Anda di halaman 1dari 8

Islam Nusantara

Dari Ushul Fiqih Hingga Paham Kebangsaan

Prembule
Buku dengan judul Islam Nusantara, Dari Ushul Fiqih Hingga Paham
Kebangsaan yang berisikan tulisan para alim dibidang masing-masing sehingga
buku ini sangat layak untuk dijadikan referensi dalam upaya menjawab tantangan
beragama yang semakin komplek.
Kompleksitas keberagamaan yang tidak ditunjang dengan pengetahuan yang
mumpuni akan menghasilkan kecarut marutan, terlebih jika kemudian
disandingkan dengan berbagai persoalan kebangsaan. Peroblematika inilah yang
kemudian coba dijawab melalui buku ini. Jawaban yang diberikan seperti lazimnya
ulama pesantren yang hanya akan memberikan alternatif jalan sehingga
independensi pilihan tetap berada pada individu masing-masing, meskipun saya
tidak terlalu yakin bahwa akademisi yang santri akan berani mengkritisi tulisan
kiainya. Persoalan yang muncul adalah tidak semua individu mampu meramu apa
yang telah disediakan oleh para alim pada buku ini untuk menjawab tantangan
zaman kedepan. Maka menjadi tugas para cendikia untuk membimbing umat
menuju peradaban yang kokoh lagi gemilang.
Dalam review buku ini sengaja saya tidak memasukkan kata pengantar,
meskipun tentu kalimat pengantar yang diberikan oleh KH. Musthofa Bisri akan
memberikan kita landasan untuk menuju pemahaman tentang Islam Nusantara.
Namun demikian saya ingin langsung saja masuk ke pembahasan dan disanalah
nantinya saya akan mencoba untuk bukan saja mereview namun mencoba akan
memberikan sedikit pemikiran yang saya landaskan dari buku KH. MA. Sahal
Mahfdudh yang berjudul Nuansa Fiqih Sosial.
Saya beranggapan buku karya KH. MA. Sahal Mahfudh inilah yang dapat
memberikan masukan akan berbagai asumsi, ide maupun solusi yang coba
ditawarkan oleh beberapa penulis dalam buku Islam Nusantara tersebut.
Kitab I
Pribumisasi Islam
(KH. Abdurrahman Wahid)
Pada kitab pertama dikhusukan sebuah tulisan dari KH. Abdurrahman
Wahid. Dengan tema: Pribumisasi Islam. Tulisan inilah yang menjadi peletak dasar
untuk memahami apa yang disebut dengan Islam Nusantara. Mengapa demikian?
Karena dalam tulisan inilah kita dapat memahami bahwa budaya dengan agama
merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat terpisahkan. Ranah agama yang
wajib harus selalu orisinil karena merupakan nash atau wahyu dari Tuhan tentu
tidak boleh tercemar oleh berbagai prilaku dan budaya manusia namun ajaran
agama yang orisinal tersebut dapat mengakomodir kebudayaan selama tidak
bertentangan dengan agama itu sendiri.
Islam sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua alam masuk ke
Indonesia tentu tidak disertai dengan masuknya budaya pembawa agama islam
dengan serta merta, terlebih nusantara tidak lantas menjadi arabisasi dalam segala
aspek. KH. Abdurrahma Wahid menenkankan kelenturan agama islam inilah yang
kemudian menjadi solusi keummatan pada zaman dimana islam pertama kali masuk
ke Indonesia. Dia (islam) tidak memberangus kebudayaan setempat, namun justru
menjadikan busaya setempat sebagai kekayaan agama islam di nusantara.
Pleksibiltas inilah yang kemudian dapat menjadi solusi bagi kemandekan
dunia dakwah pada era dimana islam pertama kali masuk khususnya di nusantara.
Dalam islam fiqih sendiri tentu harus dapat menjadi penyelesai berbagai persoalan
di tengah masyarakat maka oleh karena itulah fuqaha terutaam yang memang ahli
dalam ilmu suhul fiqh merumuskan bahwa tidak semua adat istiadat yang ada
dimasyarakat harus diberangus justru beberapa adat istiadat masih dipertahankan
dan menjadi hukum yang kedudukanya hampir setara dengan fiqih itu sendiri.
Di dalam ilmu Ushul Fiqh dikenla kaidah al ‘adah muhakkamah (adat istiadat
bisa menjadi huku). Inilah yang kemudian menjadi salah satu rujukan para ulama
