Proposal Skripsi
Disusun sebagai salah satu syarat melakukan penelitian
Oleh :
Sirtono
NIM : G2A218090
Proposal Skripsi
Disusun sebagai salah satu syarat melakukan penelitian
Oleh :
Sirtono
NIM : G2A218090
B. Rumusan masalah
Sesak nafas atau Dyspnea ( breathlessness) adalah keluhan pada
PPOK yang sering memerlukan penanganan darurat tetapi intensitas dan
tingkatannya dapat berupa rasa tidak nyaman didada yang serius (severe air
hunger ) sampai yang fatal. Penatalaksanaan sesak nafas perlu diberikan
untuk menurunkan keparahan sesak nafas dan peningkatan kecemasan
PPOK.Beberapa penatalaksanaan nonfarmakologis diantaranya fisioterapi
dada dan tehnik nafas dalam.
Diaphragmatic Breathing merupakan salah satu terapi non
farmakologis untuk menurunkan sesak nafas yang belum optimal dilakukan .
Berdasarkan hal tersebut peneliti merumuskan apakah ada pengaruh
Diaphragmatic Breathing terhadap penurunan sesak nafas pada pasien
Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RS PKU Muhammadiyah Temanggung?
C. Tujuan penelitian
1. Tujuan umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh
Diaphragmatic Breathing pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung.
2. Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi karakteristik pasien PPOK.
b. Mendeskripsikan karakteristik responden meliputi umur, jenis
kelamin, lama merokok, pekerjaan dan status ekonomi.
c. Mendeskripsikan derajat sesak nafas sebelum diberikan
Diaphragmatic Breathing.
d. Mendeskripsikan derajat sesak nafas sesudah diberikan
Diaphragmatic Breathing.
D. Manfaat penelitian
1. Bagi RS PKU Muhammadiyah Temanggung
Hasil penelitian diharapkan menjadi data masukan dan sumber data untuk
tindak lanjut meningkatkan terapi pada pasien PPOK di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung.
2. Bagi institusi pendidikan keperawatan
Hasil penelitian dapat menambah kepustakaan sebagai salah satu sarana
untuk memperkaya pembaca dan memberikan data dasar yang dapat
digunakan penelitian selanjutnya terkait dengan pengaruh Daphragmatic
Breathing pada pasien PPOK.
3. Bagi responden
Hasil penelitian dapat memberikan informasi kepada penderita penyakit
PPOK sehingga mampu melakukan intervensi mandiri di rumah sebagai
discharge planing.
4. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian dapat menjadi sumber data dan wawasan keilmuan untuk
penelitian selanjutnya mengenai pengaruh Diaphragmatic Breathing
terhadap penurunan sesak nafas pada pasien PPOK di RS PKU
Muhammadiyah Temanggung.
E. Bidang Ilmu
Penelitian ini termasuk dalam kategori ilmu keperawatan medikal bedah
F. Keaslian penelitian
Berdasarkan penelusuran peneliti mengenai pengaruh Diaphragmatic
Breathing pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah Temanggung
belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun beberapa penelitian yang
mendukung penelitian ini adalah:
Perbedaan dengan penelitan terdahulu yaitu dilihat dari variabel dan metodenya.
Pada penelitiaan ini menggunakan diaphragmatic breathing dengan metode quasi
ekperimen one group pre-test post-test without control group.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. PPOK
1. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru
yang dapat dicegah dan diobati,ditandai dengan adanya keterbatasan
aliran udara yang persisten dan umumnya bersifat
progresif,berhubungan dengan proses inflamasi kronik yang
berlebihan pada saluran nafas dan parekim paru akibat gas atau
partikel berbahaya.Eksaserbasi dan komorbid berkontribusi pada
beratnya sakit. Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK
disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran nafas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang
bervariasi pada setiap individu,akibat inflamasi kronik
yang menyebabkan hilangnya hubungan alveoli dan saluran napas
kecil dan penurunan elastisitas recoil paru (GOLD,2015).
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease (GOLD) PPOK adalah penyakit dengan karakteristik
keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi
dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri
atau virus atau oleh polusi lingkungan (Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2011). Riwayat PPOK ditandai dengan eksaserbasi
berulang yang terkait dengan peningkatan gejala dan penurunan status
kesehatan secara keseluruhan. Eksaserbasi didefinisikan sebagai
perubahan gejala dasar pasien (dyspnea, batuk, atau produksi dahak)
di luar variabilitas sehari-hari yang cukup untuk menjamin adanya
perubahan.
2. Klasifikasi PPOK
Penentuan klasifikasi PPOK (PDPI 2011) sebagai berikut :
a. PPOK Ringan
Gejala klinis :
1) Dengan atau tanpa batuk,
2) Dengan atau tanpa produksi sputum
3) Sesak napas derajat sesak 0 sampai derajat sesak 1.
4) Spirometri : FEV1 (volume ekspirasi paksa) ≥ 80 %
prediksi (normal spirometri) atau FEV1 < 70 %.
Dinyatakan PPOK secara klinis apabila sekurang-kurangnya pada
anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai
batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat
melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau
yang lebih tua.
b. PPOK Sedang
Gejala klinis:
1) Dengan atau tanpa batuk,
2) Dengan atau tanpa produksi sputum
3) Sesak napas: derajat sesak 2 (sesak timbul pada saat
aktivitas). Spirometri : FEV1 < 70 % atau 50 % < FEV1 <
80 % prediksi
c. PPOK Berat
Gejala klinis :
1) Sesak napas derajat sesak 3 dan 4 dengan gagal napas
kronik,
2) Eksaserbasi lebih sering terjadi,
3) Disertai komplikasi kor pulmonale atau gagal jantung
kanan, spirometri : FEV1 < 70 %, FEV1 <30% prediksi atsu
FEV1 >30 % dengan gagal napas kronik. Gagal napas
kronik pada PPOK ditunjukkan dengan hasil pemeriksaaan
analisis gas darah dengan kriteria hipoksemia dengan
normokapne atau hipoksemia dengan hiperkapnea.
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011)
3. Etiologi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD 2017) faktor resiko PPOK dibagi menjadi 6 (enam), yaitu :
a. Genetik
Terjadinya defisiensi Alpha I antitrypsin (ATT) menjadi
salah peluang lebih besar untuk terserang PPOK. Alpha 1
antitripsin adalah protein yang berperan sebagai penetral enzim
protolitik yang sering dikeluarkan pada saat terjadi peradangan
dan merusak jaringan termasuk jaringan paru.
b. Partikel berbahaya
Setiap jenis partikel tergantung ukuran dan komposisinya
akan memberikan kontribusi yang berbeda terhadap risiko yang
terjadi.Banyaknya partikel yang terhirup selama hidup akan
meningkatkan risiko berkembangnya PPOK. Berikut partikel
yang berisiko menyebabkan PPOK:
1) Asap rokok
2) Asap rokok merupakan faktor risiko utama penyebab
terjadinya PPOK. Perokok mempunyai prevalensi lebih
tinggi mengalami gangguan pernapasan dan abnormalitas
fungsi paru. Perokok pasif juga berkontribusi mengalami
gangguan pernapasan
3) Debu dan bahan kimia
Debu organik, non-organik, bahan kimia dan asap
merupakan faktor risiko yang dapat menyebabkan
seseorang terserang PPOK. Debu dan bahan kimia
diperkirakan 10-20% mengalami gangguan fungsional paru
karena PPOK .
4) Polusi di dalam rumah
Penggunaan kayu bakar, kotoran hewan dan
pembakaran sisa tanaman dalam api terbuka di dalam
tempat tinggal dengan ventilasi yang buruk dapat
meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
5) Polusi di luar rumah
Tingginya kadar polusi udara di daerah perkotaan
berbahaya bagi individu terutama pembakaran dari bahan
bakar kendaraan, bila ditambah dengan merokok akan
meningkatkan risiko terjadinya PPOK.
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru
Pertumbuhan dan perkembangan paru terkait dengan proses
yang terjadi selama kehamilan, kelahiran dan proses tumbuh
kembang. Setiap faktor yang memperngaruhi pertumbuhan
paru selama kehamilan,kelahiran dan tumbuh kembang anak
akan memiliki potensi untuk meningkatkan risiko terserang
PPOK.
d. Usia dan jenis kelamin
Usia menjadi faktor risiko terjadinya PPOK. Penurunan
status kesehatan lansia sebagi pencetus terjadinya PPOK atau
usia mencerminkan atau usia merupakan kumpulan jumlah
pemaparan hidup secara keseluruhan. Di masa lalu penelitian
menunjukkan prevalensi dan kematian pada PPOK lebih besar
terjadi pada laki-laki daripada perempuan. Prevalensi penyakit
PPOK di beberapa Negara akhir-akhir ini hampir sama antara
laki-laki dan perempuan, yang mungkin mencerminkan
perubahan gaya hidup merokok dengan menggunakan
tembakau tertentu.
4. Patofisiologi
Prinsip terjadinya PPOK adalah adanya terbatasnya jalan
napas yang tidak sepenuhnya reversible. Secara progresif terjadi
penyempitan jalan napas dan kehilangan daya elastik dari paru yang
berakibat pada penurunan FEV1,ketidakadekuatan dalam
pengosongan paru dan hiperinflasi. Rokok merupakan penyebab
langsung cedera sel pada epitelial jalan napas yang menyebabkan
terjadinya reaksi inflamasi, peningkatan jumlah mukus, hiperplasi sel
epithelial(Decramer et al. 2012).
Faktor risiko utama PPOK adalah merokok, walaupun partikel
nixius inhalasi lain dari berbagai gas juga memberi kontribusi, secara
umum telah diterima bahwa merokok merupakan faktor risiko
terpenting PPOK namun hanya 10 % perokok yang mengalami
gangguan fungsi paru berat yang terkait PPOK (Jones et al. 2013).
Gejala PPOK meliputi bronkitis kronik dan emfisema, yang
sering terjadi bersamaan. Biasanya merokok dan faktor-faktor risiko
lain mempercepat penurunan fungsi paru terkait usia yang normal dan
menyebabkan gejala-gejala respirasi kronik yang diselingi dengan
eksaserbasi akut intermiten, yang akhirnya menyebabkan
ketidakmampuan dan gagal napas (PDPI 2011).
Obstruksi jalan napas disebabkan oleh Bronkitis kronik akibat
inflamasi mukosa kronik, hipertrofi kelenjar mukosa dan hipersekresi
mukus, bersamaan dengan bronkospasme. Keadaan tersebut
didefinisikan sebagai batuk dan produksi mukus berlebih setiap pagi
hari selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut, tanpa ditemukannya
tumor jalan nafas, infeksi akut/kronik, atau penyakit jantung tidak
terkontrol. Sebagian besar klien memiliki kapasitas paru total/ total
lung capacity (TLC), kapasitas residual fungsional/ functional residual
capacity (FRC), volume residual/ residual volume (VR) yang normal.
Klien dengan bronkitis kronis lanjut mengalami penurunan dorongan
respirasi dan retensi CO2,yang berhubungan dengan nadi kuat,
vasodilatasi, konfusi, nyeri kepala, flapping tremor dan edema papil.
Hipoksemia sebagian besar disebabkan oleh ketidakcocokan antara
kebutuhan oksigen dengan asupan oksigen. Hal ini menyebabkan
polisitemia (peningkatan sel darah merah) dan peningkatan tekanan
arteri pulmonalis (hipertensi pulmonal) akibat vasokonstriksi paru
hipoksik. Gangguan yang terjadi pada pada fungsi jantung kanan
menyebabkan retensi cairan oleh ginjal, peningkatan tekanan vena
sentralis, dan edema perifer.
Keadaan tersebut kemudian menyebabkan kor pulmonal
(retensi cairan/gagal jantung akibat penyakit paru). Hipertensi
pulmonal dipotensiasi oleh hilangnya kapiler yang luas pada penyakit
lanjut (PDPI 2011).
Destruksi progresif septum alveolar dan kapiler disebabkan
oleh Emfisema, yang menyebabkan jalan napas dan ruang udara (bula)
yang membesar, recoil elastik paru yang menurun, dan jalan napas
yang semakin mudah mengalami kolaps. Kolaps jalan napas distal
disebabkan oleh obstruksi jalan napas selama ekspirasi akibat
hilangnya traksi radial elastik. Hiperinflasi yang terjadi meningkatkan
aliran udara ekspirasi tetapi otot inspirasi bekerja dengan kerugian.
Klien dengan emfisema biasanya mengalami obstruksi aliran
udara dengan peningkatan TLC, FRC, dan RV selain itu terjadi
peningkatan compliance paru statik. Klien akan mengalami kesulitan
bernapas dan takipnea saat istirahat dengan tanda-tanda hiperinflasi
dan malnutrisi yang meliputi barrel chest dan tubuh kurus.
Pengguanaan otot bantu respirasi tambahan dan bernapas dengan
mengerutkan bibir. Bernapas dengan mengerutkan bibir meningkatkan
tekanan pada jalan napas atas sehingga membatasi kolaps jalan udara
distal. Auskultasi menunjukkan bunyi napas jauh dengan mengi
ekspirasi memanjang. Gas darah normal saat istirahat, dengan
desaturasi O2 yang nyata selama aktivitas (PDPI 2011).
Penyakit paru obstruktif kronik merupakan kelainan dengan
kemajuan lambat yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk
menunjukkan awitan, meskipun aspek fungsi tertentu seperti kapasitas
vital (VC) dan volume ekspirasi paksa (FEV) menurun sejalan dengan
peningkatan usia, PPOK dapat memperburuk perubahan fisiologis
yang berkaitan dengan penuaaan dan mengakibatkan obstruksi jalan
napas misalnya pada Bronkitis serta kehilangan daya pengembangan
(elastisitas) paru misalnya pada emfisema. Obstruksi saluran napas
pada PPOK bersifat irreversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan
napas (PDPI 2011).
5. Manifestasi Klinis
Gejala Klinis dari PPOK sebagai berikut :
a. Batuk kronik
Batuk kronik adalah batuk hilang timbul selama lebih dari 3 bulan
yang berlangsung selama lebih dari 2 tahun yang tidak hilang
dengan pengobatan yang diberikan. Kadang-kadang pasien
menyatakan hanya berdahak terus-menerus tanpa disertai batuk.
b. Sesak nafas
Sesak nafas merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien
terutama pada saat melakukan aktivitas. Seringkali pasien sudah
mengalami adaptasi dengan sesak nafas yang bersifat progresif
lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk menilai
kuantitas sesak napas digunakan ukuran sesak nafas sesuai skala
sesak yaitu BORG Scale.
c. Mengi
Mengi atau wheezing adalah suara memanjang yang disebabkan
oleh penyempitan saluran pernafasan dengan aposisi dinding
saluran pernafasan. Suara tersebut dihasilkan oleh vibrasi dinding
saluran pernafasan dengan jaringan sekitarnya.karena secara umum
saluran pernafasan lebih sempit pada saat ekspirasi, maka mengi
dapat terdengar lebih jelas pada saat fase ekspirasi. Pada pasien
PPOK juga terdapat mengi pada fase ekspirasi. Mengi polifonik
merupakan jenis mengi yang paling banyak terdapat pada pasien
PPOK.
d. Ronkhi
Ronkhi merupakan bunyi diskontinu singkat yang meletup-letup
terdengar pada fase inspirasi maupun ekspirasi. Ronkhi
mencerminkan adanya letupan mendadak jalan nafas kecil yang
sebelumnya tertutup. Ronkhi juga dapat disebabkan oleh
penutupan jalan nafas regional dikarenakan penimbunan mucus
pada saluran pernafasan. Pada pasien PPOK dapat pula terjadi
ronkhi meskipun bukan gejala khas dari PPOK.
e. Penurunan aktivitas
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kapasitas fungsional
dan aktivitas kehidupan sehari-hari. Kemampuan fisik yang
terbatas pada penderita PPOK lebih dipengaruhi oleh fungsi otot
skeletal atau perifer. Pada penderita PPOK ditemukan kelemahan
otot perifer disebabkan oleh hipoksia, hiperkapnia, inflamasi dan
malnutrisin kronis.
6. Tingkat Keparahan PPOK
Tingkat keparahan PPOK diukur dari skala sesak napas.
Menurut American Thoracic Society (ATS)4 penggolongan PPOK
berdasarkan derajat obstruksi saluran napas yaitu ringan, sedang,
berat dan sangat berat (Oemiati, 2013). Gejala ini ditandai dengan
sesak napas pada penderita yang dirinci sebagai berikut :
a. Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat dengan skala 0.
b. Terganggu oleh sesak napas saat bergegas waktu berjalan atau
sedikit mendaki nilai 1 skala ringan. Serta pengukuran
spirometri menunjukkan nilai VEP1 ≥ 50 %
c. Berjalan lebih lambat daripada orang lain yang sama usia
karena sesak napas, atau harus berhenti sesaat untuk bernapas
pada saat berjalan walau jalan mendatar nilai 2 skala sedang.
d. Harus berhenti bila berjalan 100 meter atau setelah beberapa
menit berjalan nilai 3 skala berat.
e. Sesak napas tersebut menyebabkan kegiatan sehari-hari
terganggu atau sesak napas saat menggunakan atau melepaskan
pakaian, nilai 4 skala sangat berat. Pada penderita PPOK
derajat berat sudah terjadi gangguan fungsional sangat berat
serta membutuhkan perawatan teratur dan spesialis respirasi.
7. Komplikasi
Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) menurut
Grece & Borley (2011), Jackson (2014) dan Padila (2012) :
a. Gagal nafas akut atau Acute Respiratory Failure (ARF)
Hal ini timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnea),gejala yang muncul antara lain nyeri
kepala,fatique,letargi dan takipnea. Hasil pemeriksaan AGD PO2
< 60 mmHg dan PCO2 > 60 mmHg pada kondisi gagal nafas.
b. Corpulmonal
Cor pulmonale atau dekompensasi ventrikel kanan, merupakan
pembesaran ventrikel kanan yang disebabkan oleh overloading
akibat dari penyakit pulmo. Komplikasi jantung ini terjadi sebagai
mekanesme kompensasi sekunder bagi paru-paru yang rusak pada
PPOK. Dalam PPOK, hipoksemia kronis menyebabkan
vasokontriksi kapiler paru-paru.
c. Kardiak disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau
asidosis respiratori.
d. Pneumothoraks.
e. Status asmatikus
Hal ini merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan
asma bronchial. Penyakit ini potensial mengancam kehidupan dan
sering tidak berespon terhadap terapi yang biasa diberikan.
Penggunaan otot bantu pernafasan dan distensi vena leher sering
sekali terlihat pada penderita asma
8. Diagnosis
Penulis merumuskan beberapa diagnose keperawatan antara lain :
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan
d engan produksi mukus berlebih.
a. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
kebutuhan dan suplai oksigen.
b. Gangguan pola tidur berhubungan dengan factor lingkungan
(terlalu ramai).
9. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan yang dilakukan pada diagnose PPOK menurut PPOK
menurut kemenkes 2008 antara lain :
a. Radiologi (foto thorax)
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit paru lain. Pada penderita emfisema
dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu diafragma
rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar,
diafragma mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler
(memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada penderita bronkitis
kronis dominan hasil foto thoraks dapat menunjukkan hasil yang
normal aataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler yang
meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen
b. Spirometry
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk
menegakkan diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan
menentukan prognosa. Pemeriksaan ini penting untuk
memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi saluran nafas
dalam berbagai tingkat. Spirometri digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri
juga digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan
pada satu detik pertama pada saat melakukan manuver di atas,
atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan
(FEV1/FVC) untuk menentukan ada tidaknya obstruksi jalan
nafas, nilai normal FEV1/FVC adalah > 70%. Penderita PPOK
secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC.
Adanya nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes
bronkodilator yang menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai
prediksi mengkonfirmasi terjadinya pembatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan parameter
yang paling umum dipakai untuk Uji Faal Paru menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit. FEV1 juga amat
dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis, dan tinggi
penderita, sehingga paling baik dinyatakan berdasarkan sebagai
persentase dari nilai prediksi normal. Uji faal paru juga dapat
dilakukan dengan uji bronkodilator. Uji bronkodilator juga
menggunakan spirometri. Teknik pemeriksaan ini adalah dengan
memberikan bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan 15-
20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1. Bila
perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji
ini dilakukan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar
eksaserbasi akut).
c. Laboratorium darah rutin
Untuk mengetahui adanya leukositosis pada eksaserbasi akut,
polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya
peningkatan hematokrit.
d. AGD (Analisa gas darah)
AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita
menunjukkan nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis
tampak tandatanda kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan
seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel, dan peningkatan
jugular venous pressure.Analisa gas darah berguna untuk menilai
cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau
keseimbangan asam basa.
b. Nonfarmakologi
1) Inhalasi sederhana
Inhalasi sederhana yang dilakukan menggunakan air hangat
dan corong bermanfaat untuk mengencerkan dahak.
2) Batuk efektif
3) Fisioterapi dada
Fisioterapi dilakukan dengan tiga cara :
a) Clapping
b) Vibrasi
c) Postursl drainase
Tiga cara diatas bertujuan untuk merangsang pengeluaran
secret secara maksimal.
D. KERANGKA TEORI
E. KERANGKA KONSEP
Variabel independent Variabel Dependent
F. VARIABEL PENELITIAN
1. Variabel Independen
Variable independen adalah konsep yang dipakai untuk
menjelaskan atau meramalkan konsep lain yang telah terjadi
sebelum terjadi variable dependen. Dalam penelitian ini variable
independennya Diaphragmatic Breathing.
2. Variable dependen
Variable dependent adalah konsep yang akan dijelaskan dan
diramalkan kejadiaannya serta terjadi sebagai akibat dari variable
lain. Dalam penelitian ini variable dependennya adalah sesak nafas.
G. HIPOTESIS
Hipotesis adalah pernyataan tentang adanya suatu hubungan tertentu
antara variable-variabel yang sudah digunakan. Hipotesis merupakan
dugaan sementara yang berisi hubungan antara dua variable
(independent dan dependent)
Hipotesis yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah:
Ha: Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing pada penurunan sesak
nafas pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK).
Ho : Tidak Ada pengaruh Diaphragmatic Breathing pada penurunan
sesak nafas pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK).
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain penelitian
Rancangan penelitian adalah susunan sistematis penelitian untuk
memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2014).
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif quasy experiment.
Penelitian ini menggunakan rancangan one group, pretest and post test desain
without control group.
Penelitian ini tidak menggunakan kelas pembanding namun sudah
menggunakan tes awal sehingga besarnya efek atau pengaruh latihan Diafragma
Breathing dapat diketahui secara pasti.
Dalam penelitian ini, subyek penelitian terlebih dahulu diberikan tes awal
(pretest) untuk mengetahui derajat sesak nafas.Pada kelompok perlakuan diberikan
Diafragmatic Breathing . Selanjutnya dilakukan post test untuk mengetahui
adanya pengaruh Diafragmatic Breathing terhadap penurunan sesak nafas pada
pasien PPOK.
Keterangan :
R1 : kelompok perlakuan
O1 : pre-test (penilaian awal sesak nafas pada kelompok perlakuan)
O2 : post-test (penilaian akhir sesak nafas pada kelompok perlakuan)
X : intervensi diafragma breathing pada kelompok perlakuan
C. Definisi operasional
Definisi operasional mendefinisikan operasional variabel berdasar
karakteristik yang diamati untuk mempermudah peneliti melakukan
observasi secara cermat berdasarkan suatu obyek atau fenomena (Hidayat,
2010).
Definisi operasional variabel dalam penelitian ini disajikan dalam
tabel berikut:
Tabel 3.1 Definisi operasional variabel penelitian
D. Tempat penelitian
Penelitian tentang pengaruh diaphragmatic breathing terhadap
penurunan sesak nafas pada pasien PPOK di RS PKU Muhammadiyah
Temanggung.
E. Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan selama 3 minggu di mulai pada minggu
terakhir bulan desember 2019. Adapun lampiran jadwal penelitian tercantum
dalam lampiran V.
F. Etika penelitian
Penelitian ini menerapkan 3 prinsip etik penelitian yang berfungsi
melindungi hak responden dan peneliti selama proses penelitian (Nursalam,
2008) yaitu:
1. Prinsip manfaat (Beneficiency)
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa
pihak baik peneliti, responden, tenaga kesehatan, instansi pendidikan,
dan masyarakat sehingga dapat berperan dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan, menurunkan angka penyandang PPOK.
4. Prinsip menghargai hak asasi manusia (Respect of human dignity)
Sebelum dilakukan penelitian, peneliti menjelaskan tentang penelitian
(tujuan, manfaat, dan mekanisme) yang akan dilakukan dan
memberikan inform consent sebagai bukti persetujuan tertulis sebagai
responden. Peneliti juga memberikan kebebasan kepada responden
untuk bersedia atau tidak diberikan intervensi yang diberikan tanpa
memberikan tekanan dan introgasi terhadap responden. Selain itu,
peneliti juga memberikan kesempatan bertanya apabila responden tidak
nyaman.
5. Prinsip keadilan (Right to justice)
Semua responden mendapatkan kesempatan yang sama tanpa
membeda-bedakan latar belakang dan status sosial apapun dalam
penelitian ini. Setiap responden akan mendapatkan penjelasan tentang
tujuan penelitian, mengisi persetujuan berupa inform consent dan
penjelasan tentang cara intervensi. Baik variable control maupun
intervensi sama-sama mendapatkan perlakuan .
f. Cleaning
Cleaning merupakan proses koreksi atau pengecekan kembali pada
semua data yang telah dimasukkan (prosesing/entry) dari setiap
sumber data atau responden untuk melihat kemungkinan adanya
kesalahan-kesaalahan dalam pemberian kode, ketidaklengkapan
dan sebagainya.
2. Analisa data
a. Analisa univariat
Analisa univariat dilakukan untuk
menjelaskan/mendeskripsikan karakteristik masing -masing.
Variabel yang diteliti seperti umur responden, jenis kelamin, jenis
pendidikan, jenis pendidikan, lama menderita PPOK dan riwayat
merokok. Nilai minimum, maximum, mean, modus dan standar
deviasi digunakan untuk mendiskripsikan umur, lama menderita
PPOK dan riwayat merokok. Distribusi frekuensi digunakan untuk
mendeskripsikan jenis kelamin, jenis pendidikan dan jenis
pekerjaan. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan
distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel (Notoatmodjo,
2012).
b. Analisa bivariat
Analisa bivariat digunakan untuk mengetahui perbedaan
antara variable bebas dan variable terikat yang diduga ada
hubungan atau korelasi (Notoatmodjo, 2012), kemudian data akan
dianalisis menggunakan SPSS. Uji normalitas yang digunakan
pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran data derajat
sesak nafas sebelum dan sesudah dilakukan intervensi
diaphragmatic breathing. Apakah data tersebut termasuk data
normal atau tidak. Uji homogenitas yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu untuk mengetahui sebaran data bersifat
homogen atau tidak. Uji kenormalan menggunakan teknik
pengambilan sampel konsekutif sampling, yaitu semua subjek yang
memenuhi kriteria inklusi, kemudian dimasukkan dalam penilaian
sampai semua subjek yang diperlukan memenuhi. Sehingga dengan
menggunakan teknik tersebut maka populasi memiliki kesempatan
yang sama untuk dilakukan penelitian yang memenuhi kriteria
inklusi dijadikan sebagai sampel penelitian.
Uji parametric yang digunakan untuk menguji hipotesis
komparatif rata-rata dua sampel berpasangan adalah paired t-test
atau dependent t-test. Jika dua sample yang tidak berpasangan
independent sample t-test. Pada penelitian ini paired t-tesst atau uji
t nilai pre-test dan post-test menggunakaan lembar observasi
derajat sesak nafas pada kelompok perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN 1
4. Tahap Terminasi