Anda di halaman 1dari 3

1. Al Umuru bimaqoshidihaa Segala perkara tergantung kepada tujuannya.

Qaidah yang pertama membawa maksud setiap urusan dinilai berdasarkan tujuan/niatnya.
Maksudnya, bahwa qaidah tersebut menjelaskan bahawa Dari aspek yang lain, orang yang
mempunyai niat untuk melakukan dosa besar seperti membunuh, namun tidak sempat
melakukannya maka niatnya itu tetap dikira berbuat. Pengertian niat menurut Abi Bakar Ibn
Sayyid Muhammad Syaththa al-Dimyaty mengatakan Niat yaitu mengqasad / menyengaja
sesuatu diserta dengan perbuatannya. Didalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat
adalah bermaksud didalam hati dan disertai dengan takbirat al ihram, karena takbirat al ihram
adalah perbuatan dalam shalat.

Qur’an surah al-Baqarah ayat 225: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja
(untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha PenyantunAllah tidak
menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah
menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

Nah, ada beberapa bagian (cabang) qaidah yang diperhatikan

A) Tidak ada pahala kecuali dengan niat. Maksudnya, selama perbuatan itu tidak dianggap
buruk, jika tidak dengan niat, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala. Oleh karena
itu, niat dalam perbuatan wudhu, ulama Syafi'iyyah dan Malikiyyah menganggap niat itu
fardhu, Ulama Hanabilah menganggapnya sebagai syarat sah wudhu. Ulama Hanafiyyah
menetapkan sebagai sunnat muakkad.
B) Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan,baik secara global atau terperinci,
bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan. Oleh karena
itu, Seseorang bershalat zhuhur dengan menyatakan niatnya bershalat di mesjid al-
Karamah, padahal ia bershalat di mesjid Syiarus Shalihin, shalat orang tersebut tidak
batal. Karena niat shalatnya telah terpenuhi dan benar sedangkan yang keliru adalah
pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang tempat shalat tidak ada hubungannya
dengan niat shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci. Secara umum niat
itu aslinya didalam hati, dengan bahasa apapun boleh, namun kalau diucapkan dengan
lidah itu sunah, dengan tujuan untuk membantu kekusukan, missal ketika mau puasa
ramdhan Cuma mbatin didalam hati “Ya Allah saya niat mau puasa ramadhan besok”
sah! Sdh gitu aja sah! Sama halnya dengan solat, waktu takbir kita lintaskan dalam hati
kita “mau solat”.
C) Suatu amal yang disyariatkan penjelasannya, maka kesalahannya bisa membatalkan
perbuatan tersebut. Oleh karena itu, dalam shalat zhuhur berniat dengan shalat ashar, atau
dalam shalat idul fithri berniat dengan idul adhha, dalam puasa arafah berniat dengan
puasa asyura. Maka perbuatan itu menjadi batal.
D) Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci,
karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata tersalah maka kesalahannya
membahayakan. Misal, seseorang bershalat jamaah dengan niat makmum kepada Umar.
Ternyata yang menjadi imam bukan Umar, tetapi Utsman. Maka shalat jamaah orang itu
dinyatakan tidak sah. Karena keimamannya telah digugurkan oleh Utsman
E) Maksud dari suatu lafazh (ucapan) adalah menurut niat orang yang mengucapkannya).
Misalnya, jika seseorang di tengah-tengah shalat mengeluarkan ucapan-ucapan yang
berupa ayat al-Qur'an, dan tidak ada maksud lain kecuali membaca al-Qur'an , maka yang
demikian itu dibolehkan. Tetapi apabila niatnya untuk memberitahukan kepada seseorang
seperti ucapan untuk memberikan izin masuk kepada orang yang sedang
mengunjunginya, maka shalatnya batal.
F) Penerapan Qaidah dalam bidang muamalah: Segala urusan tergantung kepada tujuannya
Contoh penerapannya:
1) Apabila seseorang membeli anggur dengan tujuan/niat memakan atau menjual maka
hukumnya boleh. Akan tetapi apabila ia membeli dengan tujuan/niat menjadikan khamr,
atau menjual pada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr, maka hukumnya
haram.
2) Apabila seseorang menemukan di jalan sebuah dompet yang berisi sejumlah uang lalu
mengambilnya dengan tujuan/niat mengembalikan kepada pemiliknya, maka hal itu tidak
mengganti jika dompet itu hilang tanpa sengaja. Akan tetapi jika ia mengambilnya
dengan tujuan/niat untuk memilikinya, maka ia dihukumkan sama dengan ghashib (orang
yang merampas harta orang). Jika dompet itu hilang, maka ia harus menggantinya secara
mutlak.
3) Apabila seseorang menabung di Bank Konvensional dengan tujuan/niat untuk
mengamankan uangnya karena belum ada bank syariah di daerahnya, maka ia dibolehkan
karena dharurat. Akan tetapi jika ia menyimpan uang di Bank konvensional itu dengan
tujuan/niat memperoleh bunga dari bank itu, maka hukumnya haram.

Anda mungkin juga menyukai