Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tenggelam adalah bentuk asfiksia mekanik disebabkan oleh inhalasi


cairan ke udara bagian karena perendaman tubuh (hidung dan mulut) ke dalam air
atau cairan. WHO mendefinisikan sebagai suatu bentuk sufokasi yaitu terjadi
submersi (korban) tenggelam dalam air atau cairan yang terhisap ke jalan nafas
hingga paru (WHO,2019). Proses tenggelam diawali dengan gangguan pada jalan
napas korban akibat adanya immersion atau submersion, sehingga korban akan
menahan napas, panik dan berjuang untuk muncul ke premukaan. Hal tersebut
menyebabkan air hunger dan hipoksia sehingga korban akan mulai menelan air.
Akibatnya korban akan mengalami aspirasi dan laringospasme yang semakin lama
akan menyebabkan desaturasi oksigen yang cepat hingga korban mengalami
kehilangan kesadaran akibat hipoksia, Pada waktu yang bersamaan, sistem
kardiovaskuler merespon dengan menurunkan cardiac output dan oxygen delivery
ke organ lain. Selama 3-4 menit, myocardial mengalami hipoksia sehingga
menyebaban kegagalan sistem sirkulasi. Hipoksia juga menyebabkan asidosis
metabolic dan respiratorik sehingga terjadi kolaps kardiovaskuler, kerusakan
neuronal, dan kematian (Wijaya et al., 2019).

Sebagian besar kasus tenggelam merupakan tidak sengajaan atau


kecelakaan, baik kecelakaan secara langsung maupun tenggelam yang terjadi
oleh karena korban dalam keadaan mabuk, berada di bawah pengaruh obat atau
pada mereka yang terserang epilepsi (Armstrong et al., 2018). Pembunuhan
dengan cara menenggelamkan jarang terjadi, korban biasanya bayi atau anak-
anak, pada orang dewasa sangat jarang. Pada orang dewasa dapat terjadi
sengaja dengan menenggelam diri sendiri dan tanpa sengaja, yaitu korban
sebelumnya dianiaya, disangka sudah mati sehingga utuk menghilangkan jejak
korban dibuang ke sungai, sehingga mati karena tenggelam (Leth, 2019; Kumar,
2008).

Secara global, tenggelam merupakan penyebab ketiga tersering dari


kematian akibat kecelakaan dan menyumbang hampir 4.000 kematian pertahun di
Amerika Serikat (Armstrong et al., 2018). WHO mencatat pada tahun 2015 di
seluruh dunia terdapat 360.000 orang meninggal karena tenggelam sehingga
menempati urutan ketiga kematian di dunia akibat cedera tidak disengaja. (WHO,
2017). Insiden paling banyak terjadi pada negara berkembang, terutama pada
anak-anak berumur kurang dari 5 tahun. Balita dan remaja merupakan usia yang
paling berisiko meninggal akibat tenggelam dengan insiden sekitar 2,46 dan 1,47
per 100.000 kasus pertahun (Wijaya et al., 2019). Selain umur, faktor resiko lain
yang berkontribusi ialah jenis kelamin terutama laki-laki, tercatat 80% korban
meninggal akibat drowning adalah laki-laki (CDC, 2016). Kasus tenggelam lebih
banyak terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) sebesar 90% dan sisanya 10%
terjadi di air laut (Wulur et al., ,2013).

Diagnosis postmortem tenggelam, atribut dari lingkungan yang tenggelam,


penentuan waktu kematian, dan penentuan interval postmortem menjadi topik
yang menarik untuk dibahas dalam upaya meningkatkan investigasi dan resolusi
medikolegal terkait kasus tenggelam (Armstrong et al., 2018). Sebagai dokter
umum, kompetensi yang harus dicapai dalam pemeriksaan korban mati tenggelam
berdasarkan SKDI 2012 adalah 3A yakni mampu melakukan diagnosis awal dan
selanjutnya mampu merujuk korban ke dokter spesialis ilmu kedokteran forensik
untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan. Hal ini menunjukkan dokter umum harus
mampu mengenali gambaran klinis yang khas dari kasus mati akibat tenggelam
serta mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan dalam
proses penegakkan diagnosis. Karena mempertimbangkan kepentingan-
kepentingan di atas penulis memutuskan untuk mengangkat kasus mati
tenggelam.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apakah definisi dari kasus mati tenggelam ?


1.2.2 Bagaimana epidemiologi kasus mati tenggelam ?
1.2.3 Bagaimana patomekanisme terjadinya kasus mati tenggelam ?
1.2.4 Bagaimana klasifikasi kasus mati tenggelam ?
1.2.5 Bagaimanakah pemeriksaan yang perlu dilakukan pada kasus mati
tenggelam?
1.2.6 Bagaimanakah identifikasi mati tenggelam pada air laut dan air tawar?
1.3 Tujuan

1.3.1 Memahami definisi dari kasus mati tenggelam


1.3.2 Memahami epidemiologi kasus mati tenggelam
1.3.3 Memahami patomekanisme terjadinya kasus mati tenggelam
1.3.4 Memahami klasifikasi kasus mati tenggelam
1.3.5 Memahami pemeriksaan yang perlu dilakukan pada kasus mati tenggelam
1.3.6 Memahami identifikasi mati tenggelam pada air laut dan air tawar

1.4 Manfaat

Menambah pengetahuan dan wawasan dokter muda mengenai kasus


tenggelam dan aspek medikolegalnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Menurut Kamus Kedokteran Dorland, mati tenggelam (drowning) adalah


kematian lemas yang diakibatkan karena paru-paru terisi air atau zat cair lainnya
sehingga pertukanan gas menjadi tidak memunginkan. Menurut World Congress
on Drowning tahun 2002 di Amsterdam menyebutkan bahwa mati tenggelam
merupakan proses yang mengganggu pernapasan akibat dari immersion
(pencelupan) atau submersion (perendaman) di cairan (Armstrong, 2011).
Menurut pendapat ahli kedokteran forensik, mati tenggelam didefinisikan sebagai
kematian bentuk asfiksia yang disebabkan oleh inhalasi cairan ke udara bagian
karena perendaman tubuh (hidung dan mulut) ke dalam air atau cairan sehingga
terjadi gangguan pertukaran oksigen (Armstrong et al., 2018).

2.2 Epidemiologi

Tenggelam merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbidtas


yang besar di seluruh dunia terutama pada negara-negara dengan penghasilan
menegah kebawah. Menurut World Health Organiation (WHO) menyebutkan,
drowning menyebabkan kematian 372.000 orang ada tahun 2012, dan 91%
diantaranya terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah (Tyler et al.,
2017). Secara global, tenggelam merupakan penyebab ketiga tersering dari
kematian akibat kecelakaan dan menyumbang hampir 4.000 kematian pertahun di
Amerika Serikat (Armstrong et al., 2018). WHO mencatat pada tahun 2015 di
seluruh dunia terdapat 360.000 orang meninggal karena tenggelam sehingga
menempati urutan ketiga kematian di dunia akibat cedera tidak disengaja. (WHO,
2017). Insiden paling banyak terjadi pada negara berkembang, terutama pada
anak-anak berumur kurang dari 5 tahun. Balita dan remaja merupakan usia yang
paling berisiko meninggal akibat tenggelam dengan insiden sekitar 2,46 dan 1,47
per 100.000 kasus pertahun (Wijaya et al., 2019). Selain umur, faktor resiko lain
yang berkontribusi ialah jenis kelamin terutama laki-laki, tercatat 80% korban
meninggal akibat drowning adalah laki-laki (CDC, 2016). Kasus tenggelam lebih
banyak terjadi di air tawar (danau, sungai, kolam) sebesar 90% dan sisanya 10%
terjadi di air laut (Wulur et al., ,2013).
2.3 Patomekanisme

Paru-paru merupakan organ utama respirasi yang terganggu oleh karena


drowning. Respirasi merupakan proses involunter yang dikontrol oleh sistem saraf
pusat sebagai respon terhadap perubahan kadar oksigen dan karbon monoksida
di darah. Difusi dan pertukaran gas berlangsung di alveoli-kapiler. Adanya air pada
drowning pada saluran respirasi terminal (bronkolus, bronkiolus) mengganggu
proses difusi tersebut (Armstrong et al., 2018).. Aspirasi cairan sebanyak 1-3 ml/kg
sudah dapat menyebabkan terganggunya difusi. Selain itu, sejumlah kecil air yang
terhirup memberikan efek dilusi elektrolit pada surfaktan yang bertindak dalam
mengurangi tegangan permukaan agar alveoli tetap terbuka dan proses difusi
tetap terjaga. (Layon, 2009). Influks cairan ini kemudian menghambat kerja
surfaktan berakibat pada alveoli yang kolaps sehingga proses difusi terhambat.
Sebagai hasilnya, darah vena mengalami shunt ke daerah paru yang tidak
terventilasi sehingga mengubah rasio ventilasi-perfusi dan meningkatkan resitensi
pembuluh darah paru menyebabkan hipoksa sistemik dan acute respiratory
distress syndrome (ARDS) (Cantwell et al., 2017)

Gambar 2.1 Proses pertukaran udara pada kondisi normal (Armstrong et al., 2018)
Gambar 2.1 Proses pertukaran udara pada kondisi drowning (Armstrong et al., 2018)

Patofisiologi tenggelam pada air tawar dan air asin memiliki mekanisme
yang berbeda. Pada air tawar, Air akan diserap ke pernapasan ketika menangis
atau berteriak meminta tolong. Air kemudian diserap kedalam sirkulasi sehingga
terjadi hemodilusi lalu hemolisis. Oleh karena terjadi perubahan biokimiawi yang
serius yaitu penignkatan kalium plasdam dan berkurangnya natrium, terjadi
anoksia hebat pada miokardium. Perubahan tersebut dapat menyebabkan
penurunan tekanan sistol lalu dalam waktu beberapa menit terjadi fibrilasi
ventrikel. (Vij et al., 2011)
Patofisiologi tenggelam pada air asin akan memberikan banyak dampak
fisiologis karena air laut yang bersifat hipertonis. air akan diserap ke pernapasan
ketika menangis atau berteriak meminta tolong pada proses tenggelam. Air akan
masuk ke dalam jaringan alveolar paru dan mengakibatkan edema paru dan
terjadinya hemokonsentrasi pada sirkulasi pulmonal. Terjadi pertukaran elektrolit
dari paru ke darah menyebabkan kerusakan jaringan. Hilangnya air dan
meningkatnya elektrolit secara cepat menyebabkan hipernatremia dan
hiperkloremia dengan plasmolisis. Berkurangnya volume plasma (hipovolemia)
menyebabkan penurunan tekanan darah secara drastis sehingga terjadi hipoksia
berat. Hemokonsentrasi ini menyebabkan sirkulasi aliran darah menjadi lambat
dan anoksia pada miokardium yang menimbulkan payah jantung dan kematian
yang terjadi kurang lebih 8-9 menit setelah tenggelam. (Vij et al., 2011).
Mekanisme kematian pada korban tenggelam dapat berupa asfiksia akibat
spasme laring, asfiksia, refleks vagal, fibrilasi ventrikel (air tawar), dan edema
pulmoner (dalam air asin). (Vij, 2011)
a. Vagal inhibition
Kondisi ini biasa ditemukan di area yang dingin, kematian disini disebabkan
vagal inhibiton menyebabkan vagal nerve ending dihambat sehingga terjadi
cardiac arrest. Vagal inhibition dapat disebabkan oleh beberapa cara seperti
masuknya air ke nasofaring dan laring ataupun masuknya air dingin ke telinga
secara tiba-tiba (Vij, 2011).
b. Spasme Laring
Masuk air tiba-tiba ke laring dapat memicu spasme laring sebagai respon
untuk mencegah masuknya air kesaluran pernapasan dan dapat terjadi asfiksia
(Vij et al., 2011). Selain itu, masuknya air secara simultan akan meningkatkan
risiko muntah yang disertai dengan aspirasi dari isi gaster yang dapat
menyebabkan kerusakan alveolar. Transient laringospasme atau bronkospasme
dapat terjadi akibat terinervasinya mukosa dari orofaring dan laring oleh air.
c. Fibrilasi ventrikel
Pada peristiwa tenggelam di air tawar akan menimbulkan anoksia disertai
gangguan elektrolit. Cairan yang teraspirasi dan terdapat pada paru-paru
menghasilkan vasokonstriksi dan hipertensi yang diperantarai oleh nervus vagus.
Air tawar berpindah lebih cepat dari membran kapiler-alveoli ke mikrosirkulasi
sehingga akan mengakibatkan hemodilusi dan hemolisis. Kemudian ion kalium
intrasel akan terlepas sehingga menimbulkan hiperkalemia yang akan
mempengaruhi kerja jantung (terjadi fibrilasi ventrikel). Pemeriksaan post-mortem
ditemukan tanda-tanda asfiksia serta kadar NaCl jantung kanan yang lebih tinggi
dari jantung kiri. (Cantwell PG, et al. 2013)
d. Edema pulmoner
Pada peristiwa tenggelam di air asin, akan mengakibatkan terjadinya
anoksia dan hemokonsentrasi. Air akan ditarik dari sirkulasi pulmonal ke dalam
jaringan interstitial paru sehingga timbul edema paru, hemokonsentrasi, dan
hipovolemia. Tidak terjadi gangguan elektrolit. Pada pemeriksaan post mortem
ditemukan adanya tanda-tanda asfiksia, kadar NaCl pada jantung kiri lebih tinggi
daripada jantung kanan (Cantwell PG, et al. 2013)
Daftar pustaka
Armstrong EJ. Water-related death investigation: practical methods and forensic
applications. 1st ed. Boca Raton: CRC Press; c2011. Chapter 1,
Introduction; p. 1-26
Armstrong, E. and Erskine, K. 2018. Investigation of Drowning Deaths: A Practical
Review. Academic Forensic Pathology, 8(1), hal.8-43.

Cantwell GP, Verive MJ. 2017. Drowning. Medscape [Internet]. New York: WebMD
LLC;. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/772753-
overview. Diakses pada 19 November 2019.

Cantwell PG, Verive MJ, Shoff WH, Norris RL, Talavera F, Lang ES, et al. 2013.
Drowning. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/772753-
overview. [diakses pada 18 November 2019].

CDC. Wide-ranging online data for epidemiologic research (WONDER). Atlanta,


GA: CDC, National Center for Health Statistics; 2016. Available
at http://wonder.cdc.gov.

Layon, AJ, Modell JH. 2009. Drowning: Update 2009. Anesthesiology.


110(6):1390-401. PMID: 19417599.

Leth P. 2019. Homicide by Drowning. Forensic Science, Medicine and Pathology.


15 : 233-238.

Tyler M., Richards D., Nielsen C., Saghafi O., Morse E., Carey R., Jacquet G.
2017. The epidemiology of drowning in low- and middle-income countries :
a systematic review. BMC Public Health. 17 (413); 1-7.

Vij, K. (2011). Textbook of Forensic Medicine and Toxicology: Principles and


Practice. 5th ed. New Delhi: Elsevier, hal.153-161.
Wijaya F., Indrawan I. 2019. Complications of drowning : a Case report. Paediatr
Indones. 59 (5); 284-288.
World Health Organization [Internet]. Geneva: World Health Organization; 2017.
Drowning fact sheet; 2017 May [cited 2017 Dec 1]. Available from:
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs347/en/
Wulur RA, Mallo JF, Tomuka DC. Gambaran temuan autopsi kasus tenggelam di
BLU RSU Prof DR R D Kandou Manado periode Januari 2007-Desember
2011. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Sam
Ratulangi Manado; 2013

Anda mungkin juga menyukai