yakni istri menetap dilingkungan

suami.

3
Parsudi Suparlan, Orang Sakai di Riau, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm 93
4
Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya 1, (Jakarta: Setia Purna, 2009), hlm 43
7

c. Kekerabatan matrilineal

Kekerabatan marilineal merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturnan

ibu saja. Anak-anak menjadi hak ibu, termasuk dalam kekerabatan ibu. Setelah perkawinan

pengantin menetap dipusat kediaman kerabat istri. Sistem waris diturunkan kepada anggota

kerabat perempuan dan kedudukan sosial perempuan lebih tinggi dari pada kaum laki-laki.

Akan tetapi lelaki tetap berperan sebagai pengelola waktu, harta, usaha, dan adat keluarga.5

Sistem kekerabatan matrilineal di Indonesia dianut oleh masyarakat Minangkabau, Sumatra

Barat. Kekerabatan pada masyarakat Minang didasarkan pada garis keturunan ibu. Seorang

ayah berada diluar kerabat istri dan anak-anaknya, sehingga berbagai kepentingan dan urusan

keluarga menjadi tanggung jawab saudara laki-laki yang sudah dewasa (ninik mamak).

Keluarga luas disebut uxorilokal (keluarga senior ditambah keluarga dari anak-anaknya yang

perempuan). Adat menetap setelah menikah disebut matrilokal (suami menetap dilingkungan

keluarga istri). Kesatuan kerabat kecil disebut pariuk (saudara seperut), ini bersifat genealogis

menurut garis ibu. Kelompok yang agak besar disebut kampueng (satu kampung) dan yang

lebih besar lagi disebut suku. Sistem perkawinan pada kekerabatan matrilineal yakni sisitem

perkawinan eksogani (jodoh diambil dari luar sukunya). Tidak ada larangan berpoligami pada

masyarakat yang ekonominya kuat.6

3. Fungsi Sistem Kekerabatan

Adapun fungsi dari sistem kekerabatan antara lain:

1. Sistem kekerabatan memberikan kehangatan sebuah keluarga besar

5
Tedi Sutardi, Antropologi Mengungkap Keragaman..op.cit. hlm 44
6
Ibid, hlm 22
8

2. Sistem kekerabatan memberikan identitas keluarga besar seseorang yang akan

menentukan kedudukan dan gengsinya dalam masyarakat untuk menunjukkan

tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan identitasnya

3. Sistem kekerabatan menciptakan hak dan kewajiban diantara orang-orang terkait

lebih kuat untuk melaksanakannya

4. Sistem kekerabatan meciptakan sebuah kesatuan dan persatuan yang kuat

khususnya masyarakat yang memiliki sistem kekerabatan yang sama

5. Sistem kekerabatan menciptakan rasa toleransi yang tinggi dalam masyarakat

terutama antar sistem kekerabatan yang berbeda

6. Sistem kekerabatan memberikan patokan untuk memberikan warisan sesuai

dengan alur nenek moyang

7. Sistem kekerabatan di kota besar berfungsi dalam usaha saling tolong-menolong

dan kerja sama mengatasi berbagai masalah.7

B.Daur Ulang Kehidupan Dan Perkawinan

Sistem perkawinan dan keluarga merupakan pranata dalam masyarakat. Pranata


tersebut berfungsi mengorganisasi dan menjalankan kegiatan kegiatan penting, seperti
reproduksi, pelaksaan ajaran agama, dan lain lain. Pranata perkawinan memberikan hak yang
sah untuk melakukan hubungan sexual, pengasuhan anak, pengorganisasian kerja dalam rumah
tangga sesuai jenis kelamin dan pengalihan hak hak, seperti waris. Secara universal, pranata
perkawinan dan keluarga dijumpai dalam masyarakat manusia. Walaupun begitu, sifat dan
karakteristiknya berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Dalam
masyarakat industri modern, perkawinan dan kekeluargaan berperan sekunder dibandingkan
dengan sistem ekonomi dan kebijakan dalam mengorganisasi dan mengintegrasikan
masyarakat, banyak hubungan sosial dalam masyarakat industri terletak diluar kerangka
kehidupan keluarga. Pada masyarakat praindustri, secara khusus dalam masyarakat primitif,
keluarga mempunyai arti menonjol sebagai cara mengorganisasi banyak lingkungan kegiatan

7
Triyanto, DKK, Sosiologi.. po.cit., hlm 23
9

sosial. Dalam masyarakat primitif, kegiatan kegiatan yang pada dasarnya bersifat ekonomi,
politik, agama dan lain lain dilakukan dalam konteks kelompok kelompok kekerabatan.8

Ada tiga bentuk perkawinan mendasar yang dijumpai masyarakat didunia yaitu:
1. Monogami
2. Poligini
3. Poliandri

1. Perkawinan monogami , adalah perkawinan satu pria dengan satu perempuan.


Monogami merupakan bentuk perkawinan yang umum ditemukan pada masyarakat
industri. Terdapat perbedaan prinsipil dalam kaitannya dengan asas monogami dalam
perkawinan, bahwa sebagaimana diketahui diindonesia khususnya, hukum perdata
dilahirkan didunia barat yang sebagian besar penduduknya menganut agama kristen.
Dalam halam perkawinan, agama kristen berpegang prinsip bahwa seorang laki laki
hanya dapat kawin dengan seorang perempuan dan seorang perempuan hanya boleh
menikah dengan seorang laki laki.
2. Perkawinan Poligini , Terdapat dua jenis poligini yang utama yaitu poligini
pergundikan dan poligini pndok. Poligini pergundikan terjadi didalam masyarakat
agraris dan masyarakat hortikultural yang intensif. Pada umumnya, penguasa politik
pada masyarakat agraris dan hortikkultural mempunyai jumlah istri banyak. Poligini
yang lebih umum adalah poligami pondok, yaitu seorang pria mempunyai tidak lebih
dari tiga atau empat istri. Istri istri itu mempunya rumah sendiri sendiri, dan suami tidur
bergiliran dengan mereka semua. Dalam sistem poligini pondok, para istri memiliki
status dan sebutan, seperti istri tua dan istri muda. Poligini paling umum ditemukan
dimasyarakat hortikultura. Sementara itu, secara luas poligini dijumpai dalam
masyarakat pemburu dan peramu, dan masyarakat agraris. Khusus, dalam masyarakat
agraris, pada umumnya poligini terbatas pada kaum elite dan masyarakat biasanya
mayoritas bermonogami
3. Perkawinan Poliandri , adalah perkawinan seorang perempuan dengan dua atau lebih
pria. Bentuk ini termasuk jarang. Hanya kira kira 0.5 % dari seluruh masyarakat
melakukannya. Apabila seorang istri bersuami lebih dari satu orang, pandangan
masyarakat modern tidak lebih dari seorang pelacur yang tidak taat pada ajaran agama

8
Drs. Beni Ahmad Saebani, Antropologi Hukum, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012. Hlm. 150
10

dan nilai nilai peradaban manusia. Apabila terjadi poliandri, hal itu bersifat fraternal,
yaitu seorang wanita mengawini sekelompok pria yang bersaudara. Masyarakay yang
melakukan poliandri biasanya melakukan poligini. Karena poliandri jarang terjadi,
kondisi kondisi untuk terjadinya poliandri sangat khusus. Biasanya poliandri
disosiasilkan dengan situasi hipergini. yaitu secara sistematis mengawini beberapa pria
yang mempunyai kedudukan sosial lebih tinggi. Poliandri terjadi pada masyarakat yang
sangat kekurangan wanita. Dalam situasi demikikan, poliandri merupakan pilihan satu
satunya. Pakar antropolog memandang bahwa jarangnya poliandri dibandingkan
dengan poligini mengidentifikasika faktor faktor sosio biologi memegang tindakan
demikian. Pengaruh norma sosial, nilai niali ajaran agama, peraturan perundang
undangan sangat kuat menghilangkan poliandri.9

