Anda di halaman 1dari 8

Masalah Kepemimpinan dan Kejamaáhan

A. Citra Wali dan Kiai

Wali dalam pengertian masyarakat umum adalah orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, dan
diantara bukti kedekatannya itu dapat diketahui dari sikap dan perilakunya yang tampil sebagai
orang yang shaleh, tekun ibadah, sikapnya yang arif dan banyak membimbing, sering kali
berbuat hal-hal yang luar biasa di mata masyarakat (khoriqul ‘adat) karena karomahnya, dan doa-
doanya sering kali dikabulkan dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karenanya, orang yang
diyakini masyarakat sebagai wali, selalu dihormati, disegani, dan ditaati. Karena kedekatannya
dengan Tuhan seorang Wali sering dijadikan wasilah (perantara, rekomendator) dalam
berhubungan dengan Tuhan, baik dalam bentuk doa atau ibadah lain. Bahkan setelah dia
meninggal tidak jarang kuburannya dianggap sebagai tempat keramat yang banyak diziarai orang
terutama orang awam dengan berbagai macam tujuan dan cara berziarah, mulai dari yang benar
sampai yang menyimpang dari batasan-batasan dan adab berziarah.

Wali dalam konsep sufi (tashawwuf), seperti dijelaskan oleh Imam Al-Qusyairi dengan ringkas
dapat dikemukakan sebagai berikut:

“Wali dari satu sisi adalah orang yang terus menerus melakukan ketaatan tanpa diselingi dengan
kemaksiatan. Dan sisi lain, Allah s.w.t.dengan berekenan menjaga dan melindunginya secara ajeg
dan terus menerus, sehingga ia terhindar dari perilaku hina berupa perbuatan maksiat, disamping
bimbingan-Nya yang kontinu sehingga ia mampu berlaku taat.

Mesikupn demikian Wali tidak memperoleh jaminan kemaksuman (keterjagaan dari berbuat dosa
sama sekali) seperti para nabi, namun ia memperoleh penjagaan dari perbuatan maksiat yang
terus menerus, atau kesalahan-kesalahan kecil, dan segera bertaubat, ini yang disebut “mahfudh”.
Sisfat umum para Wali, mereka selalu konsisten melakuakn perintah-perintah Allah s.w.t.,
bersikap penuh kasih sayang kepada sesama manusia dalam segala situasi, bahkan kasih sayang
kepada semua makhluk, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mengaharap keridhoaan Allah, tidak
mempunyai sifat dendam, menjaui sifat hasud kepada siapapun, menjauhkan diri dari
ketamakkan, permusian dan kebencia kepada siapapun…”.

Konsep ke-walian dikalangan sufi mulai muncul pada akhir abab ke-9 M, yakni pada waktu para
sufi mulai mengangkat tashawwuf dalam tataran teoritis dan bukan seketar kegiatan praktis
(suluk/amaliah), seperti yang dilakuakan oleh Al-Kharraz, Sahal At-Tasturi dan Abu Qasim Al-
Qusyairi. Selanjutnya berkembang wacana kewalian ini menjadi berbagai ragam, dari yang
sederhana samapai yang aneh-aneh. Ada diantara konsep ke-walian ini yang menyebutkan
adanya hirarki kekuasaan spiritual yang bertingkat-tingkat, yang masing-masing tingkat diempati
para Wali sesuai dengan kesempurnaan ke-walian yang dicapainya, mulai dari yang tertinggi
yang disebut sebagai “al-Qutub” (poros) yang digelari juga sebagi al-Ghouts (penyelamat). Al-
Qutub ini dikelilingi oleh tiga orang yang disebut “an-Nuqoba” (asisten ahli), empat orang “al-
Autad” (penyangga), tujuh orang “al-Abror” (sangat baik), empat puluh orang “al-Abdal”
(pengganti), tiga ratus orang “al-Akhyar” (pilihan), dan empat ribu wali tersembunyi. Menurut
konsep ini, dunia Islam tidak pernah sepi dari mereka, apabila seseorang diantaranya meninggal,
maka Allah akan memberikan gantinya, merekalah pemimpin rohani umat sepanjang zaman.

Konsep hirarki kekuasaan spiritual ini tidak hanya terdapat dikalangan sufi Sunni saja, tetapi
juga ada dalam konsep sufi Syi’ah. Al-Hujwiri (Abu Al-Hasan bin Usman, wafat 465 H / 1071
M) sufi Persia yang menetap di Lohore India, juga Abu Na’im (Ahmad bin Abdullah Al-
Asfahani, wafat 430 H), dan Ibnu Arabi (Muhyidin, wafat 638 H / 1240 M) banyak
mengemukakan konsep hirarki kekuasaan spiritual tersebut dalam kitab-kitab yang ditulisnya,
seperti Kasyfu al-Mahjub (Al-Hujwiri), Hulyat al-Auliya’ (Abu Na’im) dan Al-Futuhat al-
Makkiyah (Ibnu Arabi). Namun imam-imam tasawuf warga Nahdliyin, Imam Al-Junaid, Imam
Al-Qusairi dan Imam Al-Ghazali, tidak banyak memberi komentar masalah tersebut dalam kitab-
kitab stndartnya yang popular, sperti Ar-Risalah al-Qusyairiyah (Al-Qusyairi) dan Ihya’
Ulumuddin (Al-Ghazali).

Konsep kewalian ini berkembang sejalan dengan perkembangan thariqat-thariqat sufi, hamper
semua imam thariqat dipandang sebagai wali oleh pengikut thariqatnya, merekan dihormati,
dipatuhi dan dicintai, baik pada waktu hidupnya maupun sesudah wafatnya, dan makan maupun
kuburannya masih sering diziarahi oleh para pengikutnya dan umat Islam pada umumnya. Para
waktu berziarah ke makan Syekh Abdulqadir Al-Jailani, disana bertemu dengan sejumlah
peziarah dari berbagai Negara, mulai dari Maroko, Mesir, Pakistan, Syria, Indonesia, Malaysia,
dan lain-lain. Rata-rata mereka menyakini kewalian Syekh Abdulqadir Al-Jailaini, bahkan
sebagian memandangnya sebagai Quthbu Al-Auliya’. Demikian pula pada saat berziarah ke
makam Syekh A-Rifa’I, pendiri thariqat Rifa’iyah, para peziarah dari berbagai macam bangsa
juga meyakini bahwa Syekh Ar-Rifa’I adalah wali Allah yang banyak karomahnya. Dan di
Indonesia sendiri, pengertian wali tidak jauh dengan pengertian dan citra luruh seperti yang
dikemukakan diatas, mereka dianggap sebagai panutan dan teladan dalam bersikap dan
berperilaku. Kalau di Jawa dikenal denganWali Songo, di Sumatra juga dikenal wali-wali, seperti
Syekh Hamzah Al-Fanshuri, Syekh Samsuddin Al-Sumatrani, Syekh Nurrudin Ar-Raniri dan
Syekh Abdurrouf Singkel, semuanya adalah ulama-ulama terkenal, pengikut thariqat-thariqat
sufi, berjasa besar dalam penyiaran Islam, dan semua itu penambah pembuktian, bahwa
tashawwuf lebih dari faktor lainnya, sangat memudahkan penerimaan Islam dikalangan
masyarakat luas. Sayed Hossein Nasr mengatakan, bahwa daya tarim umum tashawwuf
dikalangan banhsa Melayu berkaitan dengan tempramen psikologis dan spiritual mereka, yang
ditermanifestasi dengan jelas sepanjang sejarah keagaaman mereka dalam berbagai bentuk, yang
disebut oleh Ricard Winsted sebagai “mistinisme popular yang mendalam”. Dalam perjumpaan
dengan mistisisme Hindu-Budha, para juru dakwah sufi tidak menyerukan penolakan atas
doktrin-doktrin kegamaan dan spiritual yang telah ada, tetapi berusaha menafsirkannya kembali
menuruk prespektif ajaran-ajaran agama Islam sebagaimana terejawantahkan dalam tashawwuf.
Mereka juga tidak menuntuk penggunaan terminology baru sebagai pengganti dari yang sudah
berlaku di masyarakat.
Dikalangan warga Nahdliyin, penghormatan terhadap wali itu sangat besar, baik terhadap orang-
orang yang diyakini sebagai wali itu masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dan mereka
juga banyak berziarah kemakam para wali, karena tujuan menghormati, atau untuk berdoa, atau
untuk tabarrruk (ngalap barokah/mengharap mendapat berkah) yakni memperoleh kabaikan-
kebaikan atau keberhasilan. Maksudnya setelah mereka berziarah dan berdoa kepada Allah
disana. Masalah “tabarruk” ini merupakan salah satu masalah kontrovesial. Dalam literature
Islam, tabarruk itu sudah ada sejak zama Rasulullah s.a.w, banyak diantara para sahabiat yang
ngalap barkah dari berbagai macam hal yang berasal dari Nabi s.a.w, seperti air bekas wudu Nabi
s.a.w , pakaian yang pernah dipakai oleh beliau, tempat yang pernah beliau singgahi, juga rambut
beliau yang terlepas atau dipotong (waktu tahalul umpamanya). Hadis-hadis yang
menceritakannya banyak sekali, mulai dari yang shahih sampai yang dha’if, seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim, bahwa Asma’ binti Abi Bakar (dalam kitab Al-Libas waz-
Zinah) bercerita bahwa ia pernah mencuci jubbah yang pernah dipakai Rasulullah s.a.w. Jubah
tersebut berada di tempat ‘Aisyah r.a dan air bekas cucian jubbah tersebut digunakan untuk
pengobatan/penyembuhan orang-orang yang sakit, dan ternyata orang-orang yang sakit tersebut
sembuh.

Imam Al-Bukhari dalam kitab Al-I’tishom bil Kitab was-Sunnah meriwayatkan keterangan Abi
Burdah, bahwa ketika ia datang di Madinah, maka ia bertemu dengan sahabat Abdullah bin Slam
r.a, Abdullah bin Salam berkata: Mari kerumah saya, anada akan saya beri inum dengan gelas
yang pernah digunakan minum oleh Rasululah s.a.w, dan nanti anda sholat di tempat yang
pernah digunakan sholat oleh Rasulullah s.a.w,. Maka saya pergi mengikuti Abdullah kemudian
saya diberi munum dan diberi makan kurma juga saya sholat dimasjidnya yang Rasulullah
pernah sholat disitu.

Imam Muslim meriwayatkan keterangan dari Nafi’, bahwa Abdullah bin Umar r.a memberitahu,
bahwa para sahabat pernah berpergian dengan Nabi s.a.w, kemudian beristirahat ditempat yang
disebut Al-Hijr, tempatnya kaum Tsamud, dan para sabahat itu mengambil air sumur yang ada
disitu dan menyiapkan bahan makanan disitu. Tetapi tiba-tiba Nabi s.a.w memerintahkan agar
mereka membuang air minum yang mereka ambil dari sumru Hijr tersebut, dan bahan makan
yang sudah siap itu agar diberikan kepada unta-unta mereka, dan beliau memerintahkan agar
mereka mengambil air minum dari sumur yang diminum untanya Nabi Shaleh (unta mukjizat
dari Allah).

Imam Nawawi dalam Syarakh Muslim mengatakan, bahwa ceritera ini mengandung arti
bolehnya tabaruk dengan peninggalan orang-orang shaleh. Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri
mengatakan, bahwa Imam Ahmad bin Hambal memberikan kemurahan (memperbolehkan)
mengusap tangan ke mimbar Nabi s.a.w kemudian untuk berdoa atau diusapkan pada wajah,
karena alasan Ibnu Umar, Sa’id bin Musayyab dan Yahya bin Sa’id, yakni ulama fiqih di
Madinah (fuqoha’ al-Madinah) melakukan hal tersebut.
Kalau umat Islam banyak yang tabarruk kepada orang-orang yang diyakini sebahai as-sholihin,
seperti Wali, Ulama dan sejenisnya itu, kiranya dapat dimaklumi terutama pada saat mereka
masih hidup, karena mengikuti tradisi para sahabat, tabi’in dan salaf as-shalihin. Yang perlu
dijaga adalah jangan sampai bertabarruk kepada orang (baik masih hidup atau sudah mati) yang
tidak jelas keshalihannya, tidak jelas sifat dan perilaku serta ibadahnya, seperti punden-punden
keramat, dukun-dukun, benda-benda yang dikeramatkan. Sebab pada hakikatnya, semua hal yang
berkaitan dengan tabarruk kepada Nabi Muhammad s.a.w atau barang-barang serta tempat-
tempat yang berhubungan dengan Nabi s.a.w tidak lepas dengan konteks kedudukan pribadi
beliau yang begitu dekat dengan Allah. Beliaulah yang memberikan hak syafa’at, beliaulah yang
mendapatkan mukjizat, beliaulah yang masih berhubungan dengan umatnya meskipun secara
ragawi beliau sudah wafat.

Tetapi kita tidak boleh sependapat dengan orang-orang yang secara gebyah-uyah (pukul rata)
mengatakan bahwa tabarruk itu keseluruhannya dilarang oleh agama Islam, bahkan memvonis
pelakunya sebagai musyrik atau paling ringan melakukan bid’ah yang sesat, sebab banyak sekali
para sabahat yang melakuakn tabarruk kepada Nabi s.a.w dan barang-barang yang behubungan
dengan beliau (seperti rambut, darah, baju, mimbar, tempat minum, dan lain-lain), seperti
beberapa orang dari Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin, Ummu Salamah, Asma’ binti Abi Bakar, Kholid
bin Walid, Wa ‘ilah bin Al-Asqa’, Salamah bin Al-Akwa’, Anas bin Malik, Ummu Sulaim,
Kusaid bin Khidlir, Sawad bin Ghozyah, Abdullah bin Salam, Abu Musa Al-Asyari, Abdullah bin
Zaubair, Sarrah pembantu Ummu Salamah, Malik bin Sanan, Abu Makhdzurah radliyallahu
anhum. Juga Imam Malik nin Anas, dan guru-gurunya dari fuqoha’ al-Madinah, seperti Imam
Sa’id bin Al-Musayyab dan Yahya bin Sa’id. Itu semua menunjukkan bahwa tradisi sudah ada
semenjak masa Nabi s.a.w, masa sahabat dan masa tabi’in.

Dikalangan warga Nahdliyin, kecintaan dan penghormatan para Wali (Auliya’) tersebut lebih
didasarkan pada lasan yang berdimensi spiritual, seperti sikap dan perilakunya yang tampil
sederhana, ibadahnya yang sangat tekun diatas rata-rata masyarakat umum, penampilannya yang
santun, zuhud dan wara’ (menjauhi perilaku tercela), tidak mempunyai pamrih terhadap siapapun
dalam hal materi, suka membimbing masyarakt dalam kehidupan rohani dan keagamaan,
mempunyai kelebihan-kelebihan seperti karomahnya dan kemampuannya melihat sesuatau yang
tidak bisa diketahui orang lain. Sedangkan kecintaan dan penghormatan warga Nahdliyin kepada
pawa Kiai (Ulama’) lebih didasarkan kepada alasan yang berdimensi sosial, seperti kepedulian
para kiai kepada persoalan yang dihadapi oleh masyarakt, pelayanan para kiai memberikan
pengajaran dan bimbingan keilmuan dan keagamaan tanpa menuntut imbalan, kedekatan para
kiai ditengah-tengah kehidupan masyarakt awam atau kalau diistilahkan lebih keren para kiai itu
rata-rata berorientasi dan bersikap populis (merakyat), para kiai juga sering menjadi tempat
segala macam pengaduan masyarakat dalam kesulitan yang mereka hadapi, dan juga menjadi
perumus aspirasi mereka, bahkan tidak jarang para kiai juga ikut langsung memimpin aksi-aksi
protes ketidak adilan dan ketidak-benaran yang dialami masyarakat. sehingga tidak aneh apabila
masyarakat pada masa colonial dulu sering dijumpai figur kiai menjadi pempinan
pemberontakan terhadap penjajah.

Bagi masyarakat yang sudah banyak mendalami agama islam, penghormatan dan simpati kepada
para kiai juga didasari alasan-alasan scriptural (dalil naqli) seperti firman Allah dalam surat
Fathir ayat 28:

Meskipun arti ulama (atau para kiai dalam pengertian masyarakat Jawa) dalam ayat tersebut
menurut sebagian ahli tafsir tidak terbatas hanya semata orang-orang yang ahli agama, tetapi
mencakup semua orang yang menyadari dan mengetahui kebesaran Tuhan dan kekuasaan-Nya di
jagad raya ini, dengan argumentasi alur kalimat ayat tesebut dan ayat sebelumnya
mengungkapkan fenomena alam (langit, air, berbagai macam buah-buahan, gunung-gunung yang
berwarna-warni, manusia, binatang, hewan ternah yang beraneka ragam), namun konotasi yang
mudah ditangkap adalah mereka yang mempunyai kelebihan keilmuan agama dan
pengalamannya diatas rata-rata masyarakatnya. Apalagi dalam realitas kehidupan masyarakat
cukup banyak orang-orang yamg menguasai keilmuan non agama (eksata, sosial maupun seni)
tidak menunjukkan sikap ketakutannya (khosyyah) kepada Allah bahkan sebaliknya.

Disamping ayat tersebut, banyak Hadis Nabi Muhammad s.a.w yang menunjuk kedudukan
ulama dalam pengertian umumnya masyarakat, antara lain seperti berikut:

Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud At-Turmudzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari
sumber Abu Darda’ r.a.

Diriwayatkan oleh Imam Al-Qodlo’I dan Ibnu ‘Asakir, dari sanad Anas bin Malik r.a.

Diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dari sumber sanad sahabat Usman bin Affan r.a. Meskipun
ini hadis dho’if, tetapi kekuatan oleh beberapa hadis lain yang menunjang kebenarannya.

Kholifah Ali bin Abi Thalib r.a berkata pada waktu mendapat kabar kewafatan seorang sahabat
Nabi s.a.w yang dikenal sebagai ulama:
Kata “Kiai” ini jelas tidak berasal dari bahasa Arab, menurut Manfred Ziemek, kata Kiai ini
berasal dari Jawa yang mempunyai makna yang agung, mulia, keramat dan dituahkan. Kata
tersebut mempunyai arti yang kurang lebih sama dengan Ajengan (Sunda), Teuku (Aceh), Syekh
(Sumatra), Buya (Minangkabau), Tuan guru (NTB dan Kalimantan), di Jawa untuk benda-benda
atau binatang yang dikeramatkan atau ditakuti juga disebut kiai, seperti keris, tombak, gamelan,
pakaian kebesaran raja, sampai kerbau albino (bule, warna putih) dan harimau juga disebut kiai.

Di Indonesia, dan juga di beberapa negara Melayu lainnya, peranan Kiai, atau lebih umum kita
sebut ulam ini dalam penyebaran Islam dan pembinaan umatnya sejak dulu sampai sekarang
tidak bisa dipungkiri. Maulana Malik Ibrahim merupakan representasi kehidupan kiai, konon ia
tinggal di Jawa sebagai kiai dan mubaligh selama lebih dari dua puluh tahun, sampai wafatnya
pada tahun 822 H / 1491 M yang makamnya ada di Gresik sampai sekarang tetap dihormati dan
tetap di ziarahi oleh umat Islam dari penjuru tanah air. Figur kiai ini ditopang dengan lembaga
yang lekat dengan citra kiai yakni pesantren. Agaknya Maulana Malik Ibrahim mengadaptasi
bentuk lembaga pesantren dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada di Jawa, yaitu
lembaga pendidikan asrama atau pedepokan yang merupakan sistem biara yang dipakai oleh para
pendeta Hindu dan biksu Budha. Betapa pentingnya peran pesantren dibawah asuhan para kiai
ini, dapat dibayangkan apa yang disampaikan oleh Dr. S. Soebardi dan Prof. A.H. Johns yang
dikutip oleh Dr. Zamakhsyari Dlofler, sebagai berikut :

“Lembaga-lembaga pesantren itulah yang paling menentukan watak ke-Islaman dari kerajaan-
kerajaan Islam, dan yang memegang peranan penting bagi penyebaran agama Islam sampai ke
pelosok-pelosok. Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal-usul sejumlah manuskrip tentang
pengajaran islam di Asia Tenggara, yang tersedia secara terbatas, yang dikumpulkan oleh
pengembara-pengembara pertama perusahaan-perusahaan dagang Belanda dan Inggris sejak
akhir abad ke-16 M, untuk dapat betul-betul memahami sejarah Islamisasi di wilayah ini, kita
harus mulai mempelajari lembaga-lembaga pesantern tersebut, karena lembaga-lembaga inilah
yang menjadi anak panah penyebaran Islam di wilayah ini”.

Peran Kiai dan Pesantren menjadi lebih menonjol pada saat Sunan Ampel membangun
pesantrennya di Ampel Denta (Surabaya) dan kemudian membuat jaringan kepesantrenan dengan
di Malaka, dengan mengirimkan dua orang putranya, yakni Sunan Giri dan Sunan Bonang
kesana untuk mendalami ilmu tashawwuf dibawah bimbingan Syekh Wali Lanang. Di Jawa
sendiri adanya jaringan pesantren baik yang terbentuk karena hubungan kekeluargaan antar
pesantren atau karena hubungan keilmuan (pesantren induk dengan pesantren yang dibuka oleh
para alumnusnya) sangat kuat. Dalam lingkungan warga Nahdliyin, penghormatan dan kecintaan
kepada Kiai itu memang begitu besar dan mendalam, sehingga banyak terjadi cerita-cerita yang
aneh dan lucu dalam hubungan warga NU dan kiainya.
B. Kepemimpinan Ulama

Para Ulama Ahlussunnah wal jamaáh selalu mengingatkan, bahwa kepemimpinan (termasuk
kekuasaan, wewenang, jabatan, tugas-tugas yang berkaitan dengan pengurusan dan pelayanan
masyarakat) harus lebih dipandang sebagai “amanah” dari pada sebagai anugerah. Karena itu
mereka para pemegang tugas kepemimpinan harus menyadari kalau kepepimpinannya dimintai
pertanggungjawaban (mas’ul’anhu) dihadapan Allah maupun dihadapan masyarakat yang
dipimpinnya. Dan bagi mereka yang tidak memiliki kemampuan, baik secara fisik, keilmuan,
keahlian maupun kepercayaan dari mereka yang akan dipimpinnya, seharusnya tahu diri tidak
memaksa untuk jadi pimpinan. Pandangan demikian didasarkan pada pesan As-Sunah (sunnah
Nabi s.a.w) seperti antara lain diceritakan oleh sahabat Abu Dzar Al-Ghifari r.a sebagai berikut :

Dalam hadis lain, yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Sahal bin Sa’ad,
bahwa Rasulullah bersabda :

Dalam referensi-referensi keislaman, umumnya mengatakan bahwa kelompok atau firqoh islam
yang pertama sekali mengangkat masalaha kepemimpinan (Imamah) secara ilmiah dan dibahas
secara serius adalah kelompok Syi’ah, baik dalam bentuk kajian teologis maupun kajian
ideologis. Dan mereka memasukkan masalah imamah ini sebagai masalah fundamental agama
(ushuluddin). Jauh sebelum kalangan Ahlussunnah juga membahas masalah ini, kalangan Syi’ah,
Muktazilah dan Khawarij sudah banyak membahasnya, dan termasuk dalam kajian ilmu Kalam.
Tokoh-tokoh Syi’ah yang banyak perannya dalam mempopulerkan masalah imamah ini antara
lain adalah Ali bin Ismalil At-Tammar dan Hisyam bin Hakam, kemudian di kalangan Mu’tazilah
antara lain ‘Amru bin’Ubaid, Abu Hudzail dan Abu Bakar Al-Ashom, sedangkan dari kelompok
Khawarij adalah Al-Yaman bin Rabb dan ‘Abdullah bin Yazid.

Pada saat Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah ramai membicarakan masalah Imamah ini, para
Ulama Ahlussunnah al Jama’ah lebih tertarik membicarakan masalah lain, terutama masalah
hukum-hukum fiqih, focus mereka disini. Malah pada waktu itu, Ulama-ulama Ahlusssunnah wal
Ja’maah masih enggan terlibat perdebatan masalah Ilmu Kalam, karena dipandang banyak
menimbulkan persoalan-persoalan yang membawa resiko tinggi dalam beragama, Imam Syafi’I
sendiri pernah mengatakan:

“Saya memperhatikan para ahli Ilmu Kalam sering mengkafirkan satu sama lain. Dan saya
melihat ahli Ilmu Hadis saling menyalahkan satu sama lain. Saya kira saling menyalahkan itu
lebih ringan daripada saling mengkafirkan”.
Dilingkungan ulama fiqih, mungkin Imam Abu Yusuf (dari madzab Hanafi) yang pertama-tama
tertarik masalah imamah ini. Dalam pengantar kitabnya yang popular Al-Khoroj yang ditujukan
kepada Kholifah Harun Ar-Rasyid masalah ini disingggung, dalam bentuk nasehat-nasehat yang
bersumber dari hadis-hadis dan nasehat para ulama. Tapi Imam Syafi’i menurut penuturan Ibnu
Nadim merupakan ulama fiqih pertama yang mengangkat masalah imamah ini sebgai bagian
kajian fiqih, dan membahasnya secara khusus dalam “Kitab al-Imamah”, dan memberikan dasar
hukumnya melalui Ijma’. Dan dasar Ijma’ ini menurut Dr. Muhammad Dliya’uddin Ar-Reis,
selanjutnya kan menjadi kaedah yang asasi dalam teori imamah dikalangan Ahlussunnah, seperti
yang terlihat dalam pemikiran-pemikiran para ulama semacam Al-Bahgdadi, Al-Mawardi, Ibnu
Hazm, Al-Ghazali, Ar-Razi, An-Nawawi dan Ibnu Khaldun sesudahnya, dan masalah imamah ini
kemudian masuk sebagai bagian integral dalam Al-Fiqhu al-‘Am (Fiqih Umum).

Oleh karena peran pemimpin itu begitu besar, demikian juga dengan tanggung jawabnya, maka
ulam-ulama Ahlussunnah menetapkan beberapa syarat untuk kepemimpinan tersebut, yang
umum diantara syarat-syarat itulah :

1. pengetahuan yang cukup luas dan dalam

2. Moral dan karakter yang terpuji (seperti kejujuran, keadilan dan keberanian)

3. kesehatan fisik dan mental

4. kamampuan dan kewibawaan (dalam tugas kepemimpinan)

Syarat-syarat tersebut (berat atau ringannya) tergantung pada besar atau kecilnya tanggung jawab
serta luas atau terbatasnya wewenang dan kekuasaan yang berdampak pada kemaslahatan
masyarakat. dalam istilah Imam Al-Qorofi :

Untuk dapat menjadi Amir (kepala daerah) syaratnya lebih mudah dari pada untuk menjadi
Menteri, dan syarat untuk menjadi Menteri syaratnya lebih ringan disbanding syarat untuk
menjadi Sultan (kepala negara), semua itu tidak lepas dari tujuan kepentingan kemaslahatan dan
kebaikan masyarakat luas.

Kholifah Umar bin Khattab r.a memandang “tanggung jawab” sebagai karakter yang harus
dimiliki oleh setiap pemimpin, dan bentuk kesadaran dan perilaku sehari-harinya, sehingga
Kholifah Umar pernah berkata:

“Demi Allah, seandainya ada anak keledai yang tergelincir jatuh disebuah jalan di Iraq, saya
takut dimintai pertanggungjawaban oleh Allah nanti di akhirat, mengapa saya tidak memperbaiki
jalan itu?

Anda mungkin juga menyukai