Anda di halaman 1dari 12

DAMPAK KETUNANETRAAN PADA ANAK

TERHADAP KEADAAN PSIKOLOGIS ORANG TUA


Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan Anak Tunanetra

Dosen : Ratih Listyaningtyas, M.Pd

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3
Asma Nurhidayah (2287160027)

Auddinda Fitri Annisa (2287160010)

Novansyah Ahmad (2287160004)

Nurbaeti (2287160017)

JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2016
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-
Nya. sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Dampak
Ketunanetraan Pada Anak Terhadap Keadaan Psikologis Orang Tua”. Makalah ini
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tunanetra.
Didalam penulisan ini, kami menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan
pada makalah ini. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari para
pembaca sehingga makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Serang, 28 September 2016

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………….……………............i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...ii

BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………….…............1
A. Latar Belakang…………………………………………………………..……...……….1
B. Rumusan Masalah………………………………………………….............................1
C. Tujuan Penulisan…………………………………………………………………..…....1

BAB II
PEMBAHASAN………………………………………………………………………………….2
A. Dampak Emosional……………………………………………………………………..2
B. Dampak Sosial…………………………………………...……………………………...3
C. Dampak Sikap…………………………………………………………………………..
D. Proses Penerimaan…………………………………………………………………….
E. Masalah Komunikasi dengan Bayi Tunanetra……………………………………
F. Faktor-faktor Penentu Ikatan Batin Orang Tua Anak Tunanetra……………….

BAB III
PENUTUP…………………………………………………………………………………..……4
A. Kesimpulan……………………………………………………………………..………..4

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….……………5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aktivitas manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar akan efektif
apabila mengikutsertakan alat-alat indra yang dimiliki, seperti penglihatan,
pendengaran, perabaan, pembau, mengecap, baik dilakukan secara sendiri-
sendiri maupun bersama-sama. Dengan pemanfaatan beberapa alat indra
secara simultan memudahkan sesorang melakukan apersepsi terhadap peristiwa
atau objek yang diobservasi, terutama untuk membentuk suatu pengertian yang
utuh. Dengan terganggunya salah satu atau lebih alat indra (penglihatan,
pendengaran, pengecap, pembau, maupun peraba), niscaya akan berpengaruh
terhadap indra-indra yang lain. Pada gilirannya akan membawa konsekuensi
tersendiri terhadap kemampuan dirinya berinteraksi dengan lingkungan sekitar.
Contoh, kasus yang terjadi pada anak tunanetra, dengan kehilangan sebagian
atau keseluruhan fungsi penglihatan pada anak tunanetra akan menimbulkan
dampak negative atas kemampuannya yang lain, kemampuan mendayagunakan
kemampuan fisiknya yang lain, seperti pengembangan fungsi psikis dan
penyesuaian sosial.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah :
1. Bagaimana dampak ketunanetraan pada anak terhadap keadaan psikologis
orang tua ?

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka dapat diketahui
tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui dampak ketunanetraan
pada anak terhadap keadaan psikologis orang tua.
BAB II
PEMBAHASAN

A. DAMPAK EMOSIONAL
Orang tua tersebut akan berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka
(ayah dan ibu) dan hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada
gilirannya akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.

1. Masa Bayi
Faktor-faktor lain, seperti tingkat pemahaman orang tua mengenai
ketunanetraan, juga akan mempengaruhi hubungan orang tua-anak pada masa
dini. Elstner (1983), dalam Mason & McCall, 1999)24), dalam telaahannya
mengenai abnormalitas dalam komunikasi verbal anak tunanetra,
mengemukakan bahwa kita perlu mempertimbangkan perspektif orang-orang
awas dalam lingkungan bayi tunanetra. Secara tak sadar, untuk memicu respon
kasih sayang mereka terhadap bayi tunanetra itu, mereka mengharapkan bayi
tersebut menampilkan reaksi dan pola perilaku sebagaimana yang lazim
ditampilkan oleh bayi awas. Oleh karena itu, mereka salah tafsir terhadap wajah
bayi tunanetra yang tanpa ekspresi itu bila hal itu ditafsirkannya sebagai
mencerminkan penolakan atau tak berminat terhadap orang-orang di
sekitarnya.Kita biasanya mengharapkan bayi menatapkan pandangannya
kepada kita sebagai tanda adanya komunikasi sesuatu yang tidak dilakukan oleh
seorang bayi tunanetra. Tidak tersambungkannya hubungan komunikasi
tersebut, menurut formulasi Wills (1978 dalam Mason & McCall, 1999:24),
disebabkan karena anak tunanetra dan orang-orang awas di sekitarnya
berkomunikasi dalam “wavelengths” yang berbeda.

2. Masa Pra-Sekolah
Masalah dapat timbul pada saat anak tunanetra itu memasuki masa usia pra-
sekolah. Dalam kegiatan bermain dengan sebayanya, dia mungkin sering
diacuhkan oleh teman-temannya. Kingsley (dalam Mason & McCall, 1999:24)
mengemukakan bahwa pada masa ini anak-anak bermain secara paralel untuk
beberapa saat lamanya, melakukan kegiatan yang sama tetapi tidak
bekerjasama. Kerjasama itu dipelajarinya melalui proses saling mengamati ‑
bermain dan melakukan kontak mata. Akibat kehilangan indera penglihatannya,
anak tunanetra itu tidak dapat melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan
oleh teman-temannya, dan akibatnya dia mungkin tidak akan diajak untuk turut
serta. Kekurangan tersebut seyogyanya dapat diatasi dengan bantuan orang
dewasa yang memahami kebutuhan khusus anak tunanetra tersebut, misalnya
dengan memberikan deskripsi verbal tentang apa yang tengah terjadi di
lingkungannya sehingga anak itu terangsang untuk turut melibatkan diri.

3. Bahasa Tubuh
Pada saat anak sudah lebih besar, mereka memerlukan keterampilan untuk
mengawali dan mempertahankan hubungan sosial. Bahasa tubuh (body
language) merupakan sarana komunikasi yang penting untuk melengkapi
bahasa lisan di dalam komunikasi sosial. Jika bahasa tubuh anak tidak sesuai
dengan bahasa tubuh kawan-kawannya, sejauh tertentu sosialisasinya mungkin
akan terganggu. Bayangkan, misalnya, seorang mahasiswa yang masih
mengangkat tangannya tinggi-tinggi pada saat hendak mengajukan pertanyaan
di kelas sebagaimana yang dilakukannya di taman kanak-kanak.Pada awal masa
sekolahnya, anak tunanetra mungkin diajari oleh gurunya untuk mengangkat
tangan setinggi mungkin bila hendak bertanya atau menjawab pertanyaan. Dia
tidak menyadari – dan tidak ada orang yang pernah memberitahukan kepadanya
– bahwa dengan bertambahnya usia dan semakin tingginya tingkat sekolah,
isyarat itu semakin kecil – hingga sekedar sedikit mengangkat jari saja seperti
yang dilakukan oleh mahasiswa perguruan tinggi.Nuansa bahasa tubuh yang
luwes yang terintegrasikan ke dalam pola perilaku sebagaimana yang dapat kita
amati pada anak awas pada umumnya, sangat kontras dengan bahasa tubuh
yang terkadang sangat kaku yang dapat kita amati pada banyak anak tunanetra
(Kingsley dalam Mason & McCall, 1999:25).

4. Penyesuaian Sosial
Terdapat banyak bukti yang bertentangan tentang apakah individu tunanetra
kurang baik penyesuaian dirinnya dibanding anak awas. Karena penelitian itu
tidak memperlihatkan bahwa anak tunanetra pada umumnya tidak mampu
menyesuaikan diri, maka kita dapat menyimpulkan bahwa masalah kepribadian
bukan kondisi yang melekat dengan ketunanetraan (Hallahan & Kauffman,
1991:313). Cutsforth (1951 dalam Hallahan & Kauffman, 1991) adalah salah
seorang ahli pertama yang menekankan bahwa jika ketidakmampuan
menyesuaikan diri terjadi pada diri seorang tunanetra, hal itu lebih diakibatkan
oleh cara masyarakat memperlakukan orang tunanetra tersebut.Pada intinya,
reaksi masyarakat terhadap ketunanetraanlah yangg menentukan tingkat
penyesuaian diri individu tunanetra itu. Bila individu tunanetra tidak diterima oleh
mereka yang non-cacat, banyak profesional percaya bahwa hal itu karena
beberapa di antara mereka mengalami kesulitan memperoleh keterampilan
sosial, seperti cara menunjukkan ekspresi wajah yang tepat. Mengajarkan
keterampilan sosial kepada anak tunanetra dapat merupakan tugas yang sangat
menantang karena keterampilan tersebut secara tradisi dipelajari melalui
modeling dan umpan balik menggunakan penglihatan (Farkas et al., 1981 dalam
Hallahan & Kauffman, 1991:314). Akan tetapi, sejumlah peneliti telah berhasil
dalam mengajarkan keterampilan sosial kepada anak tunanetra melalui prinsip-
prinsip perilaku (Van Hasselt, 1983).

5. Perilaku Stereotipik
Satu hambatan bagi tercapainya penyesuaian sosial yang baik bagi sejumlah
individu tunanetra adalah perilaku stereotipik (Stereotypic behavior). Perilaku
stereotipik, yang sering juga disebut mannerism atau blindism, adalah gerakan-
gerakan khas yang berulang-ulang seperti menggoyang-goyangkan tubuh atau
menekan-nekan mata.Terdapat tiga teori utama yang saling bertentangan
mengenai sebab-sebab berkembangnya perilaku stereotipik :
 Kurangnya Rangsangan Penginderaan
Anak yang mengalami rangsangan indra yang rendah, seperti anak tunanetra,
berusaha mengatasi kekurangan ini dengan merangsang dirinya dengan cara-
cara lain. Thurrell dan Rice (1970 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:314)
menemukan frekuensi yang lebih tinggi dalam gerakan menekan-nekan mata
di kalangan anak-anak yang berpenglihatan minimal dibanding dengan
mereka yang berpenglihatan lebih banyak atau tidak berpenglihatan sama
sekali. Mereka percaya bahwa anak dengan penglihatan minimal dapat
memperoleh rangsangan dari dorongan-dorongan neural melalui tekanan
pada matanya. Anak buta total tidak demikian.
 Kurangnya Sosialisasi
Dengan rangsangan sensoris yang cukup pun, isolasi sosial dapat
mengakibatkan individu mencari rangsangan tambahan melalui perilaku
stereotipik (Warren, 1981, 1984 dalam Hallahan & Kauffman,
1991:314).Beberapa penelitian terhadap hewan menunjukkan bahwa isolasi
sosial, bahkan dalam lingkungan yang kaya rangsangan pun, dapat
mengakibatkan terjadinya perilaku stereotipik (Berkson, 1981 dalam Hallahan
& Kauffman, 1991:314).
 Kembali ke Pola-pola Perilaku Kebiasaan Bila Mengalami Stres
Dengan berargumentasi bahwa anak-anak awas pun kadang-kadang kembali
ke pola perilaku yang kurang matang, sejumlah peneliti (Knight, 1972; Smith,
Chethik, Adelson, 1969 dalam Hallahan & Kauffman, 1991:314) berpendapat
bahwa perilaku stereotipik mungkin merupakan cara yang bijaksana bagi anak
untuk melarikan diri ke tempat yang lebih aman untuk mengatasi situasi
stres.Kita tidak mempunyai bukti untuk menyimpulkan bahwa satu dari ketiga
penjelasan di atas merupakan teori terbaik untuk menjelaskan penyebab
perilaku stereotippik. Oleh karenanya, lebih aman bila kita berasumsi bahwa
kombinasi dari ketiga teori tersebut memberikan penjelasan terbaik tentang
terjadinya perilaku tersebut.Akan tetapi, yang lebih penting adalah mencari
cara untuk membantu anak tunanetra untuk menghilangkan atau mencegah
perilaku stereotipik tersebut. Sebagaimana halnya dengan modifikasi perilaku
pada umumnya, positive reinforcement terhadap perilaku yang baik itu lebih
tepat daripada komentar negatif. Misalnya, bila seorang anak tunanetra
menekan-nekan matanya, akan lebih baik jika orang tuanya atau
pengasuhnya memberinya mainan yang dapat merangsang kegiatannya
daripada terus-menerus memperingatkannya dengan berkata, “Tidak boleh
begitu!”.

B. DAMPAK SOSIAL

Pengalaman sosial anak tunanetra pada usia dini yang tidak menyenangkan
sebagai akibat dari sikap dan perlakuan negatif orang tua dan keluarganya,
akan sangat merugikan perkembangan anak tunanetra. Hal ini karena usia
tersebut merupakan masa-masa kritis di mana pengalaman-pengalaman
dasar sosial yang terbentuk pada masa itu akan sulit untuk dirubah dan
terbawa sampai ia dewasa. Anak tunanetra yang mengalami pengalaman
sosial yang menyakitkan pada usia dini dan cenderung akan menunjukkan
perilaku-perilaku yang menghindar atau menolak partisipasi sosial atau
pemilikan siakp sosial yang negatif pada tahapan perkembangan berikutnya.
Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangan
dalam perkembangan sosial anak tunanetra tampaknya perlu diperhatikan
tentang sikap dan perlakuan orang tua dan keluarga tunanetra terutama pada
usia dini.

Perkembangan sosial anak tunanetra sangat bergantung kepada bagaimana


perlakuan dan penerimaan lingkungan, terutama lingkungan keluarga
terhadap anak tunanetra itu sendiri. Akibat ketunanetraan secara langsung
ataupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial
anak, seperti keterbatasan anak untuk belajar sosial melalui identifikasi
maupun imitasi, keterbatasan lingkungan yang dapat dimasuki anak untuk
memenuhi kebutuhan sosialnya, serta adanya faktor-faktor psikologis yang
menghambat keinginan anak untuk memasuki lingkungan sosialnya secara
bebas dan aman.

C. DAMPAK SIKAP
1. Dampak terhadap Kognisi
Kognisi adalah persepsi individu tentang orang lain dan obyek-obyek yang
diorganisasikannya secara selektif. Respon individu terhadap orang dan
obyek tergantung pada bagaimana orang dan obyek tersebut tampak dalam
dunia kognitifnya. Setiap orang mempunyai citra dunianya masing-masing
karena citra tersebut merupakan produk yang ditentukan oleh factor-faktor
berikut:
1. Lingkungan fisik dan sosisalnya.
2. struktur fisiologisnya
3. keinginan dan tujuannya
4. pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Dari keempat factor yang menentukan kognisi individu tunanetra menyandang
kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi
indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi
lingkungannya. Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman
visual, sehingga konsepsi orang awas mereka tentang dunia ini sejauh mungkin
berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya.
2. Dampak terhadap Orientasi dan Mobilitas
Kemampuan yang paling berpengaruh pada tuna netra adalah pada saat
bermobilitas yaitu kemampuan bergerak secara leluasa. Ketrampilan
mobilitas ini sangat terkait dengan kemampuan orientasi, yaitu kemampuan
untuk memahami hubungan lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya
di dalam lingkungan (Hill dan Ponder,1976). Para pakar dalam bidang
orientasi dan mobilitas telah merumuskan dua cara yang dapat ditempuh oleh
individu tunanetra untuk memproses informasi tentang lingkungannya, yaitu
dengan metode urutan (sequncial mode) menggambarkan keadaan sekitar
dengan titik-titik lingkungan tersebut secara berurutan. Ataupun dengan peta
konsep yakni gambar antopografis tentang hubungan secara umum antara
berbagai titik di dalam lingkungan.. Metode peta kognitif lebih
direkomendasikan karena cara tersebut menawarkan fleksibilitas yang lebih
baik dalam menavigasi lingkungan. Akan tetapi, metode konseptualisasi
ruang apapun , metode urutan ataupun metode peta kognitif- individu
tunanetra tetap berkekurangan dalam bidang mobilitas dibandingkan dengan
sebayanya yang awas.
Untuk membentuk mobilitas itu, alat bantu yang umum dipergunakan oleh
orang tuna netra di Indonesia adalah tongkat, sedangkan di banyak negara
barat penggunaan anjing penuntun (guide dog) juga populer. Dan
penggunaan alat elektronik untuk membantu orientasi dan mobilitas individu
tunanetra masih terus dikembangkan. Agar anak tuna netra memiliki rasa
percaya diri untuk bergerak secara leluasa di dalam lingkungannya
bersosialisasi, mereka harus memperoleh latihan orientasi dan mobilitas

D. PROSES PENERIMAAN
Orang tua memainkan peranan yang penting dalam perkembangan sosial
anak. Perlakuan orang tua terhadap anaknya yang tunanetra sangat
ditentukan oleh sikapnya terhadap ketunanetraan itu, dan emosi merupakan
satu komponen dari sikap disamping dua komponen lainnya yaitu kognisi dan
kecenderungan tindakan. Ketunanetraan yang terjadi pada seorang anak
selalu menimbulkan masalah emosional pada orang tuanya. Ayah dan ibunya
akan merasa kecewa, sedih, malu dan berbagai bentuk emosi lainnya. Mereka
mungkin akan merasa bersalah atau saling menyalahkan, mungkin
akan diliputi oleh rasa marah yang dapat meledak dalam berbagai cara, dan
dalam kasus yang ekstrim bahkan dapat mengakibatkan perceraian.
Persoalan seperti ini terjadi pada banyak keluarga yang mempunyai anak
cacat. Pada umumnya orang tua akan mengalami masa duka akibat
kehilangan anaknya yang “normal” itu dalam tiga tahap; tahap penolakan,
tahap penyesalan, dan akhirnya tahap penerimaan, meskipun untuk orang tua
tertentu penerimaan itu mungkin akan tercapai setelah bertahun-tahun. Proses
“dukacita” ini merupakan proses yang umum terjadi pada orang tua anak
penyandang semua jenis kecacatan. Sikap orang tua tersebut akan
berpengaruh terhadap hubungan di antara mereka (ayah dan ibu) dan
hubungan mereka dengan anak itu, dan hubungan tersebut pada gilirannya
akan mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial anak.

E. MASALAH KOMUNIKASI DENGAN BAYI TUNANETRA


Elstner (Mason & McCall, 1999), dalam telaahannya mengenai kesulitan yang
mungkin dihadapi orang tua dalam berkomunikasi dengan bayinya yang
tunanetra, mengemukakan bahwa kita perlu mempertimbangkan perspektif
orang-orang awas dalam lingkungan bayi tunanetra tersebut. Secara tak sadar,
untuk memicu respon kasih sayang mereka terhadap bayi tunanetra itu, mereka
mengharapkan bayi tersebut menampilkan reaksi dan pola perilaku
sebagaimana yang lazim ditampilkan oleh bayi awas. Oleh karena itu, mereka
salah tafsir terhadap wajah bayi tunanetra yang tampak tanpa ekspresi itu bila
hal itu ditafsirkannya sebagai mencerminkan penolakan atau tak berminat
terhadap orang-orang di sekitarnya. Kita biasanya mengharapkan bayi
menatapkan pandangannya kepada kita sebagai tanda adanya komunikasi -
sesuatu yang tidak dilakukan oleh seorang bayi tunanetra. Tidak
tersambungkannya hubungan komunikasi tersebut, menurut formulasi Wills
(Kingsley, 1999) disebabkan karena anak tunanetra dan orang-orang awas di
sekitarnya berkomunikasi dalam “panjang gelombang” yang berbeda –
komunikasi auditer versus visual.
F. FAKTOR-FAKTOR PENENTU IKATAN BATIN ORANGTUA ANAK
TUNANETRA
Stone (1999) mengemukakan faktor-faktor berikut yang dapat mengganggu
perkembangan alami ikatan batin antara orang tua dengan bayinya yang
tunanetra, yaitu:
 Tidak adanya kontak mata antara orang tua dan bayinya.
 Sangat berkurangnya kontak fisik antara orang tua dan anak pada saat-
saat awal kehidupan anak (terutama jika anak lahir prematur) karena anak
harus dirawat di rumah sakit.
 Orang tua merasa bersalah karena sejauh tertentu mereka merasa
bertanggung jawab atas kecacatan anaknya;
 Perasaan trauma karena orang tua harus menghadapi reaksi
purbasangka dari orang-orang di sekitarnya.
 Perasaan tertekan dan cemas karena orang tua tidak tahu bagaimana
cara memperlakukan dan mengasuh anaknya itu.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai