Anda di halaman 1dari 8

RIWAYAT MUDALLISI>N

DALAM S}AH}I>H AL-BUKHA>RI DAN S}AH}I>H MUSLIM


(Telaah Kritis atas Pemikiran Kamaruddin Amin)

M. Syukrillah

I
Dalam sejarah periwayatan hadis muncul permasalahan tadli>s yang dinilai
mempengaruhi validitas hadis.Tadli>s terjadi ketika seorang perawi yang memiliki
guru hadis yang pernah ditemui atau didengar darinya sejumlah hadis kemudian dia
meriwayatkan hadis tertentu yang tidak didengarnya langsung dari guru tersebut
dengan menggunakan lambang periwayatan (sighah al-tah}di>th) yang berkonotasi
atau terkesan (yuwham) dia mendengar langsung (sama>’) darinya seperti ‘an, qa>la,
anna, dan lain-lain. Pada umumnya seorang perawi mudallis melakukan tadli>s untuk
pencitraan dengan menyembunyikan kelemahan atau cacat yang terdapat dalam
hadis. Pada kasus keterputusan sanad, mudallis sengaja menghilangkan atau
menyembunyikan nama gurunya dengan meriwayatkan hadis tersebut langsung
melalui guru dari gurunya untuk menampakkan sanad yang lebih berkualitas dengan
mengesankan bagi orang yang melihat sanad itu sebagai sanad muttas}i>l tanpa ada
yang perawi yang terputus (saqt}) dan tersusun atas para perawi thiqa>t.
Jumlah perawi hadis yang dinilai dan tercatat sebagai para mudallisu>n
tidaklah sedikit. Menurut daftar nama yang dihimpun oleh Burha>n al Di>n al-Halabi>
Abu al-Wafa> al-Tarablisi> (w. 841 H) dalam Kitabnya al-Tabyi>n li Asma>’ al-
Mudallisi>n, terdapat 93 orang perawi hadis. Ibn Hajar al-Asqala>ni> (w. 852 H) dalam
KitabTa’ri>f Ahl al-H{adi>th bi Mara>tib al-Maws}u>fi>n bi al-Tadli>s atau yang popular
dengan nama T{abaqa>t al-Mudallisi>n menyebutkan 174 orang. Sementara itu al-
Suyut}i> (w. 911 H) dalam Asma>’ al-Mudallisi>n mencantumkan sejumlah 71 orang
perawi. Realitasnya riwayat-riwayat hadis dari para mudallis bertebaran dalam kitab
yang diklaim paling sahih setelah al-Qur’a>n yaitu S}ahi>h al-Bukhari dan S}ahi>h
Muslim. Dari sejumlah mudallisu>n tersebut, terdapat 70 perawi mudallis yang

1
dicantumkan hadisnya dalam S}ahi>h al-Bukhari dan 86 orang perawi mudallis dalam
S}ahi>h Muslim.
Kamaruddin Amin mengklaim bahwa konsep ‘ulu>m al-h}adi>th dalam
permasalahan riwayat mudallisi>n memiliki sisi kelemahan. Ada sejumlah
inkonsistensi metode kritik hadis karena adanya gap yang cukup lebar antara teori
‘ulu>m al-h}adi>th dengan keadaan objektif literatur hadis. Menurutnya, jika para
ulama hadis menerapkan teori ‘ulu>m al-h}adi>th maka akan berdampak pada
menurunnya kualitas literatur hadis secara sangat signifikan, termasuk Kitab S}ahi>h
al-Bukhari dan S}ahi>h Muslim. Dalam salah satu jurnal internasional, Kamaruddin
menulis: “If we systematically apply the rules of the traditional hadith sciences,
which focus on the quality of transmitters, to the collections of hadiths, we may
discover that numerous hadiths, heretofore considered “authentic” may be
“inauthentic.”
Implikasi pemikiran tersebut adalah munculnya sikap skeptis terhadap
kredibilitas metode (manhaj) ahli hadis. Kamaruddin menegaskan: “Apabila
metodologi otentifikasi yang digunakan bermasalah, maka semua hasil yang dicapai
dari metode tersebut tidak steril dari kemungkinan kemungkinan verifikasi ulang
dan bahkan hasil tersebut bisa menjadi totally collapse.”
Penelitian ini mengungkap pemikiran Kamaruddin Amin tentang riwayat
mudallisi>n dalam Kitab S}ahi>h} al-Bukha>ri dan S}ahi>h} Musli>m dan telaah kritis atas
pemikiran Kamaruddin Amin tersebut.

II
Kamaruddin Amin lahir di Bontang 5 Januari 1969. Ia lulus Fakultas Adab,
IAIN (sekarang UIN) Alauddin Makassar jurusan Bahasa dan Sastra Arab tahun
1994. Dengan beasiswa dari AFRC (Asia Foundation for Research and
Consultative), Ia melanjutkan pendidikan pada jurusan Islamic studies di Rijks
Universiteit te Leiden, Belanda. Di kampus ini, Kamaruddin dibimbing oleh para
ilmuwan seperti G.H.A. Juynboll. Kamaruddin Amin meraih gelar Master of Art
(MA) pada tahun 1998 dan menjadi lulusan terbaik setelah menyusun tesis dengan

2
judul The Authenticity of Hadith; A Reconsideration of the Reliability of Hadith
Transmission. Dengan beasiswa dari DAAD (Deutscher Akademischer Austausch
Dienst) Jerman, ia melanjutkan pendidikan doktoralnya di Rheinischen Friedrich
Wilhelms Universitaet Bonn Jerman dan lulus tahun 2005 dengan disertasi berjudul
The Reliability of H{adi>th Transmission—A Reexamination of Hadith-Critical
Methods yang dibimbing oleh Prof. Dr. Stefan Wild dan Prof. Dr. Harald Motzki. Ia
meraih gelar guru besar ilmu hadis (‘ulu>m al-h}adi>th) pada Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Alauddin Makassar pada 29 Desember 2010 dengan pidato berjudul
“Western Methods of Dating vis-a-vis ‘Ulu>m al-H{adi>th: Refleksi Metodologis atas
Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat”.
Kamaruddin Amin banyak menulis karya ilmiah di bidang hadis. Dari
berbagai karya ilmiah tersebut, setidaknya ada dua wacana fundamental yang
digagas dalam diskursus kesarjanaan hadis yaitu pertama masalah otentisitas;
apakah hadis yang terdapat dalam kitab-kitab hadis sahih atau palsu, apakah hadis
tersebut berasal dari Nabi, Sahabat atau Ta>bi’i>n atau hanya disandarkan kepada
mereka tanpa mereka ketahui sama sekali. Kedua persoalan reliabilitas metodologi
otentifikasi hadis; apakah metode yang digunakan oleh al-Bukhari, Muslim dan para
mukharrij yang lain dalam mengumpulkan dan menverifikasi hadis-hadis cukup
akurat dan reliable? Apakah para kolektor hadis seperti al-Bukhari, Muslim, Ibn
Majah dan lain-lain menerapkan kriteria sebagaimana yang dikehendaki oleh ’ulu>m
al-hadi>t`h (metode kritik hadis) yang kita kenal sekarang ini atau punya metode
sendiri-sendiri yang berbeda dengan ilmu kritik hadis?, dan seterusnya.

III
Menurut Ibn al-S}ala>h, pensyaratan hadis sahih mencakup aspek ittis}a>l al-
sanad. Dalam ittis}a>l al-sanad terdapat unsur-unsur persyaratan turunan yang dalam
istilah Syuhudi Isma’il disebut syarat minor. Syarat minor tersebut antara lain
adalah muttas}il (maws}u>l) yaitu perawi dalam sanad mu’an’an harus bebas tadli>s
atau perawi bukan termasuk mudallisi>n.

3
Secara terminologis, pengertian tadli>s dapat dirangkum sebagai tindakan
pencitraan seorang perawi yang menyembunyikan atau menyamarkan narasumber
hadisnya dengan beragam penyebutan nama atau pengelabuan dalam periwayatan
hadis yang sebenarnya bermasalah (cacat) baik dalam hal ittis}a>l al-sanad maupun
ke-thiqah-an namun disampaikan dengan cara tertentu menggunakan lafal atau
ungkapan periwayatan (sighah al-tahammul wa al-ada>’) yang tampak seolah-olah
tidak bercacat yang berdampak pada kesulitan identifikasi dan salah persepsi bagi
orang lain dalam penetapan validitas riwayatnya.
Masalah tadli>s bersifat kompleks karena melibatkan berbagai tinjauan baik
faktor penyebab tindakan tadli>s, cara identifikasi para mudalli>s dan jenis tindakan
tadli>s-nya, peringkat (t{abaqah) mudalli>s, ketentuan (d{awa>bit}) khusus dalam
penelitian validitas riwayat mu’an’an dari mudallis.
Dalam konteks kuantitas periwayatan para mudallis dalam S{ah}i>h al-Bukha>ri
dan S{ahi>h Muslim ditemukan bahwa walaupun kuantitas perawi mudallis dalam
S{ah}i>h al-Bukha>ri dan S{ahi>h Muslim cukup kecil yaitu masing-masing 4,46% dan
3,38%. Namun, secara kuantitas periwayatan sangat besar dan mendominasi jalur
periwayatan yaitu masing-masing 69,06% dari keseluruhan hadis dalam S{ah}i>h al-
Bukha>ri dan 81, 82% dari hadis-hadis dalam S{ahi>h Muslim.
Kritik atas fakta riwayat mudallis dalam kedua kitab sahih tersebut menjadi
salah satu fragmen dari sejumlah pemikiran kritis Kamaruddin terhadap keakuratan
metodologi‘ulu>m al-h}adi>th yang digunakan dalam menentukan originalitas hadis.
Reevaluasi Kamaruddin terhadap terhadap metodologi ‘ulu>m al-h}adi>th didasari oleh
pertanyaan epistemologis; sejauh mana tingkat akurasi metodologi yang digunakan
oleh para kolektor hadis seperti al-Bukhari, dan Muslim dalam menyeleksi hadis-
hadisnya? Apakah metodologi mereka sama dengan metodologi yang populer dan
dikenal dengan ’ulu>m al-hadi>th?
Dalam konteks pembahasan riwayat mudallis, Kamarudin mengkritisi
implemetasi kaidah ‘ulu>m al-hadi>th mengenai riwayat mudallis dan fakta adanya
sejumlah periwayatan para mudallis di antaranya al-Hasan al-Bas}ri dan Abu al-
Zubair dengan cara mu’an’an dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri dan S}ah}i>h Muslim. Kajiannya

4
atas fakta tersebut melahirkan beberapa butir pemikiran tentang riwayat mudallisin,
sebagai berikut:
1. Adanya inkonsistensi dan gap antara teori ‘ulu>m al-h}adi>th tentang riwayat
seorang mudallis dengan praktek dan realitas dalam kitab-kitab hadis
khususnya dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri dan S}ah}i>h Muslim.
2. Implikasi pen-da’if-an seluruh riwayat mu’an’an dari mudallisi>n jika kaidah
tadli>s dalam perspektif ‘ulu>m al-h{adi>th diterapkan secara konsisten.
3. S{ighat tahammul wa al-ada>’ tidak memiliki signifikansi sebagai kriteria
untuk menentukan dan menilai keabsahan riwayat.
4. Kelemahan dalam praktek ulama hadis modern seperti al-Aba>ni> dalam
menentukan autentitas hadis mudallas. Dalam perspektif Kamaruddin, al-
Albani hanya bersandar pada penilaian beberapa ulama yang menilai negatif
atas seorang mudallis. Hal ini memiliki konsekwensi serius pada pen-d}a’if-
an hadis-hadis. Di samping itu, Kamaruddin mengkritik sikap al-Alba>ni> yang
tidak melemahkan riwayat mu’an’an al-Laith bin Sa’d dari Abu al-Zubair
dari Ja>bir dalam S}ah}i>h} Muslim.
5. Dalam aplikasi kritik hadis mudallas menurut metode ulama tradisional
(‘ulu>m al-h{adi>th), penilaian para ulama baik yang positif maupun yang
negatif perlu dihimpun kemudian menggunakan kaidah jarh wa ta’di>l “al-
jarh{ muqaddamun ‘ala> al-ta’di>l idha> ka>na> mufassaran” untuk mendamaikan
perbedaan penilaian ulama tentang status riwayat mudallis.
6. Metode orientalis sebagai alternatif solusi. Metode ’ulu>m al-h}adi>th perlu
disinergikan dengan metode Barat (method of dating a particular hadith)
untuk mencapai kesimpulan tentang historisitas penyandaran hadis kepada
Nabi, sahabat atau ta>bi’i>n.

IV
Di antara kelemahan metodologis ulama muta’akhirin, menurut Nas}r bin
H{amd al-Fahd, adalah terlalu bersandar sepenuhnya kepada kaidah umum (d}awa>bit})
melalui pembacaan terbatas atas beberapa buku must}alah al-hadi>th. Sementara

5
ulama mutaqaddimi>n melakukan penelusuran induktif, kajian mendalam yang lama
dan melakukan komparasi antarriwayat (istiqra>’, al-tatabbu’, al-muma>rasah wa al-
muqa>ranah) serta meneliti indikasi (qari>nah) dan kondisi (ah}wa>l) spesifik pada
sanad dan matan masing-masing riwayat mudallis.
Bersandar pada kaidah umum dengan membatasi perspektif penilaian
riwayat mudallis hanya pada terminologi periwayatan (sighat) merupakan suatu
kekeliruan. Hal ini karena beberapa tindakan tadli>s yang tidak terkait dengan bentuk
terminologi periwayatan (sighat) yang digunakan oleh mudallis. Di antaranya
adalah; (1) riwayat dari perawi yang dinilai mudallis karena tindakan irsa>l, (2)
riwayat dari perawi mudallis pelaku tindakan tadli>s shuyu>kh, (3) riwayat dari perawi
mudallis pelaku tindakan tadli>s al-qat}’, dan (4) riwayat dari perawi mudallis yang
dipastikan tidak melakukan tindakan tadli>s jika meriwayatkan dari gurunya yang
tertentu.
Dalam penelitian tadli>s yang obje`ktif, ulama hadis menelusuri secara
komprehensif sejumlah aspek sebagai berikut:
1) Kepastian status tadli>s. Sebagaimana yang terjadi dalam jarh wa ta’di>l, tidak
setiap penilaian seorang kritikus (al-na>qid) bernilai valid.
2) Jenis dan bentuk tadli>s. Jenis tindakan tadli>s beragam dan status hukumnya
berbeda-beda.
3) Aspek kuantitas dan frekwensi tindakan tadli>s. Perawi thiqah yang sedikit
dan jarang melakukan tadli>s diterima periwayatannya (maqbu>l) tanpa
disyaratkan harus menggunakan ungkapan al-sama>’ seperti haddathana>> atau
sami’tu>.
4) Cakupan dan ranah tindakan tadli>s. Sisi yang perlu diklarifikasi adalah
apakah perawi mudallis melakukan tindakan tadli>s secara mutlak ataukah
parsial.
5) Adanya indikasi penguat (qari>nah). Indikasi yang dimaksud terdapat dalam
sanad dan/atau matan hadis, baik yang mengaffirmasi telah terjadinya
tindakan tadli>s atau sebaliknya indikasi penguat (qari>nah) menegasikan
adanya tindakan tadli>s.