C. Sistem Kewarisan Dalam Anthropologi Hukum

Waris adalah suatu cara penyeleseian perhubungan perhubungan hukum dalam


masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya
seorang manusia.10 Selanjutnya menurut islam waris (ilmu faraid) adalah ilmu yang membahas
tentang peralihan hak milik terhadap harta kekayaan dalam hal ini penentuan-penentuan siapa
saja yang berhak menjadi ahli waris, berapa bahian masing-masing ahli waris, kapan harta
peninggalan (tirkah) itu bisa dibagi dan bagaimana cara pembagian atau membagi baginya. 11

1. Sistem Pembagian harta Waris

Hukum islam dan hukum adat tidak menetapkan sistem atau cara tertentu dalam hal
pembagian harta waris, yang mana dari itu bisa dilaksanakan secara bagaimana juga, dengan
tulisan atau dengan lisan. Balamana dengan tulisan bisa dengan akta notaris atau dengan akta
dibawah tangan, asal terang dan nyata saja.

Oleh Burgerlijk Wetboek pun tidak menetapkan laian cara tertentu, apabila para ahli
waris seluruhnya menurut hukum mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum yang sah
dan bila mana mereka seluruhnya hadir sesuai pasal 1069 BW.

9
Ibid , hlm 154
10
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya,2006)
11
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A, M.M., Keadilan Hukum Waris Islam dalam pendekatan teks
dan konteks, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2013)
11

Dari uraian diatas disebut istilah “akta”, tetapi ini tidak berarti tulisan, melainkan
perbuatan hukum, yang mana seluruh penulis ahli hukum Belanda sependapat mengenai hal
ini.

Lain pula bilamana di antara para ahli waris ada yang belum dewasa atau berada
dibawah pengawasan yang tidak hadir atau tidak mau ikut serta dalam pembagian harta
warisan. Yang mana dalam hal ini, menurut Pasal 1071 Ayat 2 BW mesti menuruti cara yang
ditetapkan dalam pasal 1072, dan seterusnya, yaitu sebegai berikut:

a. Pembagian harta waris mesti dilaksanakan dengan dihadiri oleh Balai Peninggalan
Harta (pasal 1072 BW)
b. Pembagian harta waris mesti dilaksanakan didepan seorang notaris yang ditunjuk oleh
para ahli waris, atau bilamana mereka berselisih pendapat dalam hal memilih ini,
maka notaris itu akan dipilih oleh pengadilan negri.
c. Harus ada perincian atau inventarisasi benda-benda dari harta warisan. Bilamana
sejak meninggalnya orang yang meninggalkan harta warisan keadaan benda-benda
telah berubah, maka mesti dinyatakan keadaan pada saat meninggalnya itu dan
perubahan yang kemudian terjadi.
Kebenaran dari keterangan mengenai keadaan benda-benda warisan itu mesti
dikuatkan dengan sumpah dimuka notaris oleh ahli waris yang memegang harta benda
itu.
d. Benda-benda warisan mesti ditaksir harganya, ini sesuai dengan pasal 1077 BW efek-
efek dan saham-saham mesti ditaksir menurut catatan resmi, sedangkan harga dari
barang tak bergerak harus ditaksir oleh tiga orang penaksir.

2. Sistem Perhitungan

Ini diatur dalam Pasal-Pasal 1092 s.d. 1095 BW.

Pasal 1093 BW tentang benda-benda tak bergerak dan pasal 1095 tentang benda-benda
bergerak, seolah-olah ada perbedaan dalam peraturannya mengenai kedua macam benda tadi,
seakan-akan peraturan dalam ayat 2 dan 3 dari pasal 1093 hanya berlaku bagi benda tak
bergerak. Tapi rasio untuk ayat 2 dan 3 itu juga berlaku bagi benda-benda bergerak.

Jadi sehubungan dengan hal tersebut, kita mesti menganggap , bahwa peraturan untuk
kedua jenis benda-benda tadiadalah sama, perhitungan benda-benda itu yang dihibahkan
kepada ahli waris sebelumnya meninggalkannya orang yang meninggalkan harta warisan. 12

12
Ibid, hlm186.
12

3. Sistem Membagi-Bagi

Bilamana perhitungan (inbreng) telah sesesai dan hal pembayaran utang-utang dari si
peninggal warisan, maka oleh pasal 1097 BW dijelaskan bahwa, sisa dari harta wasisan mesti
dibagi-bagi antara para ahli waris dengan pesetujuan semua ahli waris.
Ayat 2 dari pasal tersebut, menetapkan dua sistem membagi-bagi yaitu:
Ke1 masing-masih ahli waris menerima benda tertentu yang harga nilainya tepat sama
dengan bagiannya seperti separo, sepertiga atau seperlima dan sebagainya dari harta nilai
semua harta warisan.
Ke2 diantara para ahli waris yang menerima barang-barang yang harga nilainya lebih dari
bagiannya itu dan ada yang kurang. Yang dalam hal ini ahli waris yang memperoleh lebih dari
itu, diharuskan memberi sejumlah uang tunai kepada yang mendapat kurang dari bagiannya.

4. Sistem Pewarisan Masyarakat Adat di Indonesia

Negara Republik Indonesia terdiri dari beribu–ribu kepulauan yang mempunyai berbagai suku
bangsa, bahasa, agama dan adat istiadat yang memiliki perbedaan walaupun ada juga
persamaannya. Demikian pula mengenai ketentuan tentang pewarisannya terdapat banyak
perbedaan, namun ada juga persamaannya. Hukum adat tidak dapat dipisahkan dari dalam
kehidupan masyarakat di berbagai daerah di Indonesia, karena setiap anggota masyarakat di
masing-masing daerah tersebut selalu patuh pada hukum adat, yang merupakan hukum tidak
tertulis, hukum tersebut telah mendarah daging dalam hati sanubari anggota masyarakat yang
dapat tercermin dalam kehidupan di lingkungan masyarakat tersebut.
Negara Republik Indonesia sampai sekarang ini masih berlaku hukum waris yang
bersifat pluralistik, yaitu :
1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli.
2. Hukum Waris Islam, untuk warga negara Indonesia asli di berbagai daerah dari kalangan
tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama Islam.
3. Hukum Waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan Cina, yang
berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Ada beberapa sistem pewarisan yang ada dalam masyarakat Indonesia, yaitu:
1. Sistem Keturunan
Secara teoritis sistem keturunan ini dapat dibedakan dalam tiga corak:
13

a. Sistem Patrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana
kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di dalam pewarisan.
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria didalam pewarisan.
c. Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis orang tua,
atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di
dalam pewarisan.
2. Sistem Pewarisan Individual
Sistem pewarisan individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris
mendapatkan pembagain untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut
bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu diadakan pembagian maka masing-masing
waris dapat menguasai dan memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati
ataupun dialihkan (dijual) kepada sesama waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain.
Sistem pewarisan individual ini banyak berlaku di kalangan masyarakat adat Jawa dan Batak.
3. Sistem Pewarisan Kolektif
Sistem pewarisan dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan pemilikannya
dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-bagi penguasaan dan
pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan menggunakan atau
mendapat hasi dari harta peninggalan itu. Bagaimana cara pemakaian untuk kepentingan dan
kebutuhan masing-masing waris diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh
semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di bawah bimbingan kerabat. Sistem
kolektif ini terdapat misalnya di daerah Minangkabau, kadang-kadang juga di tanah Batak atau
di Minahasa dalam sifatnya yang terbatas.
4. Sistem Pewarisan Mayorat
Sistem pewarisan mayorat sesungguhnya adalah juga merupakan sistem pewarisan
kolektif, hanya penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas harta yang tidak terbagi-bagi
itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala
keluarga menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga.
Sistem mayorat ini ada 2 (dua) macam dikarenakan perbedaan sistem keturunan yang dianut,
yaitu:
a. Mayorat laki-laki, seperti berlaku di lingkungan masyarakat Lampung, terutama yang
beradat pepadun, atau juga berlaku sebagaimana di Teluk Yos Soedarso Kabupaten Jayapura
Papua.
14

b. Mayorat perempuan, seperti berlaku di lingkungan masyarakat ada semendo di Sumater


Selatan.13

D. Pola Relasi Antara Sistem Adat, Religi (Mitos dan Ritual ) Dari Kepercayaan

1.Hubungan antara Manusia dan Kebudayaan

Hubungan antara manusia dengan kebudayaan dapat dilihat dari kedudukan manusia tersebut

terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap kebudayaan yaitu

sebagai berikut:

1. penganut kebudayaan,

2. pembawa kebudayaan,

3. manipulator kebudayaan, dan

4. pencipta kebudayaan.

Hubungan antara manusia dan kebudayaan secara sederhana adalah manusia sebagai perilaku

kebudayaan dan kebudayaan merupakan obyek yang dilaksanakan manusia dari sisi lain

hubungan antara manusia dan kebudayaan ini dapat dipandang setara dengan hubungan

antara manusia dan masyarakat dinyatakan sebagai dialektis. Proses dialektis tercipta melalui

tiga tahap :

1. Eksternalisasi : Proses dimana manusia mengekspresikan dirinya

2. Obyektivitas : Proses dimana masyarakat menjadi realitas obyektif

3. Internalisasi : Proses dimana masyarakat kembali dipelajari manusia.

2.Hubungan antara Manusia dan Religi (Agama)

Agar hawa nafsu seperti naluri makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman. Apabila

potentsi takwa seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka

13
https://adityoariwibowo.wordpress.com/2013/03/18/sistem-pewarisan-masyarakat-adat-di-indonesia/, di
akses pada tanggal 1 mei 2018 pukul 12.00 WIB.
15

prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh

potensi fujurnya yang bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri,

minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi)itu terkendalikan (dalam

arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi takwa itu harus

dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai

agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang maka dia akan mampu mengembangkan

dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu

mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran

agama.

3.Hubungan antara Manusia dan Adat Istiadat

Masyarakat artinya adalah sebagai satu kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut

sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu dan terikat oleh rasa identitas bersama.

Keberadaan adat yang sebenar adat atau adat yang asli dalam bentuk hukum-hukum alam,

tidak dapat diubah oleh akal pikiran dan hawa nafsu manusia. Dengan kata lain tidak akan

dapat diganggu gugat, sehingga dikatakan juga tidak akan layu dianjak tidak akan mati

diinjak. Suku bangsa yang memilikiadat istiadat tertentu, bahkan tidak boleh mengklaim adat

istiadatnya lebih majuapalagi merasa lebih benar dari adat istiadat yang lain. Adat istiadat

jugabertujuan mengatur kehidupan manusia di masyarakat. Timbulnya adat istiadat berasal

dari manusia dalam masyarakat di daerah tertentu yang menginginkan tata tertib dan tingkah

laku yang baik di dalam masyarakat tersebut.14

E.Sistem Peradilan Dan Penegakkan Hukum Adat

Kajian antropologi melihat hukum hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan,yaitu

aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur prilaku

14
Abdul Kadir Muhammad, Ilmu Sosial Budaya Dasar, ( Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2008 )
16

manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang

terjadi dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.

Dengan demikian prilaku yang kemudian menjadi kebiasaan pribadi atau sekelompok

manusia,yang selanjutnya menjadi adat masyarakat dan merupakan sistem kontrol sosial itu

akan mempunyai kekuatan hukum,apabila ia digunakan oleh kekuatan masyarkat guna

mengatur prilaku manusia dan masyarakat bersangkutan,supaya kehidupan mereka

teratur.Sepanjang masyarakat itu teratur,karena ada yang mengatur dan mempunyai

kekuasaan,maka pada masyarakat itu terdapat hukum.15

Dalam kenyataannya terkadang masyarakat adat dihadapi oleh sengketa-sengketa

yang dapat mennganggu keseimbangan tatanan masyarakat.Untuk mengatasi hal tersebut

Masyarakat adat menyelesaikannya dengan musyawarah dan mufakat melalui lembaga-

lembaga adat yang biasa disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim

dalam lembaga tersebut adalah tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan pemuka agama.

Kewenangan dari hakim peradilan adat ini tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja,

tetapi juga kekuasaan memutus sengketa dalam semua bidang hukum yang tidak terbagi ke

dalam pengertian pidana, perdata dan publik.16

Dikarenakan adanya perbedaan tempat dan lingkungan,perbedaan sejarah dan asal-

usulnya,perbedaan semangat dan jiwanya,perbedaan akal dan cara berpikirnya,perbedaan

budaya dan agama yang mempengaruhinya,maka prilaku budaya manusia itu berbeda-beda

antara satu dan yang lain.Atas dasar itu juga sistem peradilan adat dalam satu masyarakat

adat dengan masyarakat adat lainnya berbeda-beda

Sebagai contoh pada Masyarakat suku bangsa Rejang dan masyarakat suku bangsa

Melayu di Propinsi Bengkulu sejak lama telah melaksanakan proses penyelesaian sengketa

15
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,(Bandung: PT Alumni,1986),hlm 8
16
Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia,(Bandung: PT Alumni,1986),hlm 7
17

dengan prinsip musyawarah. Musyawarah adat yang didasarkan mufakat terbukti telah

berhasil menyelesaikan konflik dimasyarakat dengan cepat dan biaya murah serta lebih

memenuhi rasa keadilan baik bagi pelaku dan korban serta keluarganya dan secara efektif

menjadi sarana rekonsiliasi dan pemulihan keseimbangan dalam masyarakat. Musyawarah

untuk mencapai mufakat menjadi semangat proses peradilan sejak awal hingga penjatuhan

putusan. Para pihak dihargai dan didengar dengan sungguh-sungguh, sehingga memberikan

rasa aman dan nyaman bagi para pihak.17

Selain itu ada juga Masyarakat suku Baduy yang mengisolasi diri dari kehidupan luar

dan berpegang teguh pada pikukuh atau ajaran adat setempat.Apabila terjadi sengketa dalam

masyarakat suku Baduy,penyelesaiannya selalu diusahakan untuk diselesaikan di keluarga.

Jika penyelesaian di keluarga mengalami kebuntuan, maka Jaro Tangtu (kepala kampung)

dengan tokoh adat lainnya melakukan penyelidikan ke lapangan, kalau masalahnya ringan,

maka cukup diselesaikan oleh Jaro Tangtu, namun jika tidak selesai maka diserahkan pada

sistem peradilan adat.

Dalam penyelesaian sengketa, asas kekeluargaan dan musyawarah selalu

dikedepankan, “pengadilan” adat hanya berlaku ketika pendekatan keluarga tidak dapat

menyelesaikan masalah. Kecuali dalam pelanggaran-pelanggaran tertentu seperti

pembunuhan yang harus langsung dihadapkan di muka “persidangan” adat dan dikeluarkan

beserta keluarganya dari Baduy Dalam selama tujuh turunan dan tidak diikutsertakan dalam

acara-acara adat.18

Dengan adanya latar budaya yang beragam di Indonesia,maka sistem peradilan dan

penegakan hukum adat merupakan tema yang menarik jika dikaji secara antropologi

hukum.Lewat pendekatan antropologi hukum, dapat diketahui bagaimana pola prilaku

17
Herlambang,Membangun Azas-Azas Peradilan Adat (Studi pada Masyarakat Rejang dan Masyarakat Melayu
Bengkulu),Jurnal Ilmu Hukum Kanun No.56,Universitas Syiah Kuala,2012,hlm 115
18
Ferry Fathurokhman, Hukum pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaruan Hukum Pidana, Tesis
Master, Universitas Diponegoro, 2010,hlm 93
18

masyarakat adat dengan latar belakang budayanya terhadap penegakan hukum yang berlaku

dalam suatu masyarakat tesebut.


19

BAB III

Penutup

A.Kesimpulan

Sistem kekerabatan adalah cara yang digunakan atau aturan yang digunakan untuk

mengatur penggolongan orang-orang yang termasuk ke dalam kerabat. Sistem perkawinan dan

keluarga merupakan pranata dalam masyarakat. Pranata tersebut berfungsi mengorganisasi dan

menjalankan kegiatan kegiatan penting, seperti reproduksi, pelaksaan ajaran agama, dan lain

lain. Pranata perkawinan memberikan hak yang sah untuk melakukan hubungan sexual,

pengasuhan anak, pengorganisasian kerja dalam rumah tangga sesuai jenis kelamin dan

pengalihan hak hak, seperti waris.

Waris adalah suatu cara penyeleseian perhubungan perhubungan hukum dalam

masyarakat, yang melahirkan sedikit banyaknya kesulitan sebagai akibat dari meninggalnya

seorang manusia. Hubungan antara manusia dengan kebudayaan dapat dilihat dari kedudukan

manusia tersebut terhadap kebudayaan. Manusia mempunyai empat kedudukan terhadap

kebudayaan yaitu sebagai berikut:

1. penganut kebudayaan,

2. pembawa kebudayaan,

3. manipulator kebudayaan, dan

4. pencipta kebudayaan.

Kajian antropologi melihat hukum hanya sebagai suatu aspek dari kebudayaan,yaitu

aspek yang digunakan oleh kekuasaan masyarakat yang teratur dalam mengatur prilaku

manusia dan masyarakat agar tidak terjadi penyimpangan dan agar penyimpangan yang terjadi

dari norma-norma sosial yang telah ditentukan dapat diperbaiki.


20

Dalam kenyataannya terkadang masyarakat adat dihadapi oleh sengketa-sengketa yang dapat

mennganggu keseimbangan tatanan masyarakat.Untuk mengatasi hal tersebut Masyarakat adat

menyelesaikannya dengan musyawarah dan mufakat melalui lembaga-lembaga adat yang biasa

disebut peradilan adat. Biasanya yang bertindak sebagai hakim dalam lembaga tersebut adalah

tokoh-tokoh adat (kepala adat) dan pemuka agama.

B.Saran

Dalam sistem adat dan budaya di kehidupan manusia terdapat aturan-aturan yang

mengisi hal tersebut. Mulai dari sistem kekerabatan , waris , dan penegakkan serta pelaksanaan

hukum adat. Dalam penerapannya ini di harapkan masyarakat yang masih memegang teguh

adat dan tradisinya, dapat merawat dan menjaga tradisi yang telah dilakuakn secara turun

temurun sehingga tradisi tersebut tidak hilang.


21

DAFTAR PUSTAKA

Mansur,Yahya M. 1998. Sistem kekerabatan dan pola pewarisan. Jakarta: Pustaka Grafika

Kita

T.O Ihromi. 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Suparlan,Parsudi. 1996. Orang Sakai di Riau, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Sutardi,Tedi.2009. Antropologi Mengungkap Keragaman Budaya 1. Jakarta: Setia Purna

Muhammad,AbdulKadir.2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Bandung : PT Citra Aditya Bakti

Hadikusuma,Hilman.1986. Antropologi Hukum Indonesia. Bandung: PT Alumni

Herlambang. 2012. Membangun Azas-Azas Peradilan Adat (Studi pada Masyarakat Rejang

dan Masyarakat Melayu Bengkulu),Jurnal Ilmu Hukum Kanun No.56,Universitas Syiah

Kuala,2012

Fathurrokhman,Ferry.2010. Hukum pidana Adat Baduy dan Relevansinya Dalam Pembaruan

Hukum Pidana, Tesis Master, Universitas Diponegoro, 2010

Saebani, Ahmad Beny.2012. Antropologi Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia

Oemarsalim. 2006. Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia. Jakarta: PT Asdi Mahasatya

Suma,Amin Muhammad.2013. Keadilan Hukum Waris Islam dalam pendekatan teks dan

konteks. Jakarta: Raja Grafindo Persada


22

Anda mungkin juga menyukai