Anda di halaman 1dari 29

PENGUNGSIAN KORBAN BENCANA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesehatan Matra III

Dosen Pengampu :

Ns. Desak Nyoman Sithi, S.Kep, MARS

Disusun Oleh :

Adelia Putri F. 1610711098


Vidya Hanan H. 1610711100

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN

JAKARTA

TAHUN 2019
A. PENGERTIAN SHELTER (PENGUNGSIAN)
Menurut Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Bencana Republik
Indonesia Nomor 03 Tahun 2018 Tentang Penanganan Pengungsi pada Keadaan
Darurat Bencana, pengungsi adalah orang atau kelompok orang yang terpaksa atau
dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai
akibat dampak buruk bencana. Sedangkan tempat pengungsian adalah tempat tinggal
sementara selama korban bencana mengungsi, baik berupa tempat penampungan
massal maupun keluarga, atau individual sesuai standar pelayanan minimum dan
dilengkapi dengan utilitas dasar yang dibutuhkan.
Istilah ‘shelter' memang sangat luas, mencakup semuanya dari tempat
berlindung sementara dari badai, misalnya di bawah pohon, hingga ke tenda, gubuk,
gedung publik, atau rumah. Hampir semua objek fisik yang dapat digunakan untuk
berlindung dari marabahaya dapat disebut sebagai shelter. Yang paling penting juga,
shelter adalah sebuah proses, dan seringnya disebut sebagai proses penyediaan 'shelter'
(sheltering), hal ini sama pentingnya dengan objek shelter itu sendiri. (PALANG
MERAH INDONESIA, 2019)
Dalam konteks kemanusiaan istilah shelter merujuk secara khusus pada ruang
fisik yang dapat ditinggali oleh orang yang menjadi pengungsi akibat bencana. Ruang
fisik yang digunakan untuk shelter kemanusiaan sangat beragam bergantung pada
faktor-faktor seperti konteks budaya dan politik, ketersediaan struktur dan bahan, serta
profil bencana.

B. KERENTANAN
Upaya shelter kemanusiaan tidak hanya mengenai penyediaan satu atau lebih
produk. Upaya shelter berfokus pada penanganan kebutuhan shelter, serta memenuhi
hak mereka yang dianggap memiliki risiko terbesar dan menjadi yang paling tergantung
pada bantuan. Kelompok-kelompok tersebut diidentifikasi sebagai yang paling rentan,
keberadaannya sering tidak disadari dan diketahui dalam sebuah komunitas.
1. Shelter dan Perlindungan
Secara luas, 'Perlindungan' dalam konteks kemanusiaan berarti menjamin hak
asasi mereka yang terdampak bencana yang disebabkan manusia atau bencana alam.
Untuk program shelter, ini dapat dijelaskan dalam dua aspek shelter yang saling
berkaitan erat. Pertama, terdapat perlindungan atas keselamatan jiwa yang dapat
diberikan oleh shelter dari iklim yang keras, atau serangan fisik. Kedua, terdapat
perlindungan yang dimungkinkan dengan adanya shelter, contohnya sebuah tempat
yang dapat digunakan anak-anak untuk belajar, tempat keluarga dapat menjalankan
ibadah agamanya dengan damai, tempat untuk menyimpan peralatan atau bahan
untuk mata pencaharian dan keamanan pangan. Struktur yang sama, atau gedung
yang sama, atau intervensi yang sama, yang melaksanakan kedua fungsi
perlindungan tersebut.

2. Gender
Laki-laki dan perempuan mengalami dampak bencana yang berbeda Dalam
peristiwa bencana alam, tingkat kematian perempuan dan anak-anak 14 kali lebih
tinggi daripada laki-laki. Risiko kekerasan berbasis gender (GBV) juga dapat
meningkat selama keadaan darurat, diakibatkan oleh rusaknya layanan penting,
rancangan shelter yang buruk, dan tidak adanya mekanisme pelaporan. Memahami
dengan jelas perbedaan peran dan beban kerja perempuan dan laki-laki, remaja
perempuan dan pemuda, akses mereka ke kontrol atas sumber daya, kuasa dalam
pengambilan keputusan serta kesempatan pengembangan keahlian, dapat
meningkatkan efektifitas tanggap kemanusiaan, berpegang kepada tujuan
proporsionalitas dan ketidakberpihakan bantuan kemanusiaan.
3. Dukungan Psikososial

Sumber kerentanan dan penderitaan terbesar dalam situasi bencana berasal dari
efek kompleks emosi, sosial, fisik, dan spiritual akibat bencana. Dalam tiap sektor
tanggap kemanusiaan, cara pemberian bantuan memiliki dampak psikososial yang
mungkin dapat mendukung atau melukai masyarakat terdampak. Penting untuk
mengelola dukungan kesehatan mental dan psikososial setempat yang layak, yang
mendorong self-help, penanggulangan, dan ketahanan di antara masyarakat
terdampak. Tindakan kemanusiaan diperkuat jika pada saat yang tepat di awal
tanggap kemanusiaan, masyarakat terdampak dijangkau dengan tanggap bencana
yang bersifat membimbing dalam pelaksanaannya.
4. Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup menyediakan sumber daya alam yang mendukung individu
dan berkontribusi terhadap kualitas hidup. Lingkungan hidup harus dilindungi dan
dikelola untuk menjaga fungsi pentingnya. Maka pencegahan populasi berlebih,
polusi dan degradasi keadaan lingkungan menjadi penting, serta bertujuan untuk
mengamankan fungsi lingkungan sebagai pendukung kehidupan, mengurangi risiko
dan kerentanan, serta memperkenalkan mekanisme yang memelihara kemampuan
adaptasi sistem alam untuk memulihkan dirinya sendiri.
C. KEBERLANJUTAN DAN PEMUKIMAN
1. Shelter dan Pemukiman
Sebuah rumah secara mendasar terkait dan saling berhubungan dengan
lingkungan/ permukiman dan lingkungan hidup. Mencakup akses atas layanan,
jaringan pendukung, mata pencaharian dan pertimbangan budaya/keyakinan.
Ketika sebuah rumah hancur, kerusakan yang terjadi bukan hanya pada shelter fisik,
tetapi juga gangguan cakupan faktor manusia yang saling berhubungan, termasuk
akses terhadap makanan dan layanan, dan mata pencaharian rakyat yang sedang
berlangsung.
Jenis sub-program dan modalitas pelaksanaan program shelter dapat memiliki
dampak besar kepada aneka macam faktor yang akan menentukan secepat dan
semudah apa sebuah keluarga dapat pulih setelah bencana. Faktor-faktor tersebut
bisa sangat sulit ditebak. Intervensi shelter harus hanya dipertimbangkan jika
terdapat kesenjangan dalam kapasitas setempat, dan program harus senantiasa
dirancang dan dilaksanakan bekerja sama dengan pemerintah daerah, dan terutama
dengan masyarakat itu sendiri. Harus terdapat pertimbangan dalam konteks
permukiman yang lebih luas, untuk memastikan bahwa upaya respons
berkelanjutan di masa depan, dan sesuai konteks.
Ketika relokasi permanen/sementara adalah pilihan yang tersisa bagi sebuah
rumah tangga, pertimbangan yang saksama harus diletakkan dalam perencanaan
dan pemikiran permukiman. Perencanaan shelter sangat rumit, dan program jenis
jangka panjang dapat memiliki dampak luas terhadap kemampuan masyarakat
untuk memulihkan dirinya sendiri.

2. Kelayakan Shelter
Harus dipastikan bahwa bantuan shelter layak dalam memenuhi kebutuhan
masyarakat terdampak dan memenuhi standar shelter. Hal ini memerlukan kajian
kebutuhan dan pendekatan rancangan yang partisipatif. Hak atas Perumahan yang
Layak juga mencakup upaya advokasi bahwa sebuah shelter dianggap layak hanya
jika penghuninya memiliki akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan dan
kesehatan, serta kesempatan untuk melakukan kegiatan mata pencaharian dalam
permukiman atau komunitasnya.
Dalam menentukan apa yang layak dan tidak, terdapat beberapa poin penting yang
wajib dipertimbangkan, antara lain:
a. Aman dari resiko lebih lanjut
1) Lokasi dan rancangan yang aman
Keamanan dari risiko lebih lanjut bergantung pada dua prinsip:
a) Jarak yang cukup jauh dari bahaya
b) Membuat shelter dengan rancangan dan material yang dapat
menangkal bahaya
Kajian risiko akan menentukan apakah lokasi shelter aman dari bahaya di
masa mendatang, seperti:
a) Potensi bencana di masa mendatang, misalnya kebakaran, banjir,
dan longsor
b) Reruntuhan bangunan dengan potensi ambruk
c) Konflik sosial atau kemungkinan penggusuran dalam jangka waktu
tertentu
Ingatlah bahwa setelah bencana alam, zona risiko, seperti aliran sungai
atau zona longsor, dapat bergeser atau meluas melebihi apa yang tercatat di
peta lama.
Untuk memastikan rancangan yang aman, memecah rancangan shelter
atau rumah menjadi beberapa bagian kerap kali sangat bermanfaat; Apa
yang menyebabkan atap aman? Apa yang menyebabkan dinding aman?
Setelah bencana, ketika sebuah keluarga membutuhkan untuk membangun
shelter dengan segera, pikirkan material yang aman dan sekaligus mudah
dipasang. Jika memilih untuk menggunakan atap seng, ingatlah bahwa
faktor pemberat menjadi penting untuk diperhatikan pada struktur atap
berupa lembaran dibandingkan pada struktur atap berupa ubin genting,
karena ubin genting membantu menjadi pemberat bangunan
2) Material aman
Shelter yang layak dirancang dan dibangun dengan material yang aman dan
baik bagi lingkungan maupun bagi penghuni shelter. Material yang dipilih
adalah yang memiliki kekuatan struktur dan ketahanan yang layak untuk
tujuan shelter. Saat intervensi shelter akan melibatkan pembangunan massal,
saran teknik rekayasa mengenai rancangan atau material khusus dapat
memastikan pemenuhan standar keamanan.
Material shelter minimal harus:
a) Tahan api sesuai standar resmi nasional
b) Tidak beracun bagi manusia
c) Tidak beracun bagi lingkungan secara umum
d) Dirancang untuk meminimalkan sudut-sudut yang tajam
e) Material bangunan harus cukup kuat untuk mendukung perkiraan
beban
Seringkali, kombinasi material dapat memberikan hasil keamanan yang
berbeda. Memastikan bahwa atap shelter dipasang dengan paku payung atau
baut U, dapat membantu mengurangi bahaya atap seng terbang tertiup angin
kencang.
Hindari penggunaan material yang beracun dan bersifat karsinogen,
seperti:
a) Atap dan material dinding mengandung asbes
b) Cat mengandung timah dan lem atau pelitur mengandung bahan
beracun

b. Ramah lingkungan
Ketika membantu komunitas dengan kebutuhan shelter mendesak, salah
satu pertimbangan penting adalah dampak tindakan kita terhadap lingkungan
jangka pendek dan jangka panjang. Dampak negatif terhadap lingkungan
mungkin memiliki konsekuensi yang tidak disangkadisangka, meletakkan mata
pencaharian dalam risiko, atau meningkatkan risiko bahaya di masa mendatang
(misalnya risiko longsor akibat pembalakan hutan).
Program shelter berukuran besar dengan skala masif dan kerangka
waktu pendek memiliki potensi dampak negatif yang besar juga terhadap
lingkungan. Yang nampak seperti solusi ramah lingkungan bagi satu rumah
perorangan, misalnya atap rumbia atau penggunaan kayu setempat, dapat
menyebabkan kerusakan lingkungan saat diterapkan pada puluhan ribu shelter.
Mendorong penggunaan solusi shelter yang beragam dapat mengurangi dampak
terhadap lingkungan. Jika shelter dapat menggunakan material yang sumbernya
ramah lingkungan

c. Ketahanan yang layak


1) Kepemilikan
Penting untuk memastikan bahwa keluarga yang mendapatkan bantuan
shelter memiliki hak untuk menempati shelter mereka hingga terdapat
alternatif shelter yang sesuai. Memiliki shelter permanen yang resmi
bukanlah syarat utama untuk mendapatkan bantuan, karena hak untuk
memberikan dan menerima bantuan adalah inti dari prinsip-prinsip
kemanusiaan. Mereka yang tidak memiliki jaminan kepemilikan yang layak
sebelum bencana seringkali menjadi salah satu pihak yang paling rentan,
dan yang paling membutuhkan bantuan kemanusiaan setelah bencana.
Di beberapa negara, kepemilikan permanen kerap tidak jelas statusnya,
dengan banyak masyarakat tinggal di lahan tanpa surat-surat atau tanpa
pengaturan kontrak sewa yang jelas. Bantuan dalam bentuk advokasi untuk
hak kepemilikan, baik permanen atau setidaknya sementara, dapat menjadi
bagian penting program shelter. Jika satu-satunya opsi adalah hak
kepemilikan sementara, perjanjian yang baik adalah mencakup periode
waktu, sesuai dan memungkinkan diterapkannya solusi permanen dengan
kelonggaran jika terjadi penundaan upaya pembangunan kembali.
2) Kualitas Material
Pilihan kualitas material akan memastikan bahwa bantuan shelter yang
diberikan mempertahankan integritas struktur yang cukup untuk perkiraan
jangka waktu huni dari shelter tersebut. Distribusi produk yang lebih tahan
lama dan dapat digunakan kembali, dijual, atau dipindahkan, dapat
membantu sebuah keluarga dalam masa peralihan ke shelter permanen
meskipun harus diimbangi kecepatan implementasi dan biaya keseluruhan.
Untuk memastikan kelayakan kualitas material, sangat baik untuk
bekerja sama dengan komunitas dan ahli teknik setempat dalam
mendefinisikan spesifikasi minimum dan pemeriksaan kontrol kualitas
sederhana. Pada kasus saat pengadaan berbasis komunitas diterapkan
mungkin akan dibutuhkan pelatihan rumah tangga mengenai kualitas
material atau bekerja dengan pemasok untuk memastikan standar minimum
dipatuhi.
3) Daya Tahan
Dalam penyediaan bantuan shelter, daya tahan material harus
dipertimbangkan daya tahan bergantung pada pilihan material, kualitas
material, pertimbangan rancangan, dan kualitas konstruksi. Bantuan yang
diberikan harus dirancang untuk bertahan selama yang diperlukan oleh
keluarga terdampak sebelum mereka bisa memperoleh perumahan
permanen yang aman. Jika ini tidak memungkinkan, beberapa tahapan
bantuan mungkin akan dibutuhkan selama proses shelter berjalan.
4) Strategi Pemeliharaan
Jika shelter diperkirakan akan dihuni untuk waktu yang cukup lama,
penting untuk bekerja sama dengan anggota komunitas dan para ahli di
bidang teknis untuk merancang strategi pemeliharaan. Agar efektif, strategi
seperti ini menggunakan material dan keahlian setempat, berbiaya rendah,
didokumentasikan dengan baik dan didistribusikan dalam komunitas.

d. Sesuai dengan kebudayaan setempat


Masing-masing budaya memiliki anggapan yang berbeda akan
kelayakan dan kesesuaian shelter. Termasuk diantaranya sikap atas kegunaan
shelter sehari-hari, peran dalam pembangunan, penggunaan dan pemeliharaan,
bahaya dan risiko, adaptasi iklim, privasi, pentingnya material dan bentuk
arsitektur tertentu.
Keahlian, keinginan, dan kemampuan membangun dalam gaya atau
dengan material tertentu juga akan bervariasi di antara komunitas. Shelter
bambu mungkin secara budaya sesuai di satu daerah, tetapi di komunitas
tetangga mungkin akan dianggap sebagai shelter yang tidak layak. Atap perisai
mungkin dianggap aneh secara budaya dan rumit untuk dibangun di satu
wilayah, sementara beberapa ratus kilometer dari daerah itu atap tersebut
dianggap bentuk konstruksi standar.
Ini berlaku tidak hanya pada material bangunan dan tipologi konstruksi,
tetapi juga pada norma budaya dan kegiatan sosial, yang dapat sangat bervariasi
di masing-masing negara, daerah dan wilayah, dan akan mengubah keefektifan
modalitas shelter tertentu. Modalitas implementasi, misalnya apakah
menggunakan layanan sukarela komunitas atau pendekatan perseorangan,
bekerja dengan kontraktor atau melalui hibah tunai atau kupon, juga akan
bergantung pada konteks setempat dan kapasitas komunitas
Suatu aksi tanggap bencana mungkin mencakup rentang kelompok
dengan kebudayaan yang beragam dengan kebutuhan yang berbeda-beda
berdasarkan kebudayaan atau kepercayaan yang dianut. Untuk memastikan
suatu intervensi shelter memiliki kesesuaian budaya, sangat penting untuk
melibatkan masyarakat terdampak dalam tiap tahap proses perancangan dan
implementasi. Kajian sosial-budaya dapat menjadi bagian penting proses
analisis kebutuhan shelter.
Semakin sering komunitas terlibat dalam proses perancangan dan pemilihan
material, semakin tinggi kemungkinan shelter tersebut sesuai dengan budaya
mereka.
e. Sesuai iklim
Satu pertimbangan penting dalam memastikan bahwa shelter layak dan
nyaman adalah efek iklim terhadap pilihan material dan rancangan. Variasi
berdasarkan wilayah dapat sangat berpengaruh dan dapat berdampak besar pada
kenyamanan penghuni shelter pascabencana sehingga menimbulkan kebutuhan
akan bantuan shelter. Karena beberapa keluarga mungkin harus tinggal dalam
shelter selama lebih dari satu tahun, pastikan shelter sesuai dengan perubahan
iklim yang terjadi sepanjang tahun.
1) Jarak dan ketinggian permukaan laut
Laut berfungsi sebagai penyeimbang yang mengurangi fluktuasi
suhu antara siang dan malam. Semakin jauh suatu daerah dari laut
baik dalam hal jarak maupun ketinggian akan meningkatkan
fluktuasi/perubahan suhu antara siang dan malam. Komunitas yang
tinggal di lereng pegunungan mengalami malam yang dingin dan
siang hari yang panas dibandingkan iklim pantai yang lebih stabil.
2) Jarak dari garis khatulistiwa
Jarak sebuah lokasi dari garis khatulistiwa atau kutub bumi akan
memengaruhi variasi suhu dari musim ke musim. Variasi berdasar
musim, fluktuasi suhu dan pola cuaca dapat secara drastis mengubah
kebutuhan shelter dan harus dipertimbangkan dalam menentukan
jenis bantuan dan modalitas implementasi yang sesuai.
f. Fasilitas yang layak
Jumlah ruang yang dibutuhkan untuk sebuah shelter agar layak memenuhi
kebutuhan keluarga terdampak dapat sangat bervariasi tergantung cakupan dan
pertimbangan yang telah dibahas dalam panduan shelter di bab ini. Dalam fase
darurat tanggap bencana saat semua faktor di atas masih belum jelas, Sphere
menyediakan indikator minimum yaitu 3.5 m2 per orang.
1) Sanitasi Air dan Higienitas (WASH)
Penyediaan fasilitas WASH biasanya ditangani oleh tim spesialis WASH,
sehingga biasanya tidak termasuk tanggung jawab program shelter. Akan
tetapi integrasi program shelter dan WASH sangat penting dalam
memastikan bahwa shelter layak ditinggali manusia dan aman dari risiko
penyebaran penyakit yang ditularkan oleh vektor.
Koordinasi shelter dan bantuan non-pangan (NFI) serta air, sanitasi dan
kebersihan (WASH) adalah pertimbangan yang penting. Banyak peralatan
dan material yang digunakan untuk membangun shelter kemungkinan
adalah peralatan dan material yang sama untuk membangun fasilitas WASH.
NFI yang didistribusikan untuk memastikan standar minimum shelter
mungkin tumpang tindih dengan NFI yang disediakan untuk mencapai
standar minimum WASH. Pendekatan yang terkoordinasi dan terintegrasi
dapat memastikan bahwa NFI yang paling sesuai tersedia di saat yang paling
tepat. Koordinasi sangat penting ketika bantuan WASH dan shelter
diberikan oleh lembaga yang berbeda.
2) Memasak
Memasak adalah bagian penting fungsi sehari-hari di rumah, sehingga
memastikan bahwa keluarga memiliki peralatan, bahan bakar (dengan opsi
penyimpanan kering/aman), dan perlengkapan memasak adalah tanggung
jawab penyedia shelter. Perlengkapan memasak dan menghidangkan seperti:
panci, mangkuk, gelas, penggorengan, sendok dan garpu adalah barang non-
pangan yang biasa didistribusikan. Cara orang memasak sangat dipengaruhi
oleh kebudayaan dan keyakinan agama. Memastikan barang non-pangan
untuk memasak tersedia sesuai kebutuhan dapat dicapai, antara lain melalui
penyertaan masyarakat terdampak dalam semua tahap proses seleksi dan
spesifikasi.
Bahan bakar memasak termasuk dalam pertimbangan yang penting; ini
adalah perhatian khusus dalam bencana urban dan bencana ketika orang
mengungsi ke sebuah lokasi padat untuk waktu yang cukup lama
3) Tidur
Tersedianya tempat yang aman dan nyaman untuk tidur adalah fitur penting
sebuah rumah, sehingga ini merupakan bagian penting dalam bantuan
shelter.
Sangat penting untuk mempertimbangkan alas dan selimut yang sesuai
secara kebudayaan dan sesuai iklim, sekaligus memastikan perlindungan
suhu dari tanah yang panas dan dingin, serta mempertimbangkan kelambu
nyamuk di area yang rentan demam berdarah dan malaria.

g. Akses terhadap layanan


Solusi shelter yang ditawarkan oleh komunitas kemanusiaan terkadang
ditinggalkan oleh komunitas hanya karena komunitas tidak mendapatkan
dukungan akses terhadap layanan eksternal yang dibutuhkan untuk menjalani
kehidupan sehari-hari.
Memastikan akses masyarakat terdampak terhadap semua layanan tersebut
adalah tugas yang sulit dan mungkin melampaui kapasitas atau anggaran sebuah
program shelter. Karena program shelter dalam tanggap bencana hampir tak
mungkin menyertakan semua komponen di atas, penting agar program shelter
menjalin koordinasi yang erat dengan pemerintah, komunitas setempat, dan
pemangku kepentingan lainnya, serta mengadvokasikan kebutuhan masyarakat
terdampak. Membantu keluarga dan komunitas dalam menangani isu akses
dapat menjadi kunci kemampuan mereka untuk memulihkan diri. Pengungsian
massal ke sebuah daerah berarti layanan yang sudah ada tidak akan dapat
menangani lonjakan jumlah pengungsi baru. Dalam situasi semacam ini, tim
shelter mungkin harus bekerja sama dengan sektor lain untuk memastikan
semua kebutuhan akses dapat terpenuhi.
D. PELAYANAN KESEHATAN DI PENGUNGSIAN
1. Pelayanan Kesehatan Dasar di Pengungsian
Pola pengungsian di Indonesia sangat beragam mengikuti jenis bencana, lama
pengungsian dan upaya persiapannya. Pengungsian pola sisipan yaitu pengungsi
menumpang di rumah sanak keluarga. Pengungsian yang terkonsentrasi di tempat-
tempat umum atau di barak-barak yang telah disiapkan. Pola lain pengungsian yaitu
di tenda-tenda darurat disamping kanan kiri rumah mereka yang rusak akibat
bencana.
Apapun pola pengungsian yang ada akibat bencana tetap menimbulkan masalah
kesehatan. Masalah kesehatan berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat
pada buruknya kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang menyebabkan
perkembangan beberapa penyakit menular. Persediaan pangan yang tidak
mencukupi juga memengaruhi pemenuhan kebutuhan gizi seseorang serta akan
memperberat proses terjadinya penurunan daya tahan tubuh terhadap berbagai
penyakit.
Dalam pemberian pelayanan kesehatan di pengungsian sering tidak memadai
akibat dari tidak memadainya fasilitas kesehatan, jumlah dan jenis obat serta alat
kesehatan, terbatasnya tenaga kesehatan. Kondisi ini makin memperburuk masalah
kesehatan yang akan timbul. Penanggulangan masalah kesehatan di pengungsian
merupakan kegiatan yang harus dilakukan secara menyeluruh dan terpadu serta
terkoordinasi baik secara lintasprogram maupun lintas-sektor.
Dalam penanganan masalah kesehatan di pengungsian diperlukan standar
minimal yang sesuai dengan kondisi keadaan di lapangan sebagai pegangan untuk
merencanakan, memberikan bantuan dan mengevaluasi apa yang telah dilakukan
oleh instansi pemerintah maupun LSM dan swasta lainnya. (DEPARTEMEN
KESEHATAN RI, 2012)
Pelayanan kesehatan dasar yang diperlukan pengungsi meliputi:
a. Pelayanan pengobatan
Bila pola pengungsian terkonsentrasi di barak-barak atau tempat-tempat
umum, pelayanan pengobatan dilakukan di lokasi pengungsian dengan
membuat pos pengobatan. Pelayanan pengobatan dilakukan di Puskesmas
bila fasilitas kesehatan tersebut masih berfungsi dan pola pengungsianya
tersebar berada di tenda-tenda kanan kiri rumah pengungsi.
b. Pelayanan imunisasi
Bagi pengungsi khususnya anak-anak, dilakukan vaksinasi campak tanpa
memandang status imunisasi sebelumnya. Adapun kegiatan vaksinasi
lainnya tetap dilakukan sesuai program untuk melindungi
kelompokkelompok rentan dalam pengungsian.
c. Pelayanan kesehatan ibu dan anak
Kegiatan yang harus dilaksanakan adalah:
1) Kesehatan Ibu dan Anak (pelayanan kehamilan, persalinan, nifas dan
pasca-keguguran)
2) Keluarga berencana (KB)
3) Deteksi dini dan penanggulangan IMS dan HIV/AIDS
4) Kesehatan reproduksi remaja
d. Pelayanan gizi
Tujuannya meningkatkan status gizi bagi ibu hamil dan balita melalui
pemberian makanan optimal. Setelah dilakukan identifikasi terhadap
kelompok bumil dan balita, petugas kesehatan menentukan strategi
intervensi berdasarkan analisis status gizi.Pada bayi tidak diperkenan
diberikan susu formula, kecuali bayi piatu, bayi terpisah dari ibunya, ibu
bayi dalam keadaan sakit berat.
e. Pemberantasan penyakit menular dan pengendalian vektor
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian dan memerlukan
tindakan pencegahan karena berpotensi menjadi KLB antara lain: campak,
diare, cacar, malaria, varicella, ISPA, tetanus. Pelaksanaan pengendalian
vektor yang perlu mendapatkan perhatian di lokasi pengungsi adalah
pengelolaan lingkungan, pengendalian dengan insektisida, serta
pengawasan makanan dan minuman. Pada pelaksanaan kegiatan surveilans
bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM
kemanusiaan di pengungsian harus melaporkan kepada Puskesmas/Pos
Yankes di bawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai
penanggung jawab pemantauan dan pengendalian.
f. Pelayanan kesehatan jiwa
Pelayanan kesehatan jiwa di pos kesehatan diperlukan bagi korban bencana,
umumnya dimulai pada hari ke-2 setelah kejadian bencana. Bagi korban
bencana yang memerlukan pertolongan pelayanan kesehatan jiwa dapat
dilayani di pos kesehatan untuk kasus kejiwaan ringan. Sedangkan untuk
kasus berat harus dirujuk ke Rumah Sakit terdekat yang melayani kesehatan
jiwa.
g. Pelayanan promosi kesehatan
Kegiatan promosi kesehatan bagi para pengungsi diarahkan untuk
membiasakan perilaku hidup bersih dan sehat. Kegiatan ini mencakup:
1) Kebersihan diri
2) Pengolahan makanan
3) Pengolahan air minum bersih dan aman
4) Perawatan kesehatan ibu hamil (pemeriksaan rutin, imunisasi) Kegiatan
promosi kesehatan dilakukan melekat pada kegiatan kesehatan lainnya.

2. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular


Penyakit menular merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian besar,
mengingat potensi munculnya KLB penyakit menular pada periode paska bencana
yang besar sebagai akibat banyaknya faktor risiko yang memungkinkan terjadinya
penularan bahkan KLB penyakit.
Upaya pemberantasan penyakit menular pada umumnya diselenggarakan untuk
mencegah KLB penyakit menular pada periode pascabencana. Selain itu, upaya
tersebut juga bertujuan untuk mengidentifikasi penyakit menular yang perlu
diwaspadai pada kejadian bencana dan pengungsian, melaksanakan langkah-
langkah upaya pemberantasan penyakit menular, dan melaksanakan upaya
pencegahan kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular. Vaksinasi Sebagai
prioritas pada situasi pengungsian, bagi semua anak usia 6 bulan – 15 tahun
menerima vaksin campak dan vitamin A dengan dosis yang tepat.
a. Masalah umum kesehatan di pengungsian
Beberapa jenis penyakit yang sering timbul di pengungsian memerlukan
tindakan pencegahan. Contoh penyakit tersebut antara lain, diare, cacar,
penyakit pernafasan, malaria, meningitis, tuberkulosa, tifoid, cacingan, scabies,
xeropthal-mia, anemia, tetanus, hepatitis, IMS/HIV-AIDS
b. Manajemen kasus
Semua anak yang terkena penyakit menular selayaknya dirawat agar terhindar
dari risiko penularan termasuk kematian.
c. Surveilans
Dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus
penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian,
harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan
Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian
3. Pengawasan dan Pengendalian Penyakit
a. Pencegahan dan Penanggulangan Diare
Penyakit Diare merupakan penyakit menular yang sangat potensial terjadi di
daerah pengungsian maupun wilayah yang terkena bencana, yang biasanya
sangat terkait erat dengan kerusakan, keterbatasan penyediaan air bersih dan
sanitasi dan diperburuk oleh perilaku hidup bersih dan sehat yang masih rendah.
Pencegahan penyakit diare dapat dilakukan sendiri oleh para pengungsi, antara
lain:
1) Gunakan air bersih yang memenuhi syarat.
2) Semua anggota keluarga buang air besar di jamban.
3) Buang tinja bayi dan anak kecil di jamban.
4) Cucilah tangan dengan sabun sebelum makan, sebelum
menjamah/memasak makanan dan sesudah buang air besar.
5) Berilah Air Susu Ibu (ASI) saja sampai bayi berusia 6 bulan.
6) Berilah makanan pendamping ASI dengan benar setelah bayi berusia 6
bulan dan pemberian ASI diteruskan sampai bayi berusia 24 bulan.

b. Pencegahan dan Penanggulangan ISPA


Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan salah satu
penyebab utama kematian bayi dan anak balita. Kematian tersebut diakibatkan
oleh penyakit Pneumonia berat yang tidak sempat terdeteksi secara dini dan
mendapat pertolongan tepat dari petugas kesehatan.

c. Pencegahan dan Penanggulangan Malaria


Di lokasi penampungan pengungsi penyakit malaria sangat mungkin terjadi. Hal
ini terutama penampungan pengungsi terletak pada daerah yang endemis
malaria atau pengungsi dari daerah endemis datang ke lokasi penampungan
pengungsi pada daerah yang tidak ada kasusnya tetapi terdapat vektor (daerah
reseptif malaria).
1) Pencegahan penyakit Malaria
Pencegahan penyakit menular dapat dilakukan melalui beberapa cara
berikut:
a) Pencegahan gigitan nyamuk
Beberapa cara pencegahan penularan malaria antara lain, mencegah
gigitan nyamuk dengan cara:
1) Tidur Dalam Kelambu (kelambu biasa atau yang berinsektisida)
2) Memasang Kawat Kasa
3) Menggunakan Repelen
4) Membakar Obat Nyamuk
5) Pencegahan dengan obat anti malaria (Profilaksis)

d. Pencegahan dan Penanggulangan Campak


Pada dasarnya upaya pencegahan penyakit campak adalah pemberian imunisasi
pada usia yang tepat. Pada saat bencana, kerawanan terhadap penyakit ini
meningkat karena:
1) Memburuknya status kesehatan, terutama status gizi anak-anak.
2) Konsentrasi penduduk pada suatu tempat/ruang (pengungsi).
3) Mobilitas penduduk antar wilayah meningkat (kunjungan keluarga).
4) Cakupan imunisasi rendah yang akan meningkatkan kerawanan yang berat.

Oleh karena itu pada saat bencana tindakan pencegahan terhadap penyakit
campak ini dilakukan dengan melaksanakan imunisasi, dengan kriteria:
1) Jika cakupan imunisasi campak didesa yang mengalami bencana 80%,
tidak dilaksanakan imunisasi massal (sweeping).
2) Jika cakupan imunisasi campak di desa bencana meragukan maka
dilaksanakan imunisasi tambahan massal (crash program) pada setiap anak
usia kurang dari 5 tahun (6–59 bulan), tanpa memandang status imunisasi
sebelumnya dengan target cakupan 95%.
Bila pada daerah tersebut belum melaksanakan imunisasi campak secara rutin
pada anak sekolah, imunisasi dasar juga diberikan pada kelompok usia sekolah
dasar kelas 1 sampai 6.

4. Surveilans penyakit dan faktor risiko


Pada umumnya merupakan suatu upaya untuk menyediakan informasi
kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi bencana dan pengungsian sebagai bahan
tindakan kesehatan segera. Secara khusus, upaya tersebut ditujukan untuk
menyediakan informasi kematian dan kesakitan penyakit potensial wabah yang
terjadi di daerah bencana; mengidentifikasikan sedini mungkin kemungkinan
terjadinya peningkatan jumlah penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB;
mengidentifikasikan kelompok risiko tinggi terhadap suatu penyakit tertentu;
mengidentifikasikan daerah risiko tinggi terhadap penyakit tertentu; dan
mengidentifikasikan status gizi buruk dan sanitasi lingkungan.

Langkah-langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi:

a. Pengumpulan data
1) Data kesakitan dan kematian
a) Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang
diamati berdasarkan kelompok usia
b) Data kematian adalah setiap kematian pengungsi, penyakit yang
kemungkinan menjadi penyebab kematian berdasarkan kelompok
usia.
c) Data denominator (jumlah korban bencana) diperlukan untuk
menghitung pengukuran epidemiologi, misalnya angka insidensi,
angka kematian, dsb
2) Sumber data
Data dikumpulkan melalui laporan masyarakat, petugas pos kesehatan,
petugas Rumah Sakit, koordinator penanggulangan bencana setempat.
3) Jenis form
a) Form BA-3: Register Harian Penyakit pada Korban Bencana
b) Form BA-4: Rekapitulasi Harian Penyakit Korban Bencana
c) Form BA-5: Laporan Mingguan Penyakit Korban Bencana
d) Form BA-6: Register Harian Kematian Korban Bencana
e) Form BA-7: Laporan Mingguan Kematian Korban Bencana

b. Pengolahan dan penyajian data


Data surveilans yang terkumpul diolah untuk menyajikan informasi
epidemiologi sesuai kebutuhan. Penyajian data meliputi deskripsi maupun
grafik data kesakitan penyakit menurut umur dan data kematian menurut
penyebabnya akibat bencana.
c. Analisis dan interpretasi
Kajian epidemiologi merupakan kegiatan analisis dan interpretasi data
epidemiologi yang dilaksanakan oleh tim epidemiologi.
Langkah-langkah pelaksanaan analisis:
1) Menentukan prioritas masalah yang akan dikaji
2) Merumuskan pemecahan masalah dengan memperhatikan efektifitas
dan efisiensi kegiatan
3) Menetapkan rekomendasi sebagai tindakan korektif.

d. Penyebarluasan informasi
Penyebaran informasi hasil analisis disampaikan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.

Proses Kegiatan Surveilans

Kegiatan surveilans yang dilakukan di pos kesehatan, antara lain:

a. Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui


pencatatan harian kunjungan rawat jalan (form BA-3 dan BA-6).
b. Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, Pengolahan data
kesakitan menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu (form
BA-4).
c. Pembuatan dan pengiriman laporan (form BA-5 dan BA-7). Dalam
kegiatan pengumpulan data kesakitan penyakit yang ditujukan pada
penyakit-penyakit yang mempunyai potensi menimbulkan terjadinya
wabah, dan masalah kesehatan yang bisa memberikan dampak jangka
panjang terhadap kesehatan dan/atau memiliki fatalitas tinggi.

Jenis penyakit yang diamati , antara lain:

a. Diare berdarah e. Pnemonia


b. Campak f. Lumpuh layuh akut
c. Diare (AFP)
d. Demam berdarah g. ISPA non-
dengue pneumonia
h. Tersangka hepatitis
i. Malaria klinis
j. Gizi buruk, dsb.

Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan, maupun puskesmas menemukan


atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus-kasus tersangka penyakit
yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) ataupun penyakit lain yang
jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat, maka petugas yang
bersangkutan harus melaporkan keadaan tersebut secepat mungkin ke Puskesmas
terdekat atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

5. Air Bersih dan Sanitasi


Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian
juga dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air
bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan
sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan
kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Tujuan utama perbaikan dan pengawasan kualitas air adalah untuk mencegah
timbulnya risiko kesehatan aki-bat penggunaan air yang tidak memenuhi
persyaratan.
Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi
pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat
berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan
penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya.

a. Standar minimum kebutuhan air bersih


1) Prioritas pada hari pertama/awal kejadian bencana atau pengungsian
kebutuhan air bersih yang harus disediakan bagi pengungsi adalah 5
liter/orang/hari. Jumlah ini dimaksudkan hanya untuk memenuhi kebutuhan
minimal, seperti masak, makan dan minum. Hari I pengungsian: 5
liter/org/hari
2) Pada hari kedua dan seterusnya harus segera diupayakan untuk
meningkatkan volume air sampai sekurang kurangnya 15–20 liter/orang/
hari. Volume sebesar ini diperlukan untuk meme-nuhi kebutuhan minum,
masak, mandi dan mencuci. Bilamana hal ini tidak terpenuhi, sangat besar
potensi risiko terjadinya penularan penyakit, terutama penyakt penyakit
berbasis lingkungan. Hari berikutnya: 20 liter/org/hari
3) Bagi fasilitas pelayanan kesehatan dalam rangka melayani korban bencana
dan pengungsian, volume sir bersih yang perlu disediakan di Puskesmas
atau rumah sakit: 50 liter/org/hari.
b. Sumber air bersih dan pengolahannya
1) Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari sumber
air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor,
mata air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap
sumber-sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pence-maran,
misalnya dengan melakukan pemagaran ataupun pemasangan papan
pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya.
2) Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh
dengan tempat pengung-sian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil
tangki air.
3) Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water
purifier/water treatment plant).
c. Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan sumbernya
1) Air Permukaan (sungai dan danau)
a) Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan
kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan
pengungsi
b) Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan
hewan
2) Sumur gali
a) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL
(saluran pembuangan air limbah)
b) Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki
tangki penampungan air
3) Sumur Pompa Tangan (SPT)
a) Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL
(saluran pembuangan air limbah)
b) Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus
disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya
4) Mata Air
a) Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan
pompa ke tangki air
b) Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran
5) Tangki penampungan air bersih di tempat pengungsian
Tempat penampungan air di lokasi pengungsi dapat berupa tangki air yang
dilengkapi dengan kran air. Untuk mencegah terjadinya antrian yang
panjang dari pengungsi yang akan mengambil air, perlu diperhatikan jarak
tangki air dari tenda pengungsi minimum 30 meter dan maksimum 500
meter. Untuk keperluan penampungan air bagi kepentingan sehari hari
keluarga pengungsi, sebaiknya setiap keluarga pengungsi disediakan tempat
penampungan air keluarga dalam bentuk ember atau jerigen volume 20 liter.
d. Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih
yang sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia
tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu
dilakukan:
Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut.
1) Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada
cukup tinggi.
2) Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan
bahan desinfektan untuk air
3) Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
4) Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik distribusi
e. Pembuangan Limbah Kotoran
Langkah langkah yang diperlukan:
1) Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat
menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang
sederhana dan dapat disediakan dengan cepat adalah jamban kolektif
(jamban jamak).
Pada awal pengungsian: 1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 org
Pemeliharaan terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan
lakukan desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan
lain-lain.
2) Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan
jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan
dipakai tidak lebih dari 20 orang. 1 (satu) jamban dipakai oleh 20 orang
Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan: Ada pemisahan
peruntukannya khusus laki laki dan wanita Lokasi maksimal 50 meter dari
tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari sumber air. Konstruksi jamban
harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang jamban agar tidak menjadi
tempat berkembang biak lalat
DAFTAR PUSTAKA

DEPARTEMEN KESEHATAN RI. (2012). PEDOMAN TEKNIS PENANGGULANGAN


KRISIS KESEHATAN AKIBAT BENCANA (Vol. 66).

PALANG MERAH INDONESIA. (2019). Panduan shelter untuk kemanusiaan. Kementerian


Sosial Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai