Anda di halaman 1dari 19

Step 7 :

1. Apa definisi intoksikasi, adiksi, withdrawal ?


OPIOID TOLERANSI
Penurunan efektifitas obat -> pemberian dosis terapiutik atau penyalahgunaan berulang.
Dosis harus ditingkatkan untuk mencapai efek yang diharapkan atau sama.5
OPIOID DEPEDENCE
Setelah toleransi, timbul physical dependence yaitu, terjadi perubahan cara kerja pada
tubuh setelah penggunaan obat yang cukup lama karena normalnya
tubuh mampu menghasilhkan opioid endogen secara mandiri, tapi karena toleransi
meningkat menyebabkan tubuh bergantung pada sumber eksternal. Perubahan tersebut
bisa menimbulkan withdrawal atau abstinence syndrome. Physical dependence saat ini
disebut dengan dependence. Toleransi dan depdence sesungguhnya sesuatu yang bisa
dikatakan normal setelah pengkonsumsian opioid untuk jangka waktu yang lama
OPIOID ADDICTION
Physiological dependence saat ini disebut sebagai addiction. Addiction ditandai dengan
ketidak mampuan mengontrol keinginan, motivasi atau hasrat yang tinggi untuk
mendapatkan dan menggunakan obat tanpa memikirkan efek negatif yang timbul. Susah
diobati karena memiliki resiko tinggi untuk kembali lagi menjadi addiction dengan
adanya pemicu salah satu dari tiga kondisi berikut : terpapar kembali dengan obat yang
membuat addiction sebelumya, stress, atau bertemu dan melakukan kontak dengan
pengguna obat lainnya. Saat ini, gejala yang mengarahkan ke addiction hanya kecemasan
yang berlebih. Ini merupakan ketidak normalan mekanisme yang terjadi dan digolongkan
sebagai penyakit.
OPIOID WITHDRAWAL
Ketika dilakukan penghentian penggunaan obat atau tiba-tiba berhenti setelah
menggunakan obat beberapa minggu atau lebih dengan jumlah yang banyak, maka akan
muncul gejala yang semakin nyata. Inilah yang disebut withdrawal.
 SKALA PENGUKURAN
Skala pengukuran ini dilengkapi dengan identitas, tanggal dan nama pemeriksa.
Dicatat juga waktu dilakukannya pengukuran dan waktu terakhir mengkonsumsi obat.
Score withdrawal:
5-12 = ringan;
13-24 = sedang;
25-36 = sedang berat;
> 36 = berat
MEKANISME TERJADINYA TOLERANSI DAN KETERGANTUNGAN OBAT
Mekanisme secara pasti belum diketahui, kemungkinan oleh adaptasi seluler yang menyebabkan
perubahan aktivitas enzim, pelepasan biogenik amin tertentu atau beberapa respon imun.
Nukleus lokus ceruleus diduga bertanggung jawab dalam menimbulkan gejala withdrawal.
Nukleus ini kaya akan tempat reseptor opioid, alpha-adrenergic dan reseptor lainnya. Stimulasi
pada reseptor opioid dan α-adrenergic memberikan respon yang sama pada intraseluler.
Stimulasi reseptor oleh agonis opioid (morfin) akan menekan aktivitas adenilsiklase pada siklik
AMP. Bila stimulasi ini diberikan secara terus menerus, akan terjadi adaptasi fisiologik di dalam
neuron yang membuat level normal dari adeniliklase walaupun berikatan dengan opiat. Bila
ikatan opiat ini dihentikan dengan mendadak atau diganti dengan obat yang bersifat antagonis
opioid, maka akan terjadi peningkatan efek adenilsilase pada siklik AMP secara mendadak dan
berhubungan dengan gejala pasien berupa gejala hiperaktivitas.
Gejala putus obat (gejala abstinensi atau withdrawal syndrome) terjadi bila pecandu obat tersebut
menghentikan penggunaan obat secara tiba-tiba. Gejala biasanya timbul dalam 6-10 jam setelah
pemberian obat yang terakhir dan puncaknya pada 36-48 jam.
Withdrawal dapat terjadi secara spontan akibat penghentian obat secara tiba-tiba atau dapat pula
dipresipitasi dengan pemberian antagonis opioid seperti naloxono, naltrexone. Dalam 3 menit
setelah injeksi antagonis opioid, timbul gejala withdrawal, mencapai puncaknya dalam 10-20
menit, kemudian menghilang setelah 1 jam.

Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4th
ed.
Gejala putus obat:
 6 - 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah.
 12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia.
 24 - 72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan
kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan
involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit.
 Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-angsur dalam 7-
10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala ringan masih
dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan terjadi
keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi setelah usia 1
tahun.
Opiat Withdrawal Syndrome
Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4th
ed.

2. Mengapa pasien mengeluh keringat dingin, muntah, dan gelisah, bingung, nyeri ulu hati,
sesak nafas ?

RESEPTOR OPIOID
Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai (Atchson and Lambert, 1994 ; Lambert, 1998) :
 Reseptor µ (mu)
 Reseptor δ (delta)
 Reseptor κ (kappa)

Opioid Receptor Subtypes, Their Functions, and Their Endogenous Peptide Affinities.

Receptor Functions Endogenous Opioid


Subtype Peptide Affinity
µ (mu) Supraspinal and spinal analgesia; sedation; Endorphins > enkephalins >
inhibition of respiration; slowed GI transit; dynorphins
modulation of hormone and neurotransmitter
release

δ (delta) Supraspinal and spinal analgesia; modulation of Enkephalins > endorphins


hormone and neurotransmitter release and dynorphins

Κ (kappa) Supraspinal and spinal analgesia; Dynorphins > > endorphins


psychotomimetic effects; slowed GI transit and enkephalins

Sumber : Katzung, BG. Basic and Clinical Pharmacology 10th ed

Ketiga reseptor ini merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada otak dan medula spinalis
yang berfungsi untuk trasnsmisi dan modulasi nyeri. Opioid berinteraksi secara stereospesifik
dengan reseptor protein di membran sel dalam SSP (Sistem Saraf Pusat), pada bagian nervus
terminal di perifer dan pada sel-sel traktus gastrointestinal serta daerah lainnya. Ketiga jenis
reseptor ini merupakan reseptor utama yang memediasi efek utama dari opioid dan merupakan
bagian dari reseptor protein Guanine yang berpasangan (G protein coupled receptor) dan
menginhibisi adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi siklik AMP sehingga aktivitas
neurotransmitter terhambat. Selain itu juga meningkatkan effluks K+ pada postsinaptik
(hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca+ influks pada presinaptik yang juga turut berperan dalam
menghambat pelepasan neurotransmitter. Di dalam otak terdapat tiga jenis endogenous peptide
yang aktivitasnya seperti opiat yaitu :
 Enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ (delta)
 β – Endorfin yang berikatan dengan reseptor µ (mu)
 Dandynorpin yang berikatan dengan reseptor κ (kappa)

 Pernafasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi
langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit
setelah injeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular. Respirasi
kembali ke normal dalam 2-3 jam.

 Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi
pada nukleus Edinger Westphal N. III.

 Mual dan muntah


Disebabkan oleh stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor trigger zone di batang otak.

 Saluran cerna
 Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang, tetapi
tonus bagian antrum meninggi.
 Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan
konstipasi.

 Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama jantung.
Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas badan dan
keadaan tidur, hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat mekanisme depresi
sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.

3. Macam-macam opioid ?
4. Bagaimana cara kerja morfin dan efek sampingnya (patofisiologi)?

Farmakokinetik
1. Cara Penggunaan
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian IM, dengan onset antara 15 -30
menit dan efek tertinggi antara 45-90 menit serta durasinya sekitar 4 jam. Morfin tidak
diserap secara baik melalui pemberian oral. Morfin biasa diberikan secara IV selama
masa operasi. Efek puncak setelah pemberian morfin IV lebih lambat dibandingkan
dengan opioid lain seperti fentanyl, dan alfentanyl, yaitu sekitar 15-30 menit.
Pemberian cepat IV tidak memiliki pengaruh farmakologis karena lambatnya obat
menembus sawar darah otak. Konsentrasi CSF puncak morfin antara 15-30 menit setelah
pemberian IV dan menurun lebih lambat dibandingkan konsentrasi plasma. Analgesia
cukup mungkin membutuhkan rumatan konsentrasi plasma morfin paling tidak
0,05μg/ml. Pada pasien yang dipindahkan biasanya membutuhkan analgesia post operatif
yang cukup, dengan dosis morfin total antara 1,3-2,7 mg/jam.
Hanya sebagian kecil pemberian morfin dapat mencapai CNS. Diperkirakan
<0,1% morfin yang diberikan IV memasuki CNS pada waktu puncak konsentrasi plasma.
Penyebab lambatnya penetrasi morfin ke CNS antara lain:
a. Kelarutan lemak yang rendah.
b. Tingginya derajat ionisasi pada pH fisiologis.
c. Ikatan protein.
d. Konjugasi cepat dengan asam glukoronat.

Induksi dengan karbon dioksida akan meningkatkan aliran darah otak dan
meningkatkan pengiriman morfin ke otak Berbeda dengan CNS, morfin akan
terakumulasi dengan cepat pada ginjal, hati dan otot skeletal. Morfin, tidak mengalami
first pass metabolism paru secara berarti seperti pada fentanyl

2. Metabolisme Morfin
Morfin dimetabolisme melalui dua jalur, yaitu hepatik dan ekstra hepatik. Morfin
dikonjugasikan dengan asam glukoronat di hepatik sedangkan jalur ekstra hepatik lebih
banyak terjadi di ginjal. Sekitar 75-85% dari morfin yang diberikan akan menjadi morfin
3 glukoronat dan 5-10% menjadi morfin 6 glukoronat (rasio 9:1). Sekitar 5% morfin akan
mengalami demetilasi menjadi normomorfin dan sebagian kecil diproses menjadi kodein.
Metabolit morfin akan dieliminasi melalui urin, sekitar 7-10% diekskresikan melalui
empedu.
Morfin 3 glukoronat dapat dideteksi dalam urin setelah 72 jam pemberian.
Sejumlah kecil morfin (1-2%) ditemukan dalam urine tanpa perubahan. Morfin 3
glukoronat merupakan metabolit yang inaktif. Efek analgesia dan depresi napas
ditimbulkan oleh morfin 6 glukoronat melalui aktivasi reseptor μ. Gangguan ventilasi
karbon dioksida dipengaruhi oleh morfin dan morfin 6 glukoronat.
Metabolisme ginjal memegang peranan utama dalam metabolisme morfin. Hal ini
menjelaskan mengapa tidak terjadi penurunan klirens morfin plasma pada pasien
cirrhosis hepatis atau pada fase anhepatik pasien transplantasi hati. Hal ini dimungkinkan
karena terjadinya peningkatan metabolisme morfin di ginjal pada pasien dengan
gangguan hati.
Sebaliknya pada pasien gagal ginjal, ekskresi morfin glukoronat akan terganggu
dan menyebabkan akumulasi metabolit morfin dan depresi napas yang tak terduga pada
dosis opioid kecil. Ikatan morfin glukoronat juga dapat dirusak oleh monoamin oksidase
inhibitor yang akan menyebabkan efek morfin yang berlebihan bila kedua obat diberikan
bersamaan.

3. Waktu Paruh Morfin


Setelah pemberian intravena, morfin 3 glukoronat akan lebih lambat dieliminasi.
Sedangkan penurunan konsentrasi plasma morfin lebih disebabkan oleh metabolisme.
Hanya sebagian kecil morfin yang akan diekskresikan melalui urin tanpa dimetabolisme.
Konsentrasi plasma morfin lebih tinggi pada orang tua dibandingkan dewasa
muda. Pada bayi berumur kurang dari 4 hari, klirens morfin akan menurun dan waktu
paruhnya menjadi lebih panjang dibandingkan pada bayi yang lebih tua. Hal ini
menunjukkan bahwa depresi napas lebih sensitif pada neonatus dibandingkan pada anak-
anak. Pada pasien dengan gagal ginjal, konsentrasi plasma dan CSF morfin dan
metabolitnya akan lebih tinggi sehingga memerlukan perhatian khusus. Konsentrasi
morfin pada kolostrum ibu-ibu yang mendapat morfin hanya sedikit dan tidak signifikan
pada pemberian air susu ibu ke bayi.
Morfin menunjukkan potensi analgesik yang lebih tinggi dan durasi lebih lama
pada wanita dibandingkan pada laki-laki. Konsumsi morfin post operasi pada laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan. Sebaliknya, morfin menurunkan renspon ventilasi
terhadap karbon dioksida pada perempuan sedangkan efek yang sama tidak ada pada laki-
laki. Morfin tidak mengganggu ambang batas apneu dan menurunkan kepekaan akan
hipoksia pada perempuan sedangkan pada laki-laki sebaliknya.
Farmakodinamik

a. Susunan saraf pusat


Efek morfin pada susunan saraf pusat dan usus terutama ditimbulkan karena morfin
bekerja sebagai agonis pada reseptor µ. Selain itu morfin juga mempunyai afinitas yang
lebih lemah terhadap reseptor  dan . Efek morfin pada SSP berupa analgesia dan
narkosis. Morfin dosis kecil (5-10mg) menimbulkan euforia pada pasien yang menderita
nyeri, sedih dan gelisah. Sebaliknya pada orang normal pada dosis yang sama
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir, atau takut disertai mual dan muntah.
Morfin juga menimbulkan rasa kantuk, tidak dapat berkonsentrasi, sukar berpikir, apatis,
aktivitas motorik berkurang, ketajaman penglihatan berkurang, badan terasa panas, muka
gatal, mulut terasa kering. Dosis terapi (15-20mg) morfin akan menyebabkan orang
tertidur cepat dan nyenyak disertai mimpi, nafas lambat dan miosis.

Efek-efek dari morfin :

 Analgesia
Efek analgesia yang ditimbulkan dari opioid akibat kerja opioid pada reseptor µ.
Reseptor  dan  dapat juga ikut berperan dalam menimbulkan analgesia terutama
pada tingkat spinal.

 Eksitasi
Morfin dan opioid sering menimbulkan mual dan muntah, sedangkan delirium dan
konvulsi lebih jarang timbul. Faktor yang dapat mengubah eksitasi morfin adalah
idiosinkrasi dan tingkat eksitasi refleks (reflex excitatoty level) SSP. Pada wanita
mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi
tetapi depresi dan delirium jarang timbul. Pada beberapa spesies efek eksitasi morfin
jauh lebih jelas misalnya pada kucing dapat menimbulkan mania, midriasis,
hipersalivasi dan hipertermia, konvulsi tonik, dan klonik yang dapat menimbulkan
kematian.

 Miosis
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ dan 
menyebabkan miosis. Miosis disebabkan oleh perangsangan pada segmen otonom inti
saraf okulomotor. Miosis dapat dilawan oleh atropin dan skolopamin. Pada intoksikasi
morfin, pin point pupil merupakan gejala yang khas. Morfin dalam dosis terapi
mempertinggi daya akomodasi dan menurunkan tekanan intraokuler, baik pada orang
normal maupun pasien glaukoma.

 Depresi napas
Morfin menimbulkan depresi napas secara primer dan efek langsung terhadap pusat
napas di batang otak. Pada dosis kecil sudah langsung menimbulkan depresi napas
tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran.

 Mual dan muntah


Efek emetik morfin terjadi berdasarkan stimulasi langsung pada emetic chemoreceptor
trigger zone (CTZ) di medulla oblongata, bukan di stimulasi pusat emetic sendiri. Efek
mual dan muntah akibat morfin diperkuat oleh stimulasi vestibuler, sebaliknya
analgetik opioid sintetik meningkatkan sensitivitas vestibuler.

b. Saluran cerna
 Lambung
Morfin menghambat sekresi HCI, tetapi efek ini lemah. Selanjutnya morfin
menyebabkan pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan
motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus berkontraksi. Akibatnya pergerakan
isi lambung ke duodenum diperlambat. Perlambatan ini disebabkan juga oleh
peninggian tonus duodenum. Pemotongan saraf ekstrinsik lambung tidak
mempengaruhi efek terhadap lambung ini. Pada manusia peninggian tonus otot polos
lambung oleh morfin sedikit diperkecil oleh atropin

 Usus Halus
Morfin mengurangi sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan
makanan di usus halus. Pada manusia, morfin mengurangi kontraksi propulsif,
meninggikan tonus dan spasme periodik usus halus. Efek morfin ini lebih jelas terlihat
pada duodenum. Penerusan isi usus yang lambat disertai sempurnanya absorps air
menyebabkan isi usus menjadi lebih pada: Tonus valvula ileosekalis juga meninggi.
Atropin dosis besar tidak lengkap melawan efek morfin ini.

 Usus besar
Morfin mengurangi atau menghilangkan gerakan propulsi usus besar, meninggikan
tonus dan meyebabkan spasme usus besar; akibatnya penerusan isi kolon diperlambat
dan tinja menjadi lebih keras. Daya persepsi korteks telah dipengaruhi morfin
sehingga pasien tidak merasakan kebutuhan untuk defekasi. Walaupun tidak lengkap
efek morfin pada kolon dapat diantagonis oleh stropin. Efek konstipasi kodein lebih
lemah daripada morfin. Pecandu opioid terus menerus menderita periode konstipasi
dan diare secara bergantian.

 Duktus Koledokus
Dosis terapi morfin, kodein: nidromorfinon dan metilhidromorfinon menimbulkan
peninggian tekanan dalam duktus koledokus; zan efek ini dapat menetap selama 2 jam
atau ebih. Keadaan ini sering disertai perasaan tidak enak di epigastrium sampai gejala
kolik berat. Menghilangnya nyeri setelah pemberian morfin cada pasien kolik empedu
disebabkan oleh efek sentral morfin, namun pada beberapa pasien justru mengalami
eksaserbasi nyeri. Pada pemeriksaan radiografis terlihat konstriksi sfingter Oddi.
Atropin menghilangkan sebagian spasme ini. Pemberian nalorfin, amilniltrit secara
inhalasi, nitrogliserin sublingual dan aminofilin IV akan meniadakan spasme saluran
empedu oleh morfin.

c. Sistem Kardiovaskular
Pemberian morfin dosis terapi tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun
irama denyut jantung. Perubahan yang terjadi adalah akibat efek depresi pada pusat vagus
dan pusat vasomotor yang baru terjadi pada dosis toksik. Tekanan darah turun akibat
hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin.

Morfin dan opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk


bereaksi terhadap perubahan sikap. Pasien mungkin mengalami hipotensi ortostatik dan
dapat jatuh pingsan, terutama akibat vasodilatasi perifer yang terjadi berdasarkan efek
langsung terhadap pembuluh darah kecil. Morfin dan opioid lain melepaskan histamin
yang merupakan faktor penting dalam timbulnya hipotensi.

Efek morfin terhadap miokard manusia tidak berarti; frekuensi jantung tidak
dipengaruhi atau hanya menurun sedikit, sedangkan efek terhadap curah jantung tidak
konstan. Gambaran elektrokardiogram tidak berubah.

Morfin dan opioid lain harus digunakan dengan hati-hati pada keadaan hipovolemia
karena mudah timbul hipotensi. Penggunaan opioid bersama derivat fenotiazin
menyebabkan depresi napas dan hipotensi yang lebih besar. Morfin harus digunakan
dengan sangat hati-hati pada pasien cor-pulmonale, sebab dapat menyebabkan kematian.

d. Otot polos
Morfin menimbulkan peninggian tonus, serta kontraksi ureter dan kandung kemih.
Efek ini dapat dihilangkan dengan pemberian 0,6 mg atropin subkutan. Hilangnya rasa
nyeri pada kolik ginjal disebabkan oleh efek analgetik morfin. Peninggian tonus otot
detrusor menimbulkan rasa ingin miksi, tetapi karena sfingter juga berkontraksi maka
miksi sukar. Morfin dapat menimbulkan bronkokonstriksi, tetapi pada dosis terapi efek
ini jarang timbul. Morfin memperlambat berlangsungnya partus. Pada uterus aterm
morfin menyebabkan interval antar-kontraksi lebih besar dan netralisasi efek oksitosin.
Morfin merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan
terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.

e. Kulit
Dalam dosis terapi, morfin menyebabkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga
kulit tampak merah dan terasa panas terutama di flush area (muka, leher, dan dada bagian
atas). Keadaan tersebut mungkin sebagian disebabkan oleh terjadinya penglepasan
histamin oleh morfin dan seringkali disertai dengan kulit yang berkeringat. Pruritus
kadang-kadang dapat terjadi mungkin akibat penglepasan histamin atau pengaruh
langsung morfin pada saraf.

f. Metabolisme
Morfin menyebabkan suhu badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme dikurangi
oleh morfin. Hiperglikemia timbul tidak tetap akibat penglepasan adrenelin yang
menyebabkan gliko-genolisis. Setelah pemberian morfin volume urin berkurang,
disebabkan merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah ginjal, dan ekskresi.

5. Bagaimana tahapan intoksikasi ?


Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada
tahap 1, terdiri dari :
• Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.
• Halusinasi.
• Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
• Dapat menjadi maniak.

Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala
ini selalu ada), terdiri dari :
• Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.
• Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
• Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
• Pulse dan respirasi normal.

Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :


• Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
• Proses sekresi.
• Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa, dan ini
merupakan tanda akhir.
• Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal.

6. Apakah antidotum untuk kasus tersebut dan bagaimana kerjanya ?

 Nalokson merupakan antagonis kompetitif yang murni, dan obat pilihan dalam terapi
keracunan opioid.
 Meniadakan semua khasiat morfin dan opioid lainnya, terutama depresi pernapasan tanpa
mengurangi efek analgetiknya.
Injeksi IV . sudah memberikan efek setelah 2 menit, yang bertahan 1-4 jam.
 Plasma t1/2 = 60-90 menit, lama kerjanya lebih singkat dari opioid, maka lazimnya perlu
diulang beberapa kali.
 Penggunaan klinik Nalokson :
o Waspadai kerjanya singkat  setelah sembuh dari depresi parah,1-2 jam kembali
koma
 Dosis: untuk pasien koma anak&dewasa IV 0,4–2 mg, diulangi dgn
interval 2-3 menit hingga respon diterima. Untuk pasien akut, infus 0,4-0,8
mg/jam dalam dextrosa 5%, dititrasi hingga efek klinik.

Naloxone -> opioid antagonis, berikatan dengan reseptor opioid membalikkan dan
memblok efek dari opioid dengan onset kerja 1-2 menit. Half-life 20-60 menit dengan
durasi 2-3 jam.
Ada tiga cara penggunaan naloxone :
• Injeksi
o Sediaan yang tersedia dalam 1 vial : 0,4 mg/ml; 1 mg/ml; 0,4 mg/10 ml
o Untuk injeksi IM biasanya 1 mg/ml sedangkan untuk IV biasanya 0,4 mg/ml
o Gunakan jarum 1 – 1 ½ inch
o Injeksi pada otot paha, bokong bagian luar, bahu (paling baik di bahu)
o Bila tidak tersedia IM needle, gunakan jarum yang lebih kecil kemudian
injeksikan IV atau subkutis
o Bila melalu akses IV, bolus secara perlahan kurang lebih selama 30 detik dengan
dosis yang sudah ditentukan (0,4 – 2 mg)
• Autoinjeksi
o Alat ini di setujuti tahun 2014
o Mudah dipakai, ada pengaturan suara untuk mengikuti instruksi penggunaan
o 0,4 mg/0,4 ml
o Siap pakai dengan single dose 2 mg dan dengan jarum yang bisa dimasukkan
kemabali
o Injeks secara IM dan tahan selama 5 detik
• Nasal
o Tarik penutup kuning pada syringe
o Buka tutup merah pada tabung naloxone
o Pasang ujung penyemprot (berwarna biru) ke syringe
o Secara gentle masukkan sambil memutar tabung naloxone dari belakang
o masukkan alat yang sudah terpasang ke lobang hidung dan semprotkan 1 cc di
kanan dan 1 cc di kiri
▪ Dosis penggunaan naloxone
• Neonatus -> 0,1 mg/kg dengan depresi nafas dan dengan ibu yang menggunakan opioid
selama 4 jam melahirkan
• Anak
o <5 tahun atau <20 kg -> 0,1 mg/kg (IV/IM)
o >5 tahun atau >20 kg -> 2 mg
• Dewasa
o 0,4 – 2 mg
o Dapat diulang setiap 2 – 3 menit sampai tercapai target atau maksimal 10 mg
▪ Observasi minimal 2 jam setelah pemberian dosis terakhir
• Reaksi imun -> reaksi alergi (biasanya pada daerah suntikan)
• Sistem saraf -> pupil kembali miosis
• Jantung -> bradikardi
• Paru-paru dan pernafasan -> nafas mulai spontan
• Gastrointestinal -> bising usus kembali
• kulit -> kemrahan, pruritus

7. Interpretasi pemeriksaan fisik dan ttv ?


Sama

8. Apa saja pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan ?

9. Bagaimana tatalaksana intoksikasi morfin ?


10. Apa saja komplikasi akibat penggunaan morfin ?

Anda mungkin juga menyukai