nusantara dalam mencari solusi problematika umat yang berkembang seiring
dengan perkembangan zaman sehingga ia tidak menjadi kaku atau menjadi produk
hukum yang ketinggalan zaman.
Kenyataan bahwa modifikasi-modifikasi seperti itu ditolerir oleh para ulama
dan sampai saat ini tetap berlaku menunjukkan vitalitas islam. Artinya ada
kelenturan yang tidak sampai meninggalkan pegangan dasar (KH. Abdurrahman
Wahid, Islam Nusantara: Hlm. 38). Ada sebuah contoh menarik yang coba
dikemukakan oleh KH. Abdurrahman Wahid dalam memberikan gambaran
kelenturan hukum Islam yang berpadu dengan kebudayaan. Dalam sebuah hadist
nabi disebutkan bahwa nabi sendiri menganjurkan umatnya untuk mempunyai anak
banyak karena pada saat hari kiamat nabi akan membanggakan banyaknya umatnya
dihadapan nabi-nabi lainya. Awalnya kata ‘banyak’ selalu dimaknai dengan jumlah,
karena dengan tingginya angka kematian bayi ditakutkan bahwa jumlah umat
muslim akan menurun dan tentu ini tidak sesuai dengan apa yang telah
diperintahkan oleh rasulullah. Namun demikian, pada era sekarang ini tentu hal
tersebut kurang baik untuk dipertahankan karena akan menimbulkan bahaya
lainya, ketika kemampuan umat untuk menampung tidak memadai. Maka terjadilah
perubaha dan ukuran ‘banyak’ tidak lagi digunakan melainkan menggunakan
kualitas. Perubahan pemahaman seperti ini membawa kepada rumusan
pemahaman nas yang baru, “kawinlah akan tetapi jangan terlalu banyak anak dan
aturlah jumlah keluarga anda.” (KH. Abdurrahman Wahid, Islam Nusantara: Hlm.
40).
Konsekuensi yang ditemui ketika menerapkan hadist perbanyak anak adalah
soal pernikahan, ternyata dalam hadist yang lain disebutkan bahwa seorang
pemuda jika tidak dapat menahan nafsunya maka diwajibkan untuk segera
menikah, konsekuensinya sangat jelas bahwa batasan usia pernikahan akan
terabaikan, sehingga yang merasa telah dewasa dan dengan alasan tidak mampu
menahan hawa nafsu akan segera menikah dan contoh akan kejadian ini telah
banyak terjadi terutama di daerah Indonesia bagian timur.
Jika kita mencermati lebih jauh tentang hadist tersebut jelas bahwa sebelum
anjuran untuk menikah maka diminta untuk berpuasa dahulu sebagai jalan untuk
menahan hawa nafsu, hal ini mennadakan bahwa pernikahan bukan satu-satunya
yang wajib untuk disegerakan artinya harus berpikir secara matang-matang maka
dalam Undang-undang pernikahan telah jelas bahwa usia perniakahan bagi laki-laki
adalah pada usia 25 dan wanita adalah 19 tahun, batas ini ternyata tidak
dipertentangkan oleh para ulama.
Sejumlah kaidah fiqh pun dapat dijadikan rujukan antara lain darul-mafasid
muqaddam ‘ala jabil-mashalih (menutup kemungkinan bahaya harus didahulukan
sebelum upaya memperoleh kemaslahatan). Argumentasi bahwa pemuda sebaiknya
menikah dahulu memang bertujuan untuk kebaikan, namun dalam kondisi sekarang
banyak faktor yang wajib untuk kemudian dipertimbangkan, antara lain
konsekuensi pernikahan usia dini, kesiapan mental kedua mempelai, kesiapan akan
nafkah materi, dan nafkah batin. Sehingga kemudian tidak serampangan dalam
menerapkan sebuah hukum terlebih menyangkut masa depan umat.
Lebih jauh lagi adalah dalil al-hajah tanzilu manzilahadi-dharurah
(kebutuhan setara dengan keadaan darut), sedangkan dalil lain berbunyi adl-
dlarurah tubihul-mahdhurah (keadaan darurat memungkinkan dihalalkanya
dilarang). Dengan demikian, gabungan dari dua dalil tersebut akan membentuk
kesimpulan bahwa hajah (keadaan membutuhkan) bisa menghalalkan yang haram;
karena faktor kebutuhan setara dengan keadaan darurat. musyawarah ulama tadi
menyimpulkan bahwa batasan usia terendah bagi pernikahan untuk mencegah
kematian bayi yang baru lahir, pernikahan dini dan secara makro akan berdampak
pada kesimbangan jumlah penduduk di muka bumi yang harus selalu dijaga(KH>
Abdurrahman Wahid, Islam Nusantara; Hlm. 40-41).

Kitab II
Bahtsul Masail Dan Istinbath Hukum NU:
Sebuah Catatan
(KH.MA. Sahal Mahfudz)
Membaca karya-karya KH.MA. Sahal Mahfudz bagaikan menyelami samudera
ilmu pengetahuan yang tidak ada habisnya, seorang ulama faqih dan asli lulusan
pendidikan nusantara namun mempunyai keilmuan yang ‘melebihi’ beberapa ulama
alumni luar negeri (baik timur tengah maupun eropa). Kiai Sahal dalam beberapa
tulisanya dapat dijumpai corak pemikiranya yang elastis dan memahami
peroblematika umat indonesia secara komprehensif. Inilah yang kemudian
menjadikan beliau menjadi salah satu kiblat dalam menyelesaikan peliknya belbagai
problematika umat terutama yang bersangkutan dengan ilmu fiqih.
Dalam uraian kiai Sahal tentang Istinbatht hukum NU ini sejatinya telah
dijelaskan secara lebih terperinci dalam buku beliau yang berjudul; Nuansa Fiqih
Sosial. Kiai Sahal secara gamblang menjelaskan bahwa ulama nusantara lebih
memilih corak pemikiran atau metode berpikir manhaj ketimbang metode berpikir
Qauli atau tekstualis. Hal ini dikarenakan, mungkin salah satunya karena
keberagaman yang ada di Nusantara sehingga metode manhaji lebih pas ketimbang
metode berpikir lainya.
Salah satu ciri metode berpikir manhaji adalah menjadikan paham
ahlussunnah wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar berakidah) dan menganut
salah satu dari empat mazhab: Hanafi, Maliki, Hanbali dan Syafi’i sebagai pegangan
dalam berfiqih. Masyarakat nusantara terutama ulamanya yang telah menjadikan
empat mazhab tersebut sebagai basis aqidahnya menunjukkan elastisitas dan
fleksibilitas sekaligus memungkinkan bagi warga nahdliyin untuk beralih mazhab
secara total maupun dalam hal-hal tertentu, meskipun tentu harus disertai dengan
dasar yang kuat, karena intiqal (berpindah sesuka hati) tentu tidak diperkenankan.
Dalam menentukan hukum dikalangan NU mempunyai sebuah forum yang
dinamai bahtsul masail yang dikoordinasi oleh lembaga syuriah (legislatif). Forum
bahtsul masail menjadi begitu penting karena merupakan tempat para ulama nu
untuk saling berdiskusi bahkan sampai terjadi perdebatan sengit untuk
memutuskan suatu perkara, hal ini menunjukkan meskipun dalam tubuh NU
terdapat kelenturan, elastisitas dan fleksibilitas namun tidak gampang atau
sembrono memutuskan suatu perkara wajib melewati telaah yang begitu mendalam
dan dilihat dan diteliti dari berbagai aspek sehingga keputusan yang diambil dapat
membawa kebermanfaatan bagi umat.
Produk fiqih tidak hanya hasil dari produk penalaran intelektual
(rasionalisasi) berdasarkan logika-logika keilmuan tertentu, tetapi juga kerja ilmiah.
Contohnya adalah penggunaan metode riset (istigrá’) yang dilakukan oleh Imam
Syafi’i untuk melahirkan produk hukum fiqih tentang menstruasi (haid). Para ulama
klasik juga sering melibatkan disiplin ilmu lain di luar fiqih untuk menentukan
status hukum masalah tertentu. Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya
fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan
sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum yang
sangat mungkin mengalamin perubahan.

Kitab III
Islam Merangkul Nusantara
Mendengar kata nusantara maka terbayang bentangan pulau dari Sabang
sampai Merauke yang berjejer pulau-pulau dengan begitu indahnya, pulau yang
dianugerahi keindahan luar biasa oleh Tuhan, bahkan sampai ada yang berkata
bahwa Nusantara merupakan potongan surga yang tertinggal di bumi.
Kata ‘Nusantara” sendiri adalah kata benda majemuk yang berasal dari
bahasa jawa Kuna: nusa (pulau) dan antara (terletak di seberang).
Masuknya Islam sekitar abad ke -7 sampai ke -10 telah membawa perubahan
yang sangat signifikan. Di kawasan yang didominasi oleh “Islam Klasik”-Timur
Tengah, Afrika Utara. Persia, dan kawasan Turki serta beberapa wilayah Asia-islam
datang sebagai ‘hakim’ dengan menguasai, menegakkan hukum dan menyelesaikan
persengketaan. Di Nusantara, Islam datang sebagai tamu yang pada giliranya
menjadi bagian keluarga. Karena itulah Islam Nusantara menunjukkan karakter
yang berbeda, tidak seperti Islam yang muncul di wilayah dunia muslim lainya.

Buku Pembanding karya; KH. MA. Sahal Mahfudh Nuansa Fiqih Sosial.
Setelah membaca secara cepat buku yang berjudul; Islam Nusantara Dari
Ushûl Fiqih Hingga Paham Kebangsaan. Untuk kemudian di review tentu akan
banyak sekali kekurangannya, disamping menjadi kurang teliti dan beberapa
momentum penting terlewatkan ketika sampai diakhir membaca maka tidak akan
didapatkan klimaksnya, sejujurnya dalam buku tersebut saya menikmati secara baik
tulisan KH. MA. Sahal Mahfudh dan KH. Abdurrahman Wahid yang berjudul
Pribumisasi Islam tanpa kemudian menafikan keilmuan tokoh lainnya.
Tidak akan ditemukan kekurangan dalam buku Islam Nusantara Dari Fiqih
Hingga Paham Kebangsaan. Namun, karena buku tersebut ditulis oleh sekumpulan
tokoh yang telah mempunyai nama besar, maka tentu akan membuka peluang
banyak sekali tafsir dalam memaknai Islam Nusantara atau justru menjadikan
pengertian Islam Nusantara yang tanpa batasan.
Berbeda halnya ketika membaca buku karya KH. Sahal Mahfudh yaitu :
Nuansa Fiqih Sosial. Pembaca akan dapat lebih mendalami pemikiran satu tokoh
sehingga transfer pengetahuan melalui buku tersebut dapat benar-benar mencapai
klimaksnya.
Selain itu, dalam buku Nuansa Fiqih Sosial, pembaca benar-benar
mendapatkan gambaran tentang bagaimana melatakkan fiqih sebagai produk
hukum yang bersumber dari Al-Quran dan Assunnah. Tidak ketinggalan KH. Sahal
memberikan gambaran bahwa dalam menentukan suatu hukum tidak perlu terlalu
kaku, namun juga tidak boleh serampangan, karena bagaimanapun aqidah
Ahlussunah Waljama’ah yang bermazhab Syafi’i mempunyai batasan yang menjadi
tolak ukur.
Maka dengan demikian, tidak ada yang menjadi lebih baik diantara kedua
buku tersebut, justru kedua buku tersebut saling melengkapi karena salah satu tema
yang terdapat dalam buku Islam Nusantara karya KH. Sahal juga terdapat dalam
buku Nuansa Fiqih Sosial yang kemudian penjabaranya lebih luas dan
komprehensif.
Review Buku : Islam Nusantara
Dari Ushul Fiqih Hingga Paham Kebangsaan

Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Genealogi Islam Nusantara
Dosen Pengampu : Dr. Nasrullah Jazzam/Dr. Ulil Absar

Disusun oleh :
Budi Hartawan
NIM : 19.01.01.003

MAGISTER SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ISLAM NUSANTARA
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA
Tahun Akademik 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai