Anda di halaman 1dari 98

KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B​12

DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK


DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Gelar Dokter


Spesialis Program Studi Ilmu Kedokteran Jiwa

Oleh :
Betty Hidayati

Pembimbing :
Prof. Dr. Moh Fanani, dr., Sp.KJ(K)
dr. Djoko Soewito, Sp.KJ
dr. Rohmaningtyas, Sp.KJ. M.Kes
dr. Adriesti Herdaetha, Sp.KJ. MH

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS KEDOKTERAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2016

1
2
3
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikumWr. Wb.

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas berkah, rahmat,

taufiq, hidayah dan `inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul

“KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B​12

DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI

RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA.”

Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis memperoleh bantuan dan sumbangan

dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan

penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

1. Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, SpKJ(K), selaku Ketua Program Studi PPDS-I

Psikiatri FK UNS-RSUD dr. Moewardi Surakarta yang telah membimbing dan

memberikan pengarahan dalam penyusunan tesis ini.

2. Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, SpKJ(K), selaku Guru Besar yang telah memberi

kemudahan, dan bimbingan, dorongan, pengarahan, dukungan baik moril

maupun materiil sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

3. Prof. Dr. dr. M. Fanani, SpKJ(K), selaku Guru Besar dan pembimbing yang

telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

4. Prof. dr. Ibrahim Nuhriawangsa, SpKJ (K), SpS, selaku Guru Besar yang telah

4
memberi kemudahan, dan bimbingan, dorongan, pengarahan, dukungan baik

moril maupun materiil sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan.

5. dr. Djoko Suwito, SpKJ, selaku Kepala KSM Psikiatri RSUD Dr. Mowardi

Surakarta, Pembimbing Akademik dan pembimbing tesis yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

6. dr. IGB Indro Nugroho, SpKJ, selaku Sekretaris Program Studi PPDS-I Psikiatri

FK UNS-RSUD dr. Moewardi Surakarta yang telah memberikan dorongan,

semangat dalam penulisan tesis ini.

7. dr. Rohmaningtyas HS, SpKJ., M.Kes, selaku pembimbing yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

8. dr. Adriesti Herdaetha, SpKJ., MH, selaku pembimbing yang telah membimbing

dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

9. Seluruh Staf Pengajar Psikiatri FK UNS / RSUD Dr. Moewardi : dr. Yusvick M.

Hadin, SpKJ, dr. Mardiatmi Susilohati, SpKJ(K), dr. Debree Septiawan, SpKJ,

M.Kes., dr. IstarYuliadi, MSi, FIAS, dan Dra. Hj. Machmuroh, Msi, yang telah

memberi dorongan, membimbing, dan memberikan bantuan dalam segala bentuk

sehingga penulis bisa menyusun tugas penelitian akhir ini.

10. Seluruh Staf Pengajar RSJD dr. Arif Zainudin : dr. Rh. Budhi Muljanto, SpKJ,

dr. A. Ama, Sp.KJ, dr. Maria Rini I., SpKJ. M.Kes., dr. Wahyu Nur Ambarwati,

SpKJ, dr. Setyowati Raharjo, Sp.KJ., M.Kes, dr. Aliyah Himawari, Sp.KJ, dan

dr. Agung Priatmaja, Sp.KJ, yang telah memberi dorongan, membimbing, dan

memberikan bantuan dalam segala bentuk sehingga penulis bisa menyusun tugas

5
penelitian akhir ini.

11. Seluruh rekan residen PPDS-I Psikiatri FK-UNS Surakarta, yang telah

membantu sesuai kemampuan masing- masing, baik moril maupun materiil.

12. Sifa Abdullah, SE dan Mahendra, SH selaku tim administrasi KSM - PPDS-I

Psikiatri FK UNS – RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuannya.

13. Kepada orang-orang tercinta, ayah, ibu, suami, anak, kakak, adik, yang telah

bersabar dan berkorban sehingga penulis tetap mampu menjalani pendidikan

program spesialisasi ini dengan baik.

14. Kepada siapapun yang tidak kami sebut satu per satu yang telah membantu dan

mendukung penyelesaian tesis ini.Semoga amal kebaikannya tersebut

mendapatkan imbalan dari Allah SWT.

Walaupun disadari dalam tesis ini masih banyak kekurangan, namun diharapkan

tesis ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan Psikiatri.

Wabilahittaufiq walhidayah, Wassalamu`alaikumWr. Wb.

Surakarta, November 2016

Penulis

6
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :

Tesis berjudul “KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN

VITAMIN B​12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA

KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA” ini adalah benar-benar karya

saya sendiri dan bebas plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan

oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis

digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan dan

daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, saya

bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

(Permendiknas No. 17, tahun 2010).

Surakarta, Oktober 2016

Mahasiswa

Betty Hidayati

S571108009

7
Betty Hidayati, S571108009. ​KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM
FOLAT DAN VITAMIN B​12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN
SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA. ​TESIS​.
Pembimbing I : Prof. Dr. dr. Moh Fanani, SpKJ(K); Pembimbing II : dr. Djoko Suwito,
SpKJ. Pembimbing III : dr. Rohmaningtyas HS, Sp.KJ., M.Kes; Pembimbing IV : dr.
Adriesti Herdaetha, Sp.KJ., MH. Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

ABSTRAK

Latar Belakang: Pasien skizofrenia mempunyai kadar asam folat dan B​12 yang rendah.
Defisiensi asam folat maupun vitamin B​12 dapat menyebabkan gangguan neurologis dan
psikiatris. Suplementasi asam folat dan vitamin B​12 dapat memberikan manfaat
terapeutik melalui mekanisme yang berbeda dari rejimen pengobatan saat ini.
Tujuan: Mengetahui efektifitas terapi tambahan asam folat dan vitamin B​12​dalam
memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia kronis.
Metode: ​Studi ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan ​randomized
controlled trial, double-blind, pre-post test design.
Hasil: Padakelompok intervensi didapatkan perbaikan skor PANSS yang signifikan
pada subskala gejala positif (p=0,01), gejala negatif (p=0,004), psikopatologi umum
(p=0,01) dan PANSS total (p=0,014). Hasil analisis ​ONE-WAY ANAVA didapatkan
adanya penurunan yang signifikan (p=0,000) pada keempat subskala tersebut.
Simpulan: P ​ enambahan asam folat dan vitamin B​12 sebagai adjuvan pada terapi
antipsikotik standar efektif dalam menurunkan skor PANNS pada pasien skizofrenia
kronis.
Kata kunci:​ asam folat, vitamin B​12​, skor PANSS, skizofrenia

8
Betty Hidayati, S571108009. ​THE EFFECTIVENESS OF FOLIC ACID AND
VITAMIN B​12 ADJUVANT
​ THERAPY IN IMPROVING CHRONIC
SCHIZOPHRENIA PATIENT’S PANSS SCORE IN dr. ARIF ZAINUDIN
SURAKARTA​. TESIS. Advisor I: Prof. Dr. dr. Moh. Fanani, SpKJ(K); advisor II: dr.
DjokoSuwito, SpKJ. Advisor III : dr. Rohmaningtyas HS, SpKJ., M.Kes; Advisor IV:
dr. AdriestiHerdaetha, SpKJ., MH. Program PendidikanDokterSpesialisKedokteranJiwa
Medical Faculty of SebelasMaret University Surakarta

ABSTRACT

Background: Schizophrenia patients have low folic acid and vitamin B​12 levels. Folic
acid and vitamin B​12 deficienciesmay lead to neurologic and psychiatric impairment.
Folic acid and vitamin B​12 supplementation could bring therapeutic advantage through
different mechanism from current-therapeutic regimen.
Specific Aim:​Investigatethe efficacy of folic acid and vitamin B​12 as an adjunctive
therapy in addition to improve chronic schizophrenia patient’s PANSS score.
Method: The study design is an experimental study with randomized controlled trial,
double-blind, pre-post test design.
Result: The intervention group had significant PANSS score improvementin positive
symptoms (p = 0,01), negative symptoms (p = 0,004), general psychopathologies (p =
0,01) and PANSS total score (p = 0,014) subscales. ONE-WAY ANAVA statistic
analysis result shows significant reduction in all four subscales (p = 0,000).
Conclusion: Adding folic acid and vitamin B​12 as adjuvant therapy with standard
antipsychotic medication effective in reducing chronic schizophrenia patient’s PANSS
score.
Keywords:​ folic acid, vitamin B12, PANSS score, schizophrenia

9
DAFTARISI

HALAMAN JUDUL

.................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN

...................................................................................................ii

KATA PENGANTAR

.............................................................................................................iii

PERNYATAAN ORISINALITAS

..........................................................................................vi

ABSTRAK BAHASA INDONESIA

......................................................................................vii

ABSTRAK BAHASA INGGRIS

..........................................................................................viii

DAFTAR ISI

........................................................................................................................ix

DAFTAR SINGKATAN

......................................................................................................xiii

DAFTAR GAMBAR

10
.............................................................................................................xiv

DAFTAR TABEL

..................................................................................................................xv

DAFTAR GRAFIK

................................................................................................................xvi

DAFTAR LAMPIRAN

.........................................................................................................xvii

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah

........................................................................................................4

C. Tujuan Penelitian

.........................................................................................................5

D. Manfaat Penelitian

........................................................................................................5

E. Orisinalitas Penelitian

..................................................................................................5

BAB II

A. Kajian Teori

11
1. Skizofrenia

.............................................................................................................8

2. Etiologi Skizofrenia

...............................................................................................9

3. Patogenesis Skizofrenia

........................................................................................10

4. Vitamin B​12

4.1 Deskripsi

.......................................................................................................14

4.2 Sumber Vitamin B​12

.......................................................................................15

4.3 Fungsi Vitamin B​12

........................................................................................15

4.4 Kebutuhan Harian Vitamin B​12

.....................................................................15

4.5 Defisiensi Vitamin B​12

..................................................................................16

4.6 Efek Samping Kelebihan Vitamin B​12

...........................................................17

4.7 Dosis Vitamin B​12

.........................................................................................18

4.8 Interaksi Obat

12
................................................................................................19

4.9 Sediaan

...........................................................................................................21

5. Asam folat

5.1. Definisi Asam Folat

......................................................................................22

5.2. Sumber Asam Folat

.......................................................................................22

5.3. Fungsi Asam Folat

........................................................................................23

5.4. Kebutuhan Harian Asam Folat

.....................................................................23

5.5. Efek Samping Asam Folat

............................................................................23

5.6. Dosis Asam Folat

.........................................................................................24

5.7. Sediaan Asam Folat

......................................................................................24

6. Instrumen PANSS

...............................................................................................24

6.1. Skor PANSS

.................................................................................................25

13
6.2. Presentase perubahan total skor PANSS

.......................................................26

7. Biomekanik Asam Folat dan Vitamin B12 pada Neuropsikiatri

.........................26

8. Level Hemosistein yang tinggi pada Skizofrenia

................................................28

9. Status Folat dan Vitamin B​12​ pada Pasien Skizofrenia

........................................29

10. Peran Asam Folat dan B​12 pada


​ Pasien Skizofrenia

.............................................31

B. Kerangka Pikir

............................................................................................................33

C. Hipotesis

....................................................................................................................34

BAB III

A. Jenis Penelitian

...........................................................................................................35

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

......................................................................................35

C. Subjek Penelitian

.......................................................................................................35

D. Teknik Penetapan Sampel

14
..........................................................................................36

E. Besar Sampel

..............................................................................................................36

F. Identifikasi Variabel

...................................................................................................37

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

....................................................................37

H. Instrument Penelitian

..................................................................................................37

I. Prosedur Penelitian

.....................................................................................................37

J. Alur Prosedur Penelitian

.............................................................................................38

K. Teknik Analisis Data

.................................................................................................39

L. Jadwal Pelaksanaan Kegiatan

.....................................................................................39

BAB IV HASIL PENELITIAN

.............................................................................................40

BAB V PEMBAHASAN

.......................................................................................................48

15
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. SIMPULAN

..............................................................................................................53

B. SARAN

.....................................................................................................................53

DAFTAR PUSTAKA

............................................................................................................54

LAMPIRAN

..........................................................................................................................59

16
DAFTAR SINGKATAN

AIMS : ​Abnormal Involuntary Movement Scale


BHMT : ​Betaine–Homocysteine Methyltransferase
BPRS : ​Brief Psychiatric Rating Scale
CBS : ​Cystathionine B-Synthase
COMT : ​Catechol-O-Methyltransferase
DHF : ​Dihydrofolate
DNA :​Deoxyribonucleic Acid
Dnmt-1 : ​DNA methyltransferase-1
GCPII : ​Glutamate Carboksipeptidase II
GNMT : ​Glycine N-Methyltransferase
GRD : ​Gastroesophageal Reflux Disease
Hcy : ​Homosisteine
IL-6 : ​Inter Leukine
MAT : ​Methionine Adenosyltransferase
MMA : ​Metyl Maloic Acid
MRI : Magnetic​ Resonance Imaging
MS : ​Methionine Synthase
MSR : ​Methionine Synthase Reductase
MTHF : Methyltetrahydrofolate
MTHFR : ​Methylenetetrahydrofolate Reductase
NFα : ​Tumor Necroting Factorα
NMDA : ​N-Metil D-Aspartate
NTD : ​Neural Tube Deffect
OTC : ​Over The Counter
PANSS : ​the Possitive and Negative Symptom Scale
PEMT : ​Phosphatidylethanolamine
PPI : ​Proton Pump Inhibitors
RBC : ​Red Blood Cell
RCT : ​Randomized Control Trial
RSJD : Rumah Sakit Jiwa Daerah
SAH : ​S-adenosylhomocysteine
SAHH : ​SAH hydrolase
SAM : ​S-adenosylmethionine
SANS : ​Scale for Assessment of Negative Symptoms
SHMT : ​Serine Hydroxymethyltransferase
THF : ​Tetrahydrofolate

17
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Metabolisme hubungan antara folat, vitamin B​12​dan metabolisme asam

amino sulfur .............................................................................................................27

18
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Karakteristik demografi subyek penelitian................................................40

Tabel 4.2. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​pretest pada kelompok intervensi dan

kontrol..............................................................................................................................42

Tabel 4.3. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​postest pada kelompok intervensi dan

kontrol..............................................................................................................................44

Tabel 4.4. Nilai rata-rata (​mean) selisih skor PANNS ​pretest-postest pada kelompok

intervensi dan kontrol......................................................................................................45

19
DAFTAR GRAFIK

Grafik 4.1. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​pretest pada kelompok intervensi dan

kontrol

.............................................................................................................................................

.....43

Grafik 4.2. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​postest pada kelompok intervensi dan

kontrol

.............................................................................................................................................

.....44

Grafik 4.3. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara ​pretest dan

posttest pada kelompok intervensi

.........................................................................................46

Grafik 4.4. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara ​pretest dan

posttest pada kelompok kontrol

..............................................................................................47

20
21
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Penjelasan penelitian

.........................................................................................59

Lampiran 2. Persetujuan penelitian

........................................................................................60

Lampiran 3. Data peserta penelitian

......................................................................................61

Lampiran 4. INTERRATER

...................................................................................................62

Lampiran 5. PANSS Versi Bahasa Indonesia

.........................................................................64

Lampiran 6. ​Ethical Clearance

..............................................................................................67

22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat dengan tanda dan gejala yang

beraneka ragam, baik dalam derajat maupun jenisnya. Perjalanan gangguan ini

sering kali kronik dan berulang (Sadock et.al., 2009). Menurut penelitian di

berbagai negara, prevalensinya pada populasi umum berkisar 1% (Howes ​and

Murray, 2014). Di Indonesia angka kejadian skizofrenia mencapai 1,7 per 1000

penduduk Indonesia atau sekitar 400.000 orang. Gangguan jiwa berat terbanyak di

DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah (Depkes, 2014).

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental paling misterius (van Os

and Kapur, 2009). Sejak didefinisikan oleh Eugene Bleuler, skizofrenia telah

mengalami perkembangan baik dalam hal pengenalan, diagnosis dan terapi

(Tandon et.al., 2010). Banyak hipotesis dikemukakan untuk menjelaskan etiologi

skizofrenia. Namun sampai saat ini, berbagai teori dan hipotesis tentang

skizofrenia masih belum memberikan hasil yang memuaskan ( Pino et.al., 2014).

Terdapat hipotesis yang menyatakan bahwa metabolisme folat yang

menyimpang berkontribusi terhadap patogenesis skizofrenia. Skizofrenia adalah

suatu penyakit kejiwaan yang kompleks, hasil dari beberapa faktor genetik dan

23
lingkungan. Sebuah studi oleh Silver (2000) pada 644 pasien psikotik yang

dirawat melaporkan bahwa 78.3% dari pasien penderita skizofrenia memiliki

defisiensi vitamin B​12​. Beberapa studi dengan jelas menunjukkan kontribusi asam

folat, vitamin B​12 dan homosistein pada perubahan metabolisme karbon tunggal

dan perannya dalam psikopatofisologi skizofrenia. Serum dan ​RBC (​Red Blood

Cell) folat pada pasien penderita skizofrenia secara signifikan lebih rendah

daripada kelompok kontrol (Ahmad, 2011).

Fava (2009) menyebutkan hasil penelitian kadar Serum ​TNFα (​Tumor

Necroting Factorα), ​IL-6 (​Inter Leukin), B​12​, homosistein, folat dan folat sel darah

merah (​RBC) serta genotipe ​MTHFR (Metthylene Tetra Hydrofolate Reductase)

pada kelompok pasien penderita skizofrenia dibandingkan dengan kelompok

kontrol. Level ​RBC folat berkurang sementara konsentrasi homosistein dan sitokin

meningkat dua kali pada seluruh pasien skizofrenia dibandingkan kelompok

kontrol.

Wang et.al. tahun 2016 melakukan penelitian metaanalasis mengenai

hubungan antara serum folat dan risiko skizofrenia. Penelitian menggunakan data

PubMed, ​Embase, dan Web of Science. Hasil metanalisis menunjukkan adanya

hubungan antara serum folat dan risiko skizofrenia yang signifikan dengan model

penelitian random (p=0.001, ​I²=90.3). Penelitian menunjukkan bahwa penurunan

serum asam folat berhubungan dengan faktor risiko skizofrenia (p=0.001) dan

dengan kekuatan statistik 100%.

24
Folat dan vitamin B​12 dibutuhkan
​ pada metilasi homosistein menjadi

metionin maupun sintesis ​SAM (​S-adenosylmethionine). ​S-adenosylmethionine

terlibat dalam berbagai reaksi metilasi melibatkan protein, fosfolipid, ​DNA

(deoxyribonucleic acid), dan metabolisme neurotransmiter. Baik defisiensi asam

folat maupun vitamin B​12 dapat menyebabkan gangguan neurologis dan psikiatris.

Teori menyatakan bahwa cacat dalam proses metilasi merupakan dasar biokimia

utama ​neuropsychiatry akibat defisiensi vitamin ini. Defisiensi folat secara

spesifik mempengaruhi metabolisme pusat monoamin dan memperburuk

gangguan psikiatri (Maria, 2009). ​Tingginya kadar homosistein dalam darah telah

dikaitkan dengan beberapa gangguan psikiatri dan neurodegeneratif termasuk

depresi, skizofrenia, penyakit Alzheimer, dan penyakit Parkinson (Bottiglieri,

2009) ​yang terkait dengan defisiensi folat dan vitamin B​12 (Maria,
​ 2009)​.

Saat ini Indonesia menghadapi berbagai masalah gizi. Salah satu masalah

gizi yang dihadapi adalah masalah gizi mikro dan perilaku masyarakat yang

belum mendukung kesehatan, gizi, sanitasi, higine dan pola pengasuhan

(KemenPPN/Bappenas, 2015). Dimana asam folat dan vitamin B​12 merupakan

salah satu jenis mikronutrien. Faktor yang mempengaruhi masalah gizi antara lain

adalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga, kemiskinan serta kebiasaan

makan dan perilaku hidup sehat (UNICEF, 1998).

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan jumlah

penduduk miskin sebesar ± ​28,01 juta orang (10,86 persen) pada Maret 2016​.

Sebagian besar penduduk miskin lebih terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan total

25
jumlah penduduk miskin 14,97 juta jiwa atau 56,81% dari total penduduk miskin

Indonesia. Rata-rata tingkat kemiskinan Provinsi Jawa Tengah merupakan yang

paling tinggi dibanding provinsi lain di pulau jawa yaitu sebesar 4,506 juta jiwa

atau sebesar 13,27% (BPS, 2016).

Menurut studi yang dilakukan oleh Hudson (2005) tahun 1994-2000 di

Massachusetts terdapat korelasi negatif yang kuat antara status sosial ekonomi

dengan gangguan jiwa. Orang dengan skizofrenia cenderung berasal dari kalangan

sosial ekonomi rendah (Eaten et.al., 2004; Byrne et.al., 2004). Akan tetapi masih

belum jelas apakah faktor ini berkontribusi terhadap etiologi atau apakah faktor

ini merupakan akibat kemunduran sosial akibat gejala prodormal (Croudace et.al.,

2000). Level status sosial ekonomi seseorang saat lahir dihubungkan dengan

peningkatan risiko skizofrenia (Werner et.al., 2007).

Penderita skizofrenia rata-rata mempunyai gaya hidup yang buruk,

sedentary life style, kurangnya aktivitas fisik, dan asupan makanan yang buruk.

Sebagian dari faktor gaya hidup dipengaruhi oleh aspek-aspek dari gangguan

seperti gejala negatif, dan kerentanan terhadap stres (De Hert et.al., 2009).

Banyak peneliti telah mengaitkan skizofrenia dengan defisiensi vitamin,

baik setelah diagnosis atau selama perkembangan prenatal. Suplementasi vitamin

dapat memberikan manfaat terapeutik melalui mekanisme yang berbeda dari

rejimen pengobatan saat ini, yang berfokus terutama pada monoamine dan

histamin (Brown ​and Roffman, 2015). Penelitian manfaat terapi tambahan asam

26
folat dan vitamin B​12 pada pasien skizofrenia kronis bersamaan terapi

risperidon-clorpomazin belum dilakukan. Hal ini menjadi pertimbangan penulis

untuk melakukan penelitian efektifitas pemberian terapi tambahan asam folat dan

vitamin B​12​.

B. Rumusan Masalah

Apakah pemberian terapi tambahan asam folat dan vitamin B​12 pada
​ pasien

skizofrenia kronis efektif memperbaiki skor PANSS (​the Possitive and Negative

Symptom Scale)?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas terapi tambahan

asam folat dan vitamin B​12 dalam memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia

kronis.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah pengetahuan tentang manfaat pemberian terapi tambahan

asam folat dan vitamin B​12​ pada penatalaksanaan pasien skizofrenia.

b. Menjadi landasan bagi penelitian selanjutnya tentang pemberian terapi

tambahan asam folat dan vitamin B​12 pada penatalaksanaan pasien

skizofrenia.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai usulan standar terapi dalam

27
penatalaksanaan pasien skizofrenia.

b. Sebagai masukan/wacana khususnya bagi dokter/ tenaga medis di bidang

ilmu kedokteran jiwa dalam penatalaksanaan pasien skizofrenia.

E. Orisinalitas Penelitian

Berikut ini disampaikan beberapa penelitian sebelumnya :

No Peneliti, Judul Desaign Subjek Hasil Perbedaan


. Tahun; dengan studi
Populasi yang
dilakukan
Penulis
1 Roffman et.al., A Randomized Parallel-group 140 Pemberian Populasi di
2013; Amerika Multi-Center , randomized, tambahan Amerika
Serikat Investigation of double-blind, asam folat dan Serikat,
Folate Plus B12 placebo-contr vitamin b12 Instrumen
Supplementation in olled clinical secara PANSS,
Schizophrenia trial signifikan SANS (​Scale
memperbaiki for
gejala positif, Assessment
gejala negatif of Negative
dan semua Symptoms)
gejala
dibandingkan
placebo
2 Levine et.al., Homocysteine-redu a randomized, 42 Gejala klinis Populasi di
2006; Israel cing strategies double-blind, skizofrenia Israel, Instruen
improve symptoms placebo-contr menurun PANSS,
in chronic olled, secara AIMS
schizophrenic crossover signifikan (​Abnormal
patients with design. dibandingkan Involuntary
hyperhomocysteine plasebo diukur Movement
mia dengan Scale)
PANSS Suplemen
asam folat,
vitamin B​12
dan vitamin B​6

Dari beberapa penelitian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan beberapa

28
perbedaan penelitian diatas dengan studi kami :

1. Perbedaan dengan penelitian oleh Roffman et.al., 2013, lokasi penelitian

tersebut di Amerika Serikat. Instrumen yang digunakan PANSS, SANS,

dengan jumlah subjek 140. Perbedaan lokasi memungkinkan adanya

perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian.

2. Perbedaan dengan penelitian oleh Levine et.al., 2006, lokasi penelitian di

Israel. Instrumen yang digunakan PANSS dan AIMS. Jumlah subjek studi 42

subjek. Perbedaan metode penelitian, dimana Levine menggunakan metode

crossover design. Terapi tambahan yang diberikan tidak hanya asam folat dan

vitamin B​12​, akan tetapi diberikan juga vitamin B​6​. Perbedaan lokasi

memungkinkan ada perbedaan budaya, gaya hidup, dan perekonomian.

Perbedaan terapi tambahan asam folat, vitamin B​12 dan vitamin B​6

memungkinkan perbedaan hasil studi.

Maka, dapat penulis sampaikan simpulan perbedaan dengan studi oleh

penulis yang menjadi landasan orisinalitas studi penulis, bahwa studi dilakukan di

kota Solo, subjek studi adalah pasien rawat inap RSJD (Rumah Sakit Jiwa

Daerah) dr. Arif Zainudin. Perbedaan dengan studi sebelumnya, bahwa ada

perbedaan lokai studi, dengan perbedaan iklim, cuaca, perbedaan perekonomian,

perbedaan genetik, perbedaan kultur budaya, karena kultur budaya banyak

berpengaruh terhadap timbulnya gangguan jiwa.

29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Skizofrenia

Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu

gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada

persepsi, pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan

kemampuan intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif

tertentu dapat berkembang kemudian (Sadock dkk., 2003). Gangguan ini di

karakteristikkan dengan simptom positif atau negatif dan sering dihubungkan

dengan kemunduran penderita dalam menjalankan fungsinya sehari-hari (Sinaga,

2007).

Terdapat beberapa macam pembagian fase skizofrenia. Diantaranya

berdasarkan lamanya pasien skizofrenia mengalami gangguan tersebut.

Skozofrenia subkronis mengacu pada waktu seseorang pertama mulai

menunjukkan tanda-tanda skizofrenia. Fase ini biasanya berlangsung selama 6

bulan dan tidak lebih dari 2 tahun. Skizofrenia kronis mengacu pada suatu

penyakit yang telah hadir selama minimal 2 tahun. Skizofrenia akut mengacu

pada kemunculan kembali atau intensifikasi gejala psikotik pada orang yang

sebelumnya tidak memiliki gejala atau gejala yang tidak berubah untuk sejumlah

besar waktu (APA, 2005).

30
2. Etiologi Skizofrenia

Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum

diketahui secara pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan

dalam menganalisis penyebab skizofrenia, antara lain :

2.1. Faktor Genetik

Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang

disebut ​quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat

mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang

berbeda di seluruh kromosom. Ini juga mengklarifikasikan mengapa ada

gradasi tingkat keparahan pada orang-orang yang mengalami gangguan ini

(dari ringan sampai berat) dan mengapa risiko untuk mengalami skizofrenia

semakin tinggi dengan semakin banyaknya jumlah anggota keluarga yang

memiliki penyakit ini (Barlow, 2007).

2.2. Faktor Biokimia

Skizofrenia mungkin berasal dari ketidakseimbangan kimiawi otak yang

disebut neurotransmiter, yaitu kimiawi otak yang memungkinkan

neuron-neuron berkomunikasi satu sama lain. Beberapa ahli mengatakan

bahwa skizofrenia berasal dari aktivitas neurotransmiter dopamine yang

berlebihan di bagian-bagian tertentu otak atau dikarenakan sensitivitas yang

abnormal terhadap dopamin. Banyak ahli yang berpendapat bahwa aktivitas

31
dopamin yang berlebihan saja tidak cukup untuk skizofrenia. Beberapa

neurotransmiter lain seperti serotonin dan norepinefrin tampaknya juga

memainkan peranan (Durand, 2007).

2.3. Faktor Psikologis dan Sosial

Faktor psikososial meliputi adanya kerawanan herediter yang semakin

lama semakin kuat, adanya trauma yang bersifat kejiwaan, adanya hubungan

orang tua-anak yang patogenik, serta interaksi yang patogenik dalam keluarga

(Wiraminaradja & Sutardjo, 2005).

Banyak penelitian yang mempelajari bagaimana interaksi dalam keluarga

mempengaruhi penderita skizofrenia. Sebagai contoh, istilah ​schizophregenic

mother kadang-kadang digunakan untuk mendeskripsikan tentang ibu yang

memiliki sifat dingin, dominan, dan penolak, yang diperkirakan menjadi

penyebab skizofrenia pada anak-anaknya. Keluarga pada masa kanak-kanak

memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian. Orangtua

terkadang bertindak terlalu banyak untuk anak dan tidak memberi kesempatan

anak untuk berkembang, ada kalanya orangtua bertindak terlalu sedikit dan

tidak merangsang anak, atau tidak memberi bimbingan dan anjuran yang

dibutuhkannya.

3. Patogenesis Skizofrenia

3.1. Skizofrenia dan Dopamin

Semua jenis obat antipsikotik yang tersedia dapat mengurangi gejala

32
skizofrenia dengan menurunkan neurotransmiter dopaminergik. Turunnya

neurotransmiter dopaminergik mengurangi gejala dari pasien dengan

skizofrenia dan meningkatkan kemampuan persepsi mereka. Pasien yang

diterapi dengan obat-obat tersebut secara terus menerus menunjukkan

penurunan munculnya halusinasi dan waham, pasien juga lebih baik dalam

mengatur perilakunya.

Teori dopamin pada skizofrenia masih mempunyai beberapa kekurangan.

Pertama blokade pada neurotransmiter dopaminergik tidak sepenuhnya

mengurangi gejala skizofrenia. Kedua, meskipun gejala positif skizofrenia

berkurang ketika neurotransmiter dopaminergik diturunkan dengan obat

antipsikotik, level metabolit dopamin dan reseptor dopamin ketika diukur

sebelum dan setelah pengobatan masih dalam batas harga normal. Ketiga,

peranan dopamin bagi otak lebih komplek daripada pergantian secara

sederhana dari gejala psikotik. Selama periode psikotik akut, banyak orang

yang menderita skizofrenia nampak menunjukkan perangsangan reseptor

dopamin yang berlebihan di ganglia basalis, yang diukur dengan penggunaan

ligan radioaktif dari single-photon-emission yang tertomografi.

Bagaimanapun juga, penurunan aktivitas dopaminergik pada korteks serebral

pada lobus frontal dapat menjadi satu faktor konstribusi dalam penanganan

gangguan kognitif yang sering ditemukan pada pasien yang menderita

skizofrenia. Oleh karena itu, investigasi pada patofisiologi skizofrenia

mengembangkan lebih jauh lagi mengenai dopamin, para peniliti menggali

33
lebih dalam mengenai pengobatan farmakologi dari skizofrenia, yang tidak

mengabaikan dopamin sebagai target, telah memperluas bidang penyelidikan

mereka termasuk neurotransmiter yang lain.

Tidak ada lesi tunggal yang dapat menyebabkan skizofrenia. Tapi,

adanya peran dari faktor genetik dan lingkungan yang mempengaruhi fungsi

dan perkembangan dari otak yang juga dapat menyebabkan skizofrenia.

Penghambatan interneuron biasanya terjadi, hal ini dapat ditunjukan dengan

adanya penurunan jumlah dari neurotranmiter, pengeluaran enzim yang

mensintesis penghambat neurotransmitter γ-asam aminobutrat yang menurun,

penurunan pengeluaran dari neuropeptide seperti kolesistokinin dan

somatostatin yang dilepaskan selama neurotransmisi, dan pengurangan

migrasi neuron ke korteks dari lapisan ​white mater otak. Sebagai tambahan

pada perubahan spesifik pada interneuron, terdapat pengurangan secara

umum dari neuropil kortikal, seperti dendrit dan akson yang mengubungkan

neuron, menggambarkan proses kerusakan pada piramidal maupun

penghambat neuron menjadi bentuk penghubung sinapsis. Pada beberapa area

dalam otak, terjadi berkurangnya jumlah total neuron secara nyata.

3.2. Penemuan Neuropatologi

Penemuan secara neuropatologi, ​Magnetic Resonance Imaging (MRI)

menunjukan adanya pembesaran ventrikel dan penurunan volume dari

beberapa bagian otak, termasuk didalamnya hipokampus dan korteks

temporosuperior. Dengan menganalisis hasil dari MRI dapat dikatakan bahwa

34
terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada

korteks prefrontal, yang diindikasikan dengan level neuronal asam amino

N-asetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan

otak secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional

menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal

lateral dorsal, mungkin seterusnya dikuti dengan kehilangan penghambat

fungsi neuron (Oliver, 2014).

3.3. Temuan genetika pada skizofrenia

Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan

adanya keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara

epidemiologi, seperti adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia

antara kembar monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari

penyakit pada anak yang diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap

skizofrenia, terdapat risiko sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia

tidak terlihat sebagai monogen, dan terdapat sejumlah lokus kromosom yang

nantinya akan bekaitan terhadap penyakit yang telah bereplikasi.

Polimorfisme nukleotid tunggal berhubungan dengan skizofrenia, yang

beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi neural, telah ditemukan

dalam gen dengan lokus ini, termasuk regulator Protein G pada kromosom 1,

protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan struktur sinaps, faktor

pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan dengan pertumbungan

sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang mempengaruhi N-metil

35
D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom 15 untuk asetilkolin

dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi metabolisme dopamin.

Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan dopaminergik

dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan berbagai macam

aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan dalam perasaan dan

pengingat.

Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari

patogenesis pada skizofrenia, mempunyai risiko sebanyak 30%, termasuk

kerusakan otak ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial

selama masa kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).

Brown dan Susser (2008) mengajukan 3 hipotesis yang menjelaskan

defisiensi folat. Defisiensi folat : 1) mengganggu sintesis dan perbaikan

DNA, yang mengarah ke peningkatan mutasi de novo, 2) mengganggu

metilasi DNA dan ekspresi gen, dan 3) membatasi konversi homosistein

menjadi metionin, mengakibatkan peningkatan homosistein pada

perkembangan otak. Selanjutnya ​Prenatal Determinants of Schizophrenia

(PDS) meliti ibu hamil di US dengan metode kohort, penelitian menemukan

bahwa terdapat peningkatan homosistein pada trimester ketiga (yang

berbanding terbalik dengan folat), berhubungan dengan peningkatan dua kali

lipat risiko skizofrenia pada keturunannya (Brown dan Susser, 2008). Namun

Brown et.al. (2007) juga menunjukkan bahwa kadar homosistein ​yang tinggi

dapat berkontribusi pada perkembangan skizofrenia melalui mekanisme lain

36
(disfungsi reseptor NMDA (​N-Metil D-Aspartate), vaskulopati plasenta yang

menyebabkan hipoksia janin) dibanding gangguan metabolisme folat.

4. Vitamin B​12

4.1 Deskripsi

Vitamin B​12 yang merupakan salah satu unsur dari vitamin B adalah

vitamin yang larut dalam air dan dikenal juga dengan nama kobalamin atau

sianokobalamin. Secara struktur, vitamin B​12 adalah


​ vitamin yang paling

kompleks karena tersusun atas cincin seperti porfirin dengan pusat berupa atom

kobalt yang melekat pada suatu nukleotida. Atom kobalt ini merupakan elemen

yang jarang tersedia secara biokimia di alam. Biosintesis dari struktur dasar

vitamin ini hanya dapat dilakukan oleh bakteri, namun konversi menjadi bentuk

aktifnya yaitu deoksiadenosilkobalamin dan metilkobalamin dapat terjadi dalam

tubuh manusia (Katzung, 2010). Berikut ini adalah struktur dari vitamin B​12​:

4.2 Sumber Vitamin B​12

37
Vitamin B​12 ​secara alami dapat ditemukan dalam produk hewani seperti

ikan, unggas (ayam, bebek), daging (sapi, domba, kelinci), telur, susu, dan

produk susu seperti keju. Bagi vegetarian, sumber vitamin B​12 dapat diperoleh

dari sereal atau ragi. Selain dari makanan, vitamin B​12 juga dapat ditemukan

dalam suplemen makanan baik dalam bentuk tunggal ataupun dalam bentuk

sediaan vitamin B kompleks (Saresai, et.al., 2003).

4.3 Fungsi Vitamin B​12

Vitamin B​12 diperlukan


​ dalam proses pembentukan sel darah merah,

fungsi neurologis, dan sintesis DNA. Vitamin B​12 bertindak


​ sebagai kofaktor

dalam sintesis metionin dan L-metilmalonil yang berperan dalam reaksi

metabolisme lemak dan protein. Selain itu vitamin B12 juga berfungsi untuk

mengobati atau mencegah defisiensi ( Katzung, 2010).

4.4 Kebutuhan Harian Vitamin B​12

Rekomendasi asupan rata-rata harian dari vitamin B​12 untuk


​ memenuhi

kebutuhan nutrisi pada individu yang sehat adalah:

Anak-anak:

0 – 6 bulan : 0,4 mcg/hari

7 – 12 bulan : 0,5 mcg/hari

1 – 3 tahun : 0,9 mcg/hari

4 – 8 tahun : 1,2 mcg/hari

9 – 13 tahun : 1,8 mcg/hari

> 14 tahun dan dewasa : 2,4 mcg/hari

38
Wanita hamil : 2,6 mcg/hari

Wanita menyusui : 2,8 mcg/hari

(Lacy ​et.al., 2011)

4.5 Defisiensi Vitamin B​12

Defisiensi vitamin B12 ditandai dengan munculnya gejala anemia

megaloblastik, kelelahan, sembelit, kehilangan nafsu makan, penurunan berat

badan, perubahan neurologis seperti mati rasa dan kesemutan di tangan serta

kaki. Gejala tambahan dari defisiensi vitamin B12 adalah seperti kesulitan

menjaga keseimbangan, depresi, demensia, sakit pada mulut dan lidah serta

gangguan pada memori (kognitif) (Berdanier et.al., 2006).

Salah satu penyebab terjadinya defisiensi vitamin B​12 adalah anemia

pernisiosa yang terjadi akibat penurunan fungsi pada sekresi faktor intrinsik oleh

sel mukosa lambung. Pasien anemia pernisiosa menderita atrofi lambung dan

gagal menyekresi faktor intrinsik begitu juga dengan asam klorida. Defisiensi

vitamin B​12 juga terjadi ketika daerah di ileum distal yang mengabsorpsi

kompleks faktor intrinsik-vitamin B​12 mengalami cedera seperti ketika ileum

terkena radang usus. Penyebab defisiensi vitamin B​12 lainnya yang jarang

meliputi pertumbuhan bakteri yang berlebihan di usus halus, pankreatitis kronik,

dan penyakit tiroid (Katzung, 2010).

4.6 Efek Samping Kelebihan Vitamin B​12

Vitamin B​12 memiliki potensi toksisitas yang kecil apabila kelebihan asupan

vitamin B​12 tersebut


​ diperoleh dari makanan dan suplemen. Namun dalam terapi

39
menggunakan vitamin B​12 apabila
​ dosis yang digunakan berlebih dapat

menimbulkan efek samping sebagai berikut:

1. ​Heart Failure

Kelebihan vitamin B​12 dapat


​ menyebabkan gangguan pada pompa jantung

yang dapat menyebabkan gejala ​heart failure. Vitamin B​12 yang


​ diberikan

melalui injeksi memiliki risiko yang lebih besar untuk menyebabkan masalah

di jantung dibandingkan vitamin B​12 oral karena vitamin yang diberikan

melalui injeksi akan langsung masuk ke dalam aliran darah. Pasien dengan

masalah jantung harus menghindari penggunaan vitamin B​12 OTC (​Over The

Counter) apabila tidak ada rekomendasi dari dokter (​Office of Dietary

Supplement, 2011).

2. Gangguan pada Hati dan Ginjal

Kelebihan vitamin B​12 dapat merusak sel hati dan ginjal yang memicu

terjadinya gejala gangguan hati dan gagal ginjal. Akibat dari paparan vitamin

B​12 dalam konsentrasi tinggi terhadap hati adalah kerusakan dari sel-sel hati

tersebut yang menyebabkan peradangan dan pembentukan jaringan parut.

Pada ginjal, paparan dari vitamin B​12 tersebut


​ dapat merusak sel-sel dari

tubulus ginjal. Pasien dengan masalah gangguan hati dan ginjal harus

berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu sebelum menggunakan vitamin

OTC yang mengandung B​12​ (Berdanier et.al., 2006).

3. Penggumpalan Darah

Kelebihan vitamin B​12 dapat menyebabkan pembentukan gumpalan darah

40
di pembuluh darah utama. Gumpalan darah ini berbahaya karena dapat

menghambat aliran darah ke organ-organ tubuh yang dapat menyebabkan

kegagalan organ. Pasien dengan riwayat gangguan dalam pembekuan darah,

stroke, dan serangan jantung harus berhati-hati dalam mengkonsumsi vitamin

B​12​ (Saresai et.al., 2003).

4.7 Dosis Vitamin B​12

1. Pengobatan defisiensi vitamin B​12​:

a. Intramuscular (i.m)

❖ Anak-anak

Dosis terapi sebesar 0,2 mcg/kg selama 2 hari yang kemudian diikuti

dengan dosis sebesar 1000 mcg/hari selama 2 – 7 hari lalu dosis

sebesar 100 mcg/minggu selama sebulan.

❖ Dewasa

Dosis terapi sebesar 30 mcg/hari selama 5 – 10 hari diikuti dengan

dosis pemeliharaan sebesar 100 – 200 mcg/bulan.

b. Intranasal

❖ Dewasa

Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari (dalam dua dosis terbagi) dengan

dosis pemeliharaan sebesar 50 mcg/hari.

c. Oral

❖ Dewasa : 250 mcg/hari

41
2. Pengobatan anemia pernisiosa:

Intramuscular (i.m)

❖ Anak-anak

Dosis terapi sebesar 30 – 50 mcg/hari selama 2 minggu atau lebih

(total dosis 1000 – 5000 mcg) yang kemudian diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan.

❖ Dewasa

Dosis terapi sebesar 100 mcg/hari selama 6 – 7 hari, apabila

menunjukkan adanya perbaikan maka dosis yang sama diberikan

setiap 3 – 4 hari selama 2 – 3 minggu, kemudian diikuti dengan dosis

pemeliharaan sebesar 100 mcg/bulan bila jumlah darah telah kembali

ke angka normal.

(Lacy ​et.al., 2011)

4.8 Interaksi Obat

Vitamin B​12 memiliki potensi untuk berinteraksi dengan beberapa obat

tertentu yang akibatnya dapat menurunkan keefektifan kerja dari vitamin B​12

sendiri. Obat-obat tersebut antara lain:

1. Kloramfenikol

Pada beberapa laporan kasus menunjukkan bahwa kloramfenikol yang

merupakan antibiotik bakteriostatik dapat mengganggu beberapa respon sel

darah merah yang diperlukan oleh vitamin B​12 untuk bekerja (​Office of Dietary

Supplement, 2011).

42
2. ​Proton Pump Inhibitors

Obat-obatan yang termasuk ke dalam golongan ​Proton Pump Inhibitors

(PPI) seperti omeprazole dan lansoprazole, yang biasanya digunakan untuk

terapi ​Gastroesophageal Reflux Disease (GRD) dan ulkus peptikum dapat

mengganggu penyerapan vitamin B​12 dari makanan dengan cara memperlambat

pelepasan asam klorida ke dalam saluran pencernaan.

3. Antagonis reseptor H​2

Obat-obatan yang tergolong sebagai antagonis reseptor histamin H​2 yang

digunakan dalam pengobatan ulkus peptikum, seperti cimetidin, famotidin, dan

ranitidin memiliki potensi untuk mengganggu penyerapan vitamin B​12 dari

makanan dengan cara memperlambat pelepasan asam klorida ke dalam saluran

pencernaan. Interaksi obat ini dapat terjadi pada pasien yang menggunakan

antagonis reseptor histamin H​2 terus


​ menerus lebih dari 2 tahun (Issac et.al.,

2015).

4. Metformin

Metformin yang merupakan agen hipoglikemik untuk mengobat

diabetes, memiliki potensi untuk mengurangi penyerapan vitamin B12 melalui

perubahan dalam mobilitas usus, meningkatkan pertumbuhan bakteri yang

berlebihan atau perubahan dalam penyerapan kalsium oleh sel-sel ileum.

Berdasarkan laporan dari studi kasus yang dilakukan terhadap pasien dibetes tipe

2 yang diberikan metformin selama 4 tahun, kadar vitamin B​12 dalam tubuhnya

menurun secara signifikan sebesar 19 % dan meningkatkan risiko kekurangan

43
vitamin B​12 sebesar 7,2 %. Pada beberapa studi yang lain menunjukkan bahwa

suplemen kalsium dapat membantu memperbaiki malabsorpsi vitamin B​12 yang

diakibatkan oleh metformin, namun tidak semua peneliti setuju terhadap

tindakan tersebut (Office of Dietary Supplement, 2011).

4.9 Sediaan

❖ Bentuk sediaan:

Larutan injeksi tersedia dalam dosis 1000 mcg/mL (1, 10, dan 30 mL)

Lozenge oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, dan 500 mcg

Lozenge sublingual tersedia dalam dosis 500 mcg

Larutan intranasal (​spray) tersedia dalam dosis 25 mcg/​spray (10,7 mL)

dan 500 mcg/​spray (2,3 mL)

Tablet bukal/sublingual tersedia dalam dosis 1000, 2500, dan 5000 mcg

Tablet oral tersedia dalam dosis 50, 100, 250, 500, dan 1000 mcg

Tablet ​time released oral tersedia dalam dosis 1000 dan 1500 mcg

(Lacy et.al​., 2011)

❖ Contoh sediaan yang beredar:

Vitamin B​12​ IPI (Generik) tablet 50 mcg (Obat Bebas)

Vitamin B​12 (Kimia Farma) tablet 50 mcg (Obat Bebas), injeksi 500

mcg/5 mL (Obat Keras)

Vitaneuron mengandung vitamin B​12​ 200 mcg (Obat Bebas Terbatas)

Stavit tablet salut selaput mengandung vitamin B​12 200 mcg (Obat

Bebas)

44
Nevramin tablet salut gula mengandung vitamin B​12 500 mcg (Obat

Bebas)

(MIMS, 2009)

5. Asam Folat

5.1 Definisi Asam Folat

Asam folat merupakan bagian dari vitamin B kompleks yang dapat

diisolasi dari daun hijau ( seperti bayam ), buah segar, kulit, hati, ginjal, dan

jamur. Asam folat disebut juga dengan folacin/liver lactobacillus cosil

factor/factor U dan factor R.

Asam folat, atau disebut juga vitamin B9, adalah salah satu dari delapan

vitamin B. Asam folat sangat penting untuk fungsi otak dan memainkan peran

penting dalam kesehatan mental dan emosional. Asam folat juga bekerja sama

dengan vitamin B12 untuk membantu membuat sel-sel darah merah dan

membantu besi bekerja dengan baik dalam tubuh (Lanham et.al., 2011).

5.2 Sumber Asam Folat

45
Asam folat hanya ditemukan di dalam daging hewan dan produk-produk

hewani. Orang yang hanya makan sayuran (vegetarian) dapat melindungi diri

sendiri melawan defisiensi (kekurangan) dengan menambah konsumsi susu, keju

dan telur (Saresai, et.al., 2003).

5.3 Fungsi Asam Folat

Asam folat berperan penting pada saat pembelahan sel yang berlangsung

dengan cepat. Asam folat juga memelihara lapisan yang mengelilingi dan

melindungi serat syaraf dan mendorong pertumbuhan normalnya. Selain itu juga

berperan dalam aktifitas dan metabolisme sel-sel tulang. Vitamin B12 juga

dibutuhkan untuk melepaskan folat, sehingga dapat membantu pembentukan

sel-sel darah merah (Katzung, 2010).

5.4 Kebutuhan Harian Asam Folat

RDA untuk asam folat adalah sekitar 2 mikro-gram perhari.

5.5 Efek Samping Asam Folat

Kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan kekurangan darah

(anemia), yang sebenarnya disebabkan oleh kekurangan folat. Tanpa vitamin

B12, folat tidak dapat berperan dalam pembentukan sel-sel darah merah. Gejala

kekurangan lainnya adalah sel-sel darah merah menjadi belum matang

(​immature), yang menunjukkan sintesis DNA yang lambat. Kekurangan asam

folat dapat juga mempengaruhi sistem saraf, berperan pada regenerasi saraf

46
periferal, dan mendorong kelumpuhan. Selain itu juga dapat menyebabkan

hipersensitif pada kulit. Efek toksik asam folat yaitu pada dosis lebih dari 100

kali dosis harian yang dianjurkan, asam folat dapat meningkatkan frekuensi

kejang pada penderita epilepsi dan memperburuk kerusakan saraf pada

orang-orang yang menderita kekurangan vitamin B12. Dengan dosis per oral 15

mg/hari dapat terjadi tanda-tanda anorexia, nausea, abdominal distention,

flatulence, biter/bad taste, ​altered sleep patterns, kesulitan berkonsentrasi,

irritabilitas, aktivitas berlebihan, depresi (Berdanier et.al., 2008; Muskiet et.al.,

2006).

5.6 Dosis Asam Folat

a. Profilaksis : kekurangan asam folat ringan diberikan folat oral 300-400

μg/hari, disertai pemberian vitamin dan diet tinggi protein. Di Amerika

Serikat dianjurkan setiap produk makanan diberikan asam folat

didalamnya.

b. Kuratif diberikan asam folat pada anemia yang ringan secara oral

500-1000 gr/hari. Pada kasus yang lebih berat harus diberikan secara

parenteral karena absorbsi asam folat terganggu akibat kerusakan pada

usus. Jika terjadi pada akhir kehamilan, maka dibutuhkan tranfusi darah.

c. Untuk wanita yang mempunyai riwayat melahirkan bayi dengan NTD

(​Neural Tube Deffect), diberikan asam folat 4 mg per hari selama

kehamilan

(Lacy ​et.al., 2011)

47
5.7 Sediaan Asam Folat

Bentuk sediaan asam folat yaitu tablet dan injeksi sedangkan

posologinya, tablet 0.4 mg, tablet 0.8 mg, tablet 1 mg, injeksi 5 mg/mL. Asam

folat dapat diberikan per oral, intravena, intra muskular, sub kutan (MIMS,

2009).

6. Instrumen ​The Possitive and Negative Symptom Scale (PANSS​)

Skala penilaian terhadap gejala positif dan negatif pada skizofrenia

bermula dari dijumpainya heterogenitas hasil penelitian yang tidak konsisten,

yang diduga disebabkan karena metode pengukuran yang kurang dapat

dipercaya (Kusumawardhani, 1994).

Berbagai kuesioner dan instrumen dikembangkan untuk memeriksa

kedua macam tipe skizofrenia berdasarkan gejala yang mendominasi, antara lain

: ​The Possitive and Negative Symptom Scale (PANSS​). PANSS pertama kali

disusun oleh Stanlay Kay, Lewis Opler, dan Abraham Fizbein pada tahun 1987

yang disusun berdasarkan indtrumen ​Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS) dan

Psychopathology Rating Scale yang sudah muncul terlebh dahulu.

Untuk dapat dipakai pada pasien skizofrenia di Indonesia, telah

dilakukan uji reliabilitas, validitas dan sensitivitas oleh A. Kusumawardhani dan

tim dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada tahun 1994

(Kusumawardhani, 1994).

PANSS terdiri dari 33 butir pertanyaan yang masing-masing dinilai dalam 7

skala poin. Tujuh butir dikelompokkan dalam skala positif, tujuh butir dalam

48
skala negatif, enam belas butir dalam skala psikopatologi umum, dan tiga butir

untuk menilai risiko agresi.

6.1. Skor PANSS

Masing-masing item dinilai sebagai berikut :

1 = tidak ada

2 = minimal

3 = ringan

4 = sedang

5 = agak berat

6 = berat

7 = sangat berat

6.2. Presentase perubahan total Skor PANSS

Untuk mengetahui adanya manfaat terapi yang diberikan, dilakukan

pengukuran sebelum dan setelah terapi diberikan. Presentase perubahan total

skor PANSS dianggap mempunyai nilai klinis apabila memenuhi kriteria berikut

- Minimal improved : penurunan skor ± 19% - 28%

- Much improved : penurunan skor ± 40% - 53%

- Very much improved : penurunan skor ± 71% - 83%

49
​Selain itu, penilaian klinis dapat diketahui dari perubahan skor PANSS total

(Nurmiati, 2008).

7. Biomekanik Asam Folat dan Vitamin B12 pada Neuropsikiatri

Teori saat ini menyatakan bahwa proses biokimia metilasi dasar

neuropsikiatri adalah defisinesi folat dan vitamin B​12​. Hal ini telah dibuktikan

dari beberapa studi klinis dan eksperimental. Reaksi penting yang

menghubungkan folat dan vitamin B​12 ​pada proses metilasi dikatalisis oleh enzim

metionin sintetase. Reaksi ini terbentuk dari gugus ​metil

5-methyltetrahydrofolate (MTHF) yang ditransfer ke homosistein untuk

membentuk metionin dan tetrahydrofolate (gambar 1). Sintesis de novo metionin

memerlukan vitamin B​12 yang terlibat langsung pada transfer metil kelompok

sintesis ​S-adenosylmethionine (SAM), satu-satunya donor metil dalam berbagai

reaksi metilasi melibatkan protein, fosfolipid dan amina biogenik. Produk dari

semua reaksi metilasi adalah ​S-adenosylhomocysteine (SAH), yang dengan cepat

dimetabolisme menjadi homosistein (Sarah, 2011).

Homosistein dihasilkan sepenuhnya dari siklus metilasi. Defisiensi folat dan

vitamin B​12 menyebabkan efek pada sintesis metionin. Penelitian Stabler

menunjukkan bahwa plasma total homosistein meningkat signifikan pada

keadaan defisinesi folat dan vitamin B​12 sebagai


​ akibat dari penurunan aktivitas

metionin sintetase dan kegagalan pembentukan methylate homosistein secara

efektif (Sarah, 2011).

50
Gambar 1. Metabolisme hubungan antara folat, vitamin B​12 dan
​ metabolisme asam

amino sulfur. Enzim kunci: 1, ​Metionin adenosyltransferase; 2, ​x-methyltransferase;

3, ​S-adenosylhomocysteine hydrolase; 4, ​Metionine sintetase; 5, ​methyltransferase

betaine-homosistein; 6, ​cystathionine-P-sintetase.

8. Level Hemosistein yang Tinggi pada Skizofrenia

Homosistein adalah marker spesifik untuk defisit metilasi yang melibatkan

folat, B​12 dan


​ atau B​6. Homosistein
​ adalah tahap tosik dalam metabolism siklus

metilasi (dan siklus folat) (Mabrouk et.al., 2011). Homosistein bersifat toksik

tidak hanya pada sel-sel endotel vaskular (Austin et.al., 2004), tetapi juga

51
terhadap sel-sel saraf (Mattson ​and Shea, 2003). Tingginya kadar homosistein

dalam darah telah dikaitkan dengan beberapa gangguan psikiatri dan

neurodegeneratif termasuk depresi, skizofrenia, penyakit Alzheimer, dan

penyakit Parkinson (Bottiglieri, 2009).

Peningkatan total homosistein plasma telah telah diusulkan sebagai faktor

risiko skizofrenia (Muntjewerff et.al., 2006). Hiperhomosisteinemia telah

diusulkan untuk berkontribusi pada patofisiologi skizofrenia melalui berbagai

efek biologis, seperti antagonis parsial sisi glutamat dari reseptor N-metil-D

aspartate, stres oksidatif (Dietrich-Muszalska et.al., 2012), kerusakan DNA dan

sel sitotoksisitas (Liu et.al., 2009), apoptosis neuronal (Kruman et.al., 2000),

penyimpangan metilasi DNA (Kinoshita et.al., 2013) dan akumulasi oksida nitrat

mitokondria (Tyagi et.al., 2000).

Satu studi kasus-kontrol melaporkan level homosistein skizofrenia rata-rata

hampir 50% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol (16.1 berbanding 10.9

µmol/L; p = 0.028) (Mabrouk et.al., 2011). Kemperman et.al. (2006) melaporkan

bahwa 28% dari subyek berada dalam persentil 97.5 untuk level homosistein

tertinggi dibandingkan dengan 2% dari kontrol (p < 0.001). Feng et.al. (2009)

melaporkan level homosistein lebih tinggi dua kali lipat dibandingkan dengan

kontrol.

9. Status Folat dan Vitamin B​12​ pada Pasien Skizofrenia

Defisiensi folat dan B12 telah lama dikaitkan dengan skizofrenia. Kelompok

tertentu yang memiliki defisit metabolism siklus folat herediter lebih cenderung

52
menjadi skizofrenia daripada populasi umum. Penelitian kohort pada bayi lahir

yang mengalami kelaparan lebih mungkin untuk berkembang menjadi

skizofrenia beberapa dekade kemudian. Beberapa gen tertentu termasuk varian

C77T gen MTHFR (dewasa muda dalam studi kasus defisiensi B​12 dan psikosis

memiliki variasi ini gen ini). MTHFR diperlukan untuk mengubah folat dari

makanan ke jenis folat yang kita gunakan dalam tubuh, dan banyak dari kita

memiliki defisit enzim ini (Michele et.al., 2011).

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan folat dalam plasma menjadi

faktor risiko skizofrenia. Kami menemukan frekuensi defisiensi serum folat yang

lebih tinggi pada pasien penderita skizofrenia dibandingkan kontrol (8.3%

dibandingkan dengan 0%).

Pada suatu penelitian, level folat dalam plasma yang lebih rendah terdapat

pada pasien penderita skizofrenia dibandingkan dengan pasien kontrol yang

sehat. Di sisi lain, para peneliti tidak menemukan perbedaan dalam status asam

folat antara gangguan kejiwaan yang berbeda dibandingkan kontrol yang sehat.

Dilaporkan terdapat penurunan serum folat tetapi tidak pada sel darah merah

pada pasien dengan gangguan skizofrenia dan depresi. Dalam penelitian tersebut

menyatakan bahwa rata-rata asupan folat pada pasien penderita skizofrenia lebih

rendah (167.3 ± 90.5) daripada kontrol sehat (195.9 ± 70). Namun demikian

tidak terdapat indikasi kekurangan gizi atau cacat pada penyerapan folat untuk

menjelaskan penurunan level folat pada kelompok pasien skizofrenia dalam

penelitian ini (Moustafa et.al., 2014).

53
Dalam penelitian sebelumnya menyatakan bahwa level serum kobalamin

rata-rata pada pasien penderita skizofrenia secara signifikan lebih tinggi daripada

kontrol sehat. Defisiensi kobalamin pasien skizofrenia (13,3%) secara signifikan

lebih rendah daripada kontrol (23,3%). Pada suatu penelitian dimana hasil

penelitian ini bertentangan dengan hasil sebelumnya menyatakan bahwa

konsentrasi serum kobalamin antara pasien skizofrenia dan kontrol adalah

serupa. Di sisi lain, satu penelitian telah menunjukkan penurunan level folat dan

kobalamin pada pasien penderita skizofrenia (Silver, 2000)

Sebuah survei di Meksiko memperlihatkan rata-rata level serum kobalamin

pada pasien penderita skizofrenia (409.75 ± 243.79) yang lebih tinggi dari

kontrol sehat (407.71 ± 210.18). Sementara itu, beberapa peneliti telah

merekomendasikan pemeriksaan serum ​Metyl Maloic Acid (MMA) dan/atau

homosistein (Hcy) sebagai bukti defisiensi kobalamin atau folat (Moustafa et.al.,

2014). Semua masalah yang berkaitan dengan folat telah diidentifikasi dengan

jelas pada skizofrenia. Masalah utama adalah terdapat kadar folat plasma yang

rendah pada gangguan ini. Sebuah studi kasus-kontrol menemukan kadar

homosistein ​yang tinggi pada skizofrenia berhubungan dengan kadar folat

setengah dari kontrol (8,2 vs 4,2 umol / L; p <0,001) (Mabrouk et.al., 2011).

Level folat yang rendah terkait dengan keparahan gejala. Goff et.al. (2004)

melaporkan level folat dalam plasma pada skizofrenia lebih rendah 43%

dibandingkan dengan kontrol dan berkorelasi dengan keparahan gejala negatif

yang diukur menggunakan ​Schedule for Assessment of Negative Symptoms

54
(SANS) (r = -0,31, N = 91, p<0,01). Dengan kata lain terdapat korelasi antara

level folat yang rendah dengan gejala negatif yang memburuk.

Kale et.al. (2010) melaporkan terdapat 36% penurunan folat dalam plasma

dan 53% penurunan folat dalam sel darah merah pada individu dengan episode

pertama psikosis dibandingkan dengan kontrol yang sehat. Studi ini jelas

menunjukkan bahwa level folat yang rendah bukan hasil dari penggunaan obat

antipsikotik.

10. Peran Asam Folat dan B​12 pada


​ Pasien Skizofrenia

Penelitian Roffman (2013) pada 140 subjek yang secara acak

menambahkan asam folat ditambah B12 atau plasebo per oral. Subjek yang

menyelesaikan studi (n = 135) diperiksa perubahan gejala yang ada. Pasien yang

menerima folat ditambah B12 menunjukkan penurunan gejala negatif yang

signifikan (-0,19 perubahan SANS per minggu; 95% CI, -0,35 untuk -0,03; p =

0,02) dan mereka yang diberi plasebo tidak menunjukkan perubahan (0,02 per

minggu; 95% CI, -0,21 0,24; p = 88). Hasil ini menunjukkan bahwa

suplementasi obat antipsikotik dengan folat dan B12 memperbaiki gejala negatif

skizofrenia.

Beberapa strategi suplementasi vitamin B memperlihatkan hasil yang

baik pada penderita skizofrenia. Pada penelitian ​double blind plasebo-kontrol,

Godfrey et.al. (1970), menunjukkan perbaikan gejala dan sosial pada 17 pasien

skizofrenia yang menerima suplementasi methylfolate (15 mg / hari)

berdampingan dengan pengobatan farmakologis standar. Sebuah penelitian ​cross

55
sectional baru-baru ini, Levine dkk melaporkan perbaikan gejala pada 42 pasien

skizofrenia dengan level homosistein tinggi, ditambah dengan asam folat (2 mg /

hari), vitamin B6 (25 mg / hari) dan vitamin B12 (400 mcg / hari) di samping

pengobatan antipsikotik biasa.

Brown et.al. (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

suplementasi vitamin, terutama asam folat, vitamin B​12 dan vitamin D,

memainkan peranan penting pada pengobatan skizofrenia di subkelompok

tertentu. Di antara pasien dengan varian genetik tertentu suplementasi baik folat

maupun vitamin B12 bermanfaat, terutama untuk memperbaiki gejala negatif.

56
B. Kerangka Pikir

57
C. Hipotesis

Pemberian terapi tambahan folat dan vitamin B​12 pada pasien skizofrenia

kronis dapat meningkatkan manfaat pengobatan antipsikotik dalam memperbaiki

skor PANSS.

58
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan

randomized controlled trial, pre-post test design.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di unit rawat inap RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta

dan dilakukan pada bulan Agustus-Oktober 2016.

C. Subjek Penelitian

Populasi target dari penelitian ini adalah pasien skizofrenia kronik yang

menjalani rawat inap di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta pada periode bulan

Agustus-Oktober 2016 dan memenuhi kriteria inklusi:

1. Pasien skizofrenia yang telah mengalami gangguan minimal selama 2 tahun.

2. Pasien mendapat pengobatan antipsikotik kombinasi risperidon –

chlorpromazine.

3. Pasien yang menjalani rawat inap di RSJD Arif Zainudin Surakarta pada bulan

Agustus-Oktober 2016.

4. Usia 21-50 tahun.

5. Keluarga pasien bersedia mengikuti penelitian dan menandatangani surat

59
persetujuan

Kriteria eksklusi:

Terdapat riwayat penyakit jantung, anemia dan hipertensi.

D. Teknik Penetapan Sampel

Pengambilan sampel menggunakan tehnik ​consecutive sampling.

E. Besar Sampel

Pengambilan besar sampel dihitung berdasarkan rumus :

(Zα+Zβ)S 2
n = 2 ( (X1 – X2) )

n = besar subjek, subjek dua kelompo sama besar (n​1​=n​2​)

Zα = batas nilai konversi pada distribusi normal kemaknaan 0,05 adala 1,96

Z​β = batas bawah nilai konversi pada distribusi normal untuk batas kemaknaan 0,005

adalah 1,64

S = standar deviasi perkiraan perbedaan, sebesar 5,3

X​1​-X​2​ = Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna = 5

Simpang baku populasi yang tidak diketahui dapat diperkirakan dari survei
awal (penelitian pilot) atau penelitian sebelumnya. Desain penelitian sebelumnya
tidak perlu sama dengan desain penelitian sekarang, tetapi harus berasal dari
populasi dengan karakteristik serupa, misalnya jenis kelamin, usia, faktor risiko dan
demografi (Sastroasmoro, 2010).
Sehingga dapat dihitung

60
(1,96+1,64)5,3 2
n=2( (5) ) = 29,12

Berdasarkan rumus tersebut, maka didapatkan besarnya subjek penelitian pada

masing-masing kelompok dibulatkan menjadi 30 subjek.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel bebas : asam folat dan vitamin b12

2. Variabel terikat: skor PANNS

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Skizofrenia kronik : pasien dengan diagnosis skizofrenia dan telah mengalami

gangguan tersebut selama lebih dari 2 tahun.

2. Antipsikotik kombinasi : dalam penelitian ini ditentukan penggunaan

antipsikotik kombinasi risperidon – chlorpromazine.

3. Asam folat: diberikan tablet 2 mg peroral selama 4 minggu

4. Vitamin B​12​ : diberikan tablet 400 µg peroral selama 4 minggu

5. Skor PANSS : pada penelitian ini dilakukan penilaian pada skor PANSS pre dan

post-tes.

H. Instrument Penelitian

1. Informed consent

2. Data identitas subjek penelitian

3. Lembar penilaian PANSS

61
I. Prosedur Penelitian

1. Keluarga pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dimotivasi untuk mengikuti penelitian dan menandatangani persetujuan

penelitian.

2. Pada rekam medik pasien yang menjadi subjek penelitian diberikan kode berupa

stiker dengan tulisan P (penelitian) oleh dokter penanggung jawab ruangan.

3. Dilakukan penilaian skor PANSS pre-tes pada seluruh subjek penelitian.

4. Dilakukan pemberian terapi tambahan asam folat dan vitamin B​12 selama 4

minggu pada pasien yang masuk dalam kelompok perlakuan. Penentuan

kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dilakukan oleh dokter penanggung

jawab ruangan.

5. Dilakukan penilaian skor PANSS post-tes 4 minggu kemudian. Pengukuran

dilakukan secara ​blind oleh penulis.

6. Dilakukan analisa hasil secara statistik.

J. Alur Prosedur Penelitian

62
K. Teknik Analisis Data

Data yang terkumpul akan diolah dan dianalisa dengan uji ​t. Untuk signifikansi

hubungan variabel dengan tingkat kemaknaan 5%.

63
64
BAB IV

HASIL PENELITIAN

Telah dilakukan studi untuk mengetahui efektifitas terapi tambahan asam folat

dan vitamin B​12 dalam


​ memperbaiki skor PANSS pasien skizofrenia kronis, pada bulan

Agustus- September 2016. Besar sampel pada studi ini adalah 60 subyek yang telah

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dari seluruh jumlah tersebut secara

acak dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

Pada kelompok perlakuan terdiri dari 30 subyek yang diberikan antipsikotik dan terapi

tambahan asam folat dan vitamin B​12 selama 4 minggu. Pada kelompok kontrol terdiri

dari 30 subyek dengan terapi antipsikotik. Skor PANSS ​posttest dinilai setelah 4

minggu.

Karakteristik demografi subyek studi kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 4.1. Karakteristik demografi subyek studi

Variabel Kelompok

Intervensi Kontrol Nilai p

Jenis kelamin : 0,07

●Laki-laki 19/30 (63,33%) 11/30 (36,67%)

●Perempuan 11/30 (36,67%) 19/30 (63,33%)

Umur (​mean) 36,77 ± 9,06 34,53 ± 5,86 0,262

65
Pendidikan : 3/30 (10%) 8/30 (26,67%) 0,425

●Tidak sekolah 7/30 (23,33%) 8/30 (26,67%)

●SD 8/30 (26.67%) 7/30 (23,33%)

●SMP 11/30 (36,67%) 7/30 (23,33%)

●SMA/SMK 1/30 (3,33%) 0/30 (0%)

●PT

Pekerjaan : 0,065

●Bekerja 16/30 (53,33%) 8/30 (26,67%)

●Tidak bekerja 14/30 (46,67%) 22/30 (73,33%)

Status perkawinan : 0,360

●Kawin 9/30 (30%) 5/30 (16,67%)

●Tidak kawin 21/30 (70%) 25/30 (83,33%)

Pada tabel 4.1 didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak laki-laki

(63,33%), untuk kelompok kontrol lebih banyak perempuan (63,33%), sedangkan untuk

total laki-laki dan perempuan sama banyak (masing-masing 50%). Untuk variabel umur,

umur rata-rata kelompok intervensi (36,77 ± 9,06) sedikit lebih tua daripada umur

rata-rata kelompok kontrol. Pada variabel pendidikan, didapatkan pada kelompok

intervensi lebih banyak lulusan SMA/SMK (36,67%), untuk kelompok kontrol sama

banyak antara yang tidak sekolah dengan lulusan SD (masing-masing 26,67%),

sedangkan untuk total sedikit lebih banyak lulusan SMA (30%).

66
Pada variabel pekerjaan, didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak yang

bekerja (53,33%), untuk kelompok kontrol lebih banyak yang tidak bekerja (73,33%),

sedangkan untuk total lebih banyak yang tidak bekerja (60%). Pada variabel status

perkawinan, didapatkan pada kelompok intervensi lebih banyak yang tidak kawin

(70%), untuk kelompok kontrol juga lebih banyak yang tidak kawin (83,33%),

sedangkan untuk total juga lebih banyak yang tidak kawin (76.67%).

Berdasarkan tabel 4.1 dilakukan uji komparatif terhadap karakteristik demografik

kedua kelompok. Dengan uji tersebut didapatkan tidak ada perbedaan yang bermakna

antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol pada jenis kelamin (p=0,07), umur

(p=0,262), pekerjaan (p=0,065), status perkawinan (p=0,360) dan tingkat pendidikan

(p=0,425). Uji ini dilakukan agar data yang didapat memenuhi syarat untuk dilakukan

uji statistik berikutnya.

Tabel 4.2. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​pretest pada kelompok intervensi dan

kontrol

Variabel Kelompok Nilai p

Intervensi Kontrol

(n = 30) (n = 30)

PANNS gejala positif 22,5 ± 5,87 24,89 ± 6,61 0,228

PANNS gejala negatif 22,47 ± 9,12 25,33 ± 8,11 0,203

PANNS psikopatologi 40,83 ± 11,31 43 ± 13,17 0,497

umum

67
PANNS risiko agresi 7,83 ± 2,28 8,07 ± 2,82 0,970

PANNS total 93,13 ± 21,95 101,5±23,22 0,157

Grafik 4.1. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​pretest pada kelompok intervensi dan

kontrol

Pada tabel 4.2 dan grafik 4.1 didapatkan nilai rata-rata skor PANNS ​pretest gejala

positif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 24,89 ± 6,61, dibandingkan

22,5 ± 5,87 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS ​pretest gejala

negatif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 25,33 ± 8,11 dibandingkan

22,47 ± 9,12 pada kelompok itervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS ​pretest

psikopatologi umum lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 43 ± 13,17

68
dengan 40,83 ± 11,31 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS

pretest risiko agresi lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 8,07 ± 2,82.

Sedangkan untuk nilai rata-rata skor PANNS total ​pretest lebih tinggi pada kelompok

kontrol yaitu sebesar 97,77 ± 25,69.

Pada skor PANSS pretest dilakukan uji beda, dari dua kelompok dapat dilihat

adanya perbedaan tidak bermakna nilai rata-rata skor PANNS ​pretest baik gejala positif

(p=0,228), gejala negatif (p=0,203), psikopatologi umum (p=0,497), agresi (p=0,970),

maupun skor total (p=0,157).

Tabel 4.3. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​postest pada kelompok intervensi dan

kontrol

Variabel Kelompok Nilai p

Intervensi Kontrol

(n = 30) (n = 30)

PANNS gejala positif 10,77 ± 2,42 15,6 ± 3,59 0,001

PANNS gejala negatif 13,47 ± 9,07 20,27 ± 7,23 0,001

PANNS psikopatologi 23,1 ± 7,27 31,3 ± 7,03 0,001

umum

PANNS risiko agresi 3,67 ± 0,92 4,9 ± 1,12 0,001

PANNS total 51,1 ± 17,83 72,00 ± 14,52 0,001

69
Grafik 4.2. Nilai rata-rata (​mean) skor PANNS ​postest pada kelompok intervensi dan

kontrol

Pada tabel 4.3 dan grafik 4.2 didapatkan nilai rata-rata skor PANNS ​posttest

gejala positif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 15,6 ± 3,59,

dibandingkan 10,77 ± 2,42 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS

posttest gejala negatif lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 20,27 ± 7,23

dibandingkan 13,47 ± 9,07 pada kelompok intervensi. Untuk nilai rata-rata skor PANNS

posttest psikopatologi umum lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 31,3 ±

7,03. Untuk nilai rata-rata skor PANNS ​posttest risiko agresi lebih tinggi pada

kelompok kontrol yaitu sebesar 4,9 ± 1,12. Sedangkan untuk nilai rata-rata skor PANNS

total ​posttest lebih tinggi pada kelompok kontrol yaitu sebesar 72,00 ± 14,52.

Dari skor PANSS ​postetst dilakukan uji beda terhadap kelompok untervensi dan

kelompok kontrol, pada dua kelompok didapatkan perbedaan bermakna nilai rata-rata

70
skor PANNS ​posttest baik gejala positif (p=0,001), gejala negatif (p=0,001),

psikopatologi umum (p=0,001), agresi (p=0,001), maupun skor total (p=0,001).

Tabel 4.4. Nilai rata-rata (​mean) selisih skor PANNS ​pretest-postest pada kelompok

intervensi dan kontrol

Variabel Kelompok Nilai p

Intervensi Kontrol

(n = 30) (n = 30)

PANNS gejala positif 12 ± 5,75 8,23 ± 4,27 0,01

PANNS gejala negatif 8,59 ± 5,73 5,03 ± 3,99 0,004

PANNS psikopatologi umum 18,07 ± 10,89 11,2 ± 9,09 0,01

PANNS risiko agresi 4,07 ± 2,25 3,1 ± 2,41 0,114

PANNS total 42,03 ± 21,61 29,83 ± 15,01 0,014

Pada tabel 4.4 didapatkan nilai rata-rata (​mean) selisih skor PANNS

pretest-postest pada kelompok intervensi lebih besar daripada kelompok kontrol pada

semua variabel. Analisa statistik menggunakan uji t tidak berpasangan karena sebaran

data semua variabel tersebar normal. Didapatkan perbedaan nilai rata-rata (​mean) selisih

skor PANNS ​pretest-postest antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang

signifikan terdapat pada skala gejala positif (p=0,01), skala gejala negatif (p=0,004),

skala psikopatologi umum (p=0,001) dan skor PANNS total (p=0,014). Sedangkan

pada skala risiko agresi, perbedaaan nilai rata-rata selisih skornya tidak signifikan

(p=0,114). Pada grafik 4.3 dan grafik 4.4 disajikan penurunan nilai rata-rata skor

71
PANNS total dan subskala antara ​pretest dan ​posttest pada kelompok intervensi dan

kelompok kontrol.

Grafik 4.3. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara ​pretest dan

posttest pada kelompok intervensi.

72
Grafik 4.4. Penurunan nilai rata-rata skor PANNS total dan subskala antara ​pretest dan

posttest pada kelompok kontrol.

Selanjutnya dilakukan uji ​One-Way ANOVA nilai rata-rata selisih skor PANSS

postest subsakala gejala positif, negatif, psikopatologi umum, dan PANSS total

kelompok intervensi. Dari hasil uji statistik didapatkan selisih skor PANSS yang

bermakna pada keempat subskala (gejala positif, negatif, psikopatologi umum, dan

PANSS total)dengan nilai p=0,000.

73
BAB V

PEMBAHASAN

Pada studi ini jenis kelamin laki-laki didapatkan sama banyak dengan perempuan,

masing-masing 50%. Skizofrenia adalah sama-sama prevalensinya antara laki-laki dan

wanita.Tetapi, dua jenis kelamin tersebut menunjukkan perbedaan dalam onset dan

perjalanan penyakit. Laki-laki mempunyai onset skizofrenia yang lebih awal daripada

wanita. Beberapa penelitian telah menyatakan bahwa laki-laki adalah lebih mungkin

daripada wanita untuk terganggu oleh gejala negatif dan bahwa wanita lebih mungkin

memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada laki-laki. Pada umumnya, hasil akhir

untuk pasien skizofrenia wanita adalah lebih baik pada hasil akhir daripada pasien

skizofrenia laki-laki (Kaplan, Sadock & Grebb, 2010).

Usia rata-rata pasien skizofrenia pada studi ini adalah 35,65 ± 7,65. Onset

skizofrenia sering terjadi pada masa remaja atau dewasa awal. Usia puncak onset untuk

laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanita usia puncak adalah 25 sampai 35

tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun adalah sangat

jarang (Sinaga, 2007). Pada studi ini, sebagian besar pasien skizofrenia berpendidikan

rendah dan menengah, sedangkan yang berpendidikan tinggi hanya satu subyek

(1,67%). Bahkan, yang tidak bersekolah cukup besar yaitu 18,33%. Adanya gejala

–gejala gangguan skizofrenia terutama gejala negatif dan gangguan kognitif berdampak

74
buruk bagi tingkat pendidikan pasien skizofrenia. Pada studi yang dilakukan Palmer

et.al. (1997) didapatkan hanya 27 % pasien skizofrenia yang secara neuropsikologi

normal. Hal ini menandakan defisit kognitif pada pasien skizofrenia adalah signifikan.

Defisit kognitif berkonstribusi terhadap terjadinya perburukan fungsi. Tidak hanya

berpengaruh pada tingkat pendidikan, kesulitan dalam menjaga semangat kerja dan

hubungan sosial, hidup mandiri dan mendapatkan ketrampilan dalam program

rehabilitasi menyebabkan disabilitas pada pasien skizofrenia (Green et.al.​ (2004).

Pada studi ini didapatkan pula sebagian besar pasien skizofrenia tidak bekerja,

yaitu sebesar 60%. Tidak bekerjanya pasien skizofrenia berkaitan dengan tingkat

sosioekonomi. Dalam literatur dijelaskan bahwa sebagian besar pasien skizofrenia

berada dalam kelompok sosioekonomi rendah. Hal tersebut dijelaskan oleh hipotesis

pergeseran ke bawah (​downward drift hypothesis) yang menyatakan bahwa pasien

skizofrenia bergeser ke kelompok sosioekonomi yang lebih rendah atau gagal keluar

dari kelompok sosioekonomi rendah akibat gangguannya. Suatu penjelasan alternatif

adalah hipotesis akibat sosial (​social causation hypothesis) yang menyatakan bahwa

stres yang dialami oleh anggota kelompok sosioekonomi rendah berperan dalam

perkembangan skizofrenia (Kaplan, Sadock & Grebb, 2010).

Pada studi ini juga didapatkan 76,67% pasien skizofrenia tidak menikah. Individu

yang didiagnosis dengan skizofrenia 60-70% tidak pernah menikah (Sinaga, 2007).

Status menikah pada umumnya merupakan faktor yang mendukung untuk prognosis

yang lebih baik pada pasien skizofrenia. Sedangkan sebaliknya pasien skizofrenia yang

75
tidak menikah dikaitkan dengan prognosis yang lebih jelek berkaitan dengan seringnya

rawat inap, besarnya tingkat bunuh diri, kualitas hidup yang lebih jelek, tingkat depresi

yang lebih banyak dan disabilitas sosial yang lebih berat (Nyer et.al., 2010; Kaplan,

Sadock & Grebb, 2010).

Pada studi ini, berdasarkan penilaian dengan PANNS didapatkan perbedaan yang

signifikan dibanding kelompok kontrol dalam perbaikan gejala positif, gejala negatif,

psikopatologi umum dan skor total. Hasil ini sesuai dengan hasil studi oleh Levine dan

kolega (2006) yang melaporkan terjadinya perbaikan gejala skizofrenia baik gejala

positif, gejala negatif maupun skor total. Penelitian tersebut dilakukan pada 42 pasien

skizofrenia dengan hiperhomosisteinemia yang dilakukan di Israel dengan memberikan

terapi tambahan asam folat plus vitamin B​12​.

Terapi dengan menggunakan asam folat dan vitamin B​12 sebenarnya lebih

dikaitkan dengan perbaikan gejala negatif . Pada studi RCT (​Randomized Contrl Trial)

oleh Roffman et.al. (2013) yang dilakukan terhadap 140 pasien skizofrenia dengan

diberikan terapi tambahan asam folat 2 mg dan vitamin B​12 400 mcg. Pada studi ini

didapatkan perbaikan signifikan pada gejala negatif, sedangkan perubahan gejala positif

dan skor total tidak berbeda secara signifikan dengan kelompok terapi yang lain.

Pada studi yang dilakukan penulis, tidak hanya gejala negatif yang mengalami

perbaikan, namun pula gejala positif dan psikopatologi umum. Hal ini dipengaruhi oleh

antipsikotik yang digunakan oleh subyek. Selama ini, antipsikotik dihubungkan dengan

perbaikan yang besar dalam gejala positif dan sedikit perbaikan atau malah

76
memperburuk gejala negatif. Berdasarkan literatur, tingkat respon individu dengan

gangguan skizofrenia dalam perbaikan gejala negatif setelah diberikan asam folat dan

vitamin B​12 dipengaruhi oleh variasi genetik sehingga mempengaruhi absorpsi. Gen

MTHFR-677C>T dan FOLHI-484T telah dikaitkan dengan perbaikan gejala negatif

(Roffman, 2013).

Perbaikan gejala negatif juga dikaitkan dengan meningkatnya kadar asam folat

setelah diberikan terapi tambahan asam folat dan vitamin B​12​. Pada penelitian oleh

Donald C. Goff (2004) didapatkan kadar serum folat yang rendah berhubungan

signifikan dengan gejala negatif skizofrenia. Mekanisme yang mendasari hal tersebut

ada beberapa kemungkinan, seperti rendahnya masukan gizi folat, aktivitas GCPII

(Glutamate Carboksipeptidase II) yang rendah, pengaruh merokok dan keterlibatan folat

dalam sintesis neurotransmitter. Studi lanjutan diperlukan untuk mengklarifikasi temuan

tersebut (Arrol et.al., 2014).

Dalam literatur lain disebutkan mekanisme folat memperbaiki gejala negatif dan

meningkatkan neuroplastisitas tidak jelas, karena folat berperan banyak dalam

perkembangan dan fungsi otak. Mekanisme yang diduga terlibat seperti sintesis

neurotransmiter, pemeliharaan DNA, modulasi konsentrasi dopamin prefrontal dengan

metilasi katekol-O-metil-transferase (COMT), dan modulasi ekspresi gen dan

neurogenesis (Goff, 2013).

Terdapat mekanisme yang mencoba menjelaskan peran folat daam memperbaiki

gejala negatif yaitu melalui derivatnya, L-metilfolat. MTHFR (metilen tetrahidrofolat

77
reduktase) mengubah folat menjadi L-metilfolat. L-metilfolat beraksi untuk memodulasi

sintesis monoamine melalui 3 tahap proses. Yang pertama, L-metilfolat membatu

formasi kofaktor penting yaitu tetrahidro biopterin (BH4). Kedua, BH4 mengaktivasi

enzim tirosin hidroksilase dan triptofan hidroksilase. Ketiga, tirosin berikatan dengan

tirosin hidroksilase kemudian akhirnya diubah menjadi dopamin dan norepinefrin,

sedangkan triptofan berikatan dengan triptofan hidroksilase kemudian akhirnya diubah

menjadi serotonin (Stahl, 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bouaziz et.al. (2010) penurunan kadar

homosistein secara signifikan berkaitan dengan keparahan gejala negatif skizofrenia.

Song et.al. (2014) dalam penelitiannya mendapatkan korelasi negatif antara homosistein

dan kadar asam folat. Dimana kadar homosistein dapat diturunkan dengan

sumplementasi asam folat dan vitamin B​12​.

Pada studi yang dilakukan oleh penulis didapatkan tidak ada perbedaan signifikan

dalam perbaikan gejala agresi. Hal ini menurut penulis disebabkan subyek yang terlibat

dalam studi ini sudah cukup tenang atau kurang agresi sebelum diberikan terapi.

Dengan demikian, setelah diberikan antipsikotik dan terapi tambahan folat dan vitamin

B​12​ maka perbaikan gejala agresi yang dinilai PANNS hanya sedikit.

Keterbatasan studi

Studi ini memiliki beberapa keterbatasa antara lain :

1. Waktu studi yang relatif pendek sehingga tidak diketahui efek perlakuan dalam

78
jangka panjang.

2. Banyak variabel yang mempengaruhi skizofrenia yang tidak dikendalikan dalam

studi ini seperti gaya hidup, intake dan status gizi, serta faktor genetik sehingga

dapat menyebabkan bias pada hasil akhir studi.

3. Tidak dilakukan pemeriksaan kadar asam folat dan vitamin B​12​.

4. Belum diketahui secara pasti dosis asam folat dan vitamin B​12 yang tepat untuk

memperbaiki gangguan mental, khususnya skizofrenia.

79
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data studi dapat diambil simpulan bahwa

penambahan asam folat dan vitamin B​12 sebagai adjuvan pada terapi antipsikotik

standar efektif dalam menurunkan skor PANNS pada pasien skizofrenia kronis

(hipotesis diterima).

B. Saran

Diperlukan adanya studi lanjutan dengan desain studi yang lebih sesuai dengan

mengendalikan faktor-faktor perancu : gaya hidup, status gizi serta faktor genetik dan

memperhatikan kadar asam folat dan vitamin B​12​, sehingga mendapat hasil yang lebih

baik pada studi penambahan asam folat dan vitamin B​12​ pada pasien skizofrenia.

80
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad et.al. 2011. ​Folate and vitamin B12 status in schizophrenic patients. Department
of Nutrition and Biochemistry, School of Public Health, Tehran University
of Medical Sciences, Tehran, Iran.
Almatsier, Sunita. 2004. ​Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
APA. 2005. ​Schizophrenia and Other Psychotic Disorders. Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders IV – Text Revision (DSM IV - TR).
Washington CD: American Psychiatric Association.
Arrol, M.A.; Wilder, R & Neil, J. 2014. ​Nutritional Interventions for The Adjunctive
Treatment of Schizophrenia: A Brief Review. Nutrition Journal 2014, 13:91
Austin, R.C., Lentz, S.R., Werstuck, G.H., 2004. ​Role of hyperhomocysteinemiain
endothelial dysfunction and atherothrombotic disease. Cell Death Differ. 11
(Suppl 1), S56– S64.
Berdanier CD, et.al., 2008. ​Advance Nutrition Micronutrients. New York Washington,
D.C : CRC Press.
Bottiglieri T, 2009. ​Homocysteine and folate metabolism in depression.
ProgNeuro-Psychopharmacol Biol Psychiatry; 29: 1103–12.
Bouaziz N, et.al. 2010. ​Plasma homocysteine in schizophrenia: Determinants and
clinical correlations in Tunisian patients free from antipsychotics.
Psychiatry Research 179 (2010) 24–29. doi:10.1016/j.psychres.2010.04.008.
Brown AS, et.al., 2007. ​Elevatedprenatal homocysteine levels as a risk factor for
schizophrenia. Archives of general psychiatry. [PubMed: 17199052].
Brown AS, Susser ES. 2008. ​Prenatal nutritional deficiency and risk of adult
schizophrenia. Schizophrenia bulletin. [PubMed: 18682377].
Brown HE, et.al., 2014. ​Vitamin Supplementation in the Treatment of Schizophrenia.
CNS Drugs.; 28(7): 611–622. doi:10.1007/s40263-014-0172-4.
Byrne M, Agerbo E, Eaton WW, Mortensen PB. 2004. ​Parental socio-economic status
and risk of first admission with schizophrenia - a Danish national register
based study. Soc Psychiatry Psychiatr Epidemiol. 2004;39:87–96.
Croudace, T., Bloom, R., Jones, P., et.al. 2000. ​Non linear relationship between a
measure of social deprivation, psychiatric admission prevalence and the
incidence of psychosis. Psychological Medicine. 30. 177-185.
Dietrich-Muszalska A, Malinowska J, Olas B, Glowacki R, Bald E, Wachowicz B, et al.

81
The oxidative stress may be induced by the elevated homocysteine in
schizophrenicpatients. Neurochem Res 2012; 37:1057-62; PMID:22270909;
http://dx.doi.org/10.1007/s11064012-0707-3.
Depkes RI. 2014. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
Durland VM, and Barlow DH. 2007. ​Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition
Pacific Grove, CA: Wadsworth
Eaton, W. & Harrison, G. 2001. ​Life chances, life planning and schizophrenia : a
review and interpretation of reserch on social deprivation. International
Journal of Mental Health. 30. 58-81.
Fava M, et.al., 2009. ​Folate in Depression: Efficacy, Safety, Differences in
Formulations, and Clinical Issues. Department of Psychiatry, Harvard
Medical School and Massachusetts General Hospital, Boston.

Feng LG, et.al.,​ ​2009​. ​Association of plasma homocysteine and


methylenetetrahydrofolatereductase C677T gene variant with
schizophrenia: A Chinese Han population-based case-control
study.​ ​Psychiatry Res.;168(3):205-8.
Freedman R. 2003. ​Schizophrenia. The New England Journal of Medicine. Colorado:
University of Colorado Health Sciences Center.
Goff et al., 2004. ​Folate, homocysteine, and negative symptoms in schizophrenia. ​Food
and Behaviour Research No SC034604​.
Goff, D.C. 2013. ​Future Perspectives on The Treatment of Cognitive Decits and
Negative Symptoms in Schizophrenia. World Psychiatry 2013;12:99–107.
Green, M.F. 2006. ​Cognitive Impairment and Functional Outcome in Schizophrenia
and Bipolar Disorder. J Clin Psychiatry; 67 (suppl 9) : 3-8.
Howes OD and Murray RM. 2014​. Schizophrenia: an integrated
sociodevelopmental-cognitive model. Lancet 2014; 383: 1677–87.
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(13)62036-X.
Hudson, Christopher G. 2005. ​Socioeconomic Status and Mental Illness: Tests of the
Social Causation and Selection Hypotheses. American Journal of
Orthopsychiatry 2005, Vol. 75, No. 1, 3–18. DOI:
10.1037/0002-9432.75.1.3.
Issac TG, et.al., 2015. ​Vitamin B12 Deficiency: An Important Reversible Co-Morbidity in
Neuropsychiatric Manifestations. Indian Journal of Psychological Medicine
Vol 37.

Kale et.al., 2010. ​Reduced folic acid, vitamin B12 and docosahexaenoic acid and
increased homocysteine and cortisol in never-medicated schizophrenia
82
patients: Implications for altered one-carbon metabolism. Elsevier :
Psychiatry Research 175 (2010) 47–53.
Katzung, B.G. 2010. ​Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
KemenPPN/Bappenas. 2015. ​Health Sector Review (HSR). Kumpulan ​Policy brief.
Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat, Bappenas. Jakarta.
Kemperman et.al., 2006​. Low essential fatty acid and B-vitamin status in a subgroup of
patients with schizophrenia and its response to dietary supplementation.
Food and Behaviour Research No SC034604.
Kinoshita, M., Numata, S., Tajima, A., Shimodera, S., Imoto, I., and Ohmori, T. (2013).
Plasma total homocysteine is associated with DNA methylation in patients
with schizophrenia. ​Epigenetics 8, 584–590. doi: 10.4161/epi. 24621.
Kruman II, Culmsee C, Chan SL, Kruman Y, Guo Z, Penix L, et.al. ​Homocysteine
elicits a DNA damage response in neurons that promotes apoptosis and
hypersensitivity to excitotoxicity. J Neurosci 2000; 20:6920-6;
PMID:10995836.
Kusumawardhanni a., dkk. 1994. Pedoman Definisi PANSS. FK UI.
Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman ​and L. L. Lance. 2011. ​Drug Information
Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc.
Lanham SA, e. al., 2011. ​Nutrition and Metabolism. Second Edition. India : Blackwell
Nutrient Society
Levine SZ, et.al., 2006. ​Homocysteine-Reducing Strategies Improve Symptoms in
Chronic Schizophrenic Patients with Hyperhomocysteinemia. ​BIOL
PSYCHIATRY 2006;60:265–269
Levine SZ, et.al., 2012. Negative symptoms have greater impact on functioning than
positive symptoms in schizophrenia: analysis of CATIE data. Schizophrenia
research 137(1-3):147–50. doi:10.1016/j.schres.2012.01.015. [PubMed:
22316568].
Levine J, Stahl Z, Sela BA, Ruderman V, Shumaico O, Babushkin I, Osher Y,
Bersudsky Y, Belmaker RH. ​Homocysteine reducing strategies improve
symptoms in chronic schizophrenic ​patients with hyperhomocysteinemia.
Biol Psychiatry. 2006; 60:265–269.
Liu CC, Ho WY, Leu KL, Tsai HM, Yang TH. ​Effects of S-adenosylhomocysteine and
homocysteineon DNA damage and cell cytotoxicity in murinehepatic and
microglia cell lines. J Biochem Mol Toxicol 2009; 23:349-56;
PMID:19827130; http://dx.doi.org/10.1002/jbt.20298.
Mabrouk H, et.al., ​Hyperhomocysteinemia and schizophrenia: case control

83
study. L’Encéphale. 2011;37(4):308–313.doi: 10.1016/j.encep.2010.12.004.
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. ​Psikiatri Komprehensif.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Maria, 2009. ​Folate, homocysteine, interleukin-6, and tumor necrosis factor alfa levels,
but not the methylenetetrahydrofolatereductase C677T polymorphism, are
risk factors for schizophrenia. Elseveir, Journal of Psychiatric Research 44
(2010) 441–446.
Mattson, M.P., Shea, T.B., 2003. ​Folate and homocysteine metabolism inneural
plasticity and neurodegenerative disorders. Trends Neurosci. 26(3), 137–
146.
Michele et.al., 2011. Folate supplementation in schizophrenia: A possible role for
MTHFR genotype. Elsevier Schizophrenia Research 127 (2011) 41–45.
MIMS, 2009. ​MIMS Edisi Bahasa Indonesia. Volume 10. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu
Populer (Kelompok Gramedia).
Moustafa et.al., 2014. ​Homocysteine levels in schizophrenia and affective
disorders—focus on cognition. Frontiers in Behavioral Neuroscience
:​Volume 8.
Muntjewerff JW, Kahn RS, Blom HJ, den Heijer M. ​Homocysteine,
methylenetetrahydrofolate reductase and risk of schizophrenia: a
meta-analysis. Mol Psychiatry 2006; 11:143-9; PMID:16172608; http://
dx.doi.org/10.1038/sj.mp.4001746.
Murti, B., 2010. Desain dan Ukuran Sampel untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
di Bidang Kesehatan. Gadjah Mada University Press Yogyakarta.
Muskiet FAJ, et.al., 2006. ​Folate and long-chain polyunsaturated fatty acids in
psychiatric disease. Journal of Nutritional Biochemistry 17-717–727.
Nurmiati Amir. 2008. Pengenalan Instrumen PANSS. FK UI. Jakarta.
Nyer, M; Kasckow, J; Fellow, I; et.al. 2010​. ​The relationship of marital status and
clinical characteristics in middle-aged and older patients with
schizophrenia and depressive symptoms. Annals of Clinical Psychiatry.
2010;22(3):172-179.
Office of Dietary Supplement. 2011. ​Dietary Supplement Fact Sheet: Vitamin B12. USA:
National Institutes of Health.
Oliver et.al., 2014. ​Schizophrenia: an integrated sociodevelopmental-cognitive model.
Lancet 2014; 383: 1677–87.
Reynolds E. 2006. ​Vitamin B12, folic acid, and the nervous system. ​Lancet Neurol 5:
949–60 Institute of Epileptology, King’s College, Denmark Hill Campus,

84
London.
Roffman JL, et.al., 2013​. A Randomized Multi-Center Investigation of Folate Plus B12
Supplementation in Schizophrenia. JAMA Psychiatry; 70(5): 481–489.
doi:10.1001/jamapsychiatry.2013.900.
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2010. ​Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku
Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Sarah et.al., 2011. ​Cerebral folate deficiency: A neurometabolic syndrome? Elsevier
Molecular Genetics and Metabolism 104 (2011) 369–372.
Saresai, et.al., 2003​. Introduction to Clinical Nutrition. Second edition, revised and
expanded. Newyork : Marcel Dekker.
Sastroasmoro, Sudigdo, dan Sofyan. 2010. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi Ketiga. Sagung Seto. Jakarta. 78-100.
Shirli Werner, Dolores Malaspina, and Jonathan Rabinowitz. 2007. ​Socioeconomic
Status at Birth Is Associated With Risk of Schizophrenia: Population-Based
Multilevel Study. Schizophrenia Bulletin vol. 33 no. 6 pp. 1373–1378, 2007.
doi:10.1093/schbul/sbm032.
Silver H. 2000. ​Vitamin B12 levels are low in hospitalized psychiatric patients. Isr J
Psychiatry Relat Sci. [PubMed: 10857271].
Sinaga BR. 2007. Skizofrenia dan Diagnosis banding, Jakarta:12-137
Song X et.al. 2014. ​Serum levels of BDNF, folate and homocysteine: In relation to
hippocampal volume and psychopathology in drug naïve, first episode
schizophrenia. Schizophrenia Research 159 (2014) 51–55.
http://dx.doi.org/10.1016/j.schres.2014.07.033.
Stahl, S.M. 2008. L- Methylfolate : ​A Vitamin for Your Monoamine. J. Clin Psychiatry
69:9 September 2008.
Sugden C. 2006. ​One-carbon metabolism in psychiatric illness. Nutrition Research
Reviews, 19, 117–136
Tandon et.al., (2010). ​Schizophrenia, “just the facts” 5. Treatment and prevention.
Past, present, and future. Schizophr Res 122, 1–23.
Tyagi N, Moshal KS, Ovechkin AV, Rodriguez W, Steed M, Henderson B, et.al.
Mitochondrial mechanism of oxidative stress and systemic hypertension in
hyperhomocysteinemia. J Cell Biochem. 2005; 96:66571; PMID:16149054;
http://dx.doi.org/10.1002/​jcb.20578.
Unicef. 1998. The State of the World’s Children 1998. Oxford: Oxford University
Press.
van Os, J., Kapur, S., 2009. Schizophrenia. Lancet 374, 635–645.

85
Wang D, et.al., 2016. ​Serum folate levels in schizophrenia: A meta-analysis. Elsevier
PsychiatryResearch235-83–89.
Wiraminaradja dan Sutardjo, 2005. ​Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika
Aditama

86
Lampiran 1. Dari Naskah Tesis

PENJELASAN TENTANG PENELITIAN

Judul penelitian : KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN

B​12​ DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr.

ARIF ZAINUDIN SURAKARTA

Penulis : dr. Betty Hidayati

No Telp : 085642010114

Saya dr. Betty Hidayati (Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran

Jiwa FK UNS) bermaksud mengadakan penelitian “KEEFEKTIFAN TERAPI TAMBAHAN

ASAM FOLAT DAN VITAMIN B​12​ DALAM MEMPERBAIKI SKOR PANSS PASIEN

SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA.”

Penulis menjamin bahwa penelitian ini tidak akan menimbulkan dampak negatif pada

siapapun. Penulis berjanji akan menjunjung tinggi hak-hak subyek dengan cara :

a. Menjaga kerahasiaan data yang diperoleh, baik dalam proses pengumpulan data, dan

penyajian hasil penelitian.

b. Menghargai keinginan subyek untuk berpartisipasi dalam penelitian ini.

Dalam penelitian ini, subyek/keluarga akan diminta mengisi kuesioner untuk data demografi

dan dilakukan wawancara dan observasi oleh penulis.

Melalui penjelasan singkat ini, penulis mengharapkan partisipasi saudara untuk menjadi

partisipan atau subyek penelitian ini. Terima kasih atas kesediaan dan partisipasinya.

87
88
Lampiran 2. Dari Naskah Tesis
PERSETUJUAN PENELITIAN

No. Penelitian :
PERSETUJUAN PENELITIAN
( ​Informed Consent )

Saya yang bertandatangan di bawah ini :


Nama :
Tempat / tanggal lahir/jenis kelamin :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Alamat :
Telp :
Hubungan dengan pasien :
Setelah diberi penjelasan mengenai penelitian, maka dengan ini saya menyatakan :

Nama :
No. CM :
Tempat / tanggal lahir :L/P
Jenis kelamin :
Status perkawinan :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Alamat :

Bersedia sebagai peserta penelitian dengan judul ”KEEFEKTIFAN TERAPI


TAMBAHAN ASAM FOLAT DAN VITAMIN B​12 DALAM MEMPERBAIKI SKOR
PANSS PASIEN SKIZOFRENIA KRONIK DI RSJD dr. ARIF ZAINUDIN
SURAKARTA”

Surakarta, …..............…....… 2016


Saya yang membuat pernyataan

89
(………………………..…… )

Lampiran 3. Dari Naskah Tesis

Data Peserta Penelitian

DATA PESERTA PENELITIAN

No. Penelitian :
No. RM :
Data dan Identitas :
1. Nama Lengkap : ......................................................................
2. Alamat : ......................................................................
3. Umur : ..............tahun
4. Jenis kelamin : .....................................................................
5. Agama : .....................................................................
6. Pendidikan terakhir : .....................................................................
7. Pekerjaan : .....................................................................
8. Bila ya, penghasilan : 1. < 1,5juta 2. ≥ 1,5 juta
9. Status nikah : 1. Ya 2. Tidak
10. Riwayat Hipertensi : 1. Ya 2. Tidak
11. Riwayat Diabetes melitus : 1. Ya 2. Tidak
12. Riwayat NAPZA/Alkohol: 1. Ya 2. Tidak
13. Riwayat Skizofrenia : 1. Ya 2. Tidak
14. Anemia : 1. Ya 2. Tidak

90
Lampiran 4. Dari Naskah Tesis

INTERRATER

91
Reliability

92
Scale: ALL VARIABLES
Case Processing Summary
N %

Cases Valid 5 100,0

Excluded​a 0 ,0

Total 5 100,0

a. Listwise deletion based on all variables in the


procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's
Alpha N of Items

,990 2

Item Statistics

Mean Std. Deviation N

PANSSdr.E 99,80 32,492 5

PANSSB 100,20 32,353 5

Item-Total Statistics
Corrected
Scale Mean if Scale Variance Item-Total
Item Deleted if Item Deleted Correlation

PANSSdr.E 100,20 1046,700 ,980

PANSSB 99,80 1055,700 ,980

Correlations
PANSSdr.E PANSSB

Spearman's rho PANSSdr.E Correlation Coefficient 1,000 ,900​*

Sig. (2-tailed) . ,037

N 5 5
*
PANSSB Correlation Coefficient ,900​ 1,000

Sig. (2-tailed) ,037 .

N 5 5

*. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

93
Lampiran 5. Dari Naskah Tesis
PANSS Versi Bahasa Indonesia

Daftar Pertanyaan Pemeriksaan PANSS


A. Identitas
1. Nama : Pemeriksa :
2. Umur :
3. Diagnosis :
B. Keluhan Utama :
C. Petunjuk
Berikan penilaian dengan memberikan tanda silang (X) pada kolom nilai
yang sesuai, dengan ketentuan sebagai berikut:
1 = Tidak ada
2 = Minimal
3 = Ringan
4 = Sedang
5 = Agak berat
6 = Berat
7 = Sangat berat

No Uraian penilaian dan pertanyaan Nilai


1 2 3 4 5 6 7
P1 Waham (isi pikiran tidak realistik, aneh, egosentrik, dan sulit dikoreksi).
Adakah keyakinan atau keadaan luar biasa yang terjadi/ dialami pasien?
P2 Kekacauan proses pikir (proses pikir verbal yang terputus atau tidak
segera tersampaikan oleh karena asosiasi longgar, melingkar, tidak urut
atau tidak mengandung arti). Penilaian dengan pencermatan
pembicaraan pasien selama wawancara.
P3 Perilaku halusinatorik (perilaku aneh atau tidak bertujuan tanpa
dirangsang stimuli dari luar). Penilaian berdasarkan observasi atau
laporan dari orang lain (perawat atau keluarga)
P4 Gaduh gelisah (hiperaktivitas motorik, peningkatan respon terhadap
stimuli, kewaspadaan berlebihan, atau labilitas mood yang berlebihan).
Penilaian berdasarkan observasi atau laporan dari orang lain yang
mengetahui.
P5 Waham kebesaran (keyakinan tentang diri sendiri yang berlebihan).
Adakah kekuatan, kekayaan, kesaktian, atau kemampuan lain yang luar
biasa dimiliki pasien?
P6 Kecurigaan/kejaran (ide atau keyakinan tidak realistik/mskakal tentang
kecurigaan terhadap sesuatu yang akan mencelakai pasien). Adakah
seseorang atau sekelompok orang, atau keadaan tertentu yang akan
mencelakai atau memonitor, atau memata-matai pasien?
P7 Permusuhan (sikap atau ekspresi verbal kemarahan, kebencian,
termasuk kata-kata kotor, cacimaki, atau penyerangan fisik). Penilaian
berdasarkan observasi atau laporan orang lain.

94
N1 Afek tumpul (berkurangnya respon emosional). Penilaian berdasarkan
observasi terhadap ekspresi wajah, modulasi perasaan, dan gerak-gerik
selama wawancara.
N2 Keruntuhan/ penarikan emosional (berkurangnya minat dan
keterlibatan, serta curahan perasaan terhadap peristiwa kehidupan).
Penilaian berdasarkan laporan dari perawat atau keluarga dan observasi
selama wawancara.
N3 Kemiskinan raport (berkurangnya interaksi atau keterlibatan dengan
pewawancara). Penilaian berdasarkan perilaku interpersonal selama
wawancara.
N4 Penarikan diri dari hubungan sosial secara pasif/apatis (berkurangnya
minat dan inisiatif dlm interaksi sosial, disebabkan karena pasivitas,
apatis, anergi). Penilaian berdasarkan laporan perilaku sosial dari
perawat atau keluarga.
N5 Kesulitan dalam pemikiran abstrak (hendaya dalam berfiki rabstrak atau
simbolik). Apa persamaan apel dan pisang? Apa persamaan jeruk dan
bola? Apa artinya air susu dibalas air tuba?
N6 Kurangnya spontanitas dan arus percakapan (berkurangnya arus normal
percakapan, berkurangnya kelancaran dan produktivitas dalam
pembicaraan). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
N7 Pemikiran stereotipik (kekakuan, pengulangan, atau isi pikir yang
miskin). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G1 Kekhawatiran somatik (keluhan-keluhan fisik atau keyakinan tentang
penyakit atau malfungsi tubuh). Bagaimana perasaan Anda mengenai
kesehatan Anda selama ini?
G2 Anxietas (kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan dan ketidaktenangan)
Pernahkah Anda merasakan kecemasan atau gugup dalam minggu lalu?
G3 Rasa bersalah (rasa penyesalan yang mendalam atau menyalahkan diri
sendiri terhadap perbuatan salah atau bayangan kelakuan buruk pada
masa lampau). Apakah Anda merasa lebih buruk dari orang lain?
G4 Ketegangan (manifestasi fisik yang jelas tentang ketakutan, anxietas,
dan agitasi, seperti kekakuan, tremor, keringat berlebihan, dan
ketidaktenangan). Penilaian berdasarkan observasi selama wawancara.
G5 Mannerisme dan sikap tubuh (Gerakan atau sikap tubuh yang tidak
wajar seperti ditandai oleh kejanggalan, kaku, disorganisasi, atau
penampilan yang bizzare). Penilaian berdasarkan observasi dan laporan
dari perawat atau keluarga.
G6 Depresi (perasaan sedih, putus asa, rasa tdk berdaya dan pesimisme)
Bagaimanakah perasaan Anda selama seminggu terakhir? Sebagian
besar baik atau sebagian besar buruk?
G7 Retardasi motorik (penurunan aktivitas motorik yang tampak sebagai
perlambatan atau kurangnya gerakan dan pembicaraan, penurunan
respons terhadap stimuli dan pengurangan tonus tubuh) Penilaian
berdasarkan observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G8 Ketidak kooperatifan (aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan
tokoh bermakna) Penilaian berdasarkan observasi dan laporan dari
perawat atau keluarga.
G9 Isi pikiran yang aneh (proses pikir ditandai oleh ide-ide yang asing,
fanatik, atau bizzar berkisar dari yang ringan ataua tipikal sampai
distorsi, tidak logis dan sangat tidak masuk akal). Apakah Anda merasa
ada sesuatu yang aneh masuk dalam pikiran Anda?

95
G10 Disorientasi( kurang menyadari hubungan seseorang dengan
lingkungan, termasuk orang, tempat, dan waktu yang mungkin
disebabkan oleh kekacauan atau penarikan diri) Tanggal berapakah hari
ini? Dimana kita berada sekarang?
G11 Perhatian buruk (gagal dalam memusatkan perhatian yang ditandai oleh
konsentrasi yang buruk, perhatian mudah teralih oleh stimulus eksternal
dan internal, dan kesulitan dalam mengendalikan, mempertahankan dan
mengalihkan fokus pada stimuli baru. Penilaian berdasarkan observasi
selama wawancara.
G12 Kurangnya daya nilai dan tilikan (hendaya kesadaran atau pemahaman
atas kondisi psikiatrik dan situasi kehidupan dirinya) Apakah yang
menyebabkan Anda dibawa ke Rumah Sakit Jiwa?
G13 Gangguan dorongan dan kehendak (gangguan dalam dorongan
kehendak, makan-minum, dan pengendalian pikiran, perilaku,
gerakan-gerakan, serta pembicaraan). Penilaian berdasarkan observasi
selama wawancara.
G14 Pengendalian impuls yang buruk (gangguan pengaturan dan
pengendalian impuls yang mengakibatkan ketegangan dan emosi yang
tiba-tiba, tidak teratur, sewenang-wenang, atau tidak terarah tanpa
memperhatikan konsekuensinya) Penilaian berdasarkan observasi dan
laporan dari perawat atau keluarga.
G15 Preokupasi (terpaku pada pikiran dan perasaan yang timbul dari dalam
diri dan disertai pengalaman autistik sedemikian rupa sehingga terjadi
gangguan orientasi realita dan perilaku adaptif) Penilaian berdasarkan
observasi dan laporan dari perawat atau keluarga.
G16 Penghindaran sosial secara aktif (penurunan keterlibatan sosial yang
disertai adanya ketakutan yang tidak beralasan, permusuhan, atau
ketidakpercayaan) laporan fungsi sosial oleh perawat atau keluarga
S1 Amarah (suasana perasaan agresif/marah thdp objek atau keadaan
didalam atau diluardirinya). Penilaian berdasarkan laporan atau
pernyataan selama wawancara. Apakah akhir-akhir ini Anda merasa
sangat marah?
S2 Kesulitan dalam menunda pemenuhan kepuasan (kesulitan dalam
menunda, mengalihkan, atau merubah objek tujuan yang akan dicapai).
Penilaian berdasarkan observasi dan laporan orang lain atau pernyataan
pasien. Apakah Anda saat ini sangat menginginkan sesuatu dan bgmn
kalo tidak mendapatkannya?
S3 Afek yang labil (suasana perasaan dan emosi yang tidak stabil,
fluktuatif dari waktu ke waktu). Penilaian berdasarkan pemeriksaan
mood, afek, emosi dan pengaruhnya terhadap ekspresi wajah, sikap,
atau perilaku. Apakah Anda merasa cepat marah, cepat sedih, cepat
gembira?

96
Lampiran 6. Dari Naskah Tesis

Ethical Clearance

97
98

Anda mungkin juga menyukai