6
6) Tingkatan (mara>tib) mudallis. Di kalangan ulama hadis muta’akhiri>n, aspek-
aspek di atas dibantu dengan pemetaan peringkat atau tingkatan (mara>tib)
seperti yang dilakukan oleh S{ala>h al-Di>n Khali>l al-‘Ala>’i> dalam Ja>mi’ al-
Tahs}i>l fi Ah}ka>m al-Mara>si>l dan Ibn Hajar al-Asqalany dalam Kitab Ta’ri>f
Ahl al-Taqdi>s bi Mara>tib al-Maws}u>fi\\n> bi al-Tadli>s.
Dalam konteks verifikasi ulang atas dasar pemikiran Kamaruddin Amin,
ditemukan adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama hadis mengenai peringkat
(al-martabah) dan status tadli>s al-H{asan al-Bas}ri> dan Abu al-Zubair. Pendapat yang
paling optimis menempatkan keduanya berada di level kedua yang diterima
validitas mu’an’an-nya secara mutlak. Sementara menurut pendapat yang pesimis,
keduanya berada di level ketiga yang status hadisnya di-tawa>quf-kan (ditunda)
kecuali hadisnya yang disampaikan dengan sama>’ yang jelas sehingga perlu
diverifikasi antara hadis mu’an’an dengan non-mu’an’an-nya.
Verifikasi atas kualitas` riwayat mu’an’an al-H{asan al-Bas}ri> dan Abu al-
Zubair dalam S}ahi>h} al-Bukha>ri dan S}ahi>h} Muslim menghasilkan kesimpulan bahwa
hadis-hadis yang dipermasalahkan oleh Kamaruddin Amin memiliki sighat sama’
dari jalur lain baik dalam S}ahi>h} al-Bukha>ri dan S}ahi>h} Muslim maupun di kitab hadis
lainnya dan/atau memiliki muta>ba’a>t dan shawa>hid yang memperkuat validitasnya
sebagaimana konsep penelitian hadis simultan (metode i’tibar).
Telaah kritis atas poin-poin pemikiran Kamaruddin Amin tentang riwayat
para mudallis dalam S{ah}i>h al-Bukha>ri dan S{ahi>h Muslim menghasilkan beberapa
temuan sebagai berikut:
1. Klaim inkonsistensi dan gap antara teori dan praktek ulama dalam konsep
tadli>s merupakan hasil pembacaan yang terlalu umum (generalisasi) karena
penilaian riwayat mudallis yang dilakukan ulama hadis melibatkan banyak
aspek tinjauan secara teori dan praktek.
2. Implikasi negatif penerapan kaidah tadli>s menurut ‘ulu>m al-hadi>th terhadap
riwayat mudallisi>n dalamS}ahi>h} al-Bukha>ri dan S}ahi>h} Musli>m khususnya dan
kitab hadis lain pada umumnya tidak terbukti karena hadis-hadis mu’an’an
dari perawi mudallis dalam S}ahi>h} al-Bukha>ri dan S}ahi>h} Musli>m berkualitas

7
sahih atau hasan baik dalam tinjauan persatuan hadis (sah{i>h} atau h}asan li
d}ha>tihi) atau secara kumulatif (sah}i>h} atau h}asan li ghairihi).
3. Negasi atas signifikansi sighat tahammul wa al-ada>’ dalam penelitian
autentisitas hadis mudallas, tidak sepenuhnya sesuai dengan teori dan
praktek ilmu kritik hadis. Secara historis, signifikansi ini tercermin dalam
diskursus para ulama hadis sejak era ta>bi’i>n dan secara faktual dipraktekkan
oleh para perawi dan mukharrij hadis seperti al-Bukhari dan Muslim.
4. Kritik Kamaruddin Amin terhadap metode al-Alba>ni> dalam menentukan
autentitas hadis mudallas tidak seluruhnya tepat. Penelitian yang lebih
komprehensif membuktikan bahwa al-Albani mengakui validitas hadis
mu’an’an jika terdapat sighat al-sama>’ dari jalur lain atau jika hadis tersebut
memiliki muta>ba’a>t dan shawa>hid yang mengaffirmasi kesahihannya.
5. Pandangan Kamaruddin Amin bahwa kritik hadis mudallas menurut metode
ulama tradisional (‘ulu>m al-h}adi>th) menggunakan kaidah “al-
jarh{ muqaddamun ‘ala> al-ta’di>l idha> ka>na> mufassaran” bila terjadi
kontroversi penilaian ulama hadis adalah pendapat yang kurang tepat dalam
konteks tindakan tadli>s yang dilakukan oleh perawi mudallis yang thiqah.
6. Metode orientalis dengan cara penanggalan (dating) hadis sebagai alternatif
mengatasi kelemahan metode ’ulu>m al-h}adi>th tidak menyelesaikan masalah,
tetapi justru mendegradasi kualitas hadis dari para perawi mudallis. Hal ini
terbukti dari penilaian atas hadis ”Sapi” dari riwayat Abu al-Zubair.
Berdasarkan analisis sanad dengan metode dating menunjukkan validitas
historisnya berhenti pada Zuhair bin Mu’awiyah (ta>bi’ al-ta>bi’i>n) sebagai
common link. Interpretasi orientalis atas common link dan single strand
dominan bersifat skeptis. Sementara dalam diskursus ’ulu>m al-h{adi>th, letak
permasalahan hadis ”Sapi’ ada pada guru Zuhair yaitu Abu al-Zubair
(ta>bi’i>n). Validitas Abu al-Zubair dapat diakui dengan status ke-thiqah-an
perawi dan atau adanya muta>ba’a>t dan shawa>hid.

Anda mungkin juga menyukai