Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

Bowel obstructive merupakan salah satu bentuk kegawatan di bidang bedah digestif
yang cukup sering dilaporkan. Sekitar 60-75% penyebab obstruksi disebabkan oleh
adhesi yang terjadi pasca operasi region abdominal baik itu dibidang digestif
maupun di bidang obstetri ginekologik, kemudian diikuti oleh hernia dan
neoplasma di daerah gastrointestinal baik itu intralumen maupun ekstralumen.1
Gangguan yang terjadi pada bowel obstructive bisa meliputi sumbatan
sebagian lumen (partial) atau keseluruhan lumen (complete) usus, sehingga
mengakibatkan isi usus tak dapat lewat. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai
macam kondisi, paling sering dikarenakan oleh adhesi, hernia, bahkan tumor.2
Bowel obstructive sering ditandai dengan rasa nyeri di perut, kembung,
mual, dan muntah. Bila tidak ditangani dengan tepat dan benar, kondisi ini dapat
menyebabkan sumbatan pada vaskularisasi dan menyebabkan kematian jaringan
usus. Kematian jaringan ini dapat ditunjukkan dengan perforasi usus, infeksi ringan,
hingga kondisi syok.1,2
Adhesi merupakan suatu jaringan parut yang sering menyebabkan organ
dalam atau jaringan tetap melekat setelah pembedahan. Adhesi dapat membelit dan
menarik organ dari tempatnya dan merupakan penyebab utama dari obstruksi usus,
infertilitas, dan nyeri kronis pelvis.1,2
Cukup seringnya kasus bowel obstructive terjadi, sehingga diharapkan
seorang dokter umum mampu untuk mendiagnosis dan memberikan
penatalaksanaan awal terhadap kasus ini. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
membahas mengenai bowel obstructive lebih lanjut untuk menambah pengetahuan
penulis sehingga dapat memberikan manfaat kepada penulis, institusi dan
masyarakat mengenai kasus yang pada saat ini ditemukan di RSUD Sanjiwani
Gianyar.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ileus adalah terjadinya gangguan pasase usus, sehingga terjadi penumpukan cairan
dan udara dalam lumen usus. Kondisi ini dapat disebabkan oleh sumbatan baik itu
intra lumen maupun ekstra lumen yang disebut dengan bowel obstructive, ataupun
akibat adanya paralisis dari lumen usus sehingga gerakan peristaltik tidak terjadi
yang disebut dengan ileus paralitik. Ileus dapat terjadi dikarenakan kelainan di
dalam lumen usus, dinding usus, atau benda asing di luar usus yang menekan, serta
kelainan vaskularisasi pada segmen usus yang dapat menyebabkan nekrosis segmen
usus sehingga bowel obstructive merupakan suatu keadaan yang darurat dan
memerlukan penanganan segera. 1-3

2.2 Anatomi,
a) Topografi dan Fisiologi
Usus halus berbentuk tubuler, dengan panjang sekitar 6 meter pada orang dewasa,
yang terbagi atas tiga segmen yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum
merupakan segmen yang paling proksimal, terletak retroperitoneal berbatasan
dengan kaput dan batas inferior dari korpus pankreas. Doudenum dipisahkan dari
gaster oleh adanya pylorus dan dari jejunum oleh batas Ligamentum Treitz.4
Jejunum dan ileum terletak di intraperitoneal dan bertambat ke
retroperitoneal melalui mesenterikum. Tak ada batas anatomi yang jelas untuk
membedakan antara jejunum dan ileum. Sekitar 40% panjang dari jejunoileal
diyakini sebagai jejunum dan 60% sisanya sebagai ileum. Ileum berbatasan dengan
sekum di katup ileosekal.4
Usus halus terdiri atas lipatan mukosa yang disebut plika sirkularis atau
valvula conniventes yang dapat terlihat dengan mata telanjang. Lipatan ini juga
terlihat secara radiografi dan membantu untuk membedakan antara usus halus dan
kolon. Lipatan ini akan terlihat lebih jelas pada bagian proksimal usus halus
daripada bagian distal. Hal lain yang juga dapat digunakan untuk membedakan
bagian proksimal dan distal usus halus ialah sirkumferensial yang lebih besar,

2
dinding yang lebih tebal, lemak mesenterial yang lebih sedikit dan vasa rekta yang
lebih panjang. Pemeriksaan makroskopis dari usus halus juga didapatkan adanya
folikel limfoid. Folikel tersebut, berlokasi di ileum, juga disebut sebagai Peyer
Patches.4
Usus besar terdapat diantara anus dan ujung terminal ileum. Usus besar
terdiri atas segmen awal (sekum) dan kolon asendens, transversum, desendens,
sigmoid, rectum dan anus. Sisa makanan dan yang tidak tercerna dan tidak
diabsorpsi di dalam usus halus didorong ke dalam usus besar oleh gerak peristaltik
kuat otot muskularis eksterna usus halus. Residu yang memasuki usus besar itu
berbentuk semi cair. Saat mencapai bagian akhir usus besar, residu ini telah menjadi
semi solid sebagaimana feses umumnya. Meskipun terdapat di usus halus, sel-sel
goblet pada epitel usus besar jauh lebih banyak dibandingkan dengan yang di usus
halus. Sel goblet ini juga bertambah dari bagian sekum ke kolon sigmoid. Usus
besar tidak memiliki plika sirkularis maupun vili intestinales, dan kelenjar
usus/intestinal terletak lebih dalamdaripada usus halus .4

b) Vaskularisasi
Pada usus halus, A. Mesenterika Superior merupakan cabang dari aorta tepat
dibawah A. Soeliaka. Arteri ini mendarahi seluruh usus halus kecuali duodenum
yang sebagian atasnya diperdarahi oleh A. Pankreotikoduodenalis Superior, suatu

3
cabang dari A. Gastroduodenalis. Sedangkan separuh bawah duodenum diperdarahi
oleh A. Pankreotikoduodenalis Inferior, suatu cabang A. Mesenterika Superior.4
Pembuluh - pembuluh darah yang memperdarahi jejunum dan ileum ini
beranastomosis satu sama lain untuk membentuk serangkaian arkade. Bagian ileum
yang terbawah juga diperdarahi oleh A. Ileocolica. Darah dikembalikan lewat V.
Messentericus Superior yang menyatu dengan V. lienalis membentuk vena porta.4
Pada usus besar, A. Mesenterika Superior memvaskularisasi belahan bagian
kanan (sekum, kolon ascendens, dan dua pertiga proksimal kolon transversum) : (1)
ileokolika, (2) kolika dekstra, (3) kolika media, dan arteria mesenterika inferior
memperdarahi bagian kiri (sepertiga distal kolon transversum, kolon descendens
dan sigmoid, dan bagian proksimal rektum) : (1) kolika sinistra, (2) sigmoidalis, (3)
rektalis superior.4
c) Aliran limfe
Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan cairan limfe. Pertama
ke atas melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lymphatici
gastroduodenalis kemudian ke nodi lymphatici coeliacus dan kedua yaitu ke bawah
melalui nodi lymphatici pancreoticoduodenalis ke nodi lyphatici mesentericus
superior sekitar pangkal arteri mesenterica superior. Pembuluh limfe jejunum dan
ileum berjalan melalui banyak nodi lymphatici mesentericus dan akhirnya
mencapai nodi lymphatici mesentericus suprior, yang terletak sekitar pangkal arteri
mesentericus superior. Pembuluh limfe sekum berjalan melewati banyak nodi
lymphatici mesentericus dan akhirnya mencapai nodi lymphatici msentericus
superior. Pembuluh limfe untuk kolon mengalirkan cairan limfe ke kelenjar limfe
yang terletak di sepanjang perjalanan arteri vena kolika. Untuk kolon ascendens dan
dua pertiga dari kolon transversum cairan limfenya akan masuk ke nodi
limphaticimesentericus superior, sedangkan yang berasal dari sepertiga distal kolon
transversum dan kolon descendens akan masuk ke nodi limphatici mesentericus
inferior.4
d) Persarafan
Saraf - saraf duodenum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (vagus) dari
pleksus mesentericus superior dan pleksus coeliacus. Saraf untuk jejunum dan
ileum berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) dari pleksus

4
mesentericus superior. Rangsangan parasimpatis merangasang aktivitas sekresi dan
pergerakan, sedangkan rangsangan simpatis menghambat pergerakan usus. Serabut
- serabut sensorik sistem simpatis menghantarkan nyeri, sedangkan serabut -
serabut parasimpatis mengatur refleks usus. Suplai saraf intrinsik, yang
menimbulkan fungsi motorik, berjalan melalui pleksus Auerbach yang terletak
dalam lapisan muskularis, dan pleksus Meissner di lapisan submukosa.4
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
pengecualian pada sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol voluntary (Price,
2003). Sekum, appendiks dan kolon ascendens dipersarafi oleh serabut saraf
simpatis dan parasimpatis nervus vagus dari pleksus saraf mesentericus superior.
Pada kolon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis nervus vagus dan saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Serabut simpatis berjalan dari pleksus mesentericus
superior dan inferior. Serabut - serabut nervus vagus hanya mempersarafi dua
pertiga proksimal kolon transversum, sepertiga distal dipersarafi oleh saraf
parasimpatis nervus pelvikus. Sedangkan pada kolon desendens dipersarafi serabut
- serabut simpatis dari pleksus saraf mesentericus inferior dan saraf parasimpatis
nervus pelvikus. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan
kontraksi,serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan
parasimpatis mempunyai efek berlawanan.4

5
2.3 Epidemiologi
Di Amerika Serikat 15 dari 100 kasus nyeri perut disebabkan oleh bowel obstructive
dengan 300.000 pasien setiap tahunnya. Di Amerika Serikat, angka morbiditas dan
mortalitas kasus ini sebesar 12-16% dan dapat menyebabkan kematian sebesar 25%
jika disertai dengan iskemia dan keterlambatan penanganan. Di Indonesia tahun
2004 tercatat sekitar 7.024 kasus bowel obstructive yang dirawat inap.5

2.4 Etiologi
Bowel obstructive dapat disebabkan oleh beberapa hal, baik itu berasal dari intra
lumen maupun dari ekstra lumen, diataranya terdapat 3 penyebab terbanyak yaitu:
a. Adhesi
b. Hernia, seperti hernia inguinal dan femoral
c. Malignansi/Neoplasma, baik itu primer (neoplasma pada lumen), sekunder
(akibat metastase noeplasma di luar lumen usus), ataupun akibat desmoid
tumor dan karsinomatosis
Etiologi diatas 80% penyebab obstruksi yang paling sering disebabkan oleh adhesi.
Selain itu dapat juga disebabkan oleh Crohn disease, intususepsi, volvulus, batu
empedu, benda asing, trauma dan itrogenik.3,5

2.5 Klasifikasi

6
Bowel obstructive disebabkan oleh obstruksi mekanis pada usus yang
diklasifikasikan menjadi total, parsial, strangulasi dan closed loop obstruction.1,6
a. Obstruksi total: obstruksi complete/ obstruksi tingkat tinggi yang
menunjukan tidak adanya cairan atau gas yang lolos dari tempat sumbatan
b. Obstruksi parsial: obstruksi incomplete/parsial yang menunjukan beberapa
aliran cairan atau gas dapat melewati sumbatan.
c. Obstruksi strangulasi: obstruksi yang menunjukan bahwa adanya aliran
darah yang terganggu yang dapat menyebabkan iskemia, nekrosis dan
perforasi usus. Obstruksi strangulasi merupakan kasus emergensi yang
membutuhkan diagnosis dan terapi yang emergensi yang jika tidak dapat
diatasi dapat menyebabkan iskemia, morbiditas dan mortalitas.
d. Closed loop obstruction: obstruksi ini terjadi ketika segmen usus pada dua
titik disepanjang perjalanannya yang dapat menghasilkan akumulasi cairan
dalam gas pada loop yang terisolasi. Hal tersebut dapat menyebabkan risiko
terjadinya volvulus dan iskemia.

2.6 Patofisiologi
Banyak faktor yang mampu mengganggu motilitas usus, dan memicu terjadinya
bowel obstructive. Faktor yang paling sering berhubungan dengan kondisi ini
adalah operasi di regio abdomen, infeksi, dan kelainan elektrolit. Beberapa
mekanisme yang diduga sebagai proses yang mendasari dismotilitas usus yaitu
refleks simpatik yang diinduksi oleh stres atau luka pascaoperasi, pelepasan
mediator respons inflamasi, dan efek samping anestesi/analgesik, yang masing-
masing dapat menghambat motilitas usus. 3,5,6
Bowel obstructive merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang
terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding
usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal
tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu sehingga terjadi
pengumpulan isi lumen usus yang berupa gas dan cairan pada bagian proximal
tempat penyumbatan. Hal ini menyebabkan pelebaran dinding usus atau
distensi di bagian proximal dari sumbatan yang kemudian merangsang
terjadinya hipersekresi kelenjar pencernaan. Dengan demikian akumulasi

7
cairan dan gas makin bertambah yang menyebabkan distensi usus tidak hanya
pada tempat sumbatan, tetapi juga dapat mengenai seluruh usus di bagian
proximal sumbatan. Sumbatan ini menyebabkan gerakan usus yang meningkat
(hiperperistaltik) sebagai usaha alamiah. Sebaliknya juga terjadi gerakan
antiperistaltik yang menyebabkan terjadinya serangan kolik abdomen dan
muntah-muntah. Pada obstruksi yang terus berlanjut, peristaltik telah hilang
oleh karena dinding usus kehilangan daya kontraksinya. Kembalinya motilitas
setelah terapi konservatif umumnya mengikuti urutan temporal yang khas,
dengan motilitas usus halus kembali normal dalam 24 jam pertama setelah
laparotomi dan motilitas lambung dan kolon kembali normal masing-masing
48 jam dan 3 sampai 5 hari. Motilitas usus dapat kembali lebih lama disebabkan
oleh beberapa faktor, seperti adanya abses intra-abdominal atau kelainan
elektrolit. 3,5,6

2.7 Manifestasi Klinis


a. Nyei perut
b. Demam dan takikardi jika terjadi strangulasi
c. Distensi abdomen
d. Darm contour
e. Darm steifung
f. Mual
g. Muntah
h. Bising usus meningkat atau menghilang
i. Tidak bisa flatus
j. Tidak bisa BAB

2.8 Diagnosis
Obstruksi usus halus sering menimbulkan nyeri kolik dengan muntah hebat. Juga
didapatkan distensi perut dan bising usus meningkat. Pada anamnesis intususepsi,
didapatkan bayi tampak gelisah dan tidak dapat ditenangkan, sedangkan diantara
serangan biasanya anak tidur tenang karena sudah lelah. Serangan klasik terdiri atas
nyeri perut, gelisah sewaktu kolik, biasanya keluar lendir campur darah (red currant

8
jelly) per anum, yang berasal dari intususeptum yang tertekan, terbendung, atau
mungkin sudah mengalami strangulasi. Anak biasanya muntah sewaktu serangan
dan pada pemeriksaan perut dapat diraba massa yang biasanya memanjang dengan
batas jelas seperti sosis. Bila invaginasi disertai strangulasi, harus diingat
kemungkinan terjadinya peritonitis setelah perforasi. Pada volvulus didapatkan
nyeri yang bermula akut, tidak berlangsung lama, menetap, disertai muntah hebat.
Biasanya penderita jatuh dalam keadaan syok. 3,5,6
Obstruksi usus besar agak sering menyebabkan serangan kolik yang
intensitasnya sedang. Muntah tidak menonjol, tetapi distensi tampak jelas.
Penderita tidak dapat melakukan defekasi atau flatus. Bila penyebabnya adalah
volvulus sigmoid maka perut dapat besar sekali. Pada obstruksi usus halus, kolik
dirasakan di sekitar umbilkus, sedangkan pada obstruksi usus besar kolik dirasakan
di sekitar suprapubik. Muntah pada obstruksi usus halus berwarna kehijauan namun
pada obstruksi usus besar onset muntah lebih lama. 3,5,6

a) Anamnesis
Basic seven dan fundamental four
b) Pemeriksaan fisik
(1) Inspeksi: distensi abdomen, darm contour (+), darm steifung (+)
(2) Auskultasi: bising usus meningkat/menghilang, metallic sound (+)
(3) Perkusi: timpani sampai hipertimpani
(4) Palpasi: nyeri tekan dapat +/-, kadang dapat teraba massa jika
disebabkan oleh tumor
(5) Pemeriksaan tambahan: rectal toucher. Jika TSA (+) merupakan suatu
tanda bowel obstructive dan jika TSA (-) dicurigai adanya ileus paralitik.
Ampula recti kolaps mengarahkan adanya obstruksi total dan parsial jika
sebaliknya. Jika elvaluasi post RT ditemukan darah mengarahkan diagnosis
bowel obstructive strangulasi.

c) Pemeriksaan Penunjang

9
1. Radiografi
Radiografi memiliki sensitivitas 64-82% dan spesifisitas 79-83%. Pada
radiografi ditemukan dilatasi usus halus bagian proksimal dengan loop usus
bagian distal tidak berdilatasi. Tidak adanya dilatasi kolon dan adanya
beberapa cairan gas pada posisi tegak lurus atau dekubitus. Berikut yang
ditemukan pada saat pemeriksaan radiografi.2,3,5,6
(a) Posisi supinasi/pronasi: dilatasi gas atau cairan pad usus halus (>3 cm),
usus halus melebar, usus halus yang melebar yang diisi dengan gas
(stretch sign) pada gambar 1, adanya sejumlah cairan pada usus halus
yang tampak seperti massa intraabdominal sering terjadi pada anak-
anak yaitu loop usus halus yang terhalang, dilatasi dan berisi cairan
(tanda pseudotumor) pada gambar 2. 2,3,5,6
(b) posisi right/left lateral decubitus: multiple air fluid level, air fluid level
>2,5 cm, air fluid level pada usus halus memiliki ketinggian yang tidak
sama (>5 mm) pada gambar 3, string of breads sign. 2,3,5,6

Gambar 1.Posisi supinasi


yang memperlihatkan
dilatasi usus yang sebagian
diisi oleh gas yang berada
diluar valvula Strech sign

Gambar 2.Posisi supinasi


abdomen memperlihatkan
soft tissue massa
midabdomen(Pseudotumor
sign)

10
Gambar 3.Posisi abdomen
tegak lurus memperlihatkan
multiple air fluid level, fluid
level (2,5 cm) dan fluid level
yang tiddak sama tinggi pada
dilatasi usus yang sama

2. CT Scan
(a) mayor: usus halus dilatasi (>2,5 cm) atau lebih dan kolon tidak
berdilatasi (<6 cm), titik transisi dari usus yang berdilatasi sampai usus yang
tidak berdilatasi. 2,3,5,6
(b) minor: air fluid level, terjadi dekompresi kolon.2,3,5,6

Gambar 4. CT Scan axial


menunjukan ileum yang
melebar saat diisi bahan
kontras (panah). Bahan
kontras tidak lolos ke loop
distal yang dekompresi
(panah).

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksaan awal untuk terapi bowel obstructive adalah resusitasi cairan,
dekompresi usus, analgetik dan antiemetik diindikasikan untuk klinisnya,
tindakan operasi yang cepat dan pemberian antibiotic. Antibiotik yang
digunakan berfungsi untuk perlindungan melawan bakteri gram negatif dan
organisme anaerobik. Selain itu, dekompresi dapat dilaukan dengan
pemasangan nasogastric tube (NGT) untuk keperluan penghisapan pada saluran
pencernaan dan mencegah aspirasi. Lakukan monitor pada airway, breathing

11
dan circulation. Evaluasi tekanan darah sangat penting pada pasien yang
mengalami penyakit jantung. 2,3,5,6
Penatalaksanan yang dilakukan pada bowel obstructive karena adhesi:
1. Pada saat gejala strangulasi tidak muncul dan ada riwayat muntah persisten
atau tanda positif pada CT Scan, pasien dengan bowel obstructive parsial
dapat diobati secara aman tanpa operasi yaitu dengan dekompresi
menggunakan NGT. 2,3,5,6

2. Water soluble oral contrast medium (WSCM) direkomendasikan untuk


diagnosis dan terapi pada pasien yang menjalani terapi non operatif. 2,3,5,6

3. Bedah terbuka dengan laparoskopi biasanya digunakan untuk pasien pada


bowel obstructive yang telah terjadi strangulasi dan setelah gagal terapi
konservatif. 2,3,5,6

4. Asam hyaluronic seperti membrane carboxylulosa dan icodextrin


menurunkan insiden terjadinya adhesi dan icodextrin dapat menurunkan
risiko obstruksi berulang. 2,3,5,6

2.10 Prognosis
Prognosis dari kasus bowel obstructive tergantung dengan etiologi yang mendasari
obstruksi. Mayoritas pasien yang dirawat secara konservatif pada kasus obstruksi
yang disebabkan oleh adhesi tidak menunjukkan adanya kekambuhan. Kurang dari
20% pasien akan menunjukkan kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya dengan
penyebab obstruksi lainnya. Tingkat kematian perioperatif yang terkait dengan
pembedahan pada kasus bowel obstructive kurang dari 5%, dengan kematian
terbanyak terjadi pada pasien lanjut usia yang disertai komorbiditas. 1-3,5,6

12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama penderita : IWR
Umur : 48 tahun
Alamat : Tulikup, Gianyar
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh
Agama : Hindu
Suku bangsa : Bali
Nomor RM : 640906

3.2 Data Subjektif (Anamnesis)


a. Keluhan Utama
Luka operasi terbuka
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merupakan rujukan RS Swasta dengan post colonostomy.
Pasien datang dengan keluhan luka jahitan operasi pada perut terbuka sejak
pukul 11.00 WITA. Luka tersebut dikatakan semakin terbuka saat pasien
batuk. Awalnya dikatakan luka tersebut terbuka tiba-tiba saat pasien batuk.
Keluhan lain seperti keluar darah merembes (+), demam (-), mual (-),
muntah (-), flatus (+), nyeri saat BAK (-), penurunan nafsu makan (-). BAB
dan BAK (+/+) dalam batas normal. penurunan berat badan baru diketahui
pasien setelah melakukan tindakan operasi yang pertama.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat operasi laparatomy
sebanyak 2 kali, operasi pertama tanggal 14 Desember 2018 dan 2 hari
kemudia di lakukan operasi ualang. Sebelum dilakukan tindakan operasi,
pasien mengeluh nyeri pada seluruh lapang perut yang disertai dengan perut
yang semakin membesar. Nyeri dikatakan memberat saat pasien beraktifitas

13
dan membaik saat pasien berbaring. Keluhan lain yang dirasakan pasien
seperti mual dan muntah (+), BAB (-) selama 2 minggu sebelum tindakan
operasi, BAK (+) dalam batas normal, flatus (-) selama 2 minggu sebelum
tindakan operasi, makan dan minum (+) menurun. Riwayat penyakit kronis
disangkal pasien HT (-), DM (-), Asma (-)
d. Riwayat Keluarga
Tidak ada anggota keluarga pasien yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung dan lain-lain disangkal.
e. Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang sopir. Pasien tinggal bersama istri dan memiliki
1 orang anak. Riwayat mengkonsumsi minumam beralkohol (-), merokok
(+).

3.3 Pemeriksaan Fisik


a. Status Present
Kesadaran : Compos mentis (E4V5M6)
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,5 oC
Frekuensi Napas : 20 x/menit
b. Status Generalis
Kepala/leher : Normocephali/pembesaran KGB (-)
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), RP (+/+) isokor
THT : Dalam kesan tenang
Thorax : Cor : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Pulmo : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Abdomen : ~ Status lokalis
Ekstremitas : Hangat Edema

+ + - -
+ + - -

14
c. Status Lokalis
Regio Abdomen
I : Luka jahitan terbuka (+) berdasar otot halus, distensi (+), massa (-),
darm contour (-), darm steifung (-), sikatrik (+)
A : Bising usus (+) 12 kali/menit
P : Timpani
P : Nyeri tekan (-), defans muskular (-)

Gambar 3.1 Foto Klinis Regio Abdomen

Rectal toucher
I : fisura (-), fistula (-), massa (-)
P : TSA (+), mukosa berdungkul pada 1/3 distal rectum, massa (-)
Evaluasi post RT : feses (-), lender (-), darah (-)

15
3.4 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan darah lengkap
Parameter Hasil Nilai normal Unit Remark
WBC 15,3 4,0 – 10,0 103/uL H
Gran% 89,9 50,0 – 70,0 % H
Lymph% 5,9 20,0 – 40,0 % L
RBC 4,53 3,5 – 5,5 106/uL N
HCT 35,8 37 – 54 % L
HGB 11,3 11 – 16 g/dL N
PLT 312 150 – 450 103/uL N

b. Pemeriksaan faal hemostasis


Parameter Hasil Nilai normal
Bleeding Time (BT) 2’00” 1-6 menit
Clotting Time (CT) 8’00” 10-15 menit

c. Pemeriksaan Elektorlit
Parameter Hasil Nilai Unit Remark
normal
Ureum 23 18-55 Mg/dL N
Creatinin 0,8 0,7-1,2 Mg/dL N
Protein total 6,07 6,6-8,8 g/dl N
Albumin 3,6 3,5-5,5 g/dl N
Globulin 3,20 2,3-3,2 g/dl N

16
d. Pemeriksaan Foto Thorax

17
e. Pemeriksaan BOF

 Tampak gambaran hiring bone


 Tampak ada gambaran step ladder pattern
 Tampak ada gambaran dilatasi usus

3.5 Diagnosis
Burst Abdomen ec post laparotomy ec ileus obstruktif

3.6 Penatalaksanaan
IVFD RL ~ 20 tmp
Cek Albumin dan Globulin
Perbaian KU
Persiapan OK ulang

18
3.7 Resume
Pasien laki-laki berinisial IWR, 48 tahun datang sadar dengan keluhan adanya
luka operasi terbuka pada perut sejak pagi tadi. Luka tersebut dikatakan
semakin terbuka saat pasien batuk. Awalnya dikatakan luka tersebut terbuka
tiba-tiba saat pasien batuk. Keluhan lain seperti keluar darah merembes (+),
demam (-), mual (-), muntah (-), flatus (+), nyeri saat BAK (-), penurunan nafsu
makan (-), BAB dan BAK (+/+) dalam batas normal, penurunan berat badan
baru diketahui pasien setelah pasien melakukan tindakan operasi yang pertama.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan serupa. Riwayat operasi laparatomy
sebanyak 2 kali, operasi pertama tanggal 14 Desember 2018 dan 2 hari kemudia
di lakukan operasi ualang. Sebelum dilakukan tindakan operasi, pasien
mengeluh nyeri pada seluruh lapang perut yang disertai dengan perut yang
semakin membesar. Nyeri dikatakan memberat saat pasien beraktifitas dan
membaik saat pasien berbaring. Keluhan lain yang dirasakan pasien seperti
mual dan muntah (+), BAB (-) selama 2 minggu sebelum tindakan operasi,
BAK (+) dalam batas normal, flatus (-) selama 2 minggu sebelum tindakan
operasi, makan dan minum (+) menurun. Riwayat penyakit kronis disangkal
pasien HT (-), DM (-), Asma (-) Pasien merupakan seorang pegawai sopir.
Pada pemeriksaan vital sign ditemukan tekanan darah 130/80 mmHg, nadi
84x/menit dan suhu tubuh 36,5 oC. Pada pemeriksaan generalis dalam batas
normal. Pada pemeriksaan fisik regio Abdomen ditemukan luka jahitan terbuka
berdasar usus, adanya sikatrik, dan terdapat distensi. Pasien kemudian
didiagnosis dengan Ca Rectum dengan komolikasi Burst Abdomen dan
dilakukan tindakan operasi ulang.

19
BAB IV
PEMBAHASAN

Bowel obstructive merupakan gangguan pasase usus akibat sumbatan, sehingga


terjadi penumpukan cairan dan udara dalam lumen usus sebagai akibat adanya
sumbatan atau hambatan mekanik di bagian proksimal dari sumbatan tersebut. Pada
kasus ini ditemukan tanda terjadinya sumbatan pada usus yang diperoleh dari hasil
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Hal tersebut sesuai
dengan parsial bowel obstructive yaitu gangguan pasase usus namun sebagian feses
dan udara masih dapat lewat dari sumbatan dan menunjukkan adanya keselarasan
antara teori dan kasus.
Penyebab tersering terjadinya bowel obstructive adalah adhesi (60-75%),
hernia dan malignansi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya Crohn disease,
intususepsi, volvulus, batu empedu,benda asing, trauma dan itrogenik. Etiologi
pada pasien merupakan suatu malignansi.
Gejala dan tanda yang muncul pada kasus ini adanya tanda obstruksi seperti
nyeri perut, mual, muntah, dan ada riwayat tidak bias BAB dan flatus sejak 2
minggu sebelumnya. Riwayat penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi
disangkal oleh pasien dan keluhan yang sama pada keluarga disangkal oleh pasien.
Selain itu, pada pemeriksaan fisik melalui inspeksi didapatkan distensi abdomen.
Pada auskultasi didapatkan bising usus 8x/menit dan tidak terdapat metallic sound.
Perkusi abdomen didapatkan timpani namun saat palpasi tidak didapatkan nyeri
tekan seluruh lapang perut. Selain itu dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu rectal
toucher. Pada inspeksi tidak didapatkan massa, fistula,fisura, darah dan lendir.
Sedangkan pada palpasi didapatkan tonus spingter ani masih dalam batas normal
dan mukosa licin. Evaluasi setelah RT tidak didapatkan darah, feses maupun lendir.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut didapatkan tanda dan gejala
yang menyerupai bowel obstructive seperti yang sudah dijelaskan pada teori.
Setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, perlu dilakukan
pemeriksaaan penunjang untuk lebih mengarahkan suatu diagnosis. Pada kasus ini
dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto BOF 3 posisi. Pada pemeriksaan

20
penunjang BOF 3 posisi didapatkan Tampak gambaran hiring bone, tampak ada
gambaran step ladder pattern,tampak ada gambaran dilatasi usus
Prognosis pada bowel obstructive tergantung dari etiologi yang
menyebabkan terjadinya obstruksi. Mayoritas pada pasien yang dirawat secara
konservatif yang disebabkan ooleh karena adhesi tidak menunjukan adanya
kekambuhan dan cenderung mambaik. Kurang dari 20% pasien akan menunjukan
kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya jika disebabkan oleh etiologi yang lainnya.
Tingkat mortalitas pasca operasi dengan pembedahan kurang dari 5%.

21
BAB V
SIMPULAN

Bowel obstructive merupakan gangguan pasase usus akibat sumbatan, sehingga


terjadi penumpukan cairan dan udara dalam lumen usus sebagai akibat adanya
sumbatan atau hambatan mekanik di bagian proksimal dari sumbatan tersebut.
Penyebab tersering terjadinya bowel obstructive adalah adhesi (60-75%), hernia
dan malignansi. Selain itu dapat juga disebabkan oleh adanya Crohn disease,
intususepsi, volvulus, batu empedu,benda asing, trauma dan itrogenik. Bowel
obstructive disebabkan oleh obstruksi mekanis pada usus yang diklasifikasikan
menjadi parsial, total dan strangulasi serta closed loop obstruction. Banyak faktor
yang mampu mengganggu motilitas usus, dan memicu terjadinya bowel obstructive.
Faktor yang paling sering berhubungan dengan ileus adalah operasi di regio
abdomen, infeksi, dan kelainan elektrolit. Beberapa mekanisme yang diduga
sebagai proses yang mendasari dismotilitas usus yaitu refleks simpatik yang
diinduksi oleh stres atau luka pascaoperasi, pelepasan mediator respons inflamasi,
dan efek samping anestesi / analgesik, yang masing-masing dapat menghambat
motilitas usus. Bowel obstructive ditegakkan melalui hasil anamnesis dan
pemeriksaan penunjang, yaitu diperoleh gambaran distensi abdomen, dapat pula
terjadi darm contour dan darm steifung, serta mual dan muntah berwarna hijau.
Pada pemeriksaan penunjang dilakukan foto BOF 3 posisi, yang didapatkan
gambaran step ledder pattern atau air fluid level, ataupun dilakukan CT-Scan
abdomen untuk mengetahui adanya neoplasma penyebab sumbatan pada lumen
usus. Untuk penatalaksanaan pada kasus bowel obstructive dapat dilakukan dengan
konservatif melalui pemasangan NGT untuk melakukan dekompresi, dan dapat
dilanjutkan dengan menghilangkan sumber sumbatan pada kasus total bowel
obstructive yaitu melalui metode operasi.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Schwartz SI and Brunicardi FC. Schwartz's principles of surgery. 2010.


2. Hughes KE and Arthur J. An atypical case of large bowel obstruction. Journal
of surgical case reports. 2013; 2013.
3. Jaffe T and Thompson WM. Large-bowel obstruction in the adult: classic
radiographic and CT findings, etiology, and mimics. Radiology. 2015; 275:
651-63.
4. Moore KL, Dalley AF and Agur AM. Clinically oriented anatomy. Lippincott
Williams & Wilkins, 2013.
5. Naveen N, Mukherjee A, Nataraj Y and LingeGowda S. A clinical study of
intestinal obstruction and its surgical management in rural population.
Hernia. 2013; 10: 20.
6. Paulson EK and Thompson WM. Review of small-bowel obstruction: the
diagnosis and when to worry. Radiology. 2015; 275: 332-42.

23

Anda mungkin juga menyukai