Anda di halaman 1dari 16

POST TEST

TINEA CORPORIS

Disusun Oleh:
Ade Endang Maulana (11310003)

Pembimbing:
dr. Hj. Hervina, Sp.KK

KKS ILMU PENYAKIT KULIT & KELAMIN PROGRAM STUDI


PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD DR. RM. DJOELHAM
BINJAI
2017
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1

BAB II TINEA CORPORIS.....................................................................................................2

2.1 DEFINISI.......................................................................................................................2

2.2 EPIDEMIOLOGI...........................................................................................................2

2.3 ETIOLOGI.....................................................................................................................3

2.4 PATOFIOLOGI ..............................................................................................................4

2.5 GEJALA KLINIS...........................................................................................................5

2.6 DIAGNOSA...................................................................................................................6

2.7 DIAGNOSA BANDING................................................................................................8

2.8 PENGOBATAN.............................................................................................................8

2.9 PENCEGAHAN...........................................................................................................11

2.10 PROGNOSIS.............................................................................................................12

BAB III KESIMPULAN........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Dari segala macam penyakit jamur kulit yang merupakan tipe infeksi
superficial dan kutan maka ptiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidiosis
kulit yang tersering ditemui. Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur
superficial yang disebabkan oleh jamur dermotofita yakni Trichophyton spp,
Microsporum spp, dan epidermophyton spp. Dermatofitosis mempunyai arti
umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit. Penyakit ini
menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk yakni epidermis (tinea korporis,
tinea kruris, tinea manus et pedis), rambut (tinea kapitis), kuku (tinea unguinum).
Dermatofitosis terjadi karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang diserang,
biasanya di tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya.1,2

Ciri khas pada infeksi jamur adanya tampak kurang akti, sedangkan bagian
pinggirnya tampak aktif. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya udara
lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya sumber
penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik penggunaan antibiotika dan
obat steroid, Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini. Dermatofitosis
salah satu pembagiannya berdasarkan lokasi bagian tubuh manusia yang diserang
salah satunya adalah Tinea Korporis, yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah
kulit yang tidak berambut (glabrous skin), misalnya pada wajah, badan, lengan
dan tungkai. Yang gejala subyektifnya yaitu gatal dan terutama jika berkeringat.
Tinea korporis adalah infeksi dermatofita superfisial yang ditandai oleh baik lesi
inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin (kulit yang tidak berambut)
seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan).1,2,3

1
BAB II

TINEA CORPORIS

2.1 DEFINISI
Tinea Corporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit
halus tanpa rambut, kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan mulut. Tinea
corporis merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan iklim tropis
seperti Negara Indonesia dan dapat menyerang semua usia terutama dewasa. Tinea
corporis disebabkan oleh golongan jamur Trichophyton, Microsporum, dan
Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering penyakit tinea
corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus
tinea corporis. Tricophyton rubrum mempunyai dinding sel sehingga resisten
terhadap eradikasi. Barrier proteksi ini mengandung mannan, yang menghambat
organisme ini tahan terhadap pertahanan lapisan kulit. Infeksi tinea corporis
jarang menimbulkan kematian, akan tetapi dapat memberikan efek yang besar
terhadap kualitas hidup. 1,4

2.2 EPIDEMIOLOGI
Kondisi geografis Indonesia sebagai Negara tropis dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi memudahkan tumbuhnya jamur. Hal tersebut
menyebabkan prevalensi penyakit infeksi jamur yaitu dermatofitosis di Indonesia
cukup tinggi. Studi menyebutkan 20% - 25% orang dewasa di seluruh dunia
terinfeksi oleh dermatofitosis. Dermatofitosis merupakan infeksi jamur superfisial
yang disebabkan oleh jamur dermatofita pada jaringan yang terdapat zat tanduk
(berkeratin), jarang mengenai lapisan yang lebih dalam, ditandai dengan lesi
inflamasi maupun non inflamasi, mengenai stratum korneum pada kulit, rambut
dan kuku. Infeksi jamur yang sering menyebabkan dermatofitosis adalah genus
Trichopyton, Microsporum dan Epidermophyton. Transmisi dermatofitosis
menyebar melalui 3 cara yakni Antropofilik, Zoofilik, dapat berupa transmisi
secara langsung maupun tidak langsung.1,5

2
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi
hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini. Oleh karena itu daerah
tropis dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis. Tinea
korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada pekerja yang
berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.3,6,7

2.3 ETIOLOGI
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp,
Microsphorum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton
Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes.6
Tinea corporis adalah infeksi jamur pada kulit halus ( glabrous skin) di
daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai, dan glutea yang disebabkan jamur
dermatofita spesies Trichophyton , Microsporus , Epidermophyton. Jamur
penyebab tinea corporis ini bersifat antropofilik, geofilik, dan zoofilik. Jamur
yang bersifat antropofilik hanya mentransmisikan penyakit antar manusia antara
lain adalah tricophytonviolaceum yang banyak ditemukan pada orang afrika,
Trichophyton Rubrum, Trichophyton scholeinii, Trichophyton Magninii,
Trichophyton Saudanense, Trichophyton youndei , Microsporum audouinii, dan
Microsporum ferrugineum. Jamur geofilik merupakan jamur yang hidup di tanah
dan dapat menyebabkan radang yang moderat pada manusia. Golongan jamur ini
antara lain Microsporum gypseum dan Microsporum fulvum. Jamur zoofilik
merupakan jamur yang hidup pada hewan, namun dapat mentransmisikan
penyakit pada manusia. Jamur zoofilik penyebab tinea corporis salah satunya

3
adalah Microsporum canis yang berasal dari kucing. Dari tiga sifat jamur
penyebab tinea corporis tersebut, dermatofit yang antropofilik adalah sifat yang
paling sering ditemukan sebagai sumber infeksi tinea corporis.1

2.4 PATOFISIOLOGI

Lapisan kulit yang sering diinfeksi Tricophyton rubrum yaitu kulit yang
tertutup pakaian ketat atau pakaian yang tidak berpori sehingga dapat
meningkatkan temperatur dan keringat yang dapat mengganggu fungsi barrier
stratum korneum dan berperan dalam membantu proliferasi jamur. Infeksi jamur
dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan
keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan
difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak keratinosit. Setelah masa
inkubasi 1-3 minggu, respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana
bagian tepi lesi yang aktif akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan
menghasilkan skuama.3

Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa dan cabang-cabangnya di dalam


jaringan keratin yang mati, hifa melepaskan keratinase serta enzim lainnya guna
menginvasi lebih dalam stratum korneum dan menimbulkan peradangan,
walaupun umumnya, infeksi terbatas pada epidermis, karena adanya mekanisme
pertahanan tubuh non spesifik, seperti komplemen, polimorfonuklear (PMN),
aktivasi faktor penghambat serum (serum inhibitory factor) namun kadangkadang
dapat bertambah atau meluas. Masa inkubasinya sekitar 1-3 minggu dengan
respon jaringan terhadap infeksi semakin jelas dimana bagian tepi lesi yang aktif
akan meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama.
Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.8

Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Yang pertama perlekatan


ke keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa
melekat pada jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi
dengan flora normal lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam
lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik.7

4
Yang kedua penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi
perlekatan spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada
kecepatan yang lebih cepat daripada proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu
oleh sekresi proteinase lipase dan enzim mucinolitik yang juga menyediakan
nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur ke
jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga bisa menurunkan
kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika m=begitu jamur
mencapai lapisan terdalam epidermis.7

Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi dipengaruhi


oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe
IV atau Delayed Type Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat
penting dalam melawan dermatifita.pada pasien yang belum pernah terinfeksi
dermatofita sebelumnya inflamasi menyebabkan inflamasi minimal dan
trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama
yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa
antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan
oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan bermigrasi
ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba
menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan
sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi
sembuh.7

2.5 GEJALA KLINIS


Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas terdiri atas
bermacammacam effloresensi kulit (polimorfi). Bagain tepi lesi lebih aktif (tanda
peradangan) tampak lebih jelas dari pada bagian tengah. Bentuk lesi yang
beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.
Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadangkadang dengan vesikel dan papul di tepi
lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktif
yang sering disebut dengan central healing.

5
Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit
juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu.
Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas terutama pada
pasien imunodefisiensi. Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian
tubuh dan bersamaan timbul dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini
disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya.2.6

2.6 DIAGNOSA

Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status


lokalis dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis berupa rasa gatal pada lesi
terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk
menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di
daerah yang lembab. Kelainan yang terlihat pada lesi berupa makula eritematosa
yang berbentuk bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Pada daerah tepi terdapat
skuama halus, vesikel dan papul yang aktif, sedangkan pada daerah tengah lebih
tenang (central healing). Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau
polisiklik . Tempat predileksi dari tinea corporis yaitu pada bagian tubuh yang
tidak berambut dan lembab seperti thorax, abdomen, glutea, dan ekstremitas.1

Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang


diderita pasien. Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai,
dada, perut atau punggung. Infeksi dapat terjadi setelah kontak dengan orang
terinfeksi serta hewan ataupun obyek yang baru terinfeksi. Pasien mengalami
gatal-gatal, nyeri atau bahkan sensasi terbakar.1,6

Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan lampu wood yang


mengeluarkan sinar UV dengan gelombang 3650 Å yang jika didekatkan pada lesi
akan timbul warna kehijauan (Budimulja, 2004). Pemeriksaan sediaan langsung

6
dengan KOH 10-20% bila positif memperlihatkan elemen jamur berupa hifa
panjang dan artrospora (Djuanda, 2004). Pemeriksaan dengan biakan diperlukan
untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah untuk menentukan spesies
jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap baik pada pemeriksaan ini adalah medium agar dekstrosa
Sabouruad. Biakan memberikan hasil yang lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit
dikerjakan, biayanya lebih mahal, hasil yang diperoleh dalam waktu lebih lama
dan sensitivitasnya kutrang (± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan
sediaan langsung.2

Pemeriksaan penunjang menggunakan sediaan dari bahan kerokan (kulit,


rambut dan kuku) dengan larutan KOH 10-30%. Dengan pemeriksaan
mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk hifa panjang, spora dan
artospora (spora berderet). Dengan pembiakan yang bertujuan untuk mengetahui
spesies jamur penyebab dengan menggunakan bahan kerokan yang ditanam dalam
agar Sabouroud Dekstrose, untuk mencegah pertumbuhan bakteri dapat
ditambahkan antibiotik seperti khloramfenikol ke dalam media tersebut.
Perbenihan pada suhu 24-30°C. Pembacaan dilakukan dalam waktu 13 minggu.
Koloni yang tumbuh diperhatikan mengenai warna, bentuk, permukaan dan ada
atau tidaknya hifa.2

Diagnosis laboratorium dari dermatofitosis biasanya dapat dilakukan


preparat Kalium Hidroksida (KOH). Konsentrasi larutan KOH yang digunakan
adalah 10% untuk sediaan rambut, dan 20% pada sediaan kulit dan kuku. Hasilnya
akan didapatkan adanya hifa maupun spora berderet (arthrospora). Adapun cara
lainnya menggunakan medium agar dekstrosa Sabouraud, namun cara ini jarang
digunakan karena memerlukan waktu yang lama.5

2.7 DIAGNOSIS BANDING


 Dermatitis Numular

 Petiriasis Rosea

7
2.8 PENGOBATAN
Terapi pada penyakit kulit tinea korporis dibagi menjadi dua bagian yaitu
terapi umum dan khusus. Pada terapi umum bertujuan untuk menghilangkan
faktor predisposisi seperti memakai baju yang menyerap keringat supaya
lingkungan kulit tidak lembab dan tidak menjadi tempat proliferasi jamur.
Kemudian terapi khusus tinea corporis berupa medikamentosa yang terdiri dari
obat topikal dan sistemik.1

Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk


pengobatan topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir,
dapat diberikan kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam
bentuk salep (salep whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur
presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 3-10) dan derivat azol :
mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%.1,2

Terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit


yang hidup pada jaringan kulit. Preparat yang sering digunakan yaitu golongan
imidazol, allilamin, siklopirosolamin, dan kortikosteroid. Pada golongan
imidazole terdiri dari ketokonazol, mikonazol, klotrimazol, dan hanya
ketokonazol yang paling banyak digunakan. Ketokonazol merupakan turunan
imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam.
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofita, pitiriasis versikolor,
kutaneus kandidiasis, dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Obat
ini bekerja dengan cara menghambat 14-α-dimetilase pada pembentukan
ergosterol membrane jamur. Ketokonazol 2% cream digunakan untuk infeksi
jamur di kulit tak berambut seperti dermatofita, dengan dosis dan lamanya
pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu
dan dioleskan 1-2 kali sehari.2

Obat berikutnya yaitu golongan Allilamin yang bekerja menghambat


allosteric dan enzim jamur skualen 2,3-epoksidase sehingga skualen menumpuk

8
pada proses pembentukan ergosterol membrane jamur. Contoh obatnya yaitu
aftifine 1%, butenafin 1%, terbinafin 1% yang mampu bertahan hingga 7 hari
sesudah pemakaian 7 hari berturut-turut. Sedangkan obat siklopirosolamin 2%
bekerja menghambat masuknya bahan esensial seluler dan pada konsentrasi tinggi
merubah permeabilitas sel jamur yang merupakan agen topikal yang bersifat
fungisidal, fungistatik, antiinflamasi dan antibakteri.2

Pengobatan infeksi dermatofitosis sebagian besar memberikan respon baik


terhadap pemberian topical antifungal selama 2-4 minggu. Pemberian obat
antifungal secara oral dapat diberikan apabila infeksi dermatofitosis cukup luas
maupun tidak berespon terhadap pemberian antifungal topical.2

Terapi sistemik yang paling banyak digunakan yaitu griseofulvin, ketokonazol,


flukonazol, itrakonazol, dan amfoterisin B. Obat tinea corporis griseofulvin
merupakan obat yang bersifat fungistatik. Obat ini bekerja dengan cara masuk ke
dalam sel jamur yang rentan dengan proses yang tergantung energi. Griseofulvin
berinteraksi dengan mikrotubulus dalam jamur yang merusak serat mitotik dan
menghambat mitosis. Obat ini berakumulasi di daerah yang terinfeksi, disintesis
kembali dalam jaringan yang mengandung keratin sehingga menyebabkan
pertumbuhan jamur terganggu. Terapi harus dilanjutkan sampai jaringan normal
menggantikan jaringan yang terinfeksi dan biasanya membutuhkan beberapa
minggu sampai bulan. Obat ini digunakan untuk pengobatan infeksi tinea yang
berat yang tidak respons terhadap obatobat anti fungi lainnya. Resistensi obat ini
terjadi karena sistem asupan tergantung energi. Untuk efek sampingnya, obat ini
dapat menyebabkan hepatotoksisitas.6

Obat selanjutnya yaitu ketokonazol yang merupakan obat antifungi


sistemik pertama yang berspektrum luas. Ketokonazol merupakan turunan

imidazol sintetik yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada pH asam.
Ketokonazol bekerja degan cara berinteraksi dengan C-14α-demetilase (enzim P-
450 sitokrom) untuk menghambat dimetilasi lanosterol menjadi ergosterol yang

9
merupakan sterol penting untuk membran jamur. Penghambatan ini mengganggu
fungsi membrane dan meningkatkan permeabilitas. Ketokonazol mempunyai
ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui
kelenjar keringat eccrine. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika
mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi
ketokonazol masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat dihentikan.
Pemakaian ketokonazol belum ditemukan adanya resistensi selama diobservasi
sehingga obat ini sangat efektif dalam pengobatan jamur. Efek samping yang
sering timbul dalam penggunaan ketokonazol berupa mual dan muntah.
Ketokonazol sistemik tersedia dalam sediaan tablet 200mg. Dosis yang dianjurkan
pada dewasa adalah 200- 400mg perhari. Lama pengobatan untuk tinea corporis
selama 2-4 minggu. Karena keunggulan ketokonazol sebagai obat berspektrum
luas, tidak resisten, efek samping minimal dan harga yang terjangkau maka obat
ini paling banyak digunakan dalam pengobatan antifungi.5

Penatalaksaan pasien dengan tinea dapat menggunakan:5

1. Griseovulfin: Obat ini bersifat fungistatik. Secara umum griseovulfin


dalam bentuk f i n e p a r t i c l e dapat diberikan dengan dosis 0,5 – 1
untuk orang dewasa dan 0,25 – 0,5 g untuk anak- anak sehari atau 10 –
25 mg per kg berat badan. Lama pengobatan bergantung pada lokasi
penyakit, penyebab penyakit dan keadaan imunitas penderita. Setelah
sembuh klinis di lanjutkan 2 minggu agar tidak residif. 5

2. Butenafine adalah salah satu antijamur topikal terbaru diperkenalkan


dalam pengobatan tinea kruris dalam dua minggu pengobatan dimana
angka kesembuhan sekitar 70%. 5

3. Flukonazol (150 mg sekali seminggu) selama 4-6 minggu terbukti efektif


dalam pengelolaan tinea kruris dan tinea corporis karena 74% dari pasien
mendapatkan kesembuhan.5

10
4. Itrakonazol dapat diberikan sebagai dosis 400 mg / hari diberikan sebagai
dua dosis harian 200 mg untuk satu minggu.5

5. Terbinafine 250 mg / hari telah digunakan dalam konteks ini klinis dengan
rejimen umumnya 2-4 minggu.5

6. Itrakonazol diberikan 200 mg / hari selama 1 minggu dianjurkan,


meskipun rejimen 100 mg / hari selama 2 minggu juga telah dilaporkan
efektif.5

7. Ketokonazol bersifat fungistatik. Pada kasus resisten terhadap griseovulfin


dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari – 2
minggu pada pagi hari setelah makan. Selama terapi 10 hari, gambaran
klinis memperlihatkan makula hipopigmentasi dan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan ulang KOH 10% dapat tidak ditemukan kembali.5

2.9 PENCEGAHAN

Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah


terjadi tinea korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita dengan
menghindari pakainan yang panas, menghindari sumber penularan yaitu binatang,
kuda, sapi kucing, anjing atau kontak dengan penderita lain, menghilangkan fokal
infeksi di tempat lain misalnya di kuku atau di kaki, meningkatkan higienitas dan
mengatasi faktor predisposisi lain seperti diabetes mellitus, kelianan endokrin
yang lain, leukimia harus terkontrol dengan baik.2

Juga beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea korporis
harus dihindari atau dihilangkan antara lain: temperatur lingkungan yang tinggi,
keringat berlebihan, pakaian dari bahan karet atau nilon, kegiatan yang banyak
berhubungan dengan air, misalnya berenang, kegemukan, selain faktor
kelembaban, gesekan kronis dan keringat yang berlebihan disertai higienitas yang
kurang, memudahkan timbulnya infeksi jamur 2.6

2.10 PROGNOSIS

11
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor : usia,
sistem kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis
merupakan salah satu penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota
keluarga lain yang tinggal satu rumah dengan penderita (Budimulja, 2004). Anak-
anak dan remaja muda paling rentan ditularkan tinea korporisDisarankan untuk
lebih teliti dalam memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat, tidak berbahan
panas dan bahan pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga
dipermudah melalui binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea
korporis.4

Faktor usia juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Semakin


bertambahnya usia, maka sistem kekebalan tubuh pun akan menurun, jadi lebih
beresiko dan mudah tertular suatu penyakit, termasuk tinea korporis (Gupta,
2008). Perkembangan penyakit tinea korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan
penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor yang memperberat atau
memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat penyakit
dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan
kebersihan kulit yang selalu dijaga.4

BAB III

KESIMPULAN

1. Tinea Corporis mengacu pada infeksi jamur superfisial pada daerah kulit halus
tanpa rambut, kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan mulut.

12
2. Tinea corporis merupakan infeksi yang umum terjadi pada daerah dengan
iklim tropis seperti Negara Indonesia dan dapat menyerang semua usia
terutama dewasa. Tinea corporis disebabkan oleh golongan jamur
Trichophyton, Microsporum , dan Epidermophyton. Dari tiga golongan
tersebut penyebab tersering penyakit tinea corporis adalah Tricophyton
rubrum dengan prevalensi 47% dari semua kasus tinea corporis.

3. Patogenesis dermatofita terjadi melalui perlekatan ke keratinosit, penetrasi


melalui ataupun di antara sel, dan perkembangan respon host.

4. Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul
di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi
lebih aktif yang sering disebut dengan central healing.

5. Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk pengobatan


topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dapat
diberikan kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam
bentuk salep (salep whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur
presipitatum dalam bentuk salep (salep 2-4, salep 310) dan derivat azol :
mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%. Terapi sistemik yang paling banyak
digunakan yaitu griseofulvin, ketokonazol, flukonazol, itrakonazol, dan
amfoterisin B.

6. Tinea korporis mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat


dan kelembaban dan kebersihan kulit yang selalu dijaga

13
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda A. Dermatosis eritroskuamosa. Dalam Djuanda A., Hamzah
M.Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi kelima.
Jakarta:Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.h.189-95.
2. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan
Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.
3. Sularsito, Sri Adi.Dkk. : Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli
Dermatologi dan Venereologi Indonesia, Jakarta. 2006.
4. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”.
MultiMedia Medical Encyclopedia. University of Maryland Medical
Center. Retrieved 2012-11-20.
5. Risdianto Arif, Kadir Dirmawati, Amin Safruddin. Tinea Corporis and
Tinea Cruris Caused by Trychophyton mentagrophytes type glanular in
Asthma Bronchiale Patient. Medical Faculty of Hasanuddin University,
Makassar. 2013.
6. Budimulja, U. sunoto. Dan Tjokronegoro. Arjatmo. : Penyakit Jamur.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 2008.
7. Baligni K, Vardi VL, Barzegar MR et al. 2009. Extensive tinea corporis
with photosensivity. Indian : Case Report. hlm 54-59.
8. Amiruddin MD. 2003. Ilmu penyakit kulit. Makassar : Percetakan LKiS.

14

Anda mungkin juga menyukai