Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit heterogen yang ditandai dengan gangguan inflamasi kronik
saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik
menyebabkan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang
berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk terutama malam atau dini hari.
Gejala episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan. Asma
menjadi salah satu masalah kesehatan utama baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Menurut data dari laporan Global Initiative for Asthma (GINA) tahun
2018 dinyatakan bahwa angka kejadian asma dari berbagai negara adalah 1-18% 1.
Asma dapat bersifat ringan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu aktivitas
kegiatan harian. Angka kejadian asma di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013 mencapai 4,5%. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun
2005 mencatat 225.000 orang meninggal karena asma, dan menurut Kementrian
Kesehatan RI tahun 2011 penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab
kesakitan dan kematian di Indonesia dengan angka kematian yang disebabkan oleh
penyakit asma diperkirakan akan meningkat sebesar 20% pada 10 tahun mendatang
jika tidak terkontrol dengan baik 2,3.
Faktor seperti olahraga atau latihan fisik, alergen atau paparan iritasi, perubahan cuaca
1,3
atau infeksi saluran pernapasan merupakan faktor pencetus untuk terjadinya asma .
Asma yang diinduksi oleh latihan atau Exercise induced asthma adalah terminologi
yang digunakan untuk menggambarkan penyempitan sementara saluran pernapasan
4,5
bawah yang terjadi selama dan setelah latihan fisik . Penggunaan terminologi
Exercise-induced asthma (EIA) pertama kali dikenal tahun 1960. Meskipun EIA
sering terjadi pada individu yang secara klinis terdiagnosis asma tetapi EIA juga
terbukti terjadi pada subjek tanpa diagnosis asma dengan prevalensi hingga 20% 6.
Kondisi ini dilaporkan terjadi pada anak sekolah, angkatan bersenjata dan atlet tanpa
asma. Latihan fisik menyebabkan bronkospasme pada individu yang rentan atau tidak
memiliki asma. Hal ini terbukti pada atlet yang memiliki hipereaktif bronkus saluran
napas yang merupakan konsekuensi dari kondisi latihan yang ekstrim dan keadaan

1
hiperventilasi. Angka prevalensi dari EIA tidak diketahui secara pasti tetapi salah satu
pemicu yang paling umum dari bronkokonstriksi pada pasien dengan asma adalah
olahraga 5.

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi EIA dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain umur, jenis kelamin, ras,
tingkat intensitas latihan, jenis latihan dan kondisi lingkungan saat latihan. Pada etnis
Afrika–Amerika terdapat prevalensi EIA yang lebih tinggi yaitu 13% jika
dibandingkan orang Amerika - Eropa yaitu sebesar 2%. Prevalensi EIA berkisar dari 5
hingga 20% pada populasi umum namun diperkirakan setidaknya 80% pasien dengan
diagnosis klinis asma akan mengalami EIA. Angka kejadian EIA sering terjadi pada
anak usia sekolah dan dewasa muda, hal tersebut dijelaskan dalam penelitian pada 802
anak sekolah di Australia 157 atau 19,6% anak memiliki EIA dan 40% dari kelompok
ini tidak memiliki diagnosis asma sebelumnya6,7. Dalam penelitian di Wales selama 30
tahun, prevalensi EIA dilaporkan meningkat antara tahun 1973 dan 1988 tetapi
menurun antara 1988 dan 2003 di wilayah geografis yang sama 5.
Terdapat prevalensi asma yang tinggi pada atlet Olimpiade baik pada cabang olahraga
musim dingin maupun cabang olahraga musim panas. Pada atlet musim panas
prevalensinya berkisar dari 3,7% sampai 22,8 %. Pada atlet musim dingin
prevalensinya dari 2,85% sampai 54,8%. Pada atlet yang membutuhkan latihan
ketahanan fisik baik itu pada musim panas atau musim dingin memiliki gejala EIA
lebih sering terjadi daripada olahraga yang kurang membutuhkan ketahanan fisik 8.
Belum diketahuinya angka kejadian pasti EIA yang menandakan sedikitnya kasus EIA
di Indonesia, atau masih sedikitnya usaha untuk mengidentifikasi pencetus serangan
asma itu sendiri. Selain itu sulitnya menegakkan diagnosis EIA menyebabkan usaha
dokumentasi kasus menjadi sulit dilakukan pada pusat pelayanan yang ada 9.

2
PATOFISIOLOGI EIA
Stimulus pada EIA
Penguapan air dari saluran udara yang dihasilkan dari pemanasan dan pelembaban
sejumlah volume besar udara dalam waktu singkat merupakan respon yang
menyebabkan terjadinya EIA. Faktor penentu utama untuk beratnya respon saluran
napas meliputi kadar air dari udara yang diinspirasi dan tingkat ventilasi yang dicapai
dan dipertahankan selama latihan. Setiap kali bernafas dalam berbagai kondisi
lingkungan, udara yang diinspirasi perlu disesuaikan dengan kondisi fisiologis tubuh
yaitu pada suhu 37o c dengan 44 mgH2O/l dengan cara dipanaskan dan dilembapkan
sebelum memasuki saluran udara bagian bawah. Kondisi fisiologis yang diperlukan
tergantung pada kadar air yang ditentukan oleh suhu dan kelembaban udara yang
diinspirasi dan jumlah ventilasi 10.
Panas dan air secara langsung berpindah dari mukosa ke udara yang diinspirasi
disebabkan oleh perbedaan suhu dan gradien tekanan uap yang berbanding terbalik
dengan kecepatan linier aliran udara. Selama proses ini terjadi pendinginan saluran
nafas. Dengan latihan fisik intensitas kuat volume kecepatan ventilasi meningkat di
atas 30 l / menit dan terjadi peralihan dari pernapasan nasal ke mulut. Peningkatan
ventilasi ini mengakibatkan lebih banyak udara yang tidak mencapai saluran udara
yang lebih rendah tidak dalam kondisi fisiologis. Pada saluran udara bawah sumber
langsung air untuk melembabkan udara adalah cairan permukaan saluran napas yang
melapisi epitel yang dikenal sebagai lapisan cairan perisiliari. Epitel merupakan lapisan
yang bersifat mengabsorpsi selama kondisi istirahat namun menjadi lapisan permukaan
yang bersifat sekretorik selama latihan untuk mengisi ulang cairan permukaan jalan
napas 4,10,11.
Cairan permukaan saluran napas memiliki osmolaritas 290 hingga 320 mOsm dan
mengandung natrium, klorida, kalium, dan ion kalsium. Selama latihan ketika
kecepatan ventilasi melebihi 40 l/menit maka air harus segera diganti pada epitel
saluran napas untuk mencegah dehidrasi dan peningkatan osmolaritas. Proses
penggantian air terjadi karena proses kondensasi air dari udara yang dihembuskan yang
mengandung gas dari alveoli dengan keadaan lebih hangat daripada mukosa ke

3
permukaan saluran udara yang didinginkan. Penggantian air tambahan terjadi melalui
gradien osmotik dari sirkulasi bronkus ke permukaan epitel saluran napas untuk
mengembalikan osmolaritas normal. Namun dengan mekanisme homeostasis ini,
diperkirakan bahwa sekitar 40% dari total kehilangan air per menit berasal dari saluran
udara bawah pada kondisi 22 o c hingga 26 o c, kelembaban 40% dan kecepatan ventilasi
60 l/menit. Penguapan akibat kehilangan air ini terjadi sebagai respon terhadap
ventilasi yang tinggi selama latihan yang merupakan stimulus utama EIA 10,11.
Mekanisme patofisiologi EIA
Dua teori utama digunakan untuk menjelaskan mekanisme EIA yaitu teori termal dan
teori osmotik. Teori termal menjelaskan bahwa pendinginan jalan napas akibat
kehilangan air yang menguap menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah bronkus.
Pada proses penghangatan penyempitan saluran napas akan timbul akibat efek mekanis
dari pembengkakan vaskular, kebocoran vaskular, dan edema pada dinding saluran
napas. Sehingga penyempitan saluran napas terjadi sebagai akibat langsung dari
keadaan vaskular tersebut dan tidak akan berhubungan dengan pelepasan mediator atau
kontraksi otot polos saluran napas 10,12.
Teori osmotik menjelaskan bahwa efek utama dari kehilangan air pada saluran napas
adalah peningkatan osmolaritas cairan permukaan saluran napas yang mencakup sel
epitel saluran napas dan submukosa. Pada keadaan hiperosmolar ini mengaktifkan
mekanisme seluler untuk melepaskan berbagai mediator. Mediator ini pada akhirnya
menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dan penyempitan saluran napas. Saat
latihan fisik terjadi peningkatan ventilasi yang mengakibatkan membran mukosa
bronkus kering karena udara yang melewati saluran nafas harus dilembabkan dan
akibatnya saluran nafas kehilangan kelembabannya. Hal ini menimbulkan rangsangan
hiperosmolar yang mengaktifkan sel sekitarnya seperti sel mast sehingga terjadi
bronkokonstriksi yang memicu terjadinya asma. 13

4
Gambar 1 Teori patofisiologi exercise induced asthma. Teori termal (kiri) dan teori
omotik (kanan)

Dikutip dari 10

Mediator pada EIA


Beberapa mediator yang terlibat dalam patogenesis EIA menghasilkan peradangan
saluran napas dan kerusakan epitel. Eikosanoid berperan penting dalam proses
inflamasi. Eikosanoid merupakan mediator lipid yang terbentuk dari komponen
membran fosfolipid asam arakidonat (AA) termasuk leukotrin (LT) dan prostaglandin.
Seseorang dengan asma memiliki peningkatan kadar LT, seperti cysteinyl leukotrienes
(cysLTs) di saluran nafas. Prostaglandin terdiri dari prostaglandin D2 (PGD2) yang
memiliki sifat bronkokonstriksi dan prostaglandin E2 (PGE2) yang memiliki peran
bronkodilatasi 14.
Eikosanoid biosintesisnya diatur oleh fosfolipase A2 (PLA2) yang menghidrolisis
fosfolipid membran dan melepaskan AA yang tidak diesterifikasi, prekursor
eikosanoid Cytosolic PLA2a (cPLA2a) diperlukan untuk pembentukan eikosanoid.
Sekelompok enzim PLA2 yang disekresikan (sPLA2s) dengan adanya cPLA2a terbukti
berfungsi untuk menambah produksi AA lebih dari cPLA2a saja dan mengarahkan jalur
sintetis eikosanoid menuju produksi LT. Secara khusus kelompok sPLA2 X (sPLA2-X)
dan XIIa mendominasi pada tingkat ekspresi gen dan terutama ditemukan di sel-sel

5
epitel kolumnar dan makrofag bronkial. Secara khusus sPLA2-X adalah yang paling
kuat dari sPLA2 pada saat membentuk AA. Peningkatan protein sPLA2-X dapat
ditemukan pada sputum dan sel epitel setelah latihan 10,14.
Sel mast dan eosinofil merupakan sumber utama dari cysLTs dan eikosanoid pada EIA.
Jumlah eosinofil dalam sputum berkorelasi dengan tingkat keparahan EIA. Selain sel
mast dan eosinofil, epitel juga terlibat dalam pelepasan dan pengaturan mediator pada
EIA. Adenosin yang dihasilkan dari adenosin trifosfat pada epitel ditemukan setelah
latihan. Epitel juga mengekspresikan enzim 15 lipoxygenase-1, yang mensintesis
mediator bronkokonstriktif 15S hydroxyeicosatetraenoic. Epitel juga merupakan
sumber utama PGE2 yang telah ditemukan menjadi bronkoprotektif dan dapat
menghambat EIA ketika diberikan melalui inhalasi. Dengan demikian, melalui
interaksi kontak dekat dengan sel-sel inflamasi, epitel dapat mengatur keseimbangan
antara pelepasan eikosanoid dan mekanisme bronkokonstriksi yang dapat mengurangi
sintesis PGE2 7,13.
Mediator tambahan yang dapat berkontribusi menyebabkan bronkokonstriksi pada EIA
dilepaskan dari saraf sensoris saluran napas. Saraf sensorik ini diaktifkan oleh
eicosanoid seperti cysLTs di saluran napas. Saraf sensorik aktif melepaskan neurokinin
yang menyebabkan bronkokonstriksi dan pelepasan lendir yang disebut mucin 5AC
(MUC5AC). Musin 5AC adalah musin yang membentuk gel paling dominan dari sel
goblet. Ekspresi gen dan kadar MUC5AC di saluran udara meningkat setelah latihan
dan dikaitkan dengan keparahan EIA. Hubungan antara tingkat MUC5AC dan cysLTs
dan antara tingkat cysLTs dan neurokinin A telah terbukti dalam tantangan post
exercise saluran napas yang menunjukkan bahwa pelepasan MUC5AC dapat terjadi
dengan mekanisme aktivasi cysLT saraf sensoris saluran napas 10,15.

6
Gambar 2: Patofisiologi EIA.

Dikutip dari 14

Gambar 3: Alur patofisiologi EIA

Dikutip dari 16

7
DIAGNOSIS
Hingga saat ini belum ada pemeriksaan gold standard untuk mendiagnosis EIA.
Namun diagnosis EIA dapat ditentukan oleh perubahan fungsi paru yang dipicu oleh
latihan dengan menggunakan spirometri. Gejala EIA terutama meliputi mengi, dada
terasa berat, sesak nafas (dyspnea), dan batuk termasuk nyeri dada terutama pada anak
serta produksi mukus yang berlebihan. Gejala ini juga terjadi pada penyakit lain.
Diagnosis EIA tidak dapat ditegakkan berdasarkan gejala saja bila tidak diikuti oleh
data dari latihan obyektif atau dengan exercise challenge17. Ada beberapa
kontraindikasi absolut untuk dilakukan exercise challenge antara lain apabila VEP1 <
50%, pasien dengan riwayat stroke dan serangan jantung dalam 3 bulan terakhir,
hipertensi tidak terkontrol dengan tekanan sistolik >200 dan tekanan diastolik >100,
aneurisma aorta dan iskemia miokard tidak stabil. Sedangkan kontraindikasi relatif
yaitu apabila VEP1 <60 %, kehamilan dan ibu menyusui 6.
Pengukuran fungsi paru serial setelah latihan fisik maupun exercise challenge
digunakan untuk menentukan terjadinya EIA dan untuk mengukur beratnya obstruksi.
Berdasarkan pedoman Americam thorasic society (ATS) parameter penilaian EIAyang
terbaik adalah volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), karena pengukuran ini
memiliki pengulangan yang lebih baik daripada laju arus puncak ekspirasi (APE).
Pemulihan dari EIA biasanya spontan dan VEP1 kembali ke nilai baseline 95% dalam
waktu 30 sampai 90 menit setelah latihan. Pemulihan terjadi lebih cepat pada anak-
anak yang lebih muda 18.
Menurut pedoman ATS setidaknya dua manuver VEP1 yang reproducible diukur
secara serial setelah latihan, dengan nilai tertinggi yang acceptable dicatat pada setiap
interval. Penilaian VEP1 diukur pada 5, 10, 15, dan 30 menit setelah latihan tetapi
mungkin lebih sering jika ditemukan gejala dengan respon yang berat. Respon saluran
napas dinyatakan sebagai persentase penurunan VEP1 dari nilai baseline. Perbedaan
antara nilai VEP1 sebelum latihan dan nilai VEP1 terendah tercatat dalam 30 menit
setelah latihan dan dinyatakan sebagai persentase nilai sebelum latihan. Kriteria untuk
penurunan persen VEP1 yang digunakan untuk mendiagnosis EIA adalah >10%.
Derajat beratnya EIA dapat dinilai sebagai ringan, sedang, atau berat. Derajat ringan

8
apabila persentase penurunan VEP1 sebelum latihan adalah 10% - 25%, derajat sedang
apabila VEP1 25% - 50 % dan derajat berat apabila VEP1 ≥ 50%. Penilaian ini
didasarkan pada keadaan sebelum penggunaan steroid inhalasi. Penurunan VEP1 >30%
pada seseorang yang mengkonsumsi steroid inhalasi akan dianggap berat 6,8,19.
Exercises challenge test
Jenis latihan, durasi latihan, intensitas latihan dan suhu serta kadar air dari udara yang
dihirup merupakan faktor penentu penting dari respon saluran napas terhadap olahraga.
Faktor penentu EIA yang paling penting adalah ventilasi yang tinggi dan terus menerus
selama latihan dan kadar air dari udara yang dihirup. Protokol yang ideal untuk
mendeteksi EIA yaitu peningkatan cepat intensitas latihan selama sekitar 2-4 menit
untuk mencapai tingkat ventilasi yang tinggi. Beberapa protokol merekomendasikan
menghirup udara kering <10 mg H2O / L dengan klip hidung saat berlari atau bersepeda
dengan beban yang cukup untuk menaikkan denyut jantung hingga 80-90% dari
perkiraan maksimum (perkiraan denyut jantung maksimum 220 - usia dalam tahun)
atau ventilasi mencapai 17,5–21 kali VEP1. Setelah tingkat latihan ini tercapai, subjek
harus melanjutkan latihan pada tingkat yang lebih tinggi dengan waktu tambahan 4-6
menit. Target ini lebih cepat dicapai dengan berlari dibandingkan dengan bersepeda.
Riwayat penggunaan obat- obatan asma baik jangka pendek maupun jangka panjang,
latihan yang didahului dengan pemanasan intermiten, dan riwayat penggunaan obat-
obatan anti-inflamasi nonsteroid dapat mempengaruhi respon terhadap exercise
challenge 7,8 .
Beberapa diagnostic challenges yang digunakan untuk mengidentifikasi hiperresponsif
saluran napas terdiri dari 2 jenis yang diklasifikasikan berdasarkan mekanisme
tindakan. Pertama direct challenge yang digunakan adalah bahan farmakologis tunggal
seperti metakoline atau histamin yang merupakan zat pemicu yang diberikan secara
eksogen yang bekerja langsung melalui reseptor pada saluran napas yang menyebabkan
kontraksi otot. Kedua adalah indirect challenge antara lain Eucapnic voluntary
hyperpneu (EVH) yaitu menginhalasi agen osmotik, seperti manitol atau garam
hipertonik yang memicu pelepasan mediator endogen yang menyebabkan kontraksi
otot polos jalan napas. Mediator ini bertindak pada reseptor spesifik otot polos bronkus

9
yang menyebabkan bronkokonstriksi. Tes provokasi bronkus penting pada beberapa
keadaan antara lain untuk mengkonfirmasi diagnosis EIA, selain itu juga berfungsi
untuk menapis atlet pada bidang olahraga yang didapatkan insidensi EIA tinggi serta
untuk studi epidemiologi untuk mengetahui insiden EIA 5,20.

TATALAKSANA Exercise induced asthma


Tujuan utama pengobatan EIA adalah memungkinkan pasien untuk berolahraga
dengan aman. Tujuan sekunder adalah menjaga atlet dari semua tingkatan dan
membantu atlet kompetitif memaksimalkan kinerjanya. Pengobatan EIA terdiri dari
terapi farmakologis dan non farmakologis. Terapi non farmakologis antara lain adalah
manuver untuk memperbaiki kondisi udara selama latihan dengan pemanasan awal dan
humidifikasi. Mencegah kehilangan air dengan menggunakan masker wajah dapat
meningkatkan kelembapan dan mengurangi terjadinya angka kejadian EIA10,18. Selain
itu terapi non farmakologis seperti diet rendah garam, diet dengan minyak ikan serta
penggunaan asam askorbat disebutkan dapat mengurangi angka kejadian EIA 22.
Pengobatan farmakologis utama adalah pemberian short acting β2 agonist (SABA)
disertai dengan terapi untuk mengontrol EIA dengan pemberian mast cell stabilizer
agent (MCSA), antikolinergik inhalasi, kortikosteroid inhalasi, long acting β2 agonists
(LABA), leukotrien reseptor antagonists (LTRA) dan antihistamin. Pasien dengan EIA
pedoman praktek klinis ATS merekomendasikan pemberian SABA yang dihirup
sebelum latihan. Pemberian SABA biasanya dilakukan 15-20 menit sebelum latihan.
Terapi pengontrol biasanya ditambahkan setiap kali terapi SABA digunakan setiap hari
atau lebih sering. Pasien dengan EIA yang tetap memiliki gejala meskipun
menggunakan SABA yang dihirup sebelum latihan atau menggunakan SABA yang
dihirup setiap hari atau lebih sering karena efek samping sehingga ATS
merekomendasikan penggunaan LABA sehari- hari sebagai terapi tunggal. Pemberian
MCSA tidak memiliki efek bronkodilator tetapi bersifat bronkoprotektif. Mekanisme
MCSA dalam mengurangi EIA adalah dengan menghambat degranulasi sel mast dan

10
pelepasan mediator inflamasi seperti PGD2. Pemberian MCSA dilakukan secara
kombinasi dengan terapi antikolinergik diberikan sesaat sebelum latihan 8,21.
Terapi antikolinergik inhalasi dapat mencegah dan mengobati EIA, pemberian
dilakukan sebelum latihan. Mekanisme antikolinergik bersifat bronkodilator melalui
penghambatan reseptor muskarinik dari saraf kolinergik di otot polos bronkus sehingga
aktifitas saraf adrenegis menjadi dominan sehingga menimbulkan efek bronkodilatasi.
Penggunaan kortikosteroid inhalasi tidak hanya diberikan sebelum latihan tetapi setiap
hari bahkan kortikosteroid inhalasi harus digunakan selama 2-4 minggu untuk melihat
peningkatan maksimal. Penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tunggal atau dalam
kombinasi dengan obat lain dapat meningkatkan kontrol terhadap beratnya EIA dan
frekuensi gejala eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi memberikan efek antiinflamasi
yang paling efektif pada kejadian EIA. Pemberian LABA mekanisme β2 agonis inhalasi
menghambat EIA dengan mengaktifkan dua situs reseptor β2 pada sel mast untuk
menghambat pelepasan mediator pada otot polos bronkus untuk memblokir kontraksi
termasuk histamin, leukotrien, dan PGD2 6,8.
Pemberian β2 agonis saja mampu mengobati komponen bronkokonstriktif dari EIA
tetapi tidak berdampak pada inflamasi. Toleransi terlihat pertama dengan
memperpendek durasi perlindungan menjadi 2 jam dengan SABA seperti albuterol atau
terbutalin dan 4-6 jam dengan LABA seperti pada formoterol atau salmeterol. Dosis β2
agonis yang diperlukan untuk mencapai perlindungan mungkin lebih tinggi jika β2
agonis harian diberikan. Episode EIA mungkin lebih berat dengan pemberian β2 agonis
setiap hari. Kemungkinan mekanisme toleransinya adalah penurunan jumlah atau
penurunan reseptor β2 adrenergik pada sel mast. Penggunaan intermiten β2 agonis tidak
lebih dari tiga kali seminggu untuk profilaksis atau pengobatan paling efektif dalam
mencegah takifilaksis. Penghentian β2 agonis selama 3 hari biasanya akan
menyebabkan kembalinya respon terhadap beta agonis. Penggunaan leukotriene agents
(LTRA) setiap hari dapat direkomendasikan untuk mencegah EIA dengan pemberian
2 jam sebelum latihan untuk mendapatkan pencegahan maksimal. Pemberian LTRA
seperti montelukast dapat mengurangi penurunan VEP1 sebesar 40 %- 60 %. Pemberian

11
LTRA secara oral memiliki efek sistemik pada tubuh sehingga beberapa pasien
memilih menggunakan kortikosteroid inhalasi atau LABA18,21.

Gambar 4 Alur dan Tatalaksana exercise induced Asthma

Dikutip dari 18

KESIMPULAN

1.EIA adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan penyempitan


sementara saluran pernapasan bawah yang terjadi selama dan setelah latihan fisik.

2. EIA dapat terjadi pada pasien yang secara klinis terdiagnosis asma namun dapat pula
terjadi pada subjek tanpa riwayat asma sebelumnya.

3. EIA sering terjadi pada anak, dewasa muda dan juga dapa muncul pada elit atlit.

4. Patogenesis EIA secara pasti belum diketahui tetapi beberapa teori diantaranya teori
termal dan teori osmotik serta pelepasan mediator menjadi lebih jelas dalam memahami
penyebab EIA.

12
5. Pemeriksaan gold standard untuk menegakkan diagnosis EIA belum diketahui,
gejala klinis saja tidak dapat menegakkan diagnosis EIA harus diikuti oleh data latihan
objektif atau data hasil penilaian exercise challenge.

6. Pengobatan EIA terdiri dari terapi non farmakologis dan terapi farmakologis.

7. EIA adalah penyakit yang dapat diobati dan dapat dicegah.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative For Asthma. Definition, descrption, and diagnosis for Asthma 2018
; 13-15.
2. Riset Kesehatan Dasar.Prevalensi Penyakit Asma, PPOK, Kanker di Indonesia.
Jakarta. 201 3: 85.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma. Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia Jakarta: PDPI 2003: 3-16.
4. Gomez JL, Chupp GL, Geba GP Aspirin and Exercise Induced Asthma In: Grippy
MA. Elias JA, Fishman JA, Robert MK, Allan MA, Senior MR (eds) Fishman’s
Pulmonary Diseases and Disorders Fifth edition Newyork 2015; 1593-99.
5. Randolph C, Weiler JM Exercise Induced bronchoconstriction In: Bernstein JA,
Levy ML (eds) Clinical asthma theory and practice London: CRC press 2014; 111-
120.
6. Jonathan JP, Hallstrand TS, Mastronarde JG, Kaminsky DA, Rundell KW, Hull JH
et al. An official American Thoracic Society Clinical Practice Guidline: Exercise
Induced Bronchoconstriction. AM J Respir Crit Care Med .2013; 187: (9): 1016-21.
7. Anderson SD. Exercise Induced Bronchoconstriction in the 21st Century J Allergy
Clin Immunol. 2011; (111): 111-21
8. Weiler JM, Brannan JD, Randolph CC. Exercise Induced Bronchoconstriction
Update 2016. J allergy Clin Immunol .2016; 1 – 21.
9. Afriwardi. Latihan Fisik Mencetuskan Asma. Majalah Kedokteran Andalas Padang
.2008: (32); 99 – 101.
10. Pongdee T, Li JT. Mechanism of disease for Clinician Exercise-induced
bronchoconstriction. 2013; (110): 312-14.
11. Godfrey S. Exercise as a trigger In: Barnes PJ, Jeffrey MD, Stephen R, Neil CT
(ed) Asthna and COPD Basic Mechanism and Clinical Management Amsterdam:
Academic Press; 2002: 421-27.

14
12. Torrie MA, Craig TJ Exercise induced Bronchoconstriction Mahmoudi M (ed)
Alergy and Asthma Practical Diagnosis and Management second edition USA:
Springer Press 2016; 241-50.
13. Couto M, Kurowski M.Moreira A, Bullens DM, CarlseN KH, Delgado L.
Mechanisms of exercise-induced bronchoconstriction in athletes: Current perspectives
and future challenges. EAACI and John Wiley and Sons. 2017 :10-12.
14. Halstrand TS. New Insight into to Pathogenesis of Exercise Induced
Bronchoconstriction. Cur Opin Allergy Clin Immunol. 2013; 12 (1): 42-48.
15. Hallstrand TS, Debley JS, Farin FM, Handerson WR Role of MU5AC in the
pathogenesis of exercise induced bronchoconstriction. J Allergy Clin Immunol 2007;
119: (5): 1093-97.
16. Anderson SD, Kippelin P. Exercise - induced bronchoconstriction: pathogenesis
Curr Allergy Asthma. 2005; (5): 117-22.
17. Bonini M, Palange M. Exercise Induced Bronchoconstriction: New evidence in
Pathogenesis, Diagnosis and Treatment. Asthma research and Practice. 2015: (2): 1-
6.
18.Caggiano S, Cutrera R, Antonio DM, Turchetta A. Exercise Induced
Bronchosapasm And Allergy. Front. Pediat 2017; (5): 131-39.
19. Suta, IB. Exercise Induced Asthma In: Rai IB, Artana IB (ed) Comphrensive
Approach of Asthma. Bali: 2016: 153-158.
20. Weiler JM, Bonin S, Coifman R, Craig T, Delgado L, Filipe MD.et al. American
Academy of Allergy: Asthma and Immunology Work Group Report: Exercise Induced
Asthma. J Allergy Clin Immunol 2007; 119: 1349-55.
21. Carver TW. Exercis – induced asthma: critical analysis of the protective role of
montelukast. J Asthma Allergy 2009; (2): 93-103.
22. Micklebrough TD, ANutritional Approach to Managing Exercise-Induced Asthma
:Diet and Exercise-Induced Asthma . Americaan College of Sports Medicine. 2008:
135-43.

15

Anda mungkin juga menyukai