Anda di halaman 1dari 44

PENGARUH DIAPHRAGMATIC BREATHING TERHADAP PENURUNAN

SESAK NAFAS PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF


KRONIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH
TEMANGGUNG
TAHUN 2019

Proposal Skripsi
Disusun sebagai salah satu syarat melakukan penelitian

Oleh :
Sirtono
NIM : G2A218090

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
PENGARUH DIAPHRAGMATIC BREATHING TERHADAP PENURUNAN
SESAK NAFAS PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF
KRONIK DI RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH
TEMANGGUNG
TAHUN 2019

Proposal Skripsi
Disusun sebagai salah satu syarat melakukan penelitian

Oleh :
Sirtono
NIM : G2A218090

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2019
DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam................................................................................... i


Halaman Persetujuan Pembimbing................................................................... ii
Halaman Pengesahan Penguji........................................................................... iii
Halaman Pernyataan Keaslian Penelitian......................................................... iv
Halaman Persetujuan Publikasi........................................................................ v
Abstrak.............................................................................................................. vi
Halaman Persembahan......................................................................................viii
KATA PENGANTAR....................................................................................... ix
DAFTAR ISI..................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL.............................................................................................xiii
DAFTAR GAMBAR........................................................................................xiv
DAFTAR SKEMA............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN.....................................................................................xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ...............................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................
C. Tujuan Penelitian...........................................................................
D. Manfaat Penelitian.........................................................................
E. Bidang Ilmu...................................................................................
F. Keaslian Penelitian........................................................................
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori..................................................................................
B. Konsep Dasar Sesak Nafas................................................................
C. Diaphragmatic Breathing..................................................................
D. Kerangka Teori..................................................................................
E. Kerangka Konsep..............................................................................
F. Variabel Penelitian.............................................................................
G. Hipotesis............................................................................................
BAB 3 METODE PENELITIAN
A. Penelitian.......................................................................................
B. Populasi dan Sampel......................................................................
C. Definisi Operasional Penelitian.....................................................
D. Tempat Penelitian...........................................................................
E. Waktu Penelitian............................................................................
F. Etika Penelitian..............................................................................
G. Alat Pengumpul Data.....................................................................
H. Prosedur Pengumpulan Data..........................................................
I. Rencana Analisis Data...................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan sejumlah
gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan keluar paru, hal ini
dapat mengakibatkan hipoksemia dan hiperkapnia karena terjadinya
kelemahan otot pernapasan dan obstruksi sehingga akan meningkatkan
resistensi aliran udara, hiperinflasi pulmoner dan ketidak seimbangan
ventilasi dan perfusi (PDPI 2016). PPOK merupakan penyakit tidak menular
(PTM) bersifat kronis yang ditandai dengan terhambatnya aliran udara karena
obstruksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh paparan yang lama
terhadap polusi dan asap rokok sehingga produksi sekret berlebihan (Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, 2018).
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam
waktu yang lama,karena asap rokok salah satu penyebab inflamasi saluran
nafas. Juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai pertanda bahwa
sudah terjadi kondisi komorbid lainnya (PDPI 2016).
Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan
(khususnya sesak nafas dan penurunan kapasitas latihan),efek sistemik dan
gejala komorbid yang lain (PDPI 2016).Juga berdampak negatif dengan
kualitas hidup penderita, termasuk pasien berumur > 40 tahun akan
menyebabkan disabilitas penderitanya yang masih dalam kelompok usia
produktif namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang
kronik. Komorbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler,
kanker bronchial, infeksi paru-paru, trombo embolik disorder,asma,
hipertensi, osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety (“Kajian
Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),” 2013)
Data Badan Kesehatan Dunia ( WHO ),menunjukkan tahun 1990
PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di
dunia,pada tahun 2002 PPOK menempati urutan ke-5 sebagai penyebab
kematian didunia,dan diperkirakan di tahun 2020 diperkirakan akan menjadi
penyebab kematian ke-3 diseluruh dunia setelah penyakit kardiovaskuler dan
kanker.
Angka kejadian PPOK setiap tahun akan terjadi peningkatan sebagai
penyebab kematian, pada tahun 2019 WHO memperkirakan PPOK menjadi
salah satu penyebab terbesar dalam angka kematian di dunia. Berdasarkan
data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2016 di provinsi Jawa Tengah,
PPOK menduduki peringkat kedua dengan 18,33 persen angka kejadian.
Rincian angka kejadian PPOK di provinsi Jawa Tengah pada tahun 2014
penderita mencapai 15.464 orang, pada tahun 2015 12.115 orang, dan tahun
2016 15.250 orang dimana angka tersebut menunjukkan peningkatan angka
penderitanya setiap tahun (Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Jawa Tengah,
2016). Data yang peneliti peroleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Temanggung pada bulan April tahun 2017 penderita PPOK sebanyak 176
orang sedangkan pada bulan Mei tahun 2019 terjadi peningkatan penderita
PPOK menjadi sebanyak 351 penderita.Dari 20 kecamatan di kabupaten
Temanggung,diketahui Kecamatan Parakan menduduki peringkat tertinggi
prevalensi PPOK,yaitu sebanyak 94 orang penderita (Dinas Kesehatan
Kabupaten Temanggung 2019 ). Sementara data pasien PPOK yang
diperoleh dari RS PKU Muhammadiyah Temanggung tahun 2019 bulan
Agustus 11 pasien, September 17 pasien, dan bulan Oktober 12 pasien.
Penatalaksanaan PPOK membutuhkan penanganan medis yang sangat
serius baik secara farmakologis maupun nonfarmakologis. Penatalaksanaan
secara farmakologis menggunakan beberapa obat-obatan seperti
bronkodilator, anti inflamsi, antibiotic, mucolitik dan antitusif. Bronkodilator
membantu menjaga saluran udara tetap terbuka dan dapat menurunkan sekresi
.Terapi farmakologis memiliki efek yang sangat cepat tetapi jika dipakai
dalam waktu panjang menimbulkan efek berbahaya bagi pasien. Penanganan
PPOK secara nonfarmakologis dengan inhalasi sederhana, batuk efektif,
fisioterapi dada, diagphragma breathing , dan ballon therapy.
Diaphragmatic Breathing adalah suatu teknik pernafasan yang efektif
dan efisien yaitu dengan menggunakan otot diafragma ketika menghirup
udara lewat hidung dan menghembuskannya lewat mulut.Otot diafragma
terletak di bawah tulang rusuk dan berbentuk seperti kubah atau ada juga
yang mengatakannya seperti payung (Pangestuti & Widayati, 2015).Latihan
tersebut bertujuan untuk meningkatkan akfititas fungsional dan membantu
mengaktifkan otot pernapasan perut dan otot diafragma saat bernapas.
Diaphragmatic breathing merupakan teknik latihan pernapasan yang
bertujuan untuk mengaktifkan otot bantu pernapasan pada diafragma karena
pada kasus PPOK terjadi perubahan struktur pada paru yang menyebabkan
paru tidak bisa mengembang dengan sempurna saat inspirasi.
Studi yang dilakukan (Lutfiansyah, Studi, Fisioterapi, Kesehatan, &
Surakarta, 2019),dengan judul “Penatalaksanaan Nebulizer dan
Diaphragmatic Breathing Exercise Untuk Meningkatkan Ekspansi Sangkar
Thoraks Pada Kasus PPOK di RS Paru Dungus Madiun “dengan hasil setelah
diberikan sebanyak 3 kali didapatkan hasil berupa selisih ekspansi sangkar
thoraks yang diukur dari axilla T1 : 2 cm menjadi T3 : 3 cm,dari ics 4 T1 :
2cm menjadi 3 cm,dari processus Xyphoid T1: 2cm menjadi 3 cm yang
menunjukkan bahwa pemberian modalitas nebulizer dan diaphragmatic
breathing exercise mampu meningkatkan ekspansi sangkar thoraks pada
kasus PPOK. Penelitian lain yang dilakukan Hidayatin (2019) menunjukkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan pemberian fisioterapi dada terhadap
bersihan jalan napas dibanding Pursed lips breathing yang tidak berpengaruh.
Kedua penelitian tersebut berfokus pada satu intervensi sehingga hasil belum
optimal.
Hasil studi pendahuluan tersebut didapatkan data selama rentang
waktu bulan Agustus 2019 sampai dengan Oktober 2019 jumlah penderita
PPOK rawat inap sebanyak 40 pasien. Studi pendahuluan yang di lakukan di
RS PKU Temanggung didapatkan hasil intervensi non farmakologis terhadap
PPOK kurang optimal dilakukan. Intervensi yang diberikan yaitu berupa
tindakan kolaborasi nebulizer,jadi perlu pemberian intervensi keperawatan
lebih bervariasi seperti Diaphragmatic Breathing.
Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
tentang: “Pengaruh Diaphragmatic Breathing Terhadap Penurunan Sesak
Nafas Pada Pasien PPOK Di RS PKU Muhammadiyah Temanggung”.

B. Rumusan masalah
Sesak nafas atau Dyspnea ( breathlessness) adalah keluhan pada
PPOK yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan
tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman didada yang serius (severe air
hunger ) sampai yang fatal. Penatalaksanaan sesak nafas perlu diberikan
untuk menurunkan keparahan sesak nafas dan peningkatan kecemasan
PPOK.Beberapa penatalaksanaan nonfarmakologis diantaranya fisioterapi
dada dan tehnik nafas dalam.
Diaphragmatic Breathing merupakan salah satu terapi non
farmakologis untuk menurunkan sesak nafas yang belum optimal dilakukan .
Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan apakah ada pengaruh
Diaphragmatic Breathing terhadap penurunan sesak nafas pada pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RS PKU Muhammadiyah Temanggung?

C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
Diaphragmatic Breathing pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien PPOK.
b. Mendeskripsikan karakteristik responden meliputi umur, jenis
kelamin, lama merokok, pekerjaan dan status ekonomi.
c. Mendeskripsikan derajat sesak nafas sebelum diberikan
Diaphragmatic Breathing.
d. Mendeskripsikan derajat sesak nafas sesudah diberikan
Diaphragmatic Breathing.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi RS PKU Muhammadiyah Temanggung
Hasil penelitian diharapkan menjadi data masukan dan sumber data untuk
tindak lanjut meningkatkan terapi pada pasien PPOK di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung.
2. Bagi institusi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian dapat menambah kepustakaan sebagai salah satu sarana
untuk memperkaya pembaca dan memberikan data dasar yang dapat
digunakan penelitian selanjutnya terkait dengan pengaruh Daphragmatic
Breathing pada pasien PPOK.
3. Bagi responden
Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada penderita penyakit
PPOK sehingga mampu melakukan intervensi mandiri di rumah sebagai
discharge planing.
4. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian dapat menjadi sumber data dan wawasan keilmuan untuk
penelitian selanjutnya mengenai pengaruh Diaphragmatic Breathing
terhadap penurunan sesak nafas pada pasien PPOK di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung.
E. Bidang Ilmu
Penelitian ini termasuk dalam kategori ilmu keperawatan medikal bedah
F. Keaslian penelitian
Berdasarkan penelusuran peneliti mengenai pengaruh Diaphragmatic
Breathing pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah Temanggung
belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun beberapa penelitian yang
mendukung penelitian ini adalah:

Tabel Penelitian terdahulu terkait Diaphragmatic Breathing


Nama Tahun Judul
No Metode Hasil
peneliti penelitian penelitian
1 Titin 2019 Pengaruh Penelitian ini Hasil penelitian
Hidayatin pemberian menggunakan quasy menunjukkan
fisioterapi dada experimental dengan untuk kelompok
dan pursed lips rancangan non fisioterapi dada
breathing randomized without serta kelompok
(tiupan lidah) control group pretest- fisioterapi dada
terhadap posttest dengan jumlah dan pursed lips
bersihan jalan sampel yang akan breathing
nafas pada aak diambil sebanyak 30 menunjukkan
balita dengan responden yang dibagi ada pengaruh
pneumonia dalam 3 kelompok yang signifikan
intervensi. Teknik terhadap
pengambilan data bersihan jalan
adalah concecutive napas dengan
sampling. nilai P value
0,000,
sedangkan
untuk kelompok
pursed lips
breathing tidak
ada pengaruh
terhadap
bersihan jalan
napas dengan
nilai P value 0,
112.
2 Lutfiansya 2019 Penatalaksanaan Penelitian ini Setelah
h Nebulizer Dan menggunakan quasy diberikan
Diaphragmatic experimental dengan intervensi
Breathing rancangan non sebanyak 3 kali
Exercise Untuk randomized without didapatkan hasil
Meningkatkan control group pretest- berupa selisih
Ekspansi posttest dengan jumlah ekspansi
Sangkar sampel yang akan sangkar thoraks
Thoraks Pada diambil sebanyak 30 yang diukur dari
Kasus Penyakit responden yang dibagi axilla T1 : 2 cm
Paru Obstruktif dalam 3 kelompok menjadi T3 : 3
Kronis Di intervensi. Teknik cm, dari ics 4
Rumah Sakit pengambilan data T1 : 2 cm
Paru Dungus adalah concecutive menjadi 3 cm,
Madiun sampling. dari processus
xyphoid T1 : 2
cm menjadi 3
cm. Pemberian
modalitas
nebulizer dan
diaphragmatic
breathing
exercise mampu
meningkatkan
ekspansi
sangkar thoraks
pada kasus
Penyakit Paru
Obsrruktif
Kronis (PPOK).
3 Junaidin, 2017 Pengaruh Metode: Database yang Hasil : Terdapat
dkk Pursed Lip digunakan 112 artikel yang
Breathing Dan dalam pembuatan diidentifikasi
Meniup Balon literatur review ini dan
Terhadap adalah PubMed, dipublikasikan
Kekuatan Otot Google Scholar, dari
Pernapasan, Proquest, Science tahun 2012-
Saturasi direct dan Wiley 2018. Dari 109
Oksigen artikel 7 artikel
Dan Respiratory yang memenuhi
Rate Pada kriteria inklusi.
Pasien Ppok Beberapa hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa pursed
lip breathing
dapat
memperbaiki
kekuatan otot
pernapasan,
saturasi oksigen
dan menurunkan
frekuensi
pernapasan,
begitu pula
dengan
meniup balon
4. Titih 2017 Pengaruh Active Penelitian ini Berdasarkan
Huriah1, Cycle Of menggunakan metode latihan ACBT
Dwi Breathing Quasi Experiment yang diberikan
Wulandari Technique dengan rancangan pre– pada awal
Ningtias Terhadap post test design with pertemuan (hari
Peningkatan control group,yang ke-I) pada
Nilai VEP1, akan mengungkapkan kelompok
Jumlah Sputum, hubungan sebab akibat intervensi, tidak
dan Mobilisasi pemberian intervensi memberikan
Sangkar Active Cycle of pengaruh yang
Thoraks Pasien Breathing Technique bermakna
PPOK (ACBT) terhadap nilai terhadap nilai
VEP1, jumlah volume VEP1 dengan
sputum, dan mobilisasi nilai p=0,257,
sangkar toraks pada namun pada hari
penderita PPOK ke-2 dan ke-3,
latihan ACBT
memberikan
pengaruh yang
bermakna
dengan nilai
p=0,003 pada
hari ke 2 dan
nilai p=0,005
pada hari ke-3.
Hasil uji paired
sample t-test
perbedaan nilai
VEP1 pre-tes
dan post-tes hari
pertama pada
kelompok
kelompok
kontrol,
diperoleh nilai p
> 0,05 yang
artinya tidak ada
perbedaan yang
signifikan. Akan
tetapi pada hari
ke-2, nilai
p=0,001 (<
0,05) yang
mengindikasika
n adanya
perbedaan yang
signifikan pada
nilai VEP1 dan
pada hari ketiga
kembali tidak
terlihat adanya
perubahan

Perbedaan dengan penelitan terdahulu yaitu dilihat dari variabel dan metodenya.
Pada penelitiaan ini menggunakan diaphragmatic breathing dengan metode quasi
ekperimen one group pre-test post-test without control group.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. PPOK
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
yang dapat dicegah dan diobati,ditandai dengan adanya keterbatasan
aliran udara yang persisten dan umumnya bersifat
progresif,berhubungan dengan proses inflamasi kronik yang
berlebihan pada saluran nafas dan parekim paru akibat gas atau
partikel berbahaya.Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada
beratnya sakit. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran nafas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang
bervariasi pada setiap individu,akibat inflamasi kronik
yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan saluran napas
kecil dan penurunan elastisitas recoil paru (GOLD,2015).
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) PPOK adalah penyakit dengan karakteristik
keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau oleh polusi lingkungan (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011). Riwayat PPOK ditandai dengan eksaserbasi
berulang yang terkait dengan peningkatan gejala dan penurunan status
kesehatan secara keseluruhan. Eksaserbasi didefinisikan sebagai
perubahan gejala dasar pasien (dyspnea, batuk, atau produksi dahak)
di luar variabilitas sehari-hari yang cukup untuk menjamin adanya
perubahan.

2. Klasifikasi PPOK
Penentuan klasifikasi PPOK (PDPI 2011) sebagai berikut :
a. PPOK Ringan
Gejala klinis :
1) Dengan atau tanpa batuk,
2) Dengan atau tanpa produksi sputum
3) Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
4) Spirometri : FEV1 (volume ekspirasi paksa) ≥ 80 %
prediksi (normal spirometri) atau FEV1 < 70 %.
Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau
yang lebih tua.
b. PPOK Sedang
Gejala klinis:
1) Dengan atau tanpa batuk,
2) Dengan atau tanpa produksi sputum
3) Sesak napas: derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat
aktivitas). Spirometri : FEV1 < 70 % atau 50 % < FEV1 <
80 % prediksi
c. PPOK Berat
Gejala klinis :
1) Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas
kronik,
2) Eksaserbasi lebih sering terjadi,
3) Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan, spirometri : FEV1 < 70 %, FEV1 <30% prediksi atsu
FEV1 >30 % dengan gagal napas kronik. Gagal napas
kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaaan
analisis gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan
normokapne atau hipoksemia dengan hiperkapnea.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)

3. Etiologi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD 2017) faktor resiko PPOK dibagi menjadi 6 (enam), yaitu :
a. Genetik
Terjadinya defisiensi Alpha I antitrypsin (ATT) menjadi
salah peluang lebih besar untuk terserang PPOK. Alpha 1
antitripsin adalah protein yang berperan sebagai penetral enzim
protolitik yang sering dikeluarkan pada saat terjadi peradangan
dan merusak jaringan termasuk jaringan paru.
b. Partikel berbahaya
Setiap jenis partikel tergantung ukuran dan komposisinya
akan memberikan kontribusi yang berbeda terhadap risiko yang
terjadi.Banyaknya partikel yang terhirup selama hidup akan
meningkatkan risiko berkembangnya PPOK. Berikut partikel
yang berisiko menyebabkan PPOK:
1) Asap rokok
2) Asap rokok merupakan faktor risiko utama penyebab
terjadinya PPOK. Perokok mempunyai prevalensi lebih
tinggi mengalami gangguan pernapasan dan abnormalitas
fungsi paru. Perokok pasif juga berkontribusi mengalami
gangguan pernapasan
3) Debu dan bahan kimia
Debu organik, non-organik, bahan kimia dan asap
merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan
seseorang terserang PPOK. Debu dan bahan kimia
diperkirakan 10-20% mengalami gangguan fungsional paru
karena PPOK .
4) Polusi di dalam rumah
Penggunaan kayu bakar, kotoran hewan dan
pembakaran sisa tanaman dalam api terbuka di dalam
tempat tinggal dengan ventilasi yang buruk dapat
meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
5) Polusi di luar rumah
Tingginya kadar polusi udara di daerah perkotaan
berbahaya bagi individu terutama pembakaran dari bahan
bakar kendaraan, bila ditambah dengan merokok akan
meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru terkait dengan proses
yang terjadi selama kehamilan, kelahiran dan proses tumbuh
kembang. Setiap faktor yang memperngaruhi pertumbuhan
paru selama kehamilan,kelahiran dan tumbuh kembang anak
akan memiliki potensi untuk meningkatkan risiko terserang
PPOK.
d. Usia dan jenis kelamin
Usia menjadi faktor risiko terjadinya PPOK. Penurunan
status kesehatan lansia sebagi pencetus terjadinya PPOK atau
usia mencerminkan atau usia merupakan kumpulan jumlah
pemaparan hidup secara keseluruhan. Di masa lalu penelitian
menunjukkan prevalensi dan kematian pada PPOK lebih besar
terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Prevalensi penyakit
PPOK di beberapa Negara akhir-akhir ini hampir sama antara
laki-laki dan perempuan, yang mungkin mencerminkan
perubahan gaya hidup merokok dengan menggunakan
tembakau tertentu.

e. Status sosial ekonomi


Kemiskinan jelas menjadi faktor risiko untuk PPOK. Polusi
udara di dalam atau di luar, kepadatan lingkungan, gizi buruk,
infeksi dan berbagai faktor yang berkaitan dengan sosial
ekonomi yang rendah.
f. Asma/ hiperaktivitas bronkus
Asma menjadi faktor risiko perkembangan PPOK,
walaupun faktanya ini tidak pasti. Laporan dari hasil sebuah
studi longitudinal Kohort studi epidemiologi tuscon mengenai
penyakit obstruksi jalan napas dewasa dengan asma ditemukan
meniliki risiko 12x lipat lebih berisiko menjadi PPOK dari
pada yang tidak memiliki asma setelah merokok. Studi
longitudinal yang lain menunjukkan seseorang dengan asma
sebanyak 20% ditemukan memiliki perkembangan aliran udara
yang terbatas dan tidak dapat disembuhkan.

4. Patofisiologi
Prinsip terjadinya PPOK adalah adanya terbatasnya jalan
napas yang tidak sepenuhnya reversible. Secara progresif terjadi
penyempitan jalan napas dan kehilangan daya elastik dari paru yang
berakibat pada penurunan FEV1,ketidakadekuatan dalam
pengosongan paru dan hiperinflasi. Rokok merupakan penyebab
langsung cedera sel pada epitelial jalan napas yang menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi, peningkatan jumlah mukus, hiperplasi sel
epithelial(Decramer et al. 2012).
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok, walaupun partikel
nixius inhalasi lain dari berbagai gas juga memberi kontribusi, secara
umum telah diterima bahwa merokok merupakan faktor risiko
terpenting PPOK namun hanya 10 % perokok yang mengalami
gangguan fungsi paru berat yang terkait PPOK (Jones et al. 2013).
Gejala PPOK meliputi bronkitis kronik dan emfisema, yang
sering terjadi bersamaan. Biasanya merokok dan faktor-faktor risiko
lain mempercepat penurunan fungsi paru terkait usia yang normal dan
menyebabkan gejala-gejala respirasi kronik yang diselingi dengan
eksaserbasi akut intermiten, yang akhirnya menyebabkan
ketidakmampuan dan gagal napas (PDPI 2011).
Obstruksi jalan napas disebabkan oleh Bronkitis kronik akibat
inflamasi mukosa kronik, hipertrofi kelenjar mukosa dan hipersekresi
mukus, bersamaan dengan bronkospasme. Keadaan tersebut
didefinisikan sebagai batuk dan produksi mukus berlebih setiap pagi
hari selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut, tanpa ditemukannya
tumor jalan nafas, infeksi akut/kronik, atau penyakit jantung tidak
terkontrol. Sebagian besar klien memiliki kapasitas paru total/ total
lung capacity (TLC), kapasitas residual fungsional/ functional residual
capacity (FRC), volume residual/ residual volume (VR) yang normal.
Klien dengan bronkitis kronis lanjut mengalami penurunan dorongan
respirasi dan retensi CO2,yang berhubungan dengan nadi kuat,
vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala, flapping tremor dan edema papil.
Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan antara
kebutuhan oksigen dengan asupan oksigen. Hal ini menyebabkan
polisitemia (peningkatan sel darah merah) dan peningkatan tekanan
arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) akibat vasokonstriksi paru
hipoksik. Gangguan yang terjadi pada pada fungsi jantung kanan
menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan tekanan vena
sentralis, dan edema perifer.
Keadaan tersebut kemudian menyebabkan kor pulmonal
(retensi cairan/gagal jantung akibat penyakit paru). Hipertensi
pulmonal dipotensiasi oleh hilangnya kapiler yang luas pada penyakit
lanjut (PDPI 2011).
Destruksi progresif septum alveolar dan kapiler disebabkan
oleh Emfisema, yang menyebabkan jalan napas dan ruang udara (bula)
yang membesar, recoil elastik paru yang menurun, dan jalan napas
yang semakin mudah mengalami kolaps. Kolaps jalan napas distal
disebabkan oleh obstruksi jalan napas selama ekspirasi akibat
hilangnya traksi radial elastik. Hiperinflasi yang terjadi meningkatkan
aliran udara ekspirasi tetapi otot inspirasi bekerja dengan kerugian.
Klien dengan emfisema biasanya mengalami obstruksi aliran
udara dengan peningkatan TLC, FRC, dan RV selain itu terjadi
peningkatan compliance paru statik. Klien akan mengalami kesulitan
bernapas dan takipnea saat istirahat dengan tanda-tanda hiperinflasi
dan malnutrisi yang meliputi barrel chest dan tubuh kurus.
Pengguanaan otot bantu respirasi tambahan dan bernapas dengan
mengerutkan bibir. Bernapas dengan mengerutkan bibir meningkatkan
tekanan pada jalan napas atas sehingga membatasi kolaps jalan udara
distal. Auskultasi menunjukkan bunyi napas jauh dengan mengi
ekspirasi memanjang. Gas darah normal saat istirahat, dengan
desaturasi O2 yang nyata selama aktivitas (PDPI 2011).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan kelainan dengan
kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menunjukkan awitan, meskipun aspek fungsi tertentu seperti kapasitas
vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan
peningkatan usia, PPOK dapat memperburuk perubahan fisiologis
yang berkaitan dengan penuaaan dan mengakibatkan obstruksi jalan
napas misalnya pada Bronkitis serta kehilangan daya pengembangan
(elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Obstruksi saluran napas
pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas (PDPI 2011).

5. Manifestasi Klinis
Gejala Klinis dari PPOK sebagai berikut :
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama lebih dari 3 bulan
yang berlangsung selama lebih dari 2 tahun yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus-menerus tanpa disertai batuk.
b. Sesak nafas
Sesak nafas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien
terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progresif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai
kuantitas sesak napas digunakan ukuran sesak nafas sesuai skala
sesak yaitu BORG Scale.
c. Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan
oleh penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding
saluran pernafasan. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding
saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya.karena secara umum
saluran pernafasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi
dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien
PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik
merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien
PPOK.
d. Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup
terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi
mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang
sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh
penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus
pada saluran pernafasan. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi
ronkhi meskipun bukan gejala khas dari PPOK.
e. Penurunan aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional
dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang
terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot
skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan
otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan
malnutrisin kronis.
6. Tingkat Keparahan PPOK
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas.
Menurut American Thoracic Society (ATS)4 penggolongan PPOK
berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang,
berat dan sangat berat (Oemiati, 2013). Gejala ini ditandai dengan
sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut :
a. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau
sedikit mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran
spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50 %
c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia
karena sesak napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas
pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit berjalan nilai 3 skala berat.
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari
terganggu atau sesak napas saat menggunakan atau melepaskan
pakaian, nilai 4 skala sangat berat. Pada penderita PPOK
derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat
serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.
7. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut
Grece & Borley (2011), Jackson (2014) dan Padila (2012) :
a. Gagal nafas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF)
Hal ini timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnea),gejala yang muncul antara lain nyeri
kepala,fatique,letargi dan takipnea. Hasil pemeriksaan AGD PO2
< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg pada kondisi gagal nafas.
b. Corpulmonal
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan, merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading
akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai
mekanesme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada
PPOK. Dalam PPOK, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokontriksi kapiler paru-paru.
c. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori.
d. Pneumothoraks.
e. Status asmatikus
Hal ini merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan
asma bronchial. Penyakit ini potensial mengancam kehidupan dan
sering tidak berespon terhadap terapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher sering
sekali terlihat pada penderita asma
8. Diagnosis
Penulis merumuskan beberapa diagnose keperawatan antara lain :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
d engan produksi mukus berlebih.
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
kebutuhan dan suplai oksigen.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan factor lingkungan
(terlalu ramai).
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada diagnose PPOK menurut PPOK
menurut kemenkes 2008 antara lain :
a. Radiologi (foto thorax)
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema
dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma
rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis
kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang
normal aataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen
b. Spirometry
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas
dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri
juga digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas,
atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan
(FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya obstruksi jalan
nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita PPOK
secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC.
Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes
bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter
yang paling umum dipakai untuk Uji Faal Paru menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit. FEV1 juga amat
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi
penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai
persentase dari nilai prediksi normal. Uji faal paru juga dapat
dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator juga
menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan
memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila
perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji
ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut).
c. Laboratorium darah rutin
Untuk mengetahui adanya leukositosis pada eksaserbasi akut,
polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya
peningkatan hematokrit.
d. AGD (Analisa gas darah)
AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan
seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan
jugular venous pressure.Analisa gas darah berguna untuk menilai
cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau
keseimbangan asam basa.

e. Mikrobiologis sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila


teriad eksaserbasi).
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat, khususnya pada saat terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi
saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi
akut pada penderita PPOK.
10. Penatalaksanaan
Menurut (Kemenkes RI, 2008) Penatalaksanaan PPOK terbagi
menjadi 2 :
a. Farmakologi
Secara umum penatalaksanaan PPOK dengan farmakologi :
1) Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada
eksaserbasi digunakan oral atau sistemik.
2) Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednisolone untuk
penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil.
3) Antibiotic
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi.
4) Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila terdapat dahak yang lengket dan
kental.
5) Antitusif
Diberikan hanya bila ada batuk yang mengganggu.

b. Nonfarmakologi
1) Inhalasi sederhana
Inhalasi sederhana yang dilakukan menggunakan air hangat
dan corong bermanfaat untuk mengencerkan dahak.
2) Batuk efektif
3) Fisioterapi dada
Fisioterapi dilakukan dengan tiga cara :
a) Clapping
b) Vibrasi
c) Postursl drainase
Tiga cara diatas bertujuan untuk merangsang pengeluaran
secret secara maksimal.

B. Konsep dasar sesak nafas (Dyspnea )


1. Pengertian
Dyspnea adalah sensasi sesak napas, ditandai dengan kelaparan
udara, susah payah atau susah bernapas, dan sesak dada yang sering
dikaitkan dengan penyakit jantung atau pernapasan. Dyspnea dapat
ditandai sebagai inspirasi atau ekspirasi, berdasarkan lokasi anatomi
obstruksi jalan napas dan karakteristik klinis. Dyspnea inspirasi sering
melibatkan stenosis dan obstruksi pada laring, trakea, dan / atau
bronkus. Dispnea ekspirasi melibatkan berakhirnya masa kerja yang
lama dan berakhir dengan mengi dan merupakan hasil penyempitan
bronkus yang lebih kecil dan bronkiolus dan penurunan elastisitas paru
(Miravitlles, Anzueto, & Jardim, 2017).
2. Etiologi sesak nafas
Penyebab Sesak nafas digolongkan menjadi beberapa kelompok yaitu
a. System Kardiovaskuler
1) Acute myocardial infarction (AMI), dimana sesak nafas
terjadi bersamaan dengan nyeri dada yang hebat.
2) Fibrilasi atrial, dypnea timbul secara tiba-tiba
3) Kegagalan jantung kiri, dypnea terjadi mendadak pada
malam hari pada waktu penderita sedang tidur. Hal ini di
sebut paroxysmal nocturnal dypnea. Pada keadaan ini
biasanya disertai dengan orthopnea. Dypnea berkurang bila
pasien dalam keadaan posisi duduk.
3. Klasifikasi sesak nafas
Sesak nafas terdiri dari :
a. Sesak nafas akut
Sesak nafas yang tiba-tiba dan merupakan penyebab umum
kunjungan ke ruang gawat darurat. Penyebab sesak nafas akut
diantaranya penyakit pernafasan dan penyakit jantung. Sesak nafas
berlangsung < I bulan.
b. Sesak nafas kronik
Sesak nafs kronik (menahun) dapat disebabkan oleh asma, PPOK,
emfisema, inflamasi paru-paru, tumor, dan kelainan pita suara.
Sesak nafas berlangsung > 1 bulan.

C. Konsep dasar Diaphragma breathing


1. Pengertian
Diaphragma breathing adalah teknik pernafasan yang efektif dan
efisien yaitu dengan menggunakan otot diafragma ketika menghirup
udara lewat hidung dan menghembuskannya lewat mulut.Otot
diafragma terletak di bawah tulang rusuk dan berbentuk seperti kubah
atau ada juga yang mengatakannya seperti paying (Pangestuti &
Widayati, 2015).
Latihan tersebut bertujuan untuk meningkatkan akfititas fungsional
dan membantu mengaktifkan otot pernapasan perut dan otot diafragma
saat bernapas. Diaphragmatic breathing merupakan teknik latihan
pernapasan yang bertujuan untuk mengaktifkan otot bantu pernapasan
pada diafragma karena pada kasus PPOK terjadi perubahan struktur
pada paru yang menyebabkan paru tidak bisa mengembang dengan
sempurna saat inspirasi.
Diaphragmatic breathing merupakan bagian dari tindakan mandiri
keperawatan pada klien PPOK. Latihan pernapasan diafragma ini salah
satu teknik bernapas, yang bertujuan untuk mengurangi dypsnea dengan
meningkatkan ekskursi diafragma dan secara simultan mengurangi
penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi besar untuk
kerja pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada yang abnormal
(Cahalin et al 2002 dalam Morrow et al., 2012).
Diaphragma adalah otot utama pernapasan dan berperan sebagai
tepi bawah thorak. Diafragma berbentuk kubah pada waktu relaksasi,
dengan otot utama melekat pada prosesus xifoideus sternum dan rusuk
bagian bawah. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah,
meningkatkan ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru.
Inervasi diafragma (nervus fernikus) berasal dari medulla spinalis
setinggi vertebra servikalis ketiga. (Black & Hawks 2014).
Tujuan utama Diaphragmatic breathing adalah memperbaiki
gerakan abdomen dengan mengurangi aktivitas otot pernapasan
(Yamaguti et al. 2012).
Klien dengan COPD sering memiliki pengurangan mobilitas
diafragma dan kontribusinya yang relatif terhadap gerakan thoraco
abdominal, meningkatkan aktivitas otot respirasi dinding dada sebagai
mekanisme kompensasi. Pengurangan mobilitas diafragma dan aktivitas
otot dinding respirator yang lebih tinggi ini, berhubungan dengan
peningkatan dyspnea dan intoleransi latihan.
2. Indikasi :
Indikasi dari diaphragma breathing , antara lain;
a. Klien PPOK dengan kondisi stabil, kesadaran compos mentis
b. Klien dengan PPOK kriteria GOLD II (nilai 50% ≤ FEV1< 80%)
dan GOLD III (nilai 30% ≤ FEV1< 50%)
c. Klien PPOK dengan dyspnea
3. Kontraindikasi
Kontraindikasi dari diaphragm breathing, antara lain;
a. Klien PPOK dengan eksaserbasi
b. Mengalami gangguan saraf, terutama saraf trigeminal
c. Alergi dingin
d. Klien yang mengalami penyakit lain, seperti gangguan
kardiopulmonal,muskolo skeletal dan gangguan mental
4. Prosedur diaphragmatic breathing
Prosedur diaphragma breathing (Lee et al. 2017), adalah sebagai
berikut:
a. Responden mengambil posisi setengah duduk dan posisi tangan
kiri di atas otot rectus abdominalis (tulang kosta anterior),
b. Kemudian responden menghirup udara melalui hidung dengan
perlahan dan dalam dengan hanya mengembangkan perutnya
namun posisi bahu tetap terjaga/ rileks dan tidak terangkat ke atas.
c. Responden menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup,
udara dihirup melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya
bengkak. Setelah itu hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian
responden menghembuskan udara dengan bibir yang mengerucut
atau dengan bibir setengah membuka, sampai perutnya menjadi
cekung dengan durasi 6 detik. Satu pernapasan terdiri dari 3 detik
inhalasi, 3 detik suspensi, dan 6 detik ekhalasi pernapasan.
d. Tehnik diaphragma breathing diketahui bahwa paling efektif bila
diimplementasikan selama 4 sampai 12 minggu, 2 sampai 5 kali
per minggu,dengan setiap sesi berlangsung tidak lebih dari 20
sampai 30 menit. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, durasi
waktu waktu yang dipilih adalah 30 menit 3 kali dalam seminggu
selama 4 minggu (Seo et al. 2015).
5. Pengaruh Diaphragma Breathing terhadap dyspnea dan PEFR
Diaphragm breathing dapat menurunkan sesak nafas (dyspnea)
karena dapat meningkatkan ekskursi diafragma dan secara simultan
mengurangi penggunaan otot aksesori (yang memberikan kontribusi
besar untuk kerja pernapasan) dan koreksi gerakan dinding dada yang
abnormal (Cahalin et al 2002 dalam Morrow et al., 2012). Diaphragma
breathing dapat meningkatkan kekuatan otot diafragma yang
merupakan otot utama pernapasan dan berperan sebagai tepi bawah
thorak. Kontraksi diafragma menarik otot kebawah, meningkatkan
ruang toraks dan secara aktif mengembangkan paru (Black & Hawks
2014). Apabila kerja otot diafragma dapat maksimal maka klien dapat
mengambil napas lebih dalam dan lebih efektif sehingga dapat
mempertahankan ekspansi paru (Luh et al. 2017). Kerja otot yang
maksimal dapat meningkatkan recoil dan compliance paru, yang dapat
meningkatkan pula arus puncak ekspirasi yang dinamakan peak
ekspiratory flow (Lemonere & Burke, 2000 dalam Ritianingsing, 2008).

D. KERANGKA TEORI

Faktor Resiko : PPOK Gejala :


1. 1. Riwayat merokok Sesak nafas
2. 2. Usia
3. 3. Jenis Kelamin Sputum berlebih
Inflamasi Batuk
4. 4. Infeksi
5. 5. Kurangnya alfa Obstruksi jalan
6. anti tripsin Kerusakan
7. 6. Polusi Udara jaringan paru
bersifat
irreversible dan
progresisve
Penyempitan
saluran nafas
dan hipersekresi
Latihan nafas
mukus
Diafragmatic
Breathing
MengontrolPernafasan
Mencegah kolaps
Melatih otot-otot
ekspirasi

Memperpanjang Ekshalasi Tekanan alveolus


meningkat pada
Meningkatkan tekanan jalan
ekspirasi
nafas saat ekspirasi
Mengurangi jumlah udara
yang terjebak

E. KERANGKA KONSEP
Variabel independent Variabel Dependent

Diafragma Breathing Sesak Nafas

F. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel Independen
Variable independen adalah konsep yang dipakai untuk
menjelaskan atau meramalkan konsep lain yang telah terjadi
sebelum terjadi variable dependen. Dalam penelitian ini variable
independennya Diaphragmatic Breathing.
2. Variable dependen
Variable dependent adalah konsep yang akan dijelaskan dan
diramalkan kejadiaannya serta terjadi sebagai akibat dari variable
lain. Dalam penelitian ini variable dependennya adalah sesak nafas.

G. HIPOTESIS
Hipotesis adalah pernyataan tentang adanya suatu hubungan tertentu
antara variable-variabel yang sudah digunakan. Hipotesis merupakan
dugaan sementara yang berisi hubungan antara dua variable
(independent dan dependent)
Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:
Ha: Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing pada penurunan sesak
nafas pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Ho : Tidak Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing pada penurunan
sesak nafas pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain penelitian
Rancangan penelitian adalah susunan sistematis penelitian untuk
memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2014).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif quasy experiment.
Penelitian ini menggunakan rancangan one group, pretest and post test desain
without control group.
Penelitian ini tidak menggunakan kelas pembanding namun sudah
menggunakan tes awal sehingga besarnya efek atau pengaruh latihan Diafragma
Breathing dapat diketahui secara pasti.
Dalam penelitian ini, subyek penelitian terlebih dahulu diberikan tes awal
(pretest) untuk mengetahui derajat sesak nafas.Pada kelompok perlakuan diberikan
Diafragmatic Breathing . Selanjutnya dilakukan post test untuk mengetahui
adanya pengaruh Diafragmatic Breathing terhadap penurunan sesak nafas pada
pasien PPOK.

Pre test perlakuan post test


RI : O1 X O2

Rancangan one group pre-test post-test without control group desain

Keterangan :
R1 : kelompok perlakuan
O1 : pre-test (penilaian awal sesak nafas pada kelompok perlakuan)
O2 : post-test (penilaian akhir sesak nafas pada kelompok perlakuan)
X : intervensi diafragma breathing pada kelompok perlakuan

B. Populasi dan sampel


1. Populasi
Menurut Nursalam (2016), populasi adalah subjek (misalnya :
manusia ;klien )yang memenuhi syarat atau kriteria tertentu yang
ditetapkan. Populasi pada penelitian ini adalah semua Pasien Penyakit
Paru Obstruktif di RS PKU Muhammasiyah Temanggung. Hasil survey
dilakukan oleh peneliti dari bagian rekam medik RS PKU Muhammadiyah
temanggung didapatkan data jumlah pasien PPOK pada bulan juli sampai
Oktober 2019 sebanyak 40 pasien.
2. Sampel
Sampel terdiri dari bagian populasi terjangkau yang dapat
dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling.Sementara
sampling adalah proses menyeleksi porsi dari popullasi yang dapat
mewakili populasi yang ada.Ada 2 teknik pengambilan sampling,yaitu
Probability Sampling dan Non Probability Sampling.
Teknik yang digunakan peneliti untuk menentukan sampel
menggunakan teknik Accidental Sampling atau Convenience Sampling
yang termasuk dalam Non Probabilty Sampling, dimana teknik penentuan
sampling ini berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara
kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila
dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data
(Sugiyono, 2001: 60). Sampel menggunakan responden yang ada saat itu
dan yang ditemui saat itu juga.Pengambilan data responden diambil secara
bertahap yaitu tidak menunggu sampai responden terkumpul
semua,melainkan setiap pasien PPOK yang ada dijadikan responden.
Banyaknya sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak
ditentukan,karena pasien PPOK yang rawat inap di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung jumlahnya tidak bisa ditentukan dalam
setiap bulannya, sehingga penentuan responden untuk mewakili
karakteristik keseluruhan populasi berdasarkan kriteria inklusi dan
ekslusi,antara lain :
a. Kriteria inklusi
1) Pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah Temanggung
2) Pasien yang berusia 40 -70 tahun
3) Pasien dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan
4) Pasien PPOK derajat I (ringan) dan PPOK derajat II (sedang)
tanpa komplikasi
5) Dapat melakukan aktivitas mandiri atau dengan bantuan
6) Pasien yang tidak mendapatkan obat bronkodilator
7) Pasien yang bersedia menjadi responden penelitian dengan
menandatangani lembar persetujuan.
b. Kriteria ekslusi :
1) Pasien PPOK Eksaserbasi Akut.
2) Pasien tidak mampu lagi melanjutkan penelitian karena timbul
komplikasi dari PPOK saat dilakukan penelitian seperti
peningkatan sesak nafas yang dapat membahayakan pasien
3) Pasien PPOK dengan kelaian kardiovaskuler berat seperti
sindroma koroner akut (SKA ).

C. Definisi operasional
Definisi operasional mendefinisikan operasional variabel berdasar
karakteristik yang diamati untuk mempermudah peneliti melakukan
observasi secara cermat berdasarkan suatu obyek atau fenomena (Hidayat,
2010).
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini disajikan dalam
tabel berikut:
Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian

Variabel Definisi operasional Alat ukur Hasil ukur Skala


Independen: Teknik latihan nafas dengan SPO 0 =tidak dilakukan Nominal
Difragmatic menggunakan otot Diafragmatic 1 = dilakukan
breathing diafragma.dengan cara : Atur Breathing
posisi pasien dalam posisi
terlentang,Minta pasien untuk
merelaksasikan otot-otot
interkosta dan otot bantu
pernapasan saat melakukan
inspirasi da lam,Anjurkan pasien
untuk berkonsentrasi mengem
bangkan diafragma selama
melakukan inspirasi ter
control,Arahkan pasien untuk
menempatkan satu tangan datar di
bawah payudara di atas pinggang
dan tangan yang lain 2 atau 3 cm
di bawah tangan yang
pertama,Instruksikan pasien untuk
menghirup udara sementara
tangan bawah bergerak ke arah
luar selama inspirasi,Observasi
klien untuk melihat adanya
gerakan ke arah dalam seiring
penurunan diafragma pada
ekshalasi,Latihan ini seringkali
digunakan di sertai dengan
pelaksanaan teknik
pernapasan pursed-lip,Selama
prosedur ting katkan keterlibatan
dan kenyamanan pasien.
Latihan ini diberikan pada pasien
pada pasien PPOK selama 10
sampai 15 menit sehari sekali
selama 3 hari berturut -turut.
Karakteristik Nominal
responden : Latihan diberikan pada pasien
Umur,Jenis Umur 40- 70 tahun,Laki-laki
Kelamin,riway maupun perempuan,mempunyai
at tingkat pendidikan formal
pendidikan,der maupun non formal,Status
ajat PPOK ekonomi (pekerjaan ),PPOK
ringan ( I ) sampai sedang (II )

Dependen : BORG scale Skala BORG : Rasio


Sesak nafas Pengukuran derajat sesak nafas
terhadap aktifitas dari ringan - 0 : tidak ada sesak
sampai berat pada pasien PPOK. nafas sama sekali
Sesak nafas adalah peningkatan 0,5 : tidak nyata
frekuensi nafas lebih dari 25 x 1 : sangat ringan
/menit yang diukur menggunakan 2 : ringan
skala BORG 3 : sedang
4 : sedikit berat
5 : berat
7 : sangat berat
10 : Maximum (Sesak
nafas sangat sangat
parah )

D. Tempat penelitian
Penelitian tentang pengaruh diaphragmatic breathing terhadap
penurunan sesak nafas pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung.
E. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama 3 minggu di mulai pada minggu
terakhir bulan desember 2019. Adapun lampiran jadwal penelitian tercantum
dalam lampiran V.
F. Etika penelitian
Penelitian ini menerapkan 3 prinsip etik penelitian yang berfungsi
melindungi hak responden dan peneliti selama proses penelitian (Nursalam,
2008) yaitu:
1. Prinsip manfaat (Beneficiency)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa
pihak baik peneliti, responden, tenaga kesehatan, instansi pendidikan,
dan masyarakat sehingga dapat berperan dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan, menurunkan angka penyandang PPOK.
4. Prinsip menghargai hak asasi manusia (Respect of human dignity)
Sebelum dilakukan penelitian, peneliti menjelaskan tentang penelitian
(tujuan, manfaat, dan mekanisme) yang akan dilakukan dan
memberikan inform consent sebagai bukti persetujuan tertulis sebagai
responden. Peneliti juga memberikan kebebasan kepada responden
untuk bersedia atau tidak diberikan intervensi yang diberikan tanpa
memberikan tekanan dan introgasi terhadap responden. Selain itu,
peneliti juga memberikan kesempatan bertanya apabila responden tidak
nyaman.
5. Prinsip keadilan (Right to justice)
Semua responden mendapatkan kesempatan yang sama tanpa
membeda-bedakan latar belakang dan status sosial apapun dalam
penelitian ini. Setiap responden akan mendapatkan penjelasan tentang
tujuan penelitian, mengisi persetujuan berupa inform consent dan
penjelasan tentang cara intervensi. Baik variable control maupun
intervensi sama-sama mendapatkan perlakuan .

G. Alat pengumpul data (…ikuti BORG scale )


Alat yang digunakan dalam penelitian untuk mengetahui pengaruh
diaphragmatic breathing dalam menurunkan sesak nafas pada pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) menggunakan alat ukur BORG
Scale.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengetahui pengaruh
diaphragmatic breathing yaitu BORG Scale tidak dilakukan uji validitas
dan reliabilitas karena menggunakan instrumen yang sudah baku.

H. Prosedur Pengumpulan Data


1. Jenis Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung melalui
wawancara dengan responden. Data tersebut biasanya terdiri dari
identitas responden yang meliputi nama, jenis kelamin pekerjaan,
lama menderita PPOK dan lain-lain.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
oleh peneliti seperti data dalam rekam medik seperti tanda-tanda
vital pasien dan program pemberian obat harian.
2. Prosedur pengumpulan data
Langkah-langkah pengumpulan data dalam penelitian ini adalah :
a. Prosedur administrasi
1) Peneliti mengajukan surat permohonan data awal dari
Universitas Muhammadiyah Semarang ditujukan kepada
Direktur RS PKU Muhammadiyah Temanggung pada
lampiran IX
2) Peneliti menerima surat ijin melakukan penelitian di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung dari Program Studi S1
Keperawatan Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Semarang
3) Mengajukan surat izin etical clearance penelitian ke Komisi
EtikaPenelitian di RS PKU Muhammadiyah Temanggung.
4) Melakukan penelitian di RS PKU Muhammadiyah
temanggung.
b. Prosedur teknis
1) Peneliti meminta ijin kepada kepala ruang yang ada di Ruang
rawat Inap dan ruang rawat jalan di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung.
2) Sebelum melakukan penelitilian peneliti menentukan
responden sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi.
3) Peneliti memberikan informed consent pada calon responden untuk
dijadikan respondent penelitian kelompok perlakuan. Setelah calon
responden setuju untuk menjadi responden kelompok perlakuan
peneliti mengajukan kontrak waktu untuk mengambildata awal
(pretest) sehari sebelum dilakukan Diaphragmatic Breathing yaitu
dengan pengisian lembar observasi skala sesak napas BORG scale hari
pertama di ruangan masing-masing responden kelompok perlakuan.
Pengukuran sesak nafas responden dilakukan dengan cara menyiapkan
lembar observasi skala sesak nafas BORG Scale untuk diisi oleh
peneliti.
4) Peneliti memberikan Diaphragmatic Breathing kepada responden
kelompok perlakuan pada hari kedua setelah pre-test.
5) Diaphragmatic Breathing ini diberikan sesuai dengan SPO dan
dilaksanakan setiap hari 1 kali selama 10 – 15 menit selama 3 hari.
Latihan ini dilakukan di masing-masing ruangan responden kelompok
perlakuan. Latihan Diaphragmatic Breathing selama 10 – 15 menit
dengan dengan cara responden menghirup udara melalui hidung
dengan perlahan dan dalam dengan hanya mengembangkan perutnya
namun posisi bahu tetap terjaga/ rileks dan tidak terangkat ke atas.
Responden menghirup udara secara perlahan. Saat menghirup, udara
dihirup melalui hidungnya selama 3 detik, dan perutnya bengkak.
Setelah itu hirupan dihentikan selama 3 detik, kemudian responden
menghembuskan udara dengan bibir yang mengerucut atau dengan
bibir setengah membuka, sampai perutnya menjadi cekung dengan
durasi 6 detik. Satu pernapasan terdiri dari 3 detik inhalasi, 3 detik
suspensi, dan 6 detik ekhalasi pernapasan.
Tehnik diaphragmatic breathing diketahui paling efektif bila
diimplementasikan selama 4 sampai 12 minggu, 2 sampai 5 kali per
minggu,dengan setiap sesi berlangsung tidak lebih dari 20 sampai 30
menit. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, durasi waktu waktu
yang dipilih adalah 30 menit 3 kali dalam seminggu selama 4 minggu
(Seo et al. 2015).
6) Peneliti melakukan pengambilan data akhir (post-test) yaitu
pengukuran sesak nafas dengan menggunakan lembar observasi skala
sesak nafas BORG. Post test dilakukan setiap hari selama 3 hari
perawatan pasien di ruangan kelompok perlakuan setelah 1 hari
dilakukan .
7) Peneliti memberikan reinforment kepada responden sebagai tanda
terima kasih karena telah bekerja sama dalam penelitian ini.
8) Peneliti selanjutnya melakukan pengolahan data, analisa data dan
penyajian data.
I. Analisa Data
1. Pengelolaan Data
a. Editing
Editing merupakan tahap pertama dalam pengolahan data
penelitian atau data statistik. Editing adalah proses memeriksa data
yang dikumpulkan melalui alat pengumpulan data atau instrument
penelitian.
b. Coding
Coding merupakan kegiatan merubah data yang berbentuk kalimat
atau huruf menjadi data yang berbentuk angka atau bilangan. Pada
penelitian ini coding dilakukan pada jenis kelamin, jenis
pendidikan, jenis pekerjaan, lama menderita PPOK, Jenis PPOK
dan riwayat merokok.
1) Jenis kelamin
a) Laki-laki diberi kode 1
b) Perempuan diberi kode 2
2) Jenis pendidikan
a) Tidak tamat SD diberi kode 1
b) Tamat SD diberi kode 2
c) Tamat SMP diberi kode 3
d) Tamat SMA diberi kode 4
e) Tamat Diploma diberi kode 5
f) Tamat Sarjana diberi kode 6
3) Jenis pekerjaan
a) Tida bekerja diberi kode 1
b) Petani diberi kode 2
c) Buruh diberi kode 3
d) Pedagang diberi kode 4
e) Wiraswasta diberi kode 5
f) Karyawan diberi kode 6
g) Lain-lain diberi kode 7
4) Lama menderita PPOK
a) <2 tahun diberi kode 1
b) >2 tahun diberi kode 2
5) Jenis PPOK
a) PPOK ringan diberi kode 1
b) PPOK sedang diberi kode 2
c) PPOK berat diberi kode 3
d) PPOK sangat berat diberi kode 4
6) Riwayat merokok
a) Tidak merokok diberi kode 1
b) Merokok diberi kode 2
c. Entry data
Entry data merupakan proses memasukkan data berupa jawaban-
jawaban kuestioner dari responden yang telah diberi kode kedalam
program atau software computer.
d. Tabulasi
Membuat table distribusi, frekuensi, tendensi sentral (mean,
median, modus, sum) dan disperse (standart deviasi, varians,
range, minimum, maximum) dengan menggunakan program
pengolahan data.
e. Skoring
Pada tahap ini peneliti memberikan skor pada data sesuai dengan
hasil pengukuran skala sesak napas menggunakan Lembar
observasi skala BORG

f. Cleaning
Cleaning merupakan proses koreksi atau pengecekan kembali pada
semua data yang telah dimasukkan (prosesing/entry) dari setiap
sumber data atau responden untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesaalahan dalam pemberian kode, ketidaklengkapan
dan sebagainya.
2. Analisa data
a. Analisa univariat
Analisa univariat dilakukan untuk
menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik masing -masing.
Variabel yang diteliti seperti umur responden, jenis kelamin, jenis
pendidikan, jenis pendidikan, lama menderita PPOK dan riwayat
merokok. Nilai minimum, maximum, mean, modus dan standar
deviasi digunakan untuk mendiskripsikan umur, lama menderita
PPOK dan riwayat merokok. Distribusi frekuensi digunakan untuk
mendeskripsikan jenis kelamin, jenis pendidikan dan jenis
pekerjaan. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2012).
b. Analisa bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui perbedaan
antara variable bebas dan variable terikat yang diduga ada
hubungan atau korelasi (Notoatmodjo, 2012), kemudian data akan
dianalisis menggunakan SPSS. Uji normalitas yang digunakan
pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran data derajat
sesak nafas sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
diaphragmatic breathing. Apakah data tersebut termasuk data
normal atau tidak. Uji homogenitas yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu untuk mengetahui sebaran data bersifat
homogen atau tidak. Uji kenormalan menggunakan teknik
pengambilan sampel konsekutif sampling, yaitu semua subjek yang
memenuhi kriteria inklusi, kemudian dimasukkan dalam penilaian
sampai semua subjek yang diperlukan memenuhi. Sehingga dengan
menggunakan teknik tersebut maka populasi memiliki kesempatan
yang sama untuk dilakukan penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dijadikan sebagai sampel penelitian.
Uji parametric yang digunakan untuk menguji hipotesis
komparatif rata-rata dua sampel berpasangan adalah paired t-test
atau dependent t-test. Jika dua sample yang tidak berpasangan
independent sample t-test. Pada penelitian ini paired t-tesst atau uji
t nilai pre-test dan post-test menggunakaan lembar observasi
derajat sesak nafas pada kelompok perlakuan.

DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2018). GLOBAL


STRATEGY FOR THE DIAGNOSIS, MANAGEMENT, AND
PREVENTION OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY
DISEASE(2018 REPORT). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease. https://doi.org/10.1097/00008483-200207000-00004
KAJIAN EPIDEMIOLOGIS PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(PPOK). (2013). Media of Health Research and Development.
https://doi.org/10.22435/mpk.v23i2.3130.82-88
Kemenkes RI. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia, pp. 4–39.
https://doi.org/661.238 IND K
Lutfiansyah, N. A., Studi, P., Fisioterapi, D., Kesehatan, F. I., & Surakarta, U. M.
(2019). BREATHING EXERCISE UNTUK MENINGKATKAN EKSPANSI.
Miravitlles, M., Anzueto, A., & Jardim, J. R. (2017). Optimizing bronchodilation
in the prevention of COPD exacerbations. Respiratory Research.
https://doi.org/10.1186/s12931-017-0601-2
Oemiati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(Ppok). Media of Health Research and Development, 23(2 Jun), 82–88.
https://doi.org/10.22435/mpk.v23i2.3130.82-88
Pangestuti, S. D., & Widayati, N. (2015). Pengaruh Diaphragmatic Breathing
Exercise terhadap Fungsi Pernapasan ( RR dan APE ) pada Lansia di UPT
PSLU Kabupaten Jember ( The Effect of Diaphragmatic Breathing Exercise
on Respiration Function ( RR and PEFR ) in Elderly at UPT PSLU Jember
Regency ). 3(1), 74–81.

LAMPIRAN 1

STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP)


DIAPHRAGMATIC BREATHING EXERCISE
TUJUAN 1. Meningkatkan kapasitas paru
2. Mencegah atelectasis
INDIKASI 1. Penyakit paru akut atau kronis
2. Nyeri pada area thorax dan abdomen post pembedahan atau
trauma
3. Obstruksi jalan nafas akibat bronkospasme
4. Penyakit CNS yang mengarah pada kelemahan otot
5. Abnormalitas orthopedic yang mempengaruhi fungsi respirasi
seperti scoliosis dan kifosis
KONTRAINDIKASI 1. PPOK Eksaserbasi
2. Tension pnemothoraks
3. Gangguan kardiovaskular (hipertensi, hipotensi, infark miokard,
aritmia)
4. Tekanan intrakranial yang meningkat
5. Demam
PETUGAS Perawat
PROSEDUR 1. Tahap Pra Interaksi
a. Mengecek program terapi
PELAKSANAAN
b. Mencuci tangan
2. Tahap Orientasi
a. Memberikan salam dan menyapa nama pasien
b. Menjelaskan tujuan dan prosedur pelaksanaan
c. Menanyakan persetujuan dan kesiapan pasien
3. Tahap Kerja
a. Menjaga privasi pasien
b. Mempersiapkan pasien
c. Meminta pasien meletakkan satu tangan di dada dan satu
tangan di abdomen
d. Melatih pasien melakukan nafas perut (menarik nafas dalam
melalui hidung hingga 3 hitungan, jaga mulut tetap tertutup)
e. Meminta pasien merasakan mengembangnya abdomen (cegah
lengkung pada punggung)
f. Meminta pasien menahan nafas hingga 3 hitungan
g. Meminta menghembuskan nafas perlahan dalam 3 hitungan
(lewat mulut, bibir seperti meniup)
h. Meminta pasien merasakan mengempisnya abdomen dan
kontraksi dari otot
i. Merapikan pasien

4. Tahap Terminasi

a. Melakukan evaluasi tindakan


b. Berpamitan dengan pasien
c. Mencuci tangan
d. Mencatat kegiatan dalam lembar catatan perkembangan
pasien

Anda mungkin juga menyukai