Anda di halaman 1dari 19

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Sinus Paranasal


Sinus paranasal merupakan salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus
paranasal adalah hasil pneumatisasi tulang-tulang kranial sehingga terbentuk
rongga di dalam tulang. Semua sinus mempunyai muara (ostium) ke dalam rongga
hidung (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007). Sinus paranasal diberi nama
mengikut tulang kranial yang ditempatinya yaitu sinus frontal, sinus etmoid, sinus
sfenoid dan sinus maksila (Moore et al., 2008).
Perkembangan embriologi hidung dan sinus paranasal memberi gambaran
anatomi sinus paranasal yang agak kompleks dan boleh dibahgikan kepada dua
proses secara langsung. Pertama, kepala embrio berkembang menjadi satu struktur
yang mempunyai dua rongga hidung yang berbeda. Kedua, dinding lateral hidung
invaginasi untuk membuat lipatan yang dikenal sebagai konka dan ruangan yang
dikenal sebagai sinus (Walsh dan Kern, 2006). Perkembangan sinus dimulai
ketika fetus berusia 3-4 bulan, kecuali sinus sfenoid dan sinus frontal. Sinus
maksila dan sinus etmoid telah ada saat bayi lahir, sedangkan sinus frontal
berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8
tahun. Pneumatisasi sinus sfenoid dimulai pada usia 8-10 tahun dan berasal dari
bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini umumnya mencapai
ukuran maksimal pada usia antara 15-18 tahun (Soetjipto dan Mangunkusumo,
2007).

2.1.1. Sinus Maksila


Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar dan berbentuk
piramid. Sinus ini termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus
media. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut
fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila,
dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya
adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan

Universitas Sumatera Utara


palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus
dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi
taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat
menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas
menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga
drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus
melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari
sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada
daerah ini dapat menghalangi drenase sinus maksila dan selanjutnya
menyebabkan sinusitis.

Sinus maksila disuplai darah oleh cabang-cabang dari arteri maksilaris


internal, yang meliputi infraorbital, alveolar, palatina , dan arteri sphenopalatina.
Sinus ini diinervasi oleh cabang-cabang dari divisi kedua saraf trigeminal, nervus
infraorbital, dan saraf palatine (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Walsh dan
Kern, 2006; Moore et al., 2008; Porter, 2002).

2.1.2. Sinus Frontal


Sinus frontal yang terletak di os frontal berasal dari sel-sel resesus frontal
dan sel-sel infundibulum etmoid. Sinus frontal hanya dapat dideteksi pada anak-
anak yang berusia lebih dari 7 tahun karena pada waktu itulah sinus mulai
berkembang dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun.
Volume sinus frontal adalah 6-7 ml. Sinus frontal kanan dan kiri jarang
terdiri dari ukuran yang sama dan dipisahkan oleh sekat yang terletak di garis
tengah. Sekat ini juga bukan selalu berada secara keseluruhan di garis tengah.

Universitas Sumatera Utara


Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang
lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang.
Sinus frontal biasanya sekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Sinus ini
dipisahkan oleh tulang relatif tipis dari orbita dan fossa serebri anterior, sehingga
infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal kanan dan
kiri berdrenase melalui duktus frontonasal yang berhubungan dengan
infundibulum etmoid.
Sinus frontal disuplai oleh arteri supraorbital dan supratrochlear dari arteri
ophthalmik. Saraf supraorbital dan supratrochlear dari divisi pertama saraf
trigeminal menginervasi sinus frontal (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007;
Moore et al., 2008; Singh, 2011; Gupta et al., 2013).

2.1.3. Sinus Etmoid


Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi
sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid
dengan dasarnya di bagian posterior.
Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka
media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi Berdasarkan
letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di
meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-
sel sinus etmoid anterior biasanya kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng
yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral
(lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar
dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis.
Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian sempit, disebut resesus
frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut
bula etmoid. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut
infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus

Universitas Sumatera Utara


frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum
dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa dan di antaranya terdapat perpautan yang sangat tipis yang merupakan
tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus
frontal.
Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh keros
yaitu :

1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis
kribriformis dangkal

2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina
kribriformis lebih tinggi

3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang
dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.

Sinus ethmoid disuplai darah oleh arteri ethmoidal anterior dan posterior
dari arteri ophthalmik (sistem karotid internal), serta arteri sphenopalatina dari
cabang-cabang terminal arteri maksilaris internal (sistem karotis eksternal). Saraf
trigeminal yaitu V1 dan V2 mensarafi sinus etomid di mana V1 menginervasi
bagian superior sinus dan V2 pula menginervasi bagian inferiornya (Soetjipto dan
Mangunkusumo, 2007; Walsh dan Kern, 2006; Singh, 2011; Porter, 2002).

2.1.4. Sinus Sfenoid


Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior
dan dibahgi dua oleh sekat yang dikenal sebagi septum intersfenoid. Sinus ini
tidak berkembang sehingga usia 3 tahun dan pada usia 7 tahun pneumatisasi sinus
sfenoid mencapai sella turcica. Pada usia 18 sinus telah mencapai ukuran
maksimal.
Ketebalan dinding sinus frontal adalah variabel. Dinding anterosuperior
dan atap sinus sphenoid (planum sphenoidale) adalah sangat tipis. Sinus sfenoid

Universitas Sumatera Utara


mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid
posterior.
Sinus sfenoid disuplai oleh arteri sphenopalatina, kecuali untuk planum
sphenoidale, yang disuplai oleh arteri etmoidalis posterior. Persarafan dari sinus
sfenoid berasal dari cabang divisi pertama dan kedua dari saraf trigeminal
(Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Singh, 2011; Porter, 2002).

2.1.5. Kompleks Ostio-Meatal


Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada
muara-muara saluran dari sinus maksila, sinus frontal, dan sinus etmoid anterior.
Daerah ini rumit dan sempit dan dinamakan kompleks ostio-meatal (KOM) terdiri
dari infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus
frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium
sinus maksila (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007).

Gambar 2.1: Anatomi sinus paranasal (Netter, 2011)

Universitas Sumatera Utara


2.2. Fungsi Sinus Paranasal
Fisiologi dan fungsi sinus telah menjadi subyek banyak penelitian. Namun,
sampai saat ini kita masih tidak yakin tentang fungsi sinus paranasal, karena
terbentuknya sebagai akibat pertumbuhan tulang muka.
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal. Pertama,
sinus paranasal berfungsi sebagai ruang untuk memanaskan dan melembapkan
udara yang diinspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak
didapati pertukaran udara yang definitif antara sinus dan rongga hidung. Hidung
memanaskan udara inspirasi kepada 37oC dan inin memudahkan pertukaran gas
alveolar. Sistem sinonasal dapat meningkatkan kelembaban udara inspirasi
menjadi sekitar 85%, sehingga mengurangi efek pengeringan udara inspirasi dan
secara signifikan membantu pertukaran gas di saluran udara bawah. Beberapa
peneliti telah menunjukkan bahwa bernapas melalui mulut tidak begitu efektif dan
berkontribusi untuk tidur apnea.
Selain itu, sinus paranasal juga berfungsi sebagai penahan panas, melindungi
orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah. Akan tetapi
kenyataanya sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-
organ yang dilindungi.
Sinus paranasal juga membantu dalam mengatur tekanan intranasal dan
tekanan gas serum.fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau mebuang ingus.
Fungsi lain sinus paranasal adalah berperan sebagai rongga untuk resonansi
suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa
posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator
yang efektif.
Seterusnya, sinus paranasal menbantu keseimbangan kepala dengan
meringankan berat tengkorak tetapi bila udara dsalam sinus diganti dengan tulang,
hanya akan menambahkan lagi berat sebesar 1% dari berat kepala. Jadi teori ini
dianggap tidak bermakna. Sinus paranasal juga memberi kerangka tulang untuk
wajah dan mata.

Universitas Sumatera Utara


Fungsi lain sinus paranasal adalah membantu sistem imun tubuh dengan
menyaring udara inspirasi yang mengandung partikel dalam konsentrasi tinggi.
Pembersihan mukosiliar berfungsi untuk mengangkut partikel terperangkap
termasuk patogen keluar dari sinus dan hidung. Walaupun jumlah mukus yang
dihasilkan oleh sinus paranasal adalah kecil, namun efektif untuk membersihkan
partikel yang masuk karena mukus ini keluar dari meatus media, tempat yang
paling strategis.
Akhir sekali, penelitian terbaru pada fungsi sinus telah difokuskan pada
molekul Nitrous Oksida (NO). Penelitian telah menunjukkan bahwa NO intranasal
diproduksi terutamanya di sinus. NO telah terbukti menjadi racun bagi bakteri,
jamur, dan virus pada tingkat serendah 100 ppb. Konsentrasi zat ini dalam hidung
bisa mencapai 30.000 ppb di mana beberapa peneliti telah berpendapat bahwa NO
berperan penting dalam mekanisme sterilisasi sinus. NO juga telah terbukti
meningkatkan motilitas silia (Soetjipto dan Mangunkusumo, 2007; Walsh dan
Kern, 2006; Porter, 2002; Watelet dan Cauwenberge, 1999).

2.3. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional


2.3.1. Definisi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic
Sinus Surgery (FESS) adalah teknik operasi invasif minimal yang dilakukan pada
sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan memulihkan
“mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan
membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan
dan infeksi sehingga ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui
ostium alami. Tindakan ini hampir menggantikan semua jenis bedah sinus
terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih
ringan dan tidak radikal (HTA, 2006; Mangunkusumo, 2007; Slack dan Bates,
1998).

Universitas Sumatera Utara


2.3.2. Indikasi
Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) umumnya dilakukan untuk
penyakit inflamasi dan infeksi di sinus. Walaupun BSEF secara mayoritas
dilakukan untuk mengatasi masalah rinosinusitis kronik yang tidak mengalami
perbaikan setelah diberi terapi obat yang optimal, tetapi bedah ini juga efektif
pada penyakit yang lain seperti sinusitis akut berulang, seringkali disertai adanya
poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga
hidung.
Indikasi lain BSEF termasuk mukokel sinus, sinusitis alergi yang
berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia. BSEF juga
dilakukan untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal
kebocoran cairan serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan
kongenital (atresia koana), mengontrol epitaksis dan untuk mengeluarkan benda
asing. Selain itu, BSEF juga dilakukan untuk mengangkat tumor pituitari karena
berkembangnya teknik dan penggunaan instrumen yang lebih canggih.
Adakalanya, bedah ini juga dilakukan pada angiofibroma nasofaring yang juvenil.
Secara umum, indikasi untuk BSEF dibahgikan kepada dua yaitu absolut
dan relatif. Absolut berarti operasi BSEF pasti dilakukan pada penderita manakala
relatif berarti bahwa ahli bedah dan penderita harus mempertimbangkan potensi
resiko dan keuntungannya, tetapi operasi BSEF dapat dianggap sebagai pilihan
kepada penderita setelah melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Patel,
2012; Stammberger, 2004; David, 2005).
Tabel 2.1 dapat menggambarkan pembahgian indikasi Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional (BSEF ) dengan lebih jelas.

Universitas Sumatera Utara


Table 2.1: Indikasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional

Absolut:
Tumor
Komplikasi rhinosinusitis
Mukokel sinus
Sinusitis jamur
Ensefalokel
Kebocoran cairan serebrospinal
Relatif:
Rhinosinusitis kronik
Nyeri kepala disertai nyeri pada wajah
Sinusitis akut berulang
Epitaksis
Polip nasal

(David, 2005)

2.3.3. Kontraindikasi
1. Osteitis atau osteomielitis tulang frontal yang disertai pembentukan
sekuester.
2. Pasca operasi radikal dengan rongga sinus yang mengecil (hipoplasi).
3. Penderita yang disertai hipertensi maligna, diabetes mellitus, kelainan
hemostasis yang tidak terkontrol.
(HTA, 2006)

Universitas Sumatera Utara


2.3.4. Persiapan Praoperasi
a. CT Scan
Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan
operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT scan tersebut, operator
dapat mengetahui daerah-daerah rawan tembus dan dapat menghindari daerah
tersebut atau bekerja hati-hati sehingga tidak terjadi komplikasi operasi.

b. Naso-endoskopi prabedah
Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung,
anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi
septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator
bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya
komplikasi saat operasi.

c. Persiapan kondisi pasien.


Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika
ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip,
sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi
pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus
diperhatikan. Sebelum dilakukan operasi, pasien harus diberi injeksi anestasi lokal
yaitu lidocaine 1% dan epinefrin dengan perbandingan 1:100 000. Ini dapat
menstabilkan tekanan darah pasien dan meminimalkan pendarahan ketika
operasi.

d. Instrumen Bedah
Sebelum dilakukan pembedahan, maka alat-alat perlu dipersiapkan.
Peralatan endoskopi yang digunakan adalah sebagai berikut:

1. Teleskop 4 mm 00
2. Teleskop 4 mm 300
3. Sumber cahaya
4. Cable light

Universitas Sumatera Utara


5. Sistem kamera + CCTV
6. Monitor
7. Teleskop 2,7 mm 700 (tambahan untuk melihat lebih luas kearah frontal,
maksila dan sfenoid)
8. Teleskop 2,7 mm 300 (tambahan untuk pasien anak)

Instrumen operasi yang diperlukan adalah seperti berikut:

1. Jarum panjang (FESS/Septum Needle, angular 0,8mm, Luer-lock)


2. Pisau Sabit (Sickle Knife 19cm)
3. Respatorium (MASING Elevator, dbl-end, graduated, sharp/blunt,
21.5cm)
4. Suction lurus
5. Suction Bengkok
6. Cunam Blakesley lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps)
7. Cunam Blakesley upturned (BLAKESLEY-WILDE Nasal Forceps
8. Cunam Cutting-through lurus (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting
Straight)
9. Cunam Cutting-through upturned (BLAKESLEY Nasal Forceps Cutting
Upturned)
10. Cunam Backbiting ("Backbiter" Antrum Punch)
11. Ostium seeker
12. Trokar sinus maksila
13. J Curette (Antrum Curette Oval)
14. Kuhn Curette (Sinus Frontal Curette Oblong)
15. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)
16. Cunam Jerapah (Girrafe Fcps dbl. act. jaws 3mm)
17. Cunam Jamur (Stammberger Punch)

(HTA, 2006; Stammberger, 2004; Casiano,2002; David, 2005).

Universitas Sumatera Utara


Gambar 2.2: Instrumen yang digunakan dalam BSEF (Stammberger, 2004).

2.3.5. Tahapan operasi


Sewaktu melakukan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF), pasien
dibaringkan dalam posisi supine di atas meja operasi. Ahli bedah yang bertugas
akan berada di sebelah kanan pasien dalam posisi duduk ataupun berdiri. Teknik
operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu
infundibulektomi, BSEF mini sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi
disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap
operasi. Berikut ini dijelaskan tahapan operasi.

1. Infundibulektomi
Pertama perhatikan akses ke meatus medius, jika sempit akibat deviasi
septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak
setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit
atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan
melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk.

Tahap awal operasi adalah membuka rongga infundibulum yang sempit


dengan cara mengangkat prosesus uncinatus sehingga akses ke ostium sinus
maksila terbuka. Selanjutnya ostium dinilai, apakah perlu diperlebar atau
dibersihkan dari jaringan patologik. Dengan membuka ostium sinus maksila dan
infundibulum maka drenase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan

Universitas Sumatera Utara


penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya.
Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup. Tahap
operasi semacam ini disebut sebagai Mini FESS atau BSEF Mini. Prosesus
uncinatus harus diangkat secara lengkap supaya tidak mengganggu visualisasi
pada tahap seterusnya. Jika tidak, ini akan dapat menyebabkan operasi ini gagal.
Selain itu, harus berhati-hati supaya tidak terjadi penetrasi ke dinding orbita media
ketika mengangkat prosesus uncinatus.

2. Eksenterasi sinus maksila


Setelah mengangkat prosesus uncianatus, ostium sinus maksila harus
diidentifikasi dan dipotong dengan menggunakan cunam cutting. Pengangkatan
kelainan ekstensif di sinus maksila seperti polip difus atau kista besar dan jamur
masif, dapat menggunakan cunam bengkok yang dimasukkan melalui ostium
sinus maksila yang telah diperlebar. Dapat pula dipertimbangkan memasukkan
cunam melalui meatus inferior jika cara diatas gagal. Ketika melakukan teknik ini
harus berhati-hati supaya tidak penetrasi ke lamina papiracea.

3. Etmoidektomi retrograde
Seterusnya, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus
dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika ada sumbatan di daerah ini dan
jika disertai sinusitis frontal. Setelah tahap awal tadi (BSEF Mini), sebaiknya
mempergunakan teleskop 00, dinding anterior bula etmoid diidentifikasi dan
diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang
membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior. Jika ada sinus lateralis, maka
lamina basalis akan berada dibelakang sinus lateralis ini. Lamina basalis berada
tepat di depan endoskop 00 dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di
bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-
sel etmoid posterior diobservasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap
sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Identifikasi dasar
otak di sinus etmoid posterior sangat penting mencegah penetrasi dasar otak pada
pengangkatan sel etmoid selanjutnya. Dengan jejas dasar otak sebagai batas atas

Universitas Sumatera Utara


diseksi, maka diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan partisi
sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang
keras dasar otak (fossa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papiracea dan
batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 00 atau 300. Cara
membersihkan sel etmoid anterior secara retrograde ini lebih aman dibandingkan
cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi
intrakranial lebih besar.

4. Sfenoidektomi
Sfenoidektomi memerlukan perencanaan yang matang. Perhatikan letak
n.optikus, a.karotis dan apakah ujung septum intersfenoid melekat pada a.karotis
sehingga jika diangkat dapat menyebabkan ruptur arteri yang fatal. Setelah ostium
sinus sfenoid diidentifikasi, harus diperlebarkan dengan menggunakan cunam
jamur. Manipulasi di sinus sfenoid harus dilakukan secara hati-hati karena
n.optikus dan a.karotis berada di daerah laterosuperior, maka sebaiknya diseksi di
bagian medial dan inferior saja. Menurut Stammberger (2004), pada 25% kasus
ditemukan dehisence di kanal tulang a.karotis. Jika ingin mengangkat septum
intersfenoid, harus yakin bahwa ujung septum tidak bertaut pada a.karotis interna
atau n.optikus.

5. Sinus frontal
Secara umum, teknik ini tidak dilakukan jika tidak ada kelainan pada sinus
frontal. Akan tetapi jika ada kelainan, maka teknik ini ditangani dengan penuh
perhatian supaya meminimalkan cedera pada mukosa. Apabila diindikasi untuk
operasi sinus frontal, teleskop 45° ataupun 70° sangat bermanfaat. Beberapa
penyebab ostium sinus frontal tersembunyi adalah jaringan udem, polip/popipoid,
sisa prosesus uncinatus di bagian superior, variasi anatomi seperti sel-sel agger
nasi yang meluas ke posterior, bula etmoid meluas ke anterior, sel supra-orbital
sangat cekung menyerupai kedalaman sinus frontal dan lainnya. Semua ini
dibersihkan dengan cunam Blekesley upturned, cunam-cunam jerapah atau kuret J
dipandu endoskop 300 dan 700, dengan memperhatikan luasnya sinus frontal pada

Universitas Sumatera Utara


gambar CT, serta mengingat lokasi drenase sinus frontal, kekeliruan membuka
ostium sinus frontal dapat dihindari. Kista atau polip di sinus frontal dapat
dibersihkan dengan menarik ujung polip yang dapat dicapai dengan cunam
jerapah, biasanya seluruh polip ikut tertarik keluar. Polip yang berada di ujung
lateral sinus frontal merupakan kontraindikasi tindakan BSEF karena tidak dapat
dicapai dengan teknik ini, dalam hal ini harus dilakukan pendekatan ekstranasal.
Jaringan parut masif yang menutup ostium juga merupakan kontraindikasi BSEF.
Pada keadaan ini operasi trepinasi sinus frontal yang dikombinasi endoskopi
merupakan pilihan. Setelah resesus frontal dan infudibulum dibersihkan, maka
jalan ke sinus frontal dan maksila sudah terbuka, drenase dan ventilasi akan pulih
dan kelainan patologik di kedua sinus tersebut akan sembuh sendiri dalam
beberapa minggu tanpa dilakukan suatu tindakan didalamnya.

6. “Nasal packing”
Sebelum dilakukan terminasi, semua sinus harus diperiksa kembali dan
memastikan bahwa pendarahan telah dikontrol. Packing harus dilakukan di
meatus medialis agar dapt mencegah terjadinya lateralisasi pada konka tengah
(David, 2005; HTA, 2006; Patel, 2012).

2.3.6. Paska Operasi


Perawatan paska operasi sangat penting dimana pembersihan paska
operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin,
krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan
infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya
dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas
jaringan yang diangkat. Terapi steroid dan antibioktik diberikan kepada pasien
yang dilakukan BSEF dengan indikasi inflamasi ataupun polip. Beberapa penulis
menyebutkan prosedur pembersihan paska operasi dilakukan seawal mungkin
setelah operasi selesai yaitu pada hari ke-1 dan selanjutnya setiap 2 sampai 4 hari
secara teratur. Durasi follow-up tergantung pada indikasi BSEF. Umumnya,
kontrol endoskopi pertama akan menentukan apakah pasien memerlukan follow-

Universitas Sumatera Utara


up yang durasi intervalnya pendek atau 4 hingga 5 minggu sekali. Fungsi normal
sinus paranasal akan kembali selepas 6 minggu ataupun 6 bulan tergantung pada
gambaran patologi penyakit pasien (Stammberger, 2000; Slack dan Bates, 1998).

Gambar 2.3: Gambaran Kompleks Ostio-Meatal (KOM). Area yang dibulatkan


adalah menunjukkan pencetus sinusitis (kiri). Selepas BSEF, kompleks ostio-
meatal telah buka (kanan). (Slack dan Bates, 1998)

2.3.7. Komplikasi operasi


Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) telah terbukti efektif bagi
mengatasi rhinosinusitis kronik. Namun, seperti operasi yang lain, BSEF juga
menyebabkan bebepapa komplikasi yang dapat terjadi setelah atau selama
prosedur operasi.
Komplikasi ini boleh dibahgikan kepada dua kategori yaitu komlikasi
mayor dan minor. Komplikasi minor yang sering timbul setelah operasi adalah
sinekia yang disebabkan melekatnya dua permukaan luka yang saling berdekatan,
umumnya permukaan konka media dan dinding lateral hidung. Disfungsi
penciuman dapat terjadi bila celah olfaktori obstruksi akibat sinekia konka media
dengan septum. Untuk mencegah ketidak stabilan konka media, maka perlekatan
superior dan inferior dari konka media harus dipertahankan. Komplikasi mayor
adalah termasuk perdarahan, hilang penglihatan, dan trauma intrakranial.
Komplikasi minor lebih banyak timbul pada penderita berbanding dengan

Universitas Sumatera Utara


komplikasi mayor yaitu sebanyak 6.9% komplikasi yang terjadi adalah komplikasi
minor dan 0.85% adalah komplikasi mayor.
Pemahaman yang mendalam tentang anatomi bedah sinus, persiapan
operasi yang baik dan tentunya pengalaman ahli dalam melakukan bedah sinus
akan mengurangi dan mencegah terjadinya komplikasi. Pada masa sekarang,
banyak penelitian dilakukan tentang komplikasi yang mungkin terjadi akibat
BSEF dan mencari cara untuk mencegah dan menghindarinya dan mengobatinya
(David, 2005; HTA, 2006).
Tabel 2.2 dapat menggambarkan pembahgian komplikasi Bedah Sinus
Endoskopik Fungsional (BSEF) mengikut kategori komplikasi mayor dan minor.

Universitas Sumatera Utara


Tabel 2.2: Komplikasi Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF)

Mayor:
Epitaksis berat
Hematoma orbita
Diplopia
Hilang penglihatan
Kurang ketajaman visual
Perdarahan intrakranial
Kebocoran cairan serebrospinal
Anosmia
Trauma nasolacrimal
Meningitis
Pneumocephalus
Stroke
Trauma arteri carotid
Minor:
Epitaksis ringan
Hyposmia
Adhesi
Nyeri kepala
Ekimosis periorbita
Emfisema periorbita
Nyeri wajah
sakit gigi

(David, 2005)

Universitas Sumatera Utara


BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep


Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka kerangka konsep dalam
penelitian ini adalah:

Penderita yang menjalani


Bedah Sinus Endoskopik
Fungsional (BSEF)

a. Jenis kelamin Berdasarkan data yang berasal


b. Kelompok umur dari rekam medis pasien di
c. Pekerjaan Departemen THT-KL RSUP.
d. Indikasi operasi Haji Adam Malik, Medan dari
e. Komplikasi operasi periode 2008-2012.

Gambar 3.1: Kerangka konsep penelitian

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai