Anda di halaman 1dari 4

r

Life for live

Kisah Inspiratif
Kehidupan
Demi sesuap nasi, kami rela melakukan hal sehina ini

Ahadia - [2019]
9/1/2019
CHAPTER I

Selasa 10 September 2019.

Tepat jam 02:19 dini hari, aku akhirnya terbagun dari tidur pulas yang seperdua malam
membuatku tak sadarkan diri untuk sementara. Aku meraih smartphone yang sengaja aku
letakkan disamping sebelah kanan tempat tidurku. Kesadaranku sebenarnya belum kembali
sepenuhnya, tetapi kupaksakan mata yang memang bagus diajak untuk kompromi. Kukucek
dengan pelan kedua mataku agar kesadaran segera kembali.

Jariku dengan lincahnya menari diatas layar smartphone hanya sekedar mencari app seperti
whatsapp ataupun instagram, takutnya saat aku tertidur aku melewatkan beberapa pesan singkat
penting yang teman-temanku kirim dan belum sempat terbaca.

Hingga subuh menjelang, mataku belum mau terpejam jemari-jemariku terus melakukan gerakan
menscroll atau bahkan mengetikkan sesuatu di layar smartphone.satu persatu applikasi media
social yang famous saat ini kujelajahi dengan sekejap. Aku mulai dengan membuka whatsapp,
kemudian beralih ke instagram melihat bebrapa informasi yang tak penting sebenarnya seperti
mengunjungi akun gossip lambe turah yang tak pernah ketinggalan update berita viral, gossip
terhangat jajaran para artis Indonesia serta sekedar membuka snap story yang sering muncul
dilayar beranda akun instagramku.

Jam menunjukkan pukul 05:42 aku akhirnya dikalahkan oleh rasa kantuk yang serasa beban
berton-ton menumpuk diatas kelopak mata, klise memang tapi inilah faktanya. Hingga akhirnya
aku terlelap dan tak kesadaran mulai lumpuh. Di sela-sela kantuk aku menyempatkan diri untuk
menyetel alarm agar nantinya tidak kesiangan. Karena nanti paginya aku harus ke kampus.

Kegiatan perkuliahan berlangsung selama 12 jam kurang, begitulah sebagian hariku berada
dikampus, tak heran jika anak biologi membuat semboyan petang ke petang. Faktanya memang
begitu kami yang notabennya sebagai calon guru mulai dilatih disiplin akan tepat waktu dimana
7 hari dalam seminggu hampir setiap harinya berangkat ke kampus jam 7 teng!

Hari ini, ketika proses perkuliahan berlangsung, tiba-tiba masuk seorang pengemis pria tua umur
sekitar 45-50 tahun keatas dengan keadaan yang bias dikategorikan memprihatinkan masuk
membuyarkan focus kami semua. Dosen kami yang saat itu sedang menerangkan tentang
membrane plasma akhirnya terdiam, raut wajahnya seketika menunjukkan ketidaksukaan.
Pengemis tua itu bergumam sesuatu yang tak bias kudengar jelas sambill tangannya mengadah
seolah meminta belas kasihan kami. Karena merasa terganggu akhirnya dosen kami menyuruh
untuk menutup pintu mengusir sang pengemis tadi. Salah satu temanku yang memang duduk
dibelakang akhirnya menuruti perintah dosen dan menutup pintu mencoba mengusir sang
pengemis tua. Batinku seketika berdecak, perasaan kasihan timbul dalam benakku.
Setelah proses perkuliahan selesai, aku memutuskan untuk ke kantin bersama beberapa teman
dengan tujuan mencari apa saja yang bias kami jadikan pengganjal perut yang sedari tadi pagi
kosong. Moodku untuk makan saat itu sedang tidak baik, akhirnya kuputuskan untuk membeli
minuman segar saja dan segera berlalu menuju kelas untuk mengikuti perkuliahan selanjutnya.
Dipertengahan perjalanan dari jauh aku melihat pengemis tua yang tadi masuk ke kelas kami,
sejenak kuperhatikan sang pengemis menggunakan kaos pendek using dipadukan celana jean
dengan lipatan atas yang tinggi sebelah, seolah sang pengemis ingin menampakan kalau kakinya
pincang. Tak hanya itu ada yang aneh juga dengan perutnya, buncit langsung terpintas diotakku.
Tapi entahlah perut sang pengemis buncit karena sakit atau apa, entahlah.

Sang pengemis terlihat berjalan dengan sedikit pincang mendekati sekumpulan mahasiswi untuk
meminta belas kasih, para mahasiswi tersebut seakan tak rela untuk menyisihkan uang saku
mereka membuat snag pengemis yang melihat kami yang sedang berjalan menuju gedung kuliah
juga meminta belas kasih dengan tangan yang tetap mengadah. Aku yang memperhatikan sang
bapak hanya tersenyum sambil menganggukan kepala, berjalan melaluinya tanpa memberikan
sepeser kertaspun.

Singkat cerita, kami yang sudah berada dikelas tiba-tiba kedtaangan tamu yang sama seperti
sebelumnya hanya bias melongo tanpa mengubris sang pengemis. Si pengemis tua ternyata
menghampiri kami lagi, namun lagi-lagi pergi dengan sepeserpun. Salah satu teman mengatakan
bahwa ia tak suka melihat pengemis tadi, ia berfikiran orang seperti dia akan melakukan appaun
untuk mendapatkan uang tanpa susah payah. Benar atau tidaknya aku hanya mengimami
perkataan temanku. Tapi dari lubuk terdalam aku merasa iba, tak bias kubayangkan jika yang
berada diposisi snag pengemis adalah kelurga atau kerabatku. Hal tersebut membuatku teringat
akan orang tua dirumah yang banting tulang untuk mendapatkan uang serupiah untuk membiayai
kehidupan kami. Aku hanya bias berharap kelak aku menjadi orang yang sukses dan besar
sehingga dapat memberikan kehidupan yang layak bagi kedua orangtuku.
CHAPTER II

Anda mungkin juga menyukai