Anda di halaman 1dari 4

TUGAS FILSAFAT ILMU

Nama : Rizki Nor Amelia


Prodi : Penelitian dan Evaluasi Pendidikan (PEP) Kelas A
NIM : 14701251022

Mengembangkan Paradigma Pendidikan Kimia secara Instrumentatif

Pendidikan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan: “Pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
dibutuhkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa” (Arif Rohman, 2009: 10).
Pendidikan kimia merupakan salah satu bagian dari pendidikan yang sangat penting
peranannya dalam meningkatkan mutu pendidikan serta menyiapkan peserta didik yang kritis
dan inovatif dalam menghadapi masalah di masyarakat sebagai dampak dari perkembangan
IPTEK. Pendidikan kimia memiliki potensi yang besar dan peranan strategis dalam
menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas untuk menghadapi era industrialisasi dan
globalisasi. Potensi ini akan dapat terwujud jika pendidikan kimia mampu melahirkan peserta
didik yang cakap dalam bidangnya dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis,
berpikir kreatif, kemampuan memecahkan masalah, bersifat kritis, menguasai teknologi serta
adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Paradigma sendiri dapat diartikan sebagai wacana atau discourses yang disepakati
dalam mendiskusikan sesuatu untuk membangun konsep keilmuan tertentu. Tiga unsur
paradigma, yaitu ada wacana kesederajadan, ada diskusi terbuka, dan ada upaya membangun
konsep keilmuan yang dioerlukan untuk mengembangkan ilmu. Sebaiknya paradigma
tersebut disepakati, setidaknya dipahami teman diskusi (Noeng Muhadjir, 2011: 59).
Paradigma yang ada tentang ilmu kimia saat ini adalah ilmu yang dirasakan sulit oleh
peserta didik di sekolah menengah, padahal kimia merupakan bagian dari ilmu sains yang
membahas tentang segala hal yang ada di kehidupan manusia, misalnya reaksi perkaratan dan
reaksi pembakaran. Secara lebih spesifik, ilmu kimia didefinisikan sebagai ilmu yang
mempelajari zat dan perubahan yang menyertainya (Chang, 2005:3). Kesulitan mempelajari
ilmu kimia ini terkait dengan ciri ilmu kimia itu sendiri. Adapun ciri-ciri ilmu kimia menurut
Tresna Sastrawijaya (1988: 174) yaitu:
1. kimia bersifat lebih abstrak,

1
2. kimia merupakan suatu penyederhanaan dari yang sesungguhnya,
3. ilmu kimia berkembang cepat,
4. jumlah yang dipelajari dalam pelajaran kimia banyak,
5. sama seperti ilmu pengetahuan alam lainnya, ilmu kimia bukan hanya sekedar
menghitung.
Berdasarkan ciri-ciri ilmu kimia diatas, motivasi peserta didik untuk mempelajari
ilmu kimia menjadi rendah yang akhirnya berimbas pada prestasi belajar kimianya. Disinilah
tugas pendidik, dalam hal ini guru, untuk membangun paradigma baru bahwa ilmu kimia
adalah ilmu yang menyenangkan, jangan sampai peserta didik beranggapan bahwa kimia
merupakan pelajaran yang terpisah dari dunia tempat mereka berada. Proses pembelajaran
kimia di kelas secara interaktif dapat dilaksanakan dengan menerapkan model pembelajaran
kooperatif, media pembelajaran interaktif (macromedia flash ataupun poop-up book),
pendekatan kontekstual berbasis alam, team teaching maupun lesson study. Melalui proses
pembelajaran tersebut diharapkan dapat membantu meningkatkan motivasi belajar kimia
peserta didik yang akhirnya berimbas pula pada peningkatan prestasi belajar kimianya.
Namun ada hal yang sering dilupakan oleh guru, yaitu saat pengukuran prestasi belajar
peserta didik, guru cenderung tidak melakukan analisis butir soal agar memenuhi kriteria
pembuatan soal yang baik. Oleh karena itu, salah satu upaya pembangunan paradigma baru
dalam ilmu kimia dapat dilakukan secara instrumentatif melalui Item Response Theory (IRT)
atau Teori Respons Butir.
Dalam bidang pendidikan, tidak terkecuali bagi pendidikan kimia, kegiatan penilaian
atau evaluasi hasil belajar peserta didik merupakan salah satu tugas penting yang harus
dilakukan oleh guru. Evaluasi hasil belajar kimia didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan
untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar
kimia peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga
menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan (Sukardjo dan Lis Permana
Sari, 2008: 6). Pentingnya evaluasi hasil belajar kimia digambarkan dalam siklus berikut :

Perencanaan Proses Pelaksanaan Proses Evaluasi Hasil


Pembelajaran Kimia Pembelajaran Kimia Pembelajaran Kimia

umpan balik (feed back) umpan balik (feed back)

2
Evaluasi hasil belajar kimia peserta didik dilakukan untuk mengetahui kemajuan
peserta didik terhadap kurikulum kimia yang telah diajarkan. Salah satu upaya evaluasi hasil
belajar peserta didik adalah memberikan ujian pada tengah semester dan akhir semester.
Namun, terkadang pemberian soal yang terlalu susah atau terlalu mudah menyebabkan guru
akhirnya kesulitan membedakan kemampuan peserta didik. Maka diperlukan analisis
terhadap soal ujian dengan harapan hasil ujian dapat merepresentasikan kemampuan peserta
didik karena akan menjadi sia-sia jika proses pembelajaran kimia di kelas sudah sempurna
tetapi cara melakukan evaluasi hasil belajarnya salah.
Items Response Theory (IRT) merupakan analisis butir soal secara modern. Teori
yang digunakan mendasarkan fungsi matematika untuk menghubungkan antara peluang
menjawab benar suatu soal dengan kemampuan peserta didik. Hambleton, Swaminathan &
Rogers (1991) dalam Samsul Hadi (2013: 6) menyatakan pada dua buah postulat, yaitu : (a)
prestasi subjek pada suatu butir soal dapat diprediksikan dengan seperangkat faktor yang
disebut kemampuan laten (laten traits), dan (b) hubungan antara prestasi subjek pada suatu
butir dan perangkat kemampuan yang mendasarinya sesuai dengan grafik fungsi naik
monoton tertentu, yang disebut kurva karakteristik butir (Item Characteristic Curve, ICC).
Kurva karakteristik butir ini menggambarkan bahwa semakin tinggi level kemampuan peserta
tes, semakin meningkat pula peluang menjawab benar suatu butir.
Ada tiga model logistik dalam teori respons butir yaitu model logistik satu parameter
(1 PL), model logistik dua parameter (2 PL), dan model logistik tiga parameter (3 PL).
Perbedaan dari ketiga model tersebut terletak pada banyaknya parameter yang digunakan
dalam menggambarkan karakteristik butir dalam model yang digunakan. Parameter-
parameter yang digunakan adalah indeks kesukaran, indeks daya beda butir, dan indeks
tebakan semu (pseudoguessing). Dengan adanya pseudoguessing pada model tiga parameter,
memungkinkan subjek yang memiliki kemampuan rendah mempunyai peluang untuk
menjawab butir soal dengan benar (Sutrisno Hadi, 2013: 6-7).
Teori tes klasik butir memiliki kelemahan group dependent dan item dependent. Ini
berarti indeks daya pembeda, tingkat kesulitan, dan koefisien reliabilitas tes tergantung
kepada peserta tes yang mengerjakan tes tersebut, selain dipengaruhi oleh soal atau butir yang
soal yang ada. Karena itu indeks daya pembeda, tingkat kesulitan, dan koefisien reliabilitas
tes akan berbeda jika soal yang sama dikerjakan oleh dua kelompok peserta didik yang
pandai dan peserta didik yang kurang pandai.
Teori respons butir mengatasi masalah tersebut. Maksudnya, hasil indeks kesukaran
butir soal, indeks daya pembeda, dan indeks tebakan semu (pseudoguessing) akan

3
menghasilkan angka yang sama meskipun diterapkan pada siswa yang berbeda. Tetapi karena
indeks parameter butir dan kemampuan peserta merupakan hasil estimasi, maka
kebenarannya bersifat probabilistik dan mengandung kesalahan pengukuran. Tetapi karena
bebas dari group dependent dan item dependent, teori respon butir dapat digunakan untuk
mengetahui karakteristik soal atau butir soal lebih meyakinkan dibanding dengan teori tes
klasik.
Berdasarkan rumus-rumus yang telah ada, perhitungan parameter butir soal
berdasarkan teori respon butir lebih sulit dibandingkan dengan teori tes klasik. Namun para
ahli psikometri telah mengembangkan perangkat lunak yang memudahkan guru untuk
menganalisis butir soal berdasarkan teori respons butir. Perangkat lunak tersebut ada yang
berbayar dan ada yang gratis. Perangkat lunak yang berbayar antara lain BILOG-MG,
Multilog, dan Parscale yang dibuat oleh Scientific Software International Inc; sedangkan
perangkat lunak yang gratis antara lain program R (Samsul Hadi, 2013: 11).
Jadi, salah satu upaya pembangunan paradigma baru dalam ilmu kimia dapat
dilakukan secara instrumentatif melalui Item Response Theory (IRT) atau Teori Respons
Butir. Hal ini dikarenakan analisis butir soal sangat bermanfaat bagi guru untuk mengetahui
secara empiris kekuatan dan kelemahan butir soal, informasi spesifikasi butir soal, serta
masalah yang ada dalam butir soal. Melalui teknik evaluasi hasil belajar kimia yang tepat,
diharapkan prestasi belajar kimia peserta didik dapat terukur secara cermat, sehingga nilai
kimia tidak lagi berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditetapkan.

Referensi
Arif Rohman. (2009). Memahami Pendidikan dan Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
Mediatama.

Chang, Raymond. (2005). Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga.

Noeng Muhadjir. (2011). Ontologi, Epistemologi, Axiologi, First Order, Second Order &
Third Order of Logics dan Mixing Paradigms Implementasi Methodologik. Yogyakarta:
Rake Sarasin.

Samsul Hadi. (2013). Pengembangan Computerized Adaptive Test Berbasis Web.


Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Sukardjo dan Lis Permana Sari. (2008). Penilaian Hasil Belajar Kimia. Yogyakarta: UNY
Press.

Tresna Sastrawijaya. (1998). Proses Belajar Mengajar Kimia. Jakarta: P2LPTK.

Anda mungkin juga menyukai