Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

TRAUMA BRAIN INJURY

I. KONSEP DASAR MEDIS


A. Pengertian
Trauma atau cedera kepala juga dikenal sebagai cedera otak adalah gangguan
fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit
neurologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena
hemoragik, serta edema serebral di sekitar jaringan otak.
Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi
terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak
Trauma kepala merupakan kejadian cedera akibat trauma pada otak,
yang menimbulkan perubahan fisik, intelektual, emosi, sosial, ataupun vokasional
(pekerjaan)
Cidera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau
tanpa disertai perdarahan interstiil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya
kontinuitas otak.
Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau
penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi –
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan peningkatan
pada percepatan factor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada
kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

B. Etiologi
Penyebab trauma kepala dapat meliputi:
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi
2. Kecelakaan terjatuh
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga
4. Kejahatan dan tindak kekerasan
C. Patofisiologi
1. Pukulan langsung
Dapat menyebabkan kerusakan otak pada sisi pukulan (coup injury) atau pada sisi
yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai
dinding yang berlawanan (contrecoup injury)
2. Rotasi/deselerasi
Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang
titik-titik tulang dalam tengkorak (misalnya pada sayap dari tulang sfenoid). Rotasi
yang hebat juga menyebabkan trauma robekan di dalam substansi putih otak dan
batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik-bintik perdarahan intraserebral.
3. Tabrakan
Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak-
anak dengan tengkorak yang elastis.
4. Peluru
Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma. Pembengkakan
otak merupakan masalah akibat disrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan
otak.

Derajat Cedera Kepala:

1. Derajat cedera otak primer secara langsung berhubungan dengan junlah kekuatan
yang mengenai kepala.
2. Kerusakan sekunder terjadi akibat: komplikasi sistem pernapasan (hipoksia,
hiperkabia, obstruksi jalan napas), syok hipovilemik (cedera kepala tidak
menyebabkan syok hipovilemik-lihat penyebab lain), perdarahan intrakranial, edema
serebral, epilepsi, infeksi, dan hidrosefalus.

D. Jenis-jenis Trauma Kepala


Tipe trauma kepala sebagai berikut:
1. Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk ke dalam jaringan otak
dan melukai atau menyobek du ra mater menyebabkan CSS merembes. Kerusakan
saraf otak dan jaringan otak.
2. Trauma kepala tertutup
Keadaan trauma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi komosio, kontusio,
epidural hematoma, subdural hematoma, intrakranial hematoma.

Sedangkan cedera kepala dapat dibagi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS, (Glasgow
Coma Scale) yaitu:

1. Cedera Kepala Ringan


a. GCS > 13
b. Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak
c. Tidak memerlukan tindakan operasi
d. Lama dirawat di RS , 48 jam
2. Cedera Kepala Sedang
a. GCS 9-13
b. Ditemukan kelainan pada CT scan otak
c. Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial
d. Dirawat di RS setidaknya 48 jam
3. Cedera Kepala Berat
Bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, nilai GCS <9

Skala Koma Glasgow

Pembukaan mata Respons suara Respons motorik terbaik

Spontan 4 Waspada & orientasi baik 5 Mematuhi perintah 6

Terhadap suara 3 Bingung 4 Menunjukkan tempat nyeri 5

Terhadap nyeri 2 Tidak sesuai 3 Fleksi terhadap nyeri 4

Tidak ada pembukaan 1 Bicara kacau 2 Fleksi abnormal trhdp nyeri 3

Tidak ada respons suara 1 Ekstensi terhadap nyeri 2

Tidak ada respon nyeri 1

Sadar penuh: GCS = 15; koma dalam: GCS = 3.


E. Tanda dan Gejala
1. Komosio/gegar otak
a. Cedera kepala ringan
b. Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali
c. Hilang kesadaran sementara, , 10-20 menit
d. Tanpa kerusakan otak permanen
e. Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah
f. Disorientasi sementara
g. Tidak ada gejala sisa
h. Tidak ada terapi khusus.
2. Kontusio serebri/memar otak
a. Ada memar otak
b. Perdarahan kecil lokal
c. Gangguan kesadaran lebih lama
d. Kelaianan neurologis (+)
e. Refleks patologis (+), lumpuh, konvulsi
f. Gejala TIK meningkat
g. Amnesia retrograd lebih nyata
3. Pada umumnya:
a. Gangguan kesadaran
b. Konfusi
c. Abnormalitas pupil
d. Awitan tiba-tiba defisit neurologik
e. Perubahan tanda vital
f. Gangguan penglihatan dan pendengaran
g. Disfungsi sensory
h. Kejang otot
i. Sakit kepala
j. Vertigo
k. Gangguan pergerakan
l. Kejang
F. Penatalaksanaan
1. Cedera kepala ringan
Pasien sadar, mungkin memiliki riwayat periode kehilangan kesadaran. Amnesia
retrograd terhadap peristiwa sebelum kecelakaan cukup signifikan.
a. Indikasi untuk rontgen tengkorak
1) Hilang kesadaran atau amnesia
2) Tanda-tanda neurologis
3) Kebocoran LCS.
4) Curiga trauma tembus
5) Intoksikasi alkohol
6) Sulit menilai pasien
b. Indikasi rawat
1) Kebingungan atau GCS menurun
2) Fraktur tengkorak
3) Tanda-tanda neurologis atau sakit kepala atau muntah.
4) Sulit menilai pasien
5) Terdapat masalah medis yang menyertai
6) Kondisi sosial yang tidak adekuat atau tidak ada orang dewasa yang dapat
mengawasi pasien.
c. Indikasi untuk merujuk ke bagian bedah saraf
1) Fraktur tengkorak + bingung/penurunan GCS
2) Tanda-tanda neurologis fokal atau kejang
3) Menetapnya tanda-tanda neurologis atau kebingungan >12 jam
4) Koma setelah resusitasi
5) Curiga cedera terbuka pada tengkorak
6) Fraktur tekanan pada tengkorak
7) Terdapat perburukan
2. Cedera kepala berat
a. Pasien akan datang dengan tidak sadar ke departement Kecelakaan dan
Kegawatdaruratan. Cedera kepala mungkin merupakan bagian dari trauma
multipel.
b. ABC (Airway management, Breathing, Circulation). Intubasi dan ventilasi
pasien-pasien tidak sadar untuk melindungi jalan napas dan mencegah cedera
otak sekunder akibat hipoksia.
c. Resusitasi pasien dan cari tanda-tanda cedera lainnya, khususnya jika pasien
dalam keadaan syok. Cedera kepala dapat disertai dengan cedera tulang
belakang servikal dan leher harus dilindungi dengan cervical collar pada pasien-
pasien ini.
d. Obati masalah-masalah yang mengancam hidup (misalnya ruptur limpa) dan
stabilkan pasien sebelum dikirim ke unit bedah saraf. Pastikan terdapat
pengawasan medis yang adekuat (ahli anestesi dan perawat) selama pengiriman.

G. Pencegahan
Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan
terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.
Upaya yang dilakukan yaitu :
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan
lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera
seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang
untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan
dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :
a. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).
Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat
pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalah
airway menjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian
karena masalah airway disebabkan oleh karena kegagalan mengenali masalah
airway yang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan
mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien
dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan
jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat
terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi
aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya
yang mengancam airway.
b. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)
Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah
membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan
membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.
c. Menghentikan perdarahan (Circulations).
Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang
berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan
yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila
perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi darah. Syok biasanya disebabkan
karena penderita kehilangan banyak darah.
3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih
berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu
lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan
tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan
pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

H. Komplikasi
1. Fraktur tengkorak
Menunjukkan tingkat keparahan cedera. Tidak diperlukan terapi khusus kecuali
terjadi trauma campuran, tekanan atau berhubungan dengan kehilangan LCS kronis
(misalnya fraktur fosa kranialis anterior dasar tengkorak)
2. Perdarahan intrakranial
a. Perdarahan ekstradural: robekan pada arteri meningea media. Hematoma di
antara tengkorak dan dura. Seringkali terdapat ‘interval lucid’ sebelum terbukti
tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) (penurunan nadi,
peningkatan tekanan darah, dilatasi pupil ipsilateral, paresis atau paralisis
kontralateral). Terapi dengan evakuasi hematoma melalui lubang Burr.
b. Perdarahan subdural akut: robekan pada vena-vena diantara araknoid dan
durameter. Biasanya terjadi pada orang usia lanjut. Terdapat perburukan
neurologis yang progresif. Terapi dengan evakuasi namun penyembuhan
biasanya tidak sempurna.
c. Hematoma subdural kronis: robekan pada vena yang meyebabkan hematoma
subdural yang akan membesar secara perlahan akibat penyerapan LCS.
Seringkali yang menjadi penyebab adalah cedera ringan. Mengantuk dan
kebingungan, sakit kepala, hemiplegia. Terapi dengan evakuasi bekuan darah.
d. Perdarahan intraserebral: pendarahan ke dalam substansi otak
yang menyebabkan kerusakan ireversibel. Usaha dilakukan untuk mencegah
cedera sekunder dengan memastikan oksigenasi dan nutrisi yang adekuat.
1) Infeksi (trauma terbuka)
2) Depresi pernapasan dan gagal napas
3) Herniasi otak
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin,
agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan,
hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
a. Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret
pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
b. Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
c. Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak
karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII,
IX, XII.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis kontraktur.
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/kognitif, terapi
pembatasan/kewaspadaan keamanan.
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas.
4. Resiko infeksi.
5. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan penurunan
ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan aliran darah serebral.
C. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


1. Nyeri akut berhubungan dengan agen NOC NIC
cedera biologis kontraktur.  Pain Level Pain Management
 Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
 Comfort level komprehensif termasuk (lokasi,
Kriteria Hasil :
karakteristik, durasi, frekuensi,
 Mampu mengontrol nyeri (tahu
penyebab nyeri, mampu kualitas dan faktor presipitasi
menggunakan teknik 2. Observasi reaksi nonverbal dari
nonfarmakologi untuk mengurangi ketidaknyamanan
nyeri, mencari bantuan) 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik
 Melaporkan bahwa nyeri berkurang untuk mengetahui pengalaman nyeri
dengan menggunakan manajemen pasien
nyeri
4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon
 Mampu mengenali nyeri (skala,
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) nyeri
 Menyatakan rasa nyaman setelah 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa
nyeri berkurang lampau
6. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
7. Kurangi faktor presipitasi nyeri
8. Pilih dan lakukan penanganan nyeri
(farmakologi, non farmakologi dan
interpersonal)
9. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
10. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
11. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri
12. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
13. Tingkatkan istirahat
14. Kolaborasi dengan dokter jika ada
keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
15. Monitor penerimaan pasien tentang
manajemen nyeri
Analgesic Administration
16. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri sebelum
pemberian obat
17. Cek intruksi dokter tentang jenis obat,
dosis, dan frekuensi
18. Cek riwayat alergi
19. Pilih analgesik yang diperlukan atau
kombinasi dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
20. Tentukan pilihan analgesik tergantung
tipe dan beratnya nyeri
21. Tentukan analgesik pilihan, rute
pemberian, dan dosis optimal
22. Pilih rute pemberian secara IV, IM
untuk pengobatan nyeri secara teratur
23. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
24. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
25. Evaluasi efektifitas analgesik, tanda
dan gejala
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan NOC NIC
dengan kerusakan persepsi/kognitif,  Joint Movement : active Exercise therapy : ambulation
terapi pembatasan/kewaspadaan  Mobility level 1. Kaji kemampuan pasien dalam
keamanan.  Self care : ADLs mobilisasi
 Transfer performance 2. Monitoring vital sign sebelum /
Kriteria Hasil : sesudah latihan dan lohat respon
 Pasien meningkat dalam aktivias pasien saat latihan
fisik 3. Konsultasikan dengan fisiotherapi
 Memperagakan penggunaan alat tentang rencana ambulasi sesuai
bantu untuk mobilisasi (walker) dengan kebutuhan
4. Bantu pasien untuk menggunakan
tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
5. Damping dan bantu pasien saat
mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan
ADLs pasien
6. Ajarkan pasien bagaimana merubah
posisi dan berikan bantuan jika
dibutuhkan
3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas NOC : 1. Pastikan kebutuhan oral/tracheal
berhubungan dengan obstruksi jalan  Respiratory status : Ventilation suctioning
nafas.  Respiratory status : Airway patency 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
 Vital sign Status sesudah suctioning
Kriteria Hasil : 3. Informasikan pada klien dan keluarga
 Mendemonstrasikan batuk efektif dan tentang suctioning
suara nafas yang bersih, tidak ada 4. Minta klien nafas dalam sebelum
sianosis dan dyspneu (mampu suction dilakukan
mengeluarkan sputum, mampu 5. Berikan O2 dengan menggunakan
bernafas dengan mudah, tidak ada nasal untuk memfasilitasi suction
pursed lips) nasotrakeal
 Menunjukkan jalan nafas yang paten 6. Gunakan alat steril setiap melakukan
(klien tidak merasa tercekik, irama tindakan
nafas, frekuensi pernafasan dalam 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan
rentang normal, tidak ada suara nafas nafas dalam setelah kateter
abnormal) dikeluarkan nasotrakeal
 Mampu mengidentifikasikan dan 8. Monitor status oksigen pasien
mencegah factor yang dapat 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara
menghambat jalan nafas. melakukan suction
10. Hentikan suction dan berikan oksigen
apabila pasien menunjukkan
bradikardi,peningkatan saturasi
management, dll
Airway Management
11. Buka jalan nafas, gunakan teknik chin
lift atau jaw thrust bila perlu
12. Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
13. Identifikasi pasien perlunya
pemasanganalat jalan nafas buatan
14. Pasang mayo bila perlu
15. Lakukan fisiotrapi dada jika perlu
16. Keluarkan secret dengan batuk atau
suction
17. Auskultasi suara nafas, catat adanya
suar tambahan
18. Lakukan suction pada mayo
19. Berikan brondikalator bila perlu
20. Berikan pelembab udara kassa basah
NaCl lembab
21. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan
22. Monitor respirasi dan status O2
4. Resiko infeksi. NOC NIC
Immune status
Infection control (kontrol infeksi)
Knowledge: infection control
Risk control 1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai
Kriteria hasil: pasien lain
Klien bebas dari tanda dan gejala 2. Pertahankan teknik isolasi
infeksi 3. Batasi pengunjung bila perlu
Mendeskripsikan proses penularan 4. Instruksikan pada pengunjung untuk
penyakit, faktor yang mempengaruhi mencuci tangan saat berkunjung dan
penularan serta penatalaksanaanya setelah berkunjung meninggalkan pasien
Menunjukkan kemampuan untuk 5. Gunakan sabun antimikroba untuk cuci
mencegah timbulnya infeksi tangan
Jumlah leukosit dalam batas normal 6. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah
Menunjukkan perilaku hidup sehat tindakan keperawatan
7. Gunakan baju, sarung tangan sebagai
alat pelindung
8. Pertahankan lingkungan aseptic selama
pemasangan alat
9. Ganti letak IV perifer dan line central
dan dressing sesuai dengan petunjuk
umum
10. Gunakan kateter intermiten untuk
menurunkan infeksi kandung kencing
11. Tingkatan intake nutrisi
12. Berikan terapi antibiotic bila perlu
infection protection (proteksi terhadap
infeksi)
13. Monitor tanda dan gejala infeksi
sistemik dan local
14. Monitor hitung granulosit, WBC
15. Monitor kerentanan terhadap infeksi
16. Batasi pengunjung
17. Sering pengunjung terhadap penyakit
menular
18. Pertahankan teknik aspesis pada pasien
yang beresiko
19. Pertahankan teknik isolasi
20. Berikan perawatan kulit pada area
epidema
21. Inspeksi kulit dan membrane mukosa
terhadap kemerahan, panas, drainase
22. Inspeksi kondisi luka/insisi bedah
23. Dorong masukkan nutrisi yang cukup
24. Dorong masukan cairan
25. Dorong istirahat
26. Instruksikan pasien untuk minum
antibiotic sesuai resep
27. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan
gejala infeksi
28. Ajarkan cara menghindari infeksi
29. Laporkan kecurigaan infeksi
30. Laporakan kultur positif
5. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan NIC NOC
otak berhubungan dengan penurunan  Circulation status Peripheral Sensation Management
ruangan untuk perfusi serebral, sumbatan  Tissue Prefusion : cerebral 1. Monitor adanya daerah tertentu yang
aliran darah serebral Kriteria Hasil : hanya peka terhadap
 Mendemostrasikan status sirkulasi panas/dingin/tajam/tumpul
yang ditandai dengan : 2. Monitor adanya paretese
- Tekanan systole dan diastole 3. Instrusikan keluarga untuk
dalam rentang yang diharapkan mengobservasi kulit jika ada isi atau
- Tidak ada ortostatikhipertensi laserasi
- Tidak ada tanda-tand 4. Gunakan sarung tangan untuk
peningkatan tekanan intrakranial proteksi
(tidak lebih dari 15 mmHg) 5. Batasi gerakan pada kepala, leher dan
 Mendemostrasikan kemampuan punggung
kognitif yang ditandai dengan : 6. Monitor kemampuan BAB
- Berkomunikasi dengan jelas dan 7. Kolaborasi pemberian analgetik
sesuai denga kemampuan
- Menunjukan perhatian,
konsentrasi dan orientasi
- Memproses informasi
- Membuat keputusan dengan
benar
DAFTAR PUSTAKA

Dewanto, G., Suwono, W.J., Riyanto, B & Turana, Y. 2007. Panduan Praktis Diagnosis & Tata
Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Grace, P.A & Borley, N.R. 2007. At a Glance ILMU BEDAH. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kowalak, J.P. 2003. Buku Ajar Patofisiologi.Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai