Anda di halaman 1dari 93

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Arah dan kebijaksanaan pembangunan bidang kesehatan, diantaranya

menyebutkan bahwa pembangunan kesehatan diarahkan untuk mempertinggi

derajat kesehatan. Salah satu yang termasuk di dalamnya adalah meningkatkan

kualitas hidup serta kecerdasan dan kesejahteraan rakyat. Kesehatan

merupakan salah satu aspek dari kehidupan masyarakat mutu hidup,

produktifitas tenaga kerja, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada

bayi dan anak-anak, menurunnya daya kerja fisik serta terganggunya

perkembangan mental adalah akibat langsung atau tidak langsung dari

masalah gizi kurang (Husaini & Mahdin,2001).

Masalah kekurangan gizi yang banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini

adalah masalah gizi kronis dalam bentuk anak pendek (stunting). Stunting

merupakan masalah gizi kronis, artinya muncul sebagai akibat dari keadaan

kurang gizi yang terakumulasi dalam waktu yang cukup lama.

Saat ini negara berkembang dihadapkan pada masalah gizi ganda, yaitu

masalah gizi kurang yang berakibat tidak optimalnya pertumbuhan dan

kecerdasan dan masalah gizi lebih yang berakibat timbulnya penyakit

degeneratif (Devi 2010). Gagal tumbuh yang terjadi akibat kekurangan gizi

pada masa-masa emas akan berakibat buruk pada kehidupan berikutnya yang

sulit diperbaiki. Kurangnya gizi pada masa penting tersebut dapat

1
menyebabkan terhambatnya perkembangan otak yang juga berdampak pada

rendahnya kecerdasan, kemampuan belajar, kreativitas dan produktivitas anak

(Syarief et al. 2007). Stunting merupakan kondisi yang menunjukkan tinggi

badan menurut usia yang kurang dari -2SD, nilai di bawah -3SD menunjukkan

kondisi yang parah (Gibney et al. 2009). Indikator tinggi badan menurut usia

(TB/U) menggambarkan status gizi yang bersifat kronis yang muncul sebagai

akibat dari keadaan yang berlangsung lama seperti kemiskinan, perilaku pola

asuh yang tidak tepat, sering menderita penyakit secara berulang karena

higiene dan sanitasi yang kurang baik.

Stunting tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi disebabkan

oleh banyak faktor, dimana faktor-faktor tersebut saling berhubungan satu

dengan yang lainnya. Ada tiga faktor utama penyebab stunting yaitu asupan

makan tidak seimbang (berkaitan dengan kandungan zat gizi dalam makanan

yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, dan air) riwayat berat lahir

badan rendah (BBLR) dan riwayat penyakit (UNICEF, 2007). Secara garis

besar penyebab stunting dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan yaitu

tingkatan masyarakat, rumah tangga (keluarga) dan individu. Pada tingkat

rumah tangga (keluarga), kualitas dan kuantitas 3 makanan yang tidak

memadai, tingkat pendapatan, pola asuh makan anak yang tidak memadai,

pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai menjadi faktor penyebab

stunting, dimana faktor-faktor ini terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat

(UNICEF, 2007)
Penelitian yang dilakukan oleh Renyoet (2010) menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan antara perhatian atau dukungan ibu terhadap

praktek pemberian makan terhadap kejadian stunting pada anaknya. Hal ini

juga sejalan dengan Pendapat Sawadogo yang dikutip oleh Renyoet,

menyatakan bahwa perilaku ibu dalam menyusui atau memberi makan, cara

makan yang sehat, memberi makanan bergizi dan mengontrol besar porsi

makanan yang dihabiskan oleh anak akan meningkatkan status gizi anak.

Berdasarkan penelitian Semba, et al. (2008), tingkat pendidikan ibu dan ayah

faktor utama kejadian stunting pada balita di Indonesia dan Bangladesh.

Kurangnya gizi pada anak dapat disebabkan oleh sikap atau perilaku dari

orang tua, khususnya ibu, yang menjadi faktor dalam pemilihan makanan yang

tidak benar, Pemilihan bahan makanan, tersedianya jumlah makanan yang

cukup dan keanekaragaman makanan ini dipengaruhi oleh tingkat

pengetahuan ibu tentang makanan dan gizinya. Ketidak tahuan ibu dapat

menyebabkan kesalahan pemilihan makanan. (Mardiana, 2006)

Pendidikan gizi sebaiknya di lakukan dini untuk membangun

pola/kebiasaan makan yang sehat. Memaksakan anak untuk makan makanan

yang bergizi merupakan cara yang tidak efektif. Penyadaran melalui edukasi

gizi sejak dini pada anak-anak akan menumbuhkan rasa cinta terhadap

makanan bergizi. Hal ini akan membuat anak tidak akan merasa terpaksa

untuk makan makanan bergizi. Peranan orang tua terutama ibu sangat penting

dalam pemenuhan gizi anak karena anak membutuhkan perhatian dan

dukungan orang tua dalam menghadapai pertumbuhan dan perkembangan


yang sangat pesat. Untuk mendapatkan gizi yang baik diperlukan pengetahuan

gizi yang baik dari orang tua agar dapat menyediakan menu pilihan yang

seimbang (Devi, 2012).. Pengetahuan gizi yang kurang atau kurangnya

menerapkan pengetahuan gizi dalam kehidupan sehari-hari dapat

menimbulkan masalah gizi (Rosa, 2011). Tingkat pengetahuan gizi seseorang

berpengaruh terhadap sikap dan perilaku dalam pemilihan makanan

Seorang ibu yang memiliki pengetahuan dan prilaku terhadap asupan gizi

yang kurang akan sangat berpengaruh terhadap status gizi anaknya dan akan

sukar untuk memilih makanan yang bergizi untuk anak dan keluarganya,

Viramitha at,al (2019). Oleh karena itu, upaya perbaikan stunting dapat

dilakukan dengan peningkatan pengetahuan sehingga dapat memperbaiki

perilaku pemberian makan pada anak dan asupan makan anak juga dapat

diperbaiki. Peningkatan pengetahuan di harapkan dapat ditingkatkan melalui

komunikasi, informasi dan edukasi kepada ibu balita stunting tersebut.

Media komunikasi, pemberian informasi dan edukasi (KIE) tentang gizi

adalah model interaksi antara klien dan konselor untuk mengidentifikasi

permasalahan gizi yang terjadi, dan mencari solusi untuk masalah tersebut.

KIE gizi dapat meningkatkan pengetahuan dan merubah prilaku ibu dalam

pemberian asupan gizi pada balita stunting, Tiara Rosnia (2013)

Di dunia terdapat 178 juta anak berusia kurang dari lima tahun (balita)

yang stunting. Dan pada tahun 2007 prevalensi balita stunting di seluruh dunia

adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang sebesar 31,2%. Benua Asia

memiliki prevalensi balita stunting sebesar 30,6%. Prevalensi balita stunting


di Asia tenggara adalah 29,4 %, lebih tinggi dibandingkan dengan Asia Timur

(14,4 %) dan Asia Barat (20,9%), WHO (2008)

Prevalensi Balita Stunting di Indonesia adalah pada balita sangat pendek

dan pendek tahun 2013 sebesar 37,2 % dan di tahun 2018 sebesar 30,8 %

mengalami penurunan dalam 5 tahunan ini. Propinsi Bengkulu berada di

urutan 11 dari 37 propinsi di tahun 2013 di atas angka nasional 39 % dan di

tahun 2018 mengalami penurunan 27.5%, Riskesdas (2018)

Kabupaten kepahiang tahun 2018 menunjukan bahwa prevalensi stunting

sebesar 15,6 % prevalensi tertinggi ada di wilayah kerja Puskesmas Kaba

Wetan sebesar 28,3%, Puskesmas cugung lalang ada di posisi kedua dengan

prevalensi sebesar 22,6%, dan Puskesmas Ujan Mas menduduki urutan ketiga

tertinggi di Kabupaten Kepahiang yaitu sebesar 20,8%, profil kesehatan

(2018).

Hasil survei awal yang telah dilakukan di Puskesmas Ujan mas didapatkan

data jumlah balita sangat pendek berjumlah 57 balita, dan desa tertinggi ada di

Ujan Mas atas sebanyak 16 balita.

Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan stunting

di Kabupaten Kepahiang terutama di Puskesmas Ujan mas masih cukup

tinggi, sehingga perlu dilakukan suatu intervensi yang nyata untuk

menurunkan prevalensi tersebut, berdasarkan uraian di atas, media kie dapat

berperan penting dalam upaya perbaikan stunting oleh sebab itu peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh media KIE terhadap prilaku ibu

balita dalam pemenuhan gizi balita stunting


B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas masalah dalam penelitian ini adalah

tingginya kejadian stunting pada balita di Puskesmas Ujan Mas pada tahun

2019 Pertanyaan Penelitian apakah ada pengaruh media KIE terhadap prilaku

ibu dalam pemenuhan gizi balita stunting?

C. TUJUAN PENELITIAN
1. Tujuan umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh

Media KIE terhadap prilaku ibu dalam pemenuhan gizi balita stunting
2. Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui prilaku ibu terhadap pemenuhan gizi balita

stunting.
b. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh media KIE terhadap

prilaku ibu terhadap pemenuhan gizi balita stunting.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi Akademik
Dapat memberikan informasi dan masukan bagi mahasiswa kebidanan

mengenai pengaruh media KIE terhadap prilaku ibu dalam pemenuhan

gizi balita stunting di poltekes curup.

2. Bagi Ilmu Pengetahuan


Hasil dari penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi di bidang

kesehatan.
3. Bagi Puskesmas Ujan Mas
Sebagai sumbangan pemikiran dan sebagai bahan masukan bagi bidan dan

tenaga kesehatan di Puskesmas Ujan Mas Kepahiang sehingga dapat

melakukan pencegahan dan penatalaksanaan balita stanting dengan baik.


4. Bagi peneliti lain
Sebagai data dasar untuk penelitian serta dapat merupakan informasi untuk

penelitian selanjutnya

E. KEASLIAN PENELITIAN
Tabel 1.1
Keaslian Peneitian

No Nama Judul Penelitian Desain Hasil


1. Tiara Pengaruh Konseling Gizi Eksperi Konseling gizi dapat

Rosania Terhadap Pengetahuan, men meningkatkan

Hestunin Sikap, Praktik Ibu Dalam pengetahuan, sikap,

gtyas Pemberian Makan Anak, praktik ibu dalam

dan Asupan Zat Gizi Anak pemberian makan anak,

Stunting Usia 1-2 Tahun dan asupan zat gizi anak

di Kecamatan Semarang secara signifikan

Timur
2. Rahmaya Hubungan Pola Asuh Ibu Cross 1.Pola asuh

na Dengan Kejadian Stunting sectional menunjukkan hubungan

Anak Usia 24-59 Bulan Di yang signifikan dengan

Posyandu Asoka II kejadian stunting pada

Wilayah Pesisir Kelurahan anak usia 24-59 bulan.


2.Upaya dalam
Barombong Kecamatan
memperbaiki praktik
Tamalate Kota Makassar
pemberian makan,
Tahun 2014
rangsangan psikososial,

praktik

kebersihan/higyene,

sanitasi lingkungan dan


pemanfaatan pelayanan

kesehatan memiliki

peran yang besar dalam

pertumbuhan tinggi

badan anak
Perbedaan dengan penelitian yang di lakukan oleh peneliti adalah

variabel yang di teliti dan tempat. Penelitian dilakukan di Puskesmas Ujan

Mas Tahun 2019.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. KIE ( Komunikasi,Informasi,Edukasi)

1. Definisi Kie

KIE adalah kepanjangan dari komunikasi, informasi dan edukasi

maksudnya adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi (kesehatan) adalah merupakan usaha sistematis untuk

mempengaruhi perilaku positif dimasyarakat, dengan menggunakan

prinsip dan metode komunikasi baik menggunakan komunikasi

pribadi maupun komunikasi massa.

b. Informasi adalah keterangan,gagasan maupun kenyataan yang perlu

diketahui masyarakat.

c. Edukasi adalah proses perubahan perilaku kearah positif.pendidikan

kesehatan merupakan kompetensi yang dituntut dari tenaga kesehatan

karena merupakan salah satu peranan yang harus dilakukan dalam

setiap memberikan pelayanan kesehatan.

2. Tujuan Kie

Adapun tujuan dilaksanakan program kie yaitu :

a. Meningkatkan pengetahuan, sikap dalam promosi kesehatan.

b. Membina kelestarian dalam memberikan promosi kesehatan

c. Meletakkan dasar bagi mekanisme sosiokultural yang dapat

menjamin berlangsung nya proses penerimaan


d. Mendorong terjadinya perubahan perilaku ke arah yang positif,

peningkatan, pengetahuan,sikap dan praktik masyarakat (klien)

secara wajar sehingga masyarakat melaksanakannya secara mantap

sebagai perilaku yang sehat dan bertanggung jawab.

3. Prinsip langkah KIE

a. Mengarahkan gerakan promosi kesehatan kepada gerakan yang

menuntut partisipasi dari seluruh masyarakat.

b. Menumbuhkan lingkungan yang mendukung terhadap peningkatan

promosi kesehatan.

c. Meningkatkan kualitas pelayanan KIE melalui analisa sasaran yang

semakin tajam, kesepakatan pengelola program, perkembangan isi

pesan yang berkaitan dengan promosi kesehatan.

4. Aspek Dalam Kie

Ada tujuh aspek penting yang perlu diperhatikan petugas dalam

melaksanakan kegiatan KIE promosi kesehatan:

a. Keterpaduan

Kegiatan KIE dilakukan secara terpadu oleh semua petugas

kesehatan yang mengenai program-program yang terkait dengan

promosi kesehatan, yaitu petugas-petugas yang melaksanakan

pelayanan tentang promosi kesehatan untuk masyarakat, misalnya

lansia yang telah mengalami penuaan rentan mengalami penyakit

generatif Oleh karena itu petugas harus :

1) Mengetahui materi KIE dan pesan-pesan utama tentang promosi


kesehatan yang perlu disampaikan terutama pesan yang terkait

erat dengan tugas pokoknya.

2) Mampu menyampaikan pesan-pesan tersebut pada setiap

kesempatan berhadapan dengan klien atau masyarakat, baik di

dalam maupun di luar klinik (saat kunjunganrumah/kunjungan

lapangan), berkoordinasi baik dengan semua petugas terkait dan

mengupayakan adanya kesepakatan/ komitmen antar semua

petugas terkait untuk mendukung terlaksananya kegiatan KIE ini.

3) Berkoordinasi dalam penggunaan materi dan pesan-pesan utama

yang standar, agar klien/masyarakat memperoleh informasi yang

sama, dari manapun asalnya.

4) Berkoordinasi alam memanfaatkan semua forum yang ada untuk

menyampaikan materi KIE/pesan-pesan utama.

5) Berkoordinasi dalam mengembangkan materi dan pesan-pesan

kesehatan tersebut dalam promosi kesehatan agar lebih sesuai

dengan kebutuhan kelompok.

b. Mutu

Materi KIE promosi kesehatan haruslah bermutu:

1) Selalu didasarkan pada informasi ilmiah terbaru.

2) Kebenarannya dapat di pertanggungjawabkan

3) Jujur serta seimbang (mencakup keuntungan dan kerugian bagi

sasaran)

4) Sesuai dengan media dan jalur yang dipergunakan untuk


menyampaikannya.

5) Jelas dan terarah pada kelompok sasaran secara tajam

(lokasi,tingkat sosial ekonomi, latar belakang budaya, umur)

6) Tepat guna dan sasaran.

c. Media Dan Jalur

Kegiatan KIE promosi kesehatan dapat dilaksanakan melalui

berbagai media (tatap muka, media tertulis, elektronik, tradisional,

dll) dan jalur (formal, informal, instusional, dll) sesuai dengan

kondisi yang ada.

d. Efektif (Berorientasi Pada Penambahan Pengetahuan Dan Perubahan

Kelompok Sasaran)

Kegiatan KIE yang efektif akan memberi dua hasil, yaitu

penambahan pengetahuan dan perubahan perilaku kelompok sasaran.

e. Dilaksanakan Bertahap, Berulang Dan Memperhatikan Kepuasan

Sasaran.

Penyampaian materi dan pesan-pesan harus dan diberikan

secara bertahap, berulang-ulang, dan bervariasi sesuai dengan daya

serap dan kemampuan kelompok sasaran untuk melaksanakan

perilaku yang di harapkan. Materi dan pesan yang bervariasi tidak

membosankan sehingga penerima pesan tertarik dan senang dengan

informasi yang diterima.


f. Menyenangkan

Perkembangan terakhir dunia komunikasi menunjukan bahwa

kegiatan KIE paling berhasil jika dilaksanakan dengan cara

penyampaian yang kreatif dan inovatif sehingga membuat kelompok

merasa senang dan terhibur.

g. Berkesinambungan (Diikuti Tindak Lanjut)

Semua kegiatan KIE tidak berhenti pada penyampaian pesan-

pesan saja, akan tetapi harus diikuti dengan tindak lanjut yang

berkesinambungan. Artinya kegiatan KIE dilaksanakan perlu selalu

diikuti penilaian atas proses (apakah telah dilaksanakan sesuai

rencana?) dan penilaian atas hasil (apakah pengetahuan dan perilaku

kelompok sasaran telah berubah?) untuk menyiapkan kegiatan

berikutnya.

5. Tahap Dalam Proses Penerimaan Atau Penolakan Seseorang

Terhadap Promosi Kesehatan :

a. Tahu secara sepintas (awarenest)

Individu mengetahui adanya promosi kesehatan, tetapi belum

mempunyai informasi yang mendalam tentang sifat dan kegunaan

gagasan tersebut. Mengetahui adanya promosi kesehatan dari

berbagai sumber surat kabar radio, TV dan lain-lain.

b. Tertarik (interest)

Individu mulai menaruh perhatian terhadap persoalan promosi

kesehatan dalam taraf ini individu ingin mengetahui lebih banyak


tentang promosi kesehatan dengan sungguh-sungguh, keterangan-

keterangan atau penjelasan yang diperolehnya dari berbagai sumber.

B. Media Pembelajaran

Kata media berasal dari bahasa Latin dan merupakan bentuk jamak

dari kata medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.

Pengertian media ada dua macam, yaitu arti sempit dan arti luas. Arti sempit,

menyatakan bahwa media itu berwujud: grafik, foto, alat mekanik dan

elektronik yang digunakan untuk menangkap, memproses serta

menyampaikan informasi. Menurut arti luas, yaitu kegiatan yang dapat

menciptakan suatu kondisi sehingga memungkinkan peserta didik dapat

memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang baru (Rohani

1997:2). Dalam konsep ini, segala jenis alat, baik elektronik maupun

nonelektronik, yang dijadikan sarana penyampaian pesan dalam komunikasi

disebut media. Apabila jenis alat ini digunakan dan dijadikan sumber

informasi pembelajaran, maka disebut media pembelajaran.

Secara lebih utuh media pembelajaran dapat didefinisikan sebagai alat

bantu berupa fisik maupun non fisik yang sengaja digunakan sebagai

perantara dalam memahami materi pembelajaran agar lebih efektif dan

efisien. Sehingga materi pembelajaran lebih cepat diterima dengan utuh serta

menarik minat untuk belajar lebih lanjut. Pendek kata, media merupakan alat

bantu yang digunakan dengan desain yang disesuaikan untuk meningkatkan

kualitas pembelajaran (Musfiqon, 2011:28).


15

1. Leaflet

Leaflet adalah bahan cetak tertulis berupa lembaran yang dilipat

tapi tidak dimatikan/dijahit. Agar terlihat menarik biasanya leaflet

didesain secara cermat dilengkapi dengan ilustrasi dan menggunakan

bahasa yang sederhana, singkat serta mudah dipahami. Leaflet sebagai

bahan ajar juga harus memuat materi yang dapat menggiring siswa

untuk menguasai satu atau lebih KD (Murni, 2010:1).

Banyak orang belum mengetahui apa itu leaflet dan apa

perbedaannya dengan pamflet. Hal tersebut dapat dijelaskan oleh

Hermiko (2010:1): “Pamphlet (pamplet) adalah semacam booklet (buku

kecil) yang tak berjilid. Mungkin hanya terdiri dari satu lembar yang

dicetak di kedua permukaannya. Tapi bisa juga dilipat di bagian

tengahnya sehingga menjadi empat halaman. Atau bisa juga dilipat tiga

sampai empat kali hingga menjadi beberapa halaman. Jika dilipat

menjadi empat, pamphlet itu memiliki nama tersendiri yaitu leaflet.

Penggunaan pamphlet atau leaflet umumnya dilakukan untuk

pemasaran aneka produk dan juga untuk penyebaran informasi politik”.

Leaflet sebagai bahan ajar harus disusun secara sistematis, bahasa yang

mudah dimengerti dan menarik. Semua itu bertujuan untuk menarik

minat baca dan meningkakan motivasi belajar siswa. Sehingga Dalam

penyusunannya leaflet sebagai bahan ajar perlu mempertimbangkan

hal-hal antara lain sebagai berikut:

a. Substansi materi memiliki relevansi dengan kompetensi dasar atau


16

materi pokok yang harus dikuasai oleh siswa.

b. Materi memberikan informasi secara jelas dan lengkap tentang hal-

hal yang penting sebagai informasi.

c. Padat pengetahuan.

d. Kebenaran materi dapat dipertanggungjawabkan

e. Kalimat yang disajikan singkat, jelas.

f. Menarik siswa untuk membacanya baik penampilan maupun isi

materinya.

g. Dapat diambil dari berbagai museum, obyek wisata, instansi

pemerintah, swasta, atau hasil download dari internet.

Dalam menyusun sebuah Leaflet sebagai bahan ajar, leaflet paling

tidak memuat antara lain:

1. Judul diturunkan dari kompetensi dasar atau materi pokok sesuai

dengan besar kecilnya materi.

2. Kompetensi dasar/materi pokok yang akan dicapai, diturunkan dari

Kurikulum 2004.

3. Informasi pendukung dijelaskan secara jelas, padat, menarik,

memperhatikan penyajian kalimat yang disesuaikan dengan usia dan

pengalaman pembacanya. Untuk siswa SMA upayakan untuk

membuat kalimat yang tidak terlalu panjang, maksimal 25 kata

perkalimat dan dalam satu paragraf 3 – 7 kalimat.

4. Tugas-tugas dapat berupa tugas membaca buku tertentu yang terkait

dengan materi belajar dan membuat resumenya. Tugas dapat


17

diberikan secara individu atau kelompok dan ditulis dalam kertas

lain.

5. Penilaian dapat dilakukan terhadap hasil karya dari tugas yang

diberikan. Gunakan berbagai sumber belajar yang dapat

memperkaya materi misalnya buku, majalah, internet, jurnal hasil

penelitian (Setyono, 2005:38-39).

2. Booklet

Booklet adalah sebuah informasi tentang suatu produk

maupun jasa dari suatu perusahaan untuk mempromosikan

perusahaan tersebut. Booklet sebagai media massa yang mampu

menyebarkan informasi dalam waktu relatif singkat kepada banyak

orang yang tempat tinggalnya berjauhan. Bentuk fisiknya

menyerupai buku yang tipis dan lengkap informasinya, yang

memudahkan media tersebut untuk dibawa kemana- mana. Sama

halnya dengan pamphlet, booklet juga menyajikan berbagai

informasi yang perlu di tampilkan. Bedanya dengan pamphlet

informasinya sedikit namun booklet memiliki informasi yang sangat

kompleks. Selain itu pamphlet biasanya hanya satu lembar dan tidak

memiliki halaman berikutnya, sedangkan booklet memiliki halaman

banyak halaman dan booklet umumnya dilipat menjadi sebuah buku

(Slamet Riyanto dalam Darmoko, 2013).


18

Booklet sebagai alat bantu atau media, sarana, dan sumber

daya pendukungnya untuk menyampaikan pesan harus menyesuaikan

dengan isi materi yang akan disampaikan. Informasi dalam booklet

ditulis dalam bahasa yang ringkas, dan dimaksudkan mudah dipahami

dalam waktu singkat. Booklet juga dimaksudkan untuk menarik

perhatian, dan dicetak dalam kertas yang baik dalam usaha membangun

citra baik terhadap layanan yang disediakan.

Ada yang mengatakan bahwa istilah booklet berasal dari buku

dan leaflet, artinya media booklet merupakan perpaduan antara leaflet

dengan buku atau sebuah buku dengan format (ukuran) kecil seperti

leaflet. Struktur isinya seperti buku (ada pendahuluan, isi, penutup)

hanya saja cara penyajian isinya jauh lebih singkat daripada sebuah

buku., sedangkan buku saku hampir sama dengan booklet, hanya saja

buku saku berukuran lebih kecil sehingga bisa dimaksukkan kedalam

saku.

Pengertian booklet menurut kamus besar bahasa Indonesia: Booklet

adalah media cetak berupa selebaran, atau majalah, berisi warta

singkat atau pernyataan tertulis yang diterbitkan secara periodik oleh

suatu organisasi atau lembaga (Balai

Pustaka, 1991:153).

Dalam pemanfaatannya sebagai media komunikasi booklet,

tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan seperti halnya media


19

pembelajaran lainnya. Adapun kelebihan dan kekurangan booklet

adalah sebagai berikut.

a. Kelebihan

1) Kelebihan dari booklet adalah booklet menggunakan media cetak

sehingga biaya yang dikeluarkan bisa lebih murah jika

dibandingkan dengan media audio dan visual serta audio visual.

2) Proses booklet agar sampai kepada obyek bisa dilakukan sewaktu-

waktu.

3) Proses penyampaian bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada.

4) Lebih terperinci dan jelas, karena bisa lebih banyak mengulas

tentang pesan yang disampaikan.

b. Kekurangan

1) Booklet tidak dapat menyebar langsung keseluruh obyek, karena

disebabkan keterbatasan penyebaran dan jumlah halaman yang

dapat dimuat dalam booklet.

2) Memerlukan tenaga ahli untuk membuatnya.

Booklet yang baik diterapkan dengan mengaplikasikan

berbagai gambar yang menarik dan menjadi bagian penting dari

booklet. Menurut James Brown dkk, peserta didik lebih menyukai

booklet yang setengah atau satu halaman penuh dengan gambar yang

disertai beberapa petunjuk yang jelas. Lebih baik lagi apabila lebih

dari separuh isi booklet itu memuat ilustrasi gambar (Nana dan

Ahmad, 2009:12).
20

Menurut Sadiman (2009: 31-33) gambar/foto yang baik

adalah gambar/foto yang cocok dengan tujuan pembelajaran. Selain

itu, ada enam syarat yang perlu dipenuhi oleh gambar/ foto yang

baik. Keenam syarat tersebut adalah sebagi berikut:

a) Autentik

Gambar tersebut harus secara jujur melukiskan situasi seperti

kalau orang melihat benda sebenarnya.

a) Sederhana

Komposisi gambar hendaknya cukup jelas menunjukkan poin-

poin pokok dalam gambar.

b) Ukuran Relatif

Gambar/foto dapat membesarkan atau memperkecilkan obyek/

benda sebenarnya. Apabila gambar/foto tersebut tentang objek

yang belum dikenal atau pernah dilihat anak maka sulitlah

membayangkan berapa besar atau kecil objek tersebut. Untuk

menghindari itu hendaknya dalam foto tersebut terdapat sesuatu

yang telah dikenal anak-anak sehngga dapat membayangkan

gambar tersebut.

c) Gambar/foto sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan.

Gambar yang baik tidaklah menunjukkan objek dalam keadaan

diam tetapi melihatkan aktivitas tertentu Gambar yang bagus

belum tentu baik untuk mencapai tujuan pembelajaran.

Walaupun dari segi mutu kurang, gambar/ foto karya peserta


21

didik sendiri sering kali lebih baik.

d) Tidak setiap gambar yang bagus merupakan media yang

bagus.

Sebagai media yang baik, gambar hendaklah bagus dari

sudut seni dan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang ingin

dicapai.

Booklet merupakan media pembelajaran yang memiliki tampilan

isi yang lebih dominan gambar dari pada tulisan. Gambar memiliki

bahasa umum yang dapat dimengerti dan dinikmati dimanapun dan

oleh siapapun. Tampilan gambar di dalam booklet memiliki beberapa

tujuan tertentu yang merupakan kelebihan dari media gambar. Menurut

Sadiman (2009: 29-31), beberapa kelebihan media gambar adalah

sebagai berikut.

a) Sifatnya konkret sehingga gambar lebih realistis menunjukkan

pokok masalah dibandingkan dengan media verbal semata.

b) Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu. Tidak semua

benda, objek atau peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan tidak selalu

bisa dibawa ke objek/peritiwa tersebut.

c) Media gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan kita.

Sesuatu yang tidak dapat kita lihat dengan mata telanjang dapat

disajikan dengan jelas dalam bentuk gambar.

d) Gambar dapat memperluas suatu masalah, dalam bidang apa saja

dan untuk tingkat usia bera saja, sehingga dapat mencegah atau
22

membetulkan kesalahpahaman.

e) Gambar harganya murah dan mudah didapat serta digunakan, tanpa

memerlukan peralatan khusus.

Berbagai hal yang harus diperhatikan dalam membuat booklet

adalah sebagai berikut:

a) Ukuran Kertas

Kertas yang direkomendasikan untuk pembuatan booklet adalah

berukuran setengah dari kertas A4 atau sekitar 15 cm x 21 cm.

b) Content atau Isi

Tulisan-tulisan yang terdapat dalam booklet sebaiknya singkat,

padat, menarik serta membuat penasaran pembaca.

c) Beckground

Gunakan warna beckground yang kontras dengan tulisan serta tidak

membuat pembaca booklet kesulitan ketika membaca.

d) Tata Letak

Fungsi tata letak adalah untuk membuat booklet menjadi tampak rapi

dan elegan.

e) Pemakaian Huruf

Pemilihan huruf dalam pembuatan booklet dapat menggantikan

fungsi gambar sebagai sarana visualisasi isi booklet. Huruf yang

digunakan harus mudah dipahami oleh pembaca.

f) Pemilihan Gambar
23

Penambahan gambar dalam booklet akan menambah keindahan

dalam booklet dan pemilihan gambar harus sesuai dengan tema.

C. Konsep Makanan Bergizi

1. Definisi Makanan Bergizi

Makanan bergizi adalah makanan yang memberikan manfaat bagi

tubuh, yaitu sebagai sumber energi, pembangun tubuh, dan pelindung

tubuh, antara lain seperti :

a) Karbohidrat

Karbohifrat berfungsi sebagai sumber energi utama bagi tubuh.

Makanan yang mengandung karbohidrat biasanya berasal dari

makanan pokok seperti beras, singkong, kentang, jagung, gandum dan

ubi.

b) Protein

Fungsi protein, yaitu meningkatkan pertumbuhan, perbaikan,

dan pemeliharaan struktur tubuh dari sel ataupun organ. Protein ada

dua macam, yaitu (a) Protein nabati adalah protein yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan.Contoh :Tempe, tahu, dan kacang-kacangan; (b)

Protein hewani adalah protein yang berasal dari hewan.Contoh :

Daging, telur, ikan, dan susu.

c) Lemak

Fungsi lemak adalah sebagai sumber energi dan cadangan

makanan. Lemak juga berfungsi sebagai pelindung alat-alat tubuh dan


24

pelarut dalam tubuh. Berdasarkan asalnya, lemak ada dua macam,

yaitu:

(a) Lemak nabati adalah lemak yang berasal dari tumbuh-tumbuahan.

Contoh : kelapa, kedelai, dan mentega;

(b) Lemak hewani adalah lemak yang berasal dari hewan. Contoh:

lemak daging sapi. (Sedyaningsih, 2011),

2. Fungsi makanan bagi tubuh

Fungsi makanan bukan hanya sekedar untuk menhilangkan rasa

lapar, tetapi lebih utama adalah untuk mendapatkan tenaga, mendapatkan

zat-zat pembangun bagi sel-sel tubuh, mempertinggi daya tahan tubuh

terhadap penyakit, serta untuk menjamin

kelancaran segala macam proses yang terjadi di dalam tubuh. Untuk

itu, makanan yang dikonsumsi setiap hari hendaknya mengandung unsur-

unsur pengasil tenaga, pembangun sel-sel, dan mengatur segala macam

proses dalam tubuh (Almatsier, 2011).

Menurut Mangunkusumo (dalam Hariyani, 2011), sesuai dengan

kegunaannya maka makanan yang masuk ke dalam tubuh dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

a) Makanan sebagai sumber tenaga terutama yang mengandung hidrat

arang.

a) Makanan sebagai sumber zat pembangun, digunakan sebagai

pembentukan sel-sel jaringan tubuh yang baru, pembentukan sel darah

merah, sel darah putih, dan zat kekebalan atau antibody.


25

b) Makanan sebagai sumber zat pengatur, mutlak diperlukan walaupun

sangat sedikit.

3. Ciri-Ciri Makanan Sehat Dan Bergizi

Menurut Nasution (dalam Mudjajanto, 2015) mengatkan bahwa,

ciri-ciri makanan sehat dan bergizi yaitu tidak banyak mengandung lemak-

lemak hewani, rendah garam dan MSG, penggunaan penyedap rasa

ygbanyak beredar di pasaran memang membuat makanan terasa gurih dan

nikmat, tapi bukan berarti menjadi lebih sehat, banyak mengandung sayuran

atau serat dan tidak atau sedikit menggunakan bahan pengawet. Setiap

bahan makanan yg dikemas umunya menggunakan bahan pengawet, seperti

bumbu kaldu, makanan kaleng dll, menggunakan sedikit minyak goreng,

tidak bersantan, tidak terlalu pedas, dimasak matang, jadi tidak setengah

matang atau terlalu lama matang, dan mengandung zat-zat gizi antara lain ;

1) sumber tenaga yang mengandung karbohidrat, protein, lemak; 2) sumber

pembangun yang mengandung protein; 3) sumber pengatur, terkandung

dalam mineral dan vitamin.

Walker (2012) juga mengemukakan ciri ciri makanan sehat dan

bergizi yaitu makanan yang mengandung mineral dan vitamin. Ciri-ciri

makanan yang mengandung mineral dan vitamin adalah sebagai berikut:

a) Mineral

Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan

penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel,

jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan.Didalam


26

ketersediaanya tidak semua bahan makanan bisa mengandung mineral

yang bisa digunakan untuk keperluan tubuh, dan dimanfaatkan oleh

tubuh.sumber makanan yang mengandung mineral, yaitu : (1) Kalsium

terdapat dalam susu dan keju; (2) Natrium terdapat dalam garam dapur;

(3) Kalium terdapat dalam daging dan buah-buahan; (4) Fosfor, klorin,

Mg dan sulfur terdapat dalam susu dan daging.

Fungsi umum mineral dalam tubuh adalah untuk memelihara

keseimbangan asam basa tubuh dengan jalan penggunaan mineral

pembentuk asam (khlorin), fosfor (belerang dan mineral), pembentuk

basa (kapur, besi, magnesium, kalium, dan natrium). Mengkatalisasi

reaksi dalam pemecahan karbohidrat, lemak, dan protein serta

pembentukan lemak dan protein dalam tubuh (Adamson, 2010).

b) Vitamin

Vitamin adalah senyawa kimia yang tidak dapat dibuat sendiri oleh

tubuh, tetapi sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan

perkembangan tubuh. Tubuh memerlukan vitamin dengan jumlah

sedikit, tetapi terus-menerus. Vitamin berfungsi untuk pertumbuhan sel,

mengatur, dan memperbaiki fungsi alat tubuh, serta mengatur

penggunaan makanan dan energi (Sunita, 2016). Vitamin terbagi atas :

1) Vitamin A

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi mikro mempunyai

manfaat yang sangat penting bagi tubuh manusia, terutama dalam

penglihatan manusia.
27

Seperti diketahui Vitamin A merupakan vitamin larut lemak

yang pertama ditemukan. Secara umum, vitamin A merupakan

nama generic yang menyatakan semua retinoid dan

precursor/provitamin A/ karotenoid yang mempunyai aktivitas

biologic sebagai retinol. Vitamin A berguna untuk pertumbuhan,

penglihatan, reproduksi, dan pemeliharaan kesehatan sel

epitel.Sumber makanan vitamin A pepaya, wortel, apel (Pakaya,

2014).

2) Vitamin D

Berperan dalam penyerapan dan metabolisme kalsium dan

fosfor, serta pembentukan tulang dan gigi.Tubuh manusia mampu

membuat vitamin D dengan pertolongan sinar ultraviolet yang

berasal dari matahari yang mengenai kulit (Pakaya, 2014).

3) Vitamin E

Sebagai anti oksidan untuk berbagai substansi yang larut

dalam lemak, misalnya vitamin A dan asam lemak tak

jenuh.Kekurangan vitamin E dapat menyebabkan kerusakan

saluran darah dan perubahan permeabilitas saluran kapiler sertta

dapat menyebabkan kemandulan. Sumber makanan : minyak

sayuran, butiran padi-padian yang utuh, sayuran berdaun hijau dan

kecambah (Andamari, 2012).

4) Vitamin K
28

Berperan dalam sistem pembekuan darah.sumber makanan

pada daun yang hijau, daging domba, susu dan produk susu (David,

2014).

5) Vitamin B

Vitamin B menurut Pakaya (2014), terdiri dari:

(b) Vitamin Bl

Berfungsi dalam metabolisme karbohidrat untuk pembentukan

energi.

Sumber makanan Vitamin Bl meliputi ragi, hati, daging babi,

butiran padi-padian utuh, kacang, sayuran hijau, ikan, susu,

telur .

(c) Vitamin B2

Berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, asam amino

dan asam lemak, juga penting untuk kesehatan kulit, mata, dan

syaraf. Sumber makan sumber makanan vitamin sumber B2

adalah susu dan produk susu, sayuran hijau, daging (terutama

hati), ikan, butiran padi dan kacang-kacangan.

(d) Vitamin B6

Berperan dalam pembentukan protein dan asam amino,

serta pembentukan karbohidrat dan protein.Sumber makanan

baik adalah daging merah, telur, butiran padi-padian yang utuh,

dan sayur-sayuran hijau.

(e) Vitamin Bl2


29

Berperan untuk membuat inti sel dan pembentukan sel

darah merah yang sehat. Sumber makanan adalah hati dan

daging, organ lain dari hewan, telur, susu.

(f) Vitamin C

Berfungsi meningkatkan daya tahan, metabolisme

lemak, protein, asam amino, besi, dan

tembaga.Menyempurnakan tulang dan gigi serta pencegahan

bisul dengan pendarahan.Sumber makanan jeruk, tomat, dan

rambutan.

4. Ciri-Ciri Makanan Tidak Sehat

Toho (dalam Kristianti, 2010) mengatakan bahwa ciri-ciri makanan

yang tidak sehat yaitu makanan yang mengandung formalin. Formalin

adalah larutan formaldehida dalam air dan dilarang digunakan dalam

pangan sebagai pengawet. Formalin ini digunakan pada industri plastik,

anti busa, bahan konstruksi, kertas, karpet, textile, cat, mebel, dan

pengawet. Formalin dapat menyebabkan kanker. Sekitar 2 sendok makan

formalin dapat menyebabkan kematian.

Ciri-ciri makanan yang mengandung formalin :

Jenis Ciri-Ciri

Pangan
1. Tidak rusak sampai 2 hari pada suhu kamar (25oC)
Mie Basah dan

bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es (10o C)


30

2. Bau agak menyengat, bau khas formalin

3. Tidak lengket dan mie lebih mengkilap

dibandingkan dengan mie normal


1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar (25o C)
Tahu dan bertahan lebih dari 15 hari pada suhu lemari es

(10oC)

2. Tahu terlampau keras, namun tidak padat,

permukaan menjadi lebih kering

3. Bau khas agak menyengat, bau formalin


Bakso 1. Tidak rusak sampai 5 hari pada suhu kamar

2. Tekstur sangat mengkilat dan kenyal


1. Tidak rusak sampai 3 hari pada suhu kamar

Ikan Segar 2. Warna insang merah tua dan cemerlang, pucat

3. Jika ikan dibelah, bagian dalamnya sudah agak

hancur

4. Bau menyengat, bau formalin


Ikan Asin 1. Tidak rusak sampai kurag dari 1 bulan pada suhu

kamar

2. Bersih cerah

3. Tidak berbau khas ikan asin

4. Tidak dihinggapi lalat

5. Dampak Makanan Tidak Sehat Pada Balita


31

Anak yang memiliki pola makan tidak sehat akan kekurangan

berbagai nutrisi yang menyebabkan berbagai gangguan kesehatan dalam

jangka pendek maupun jangka panjang. Makan tidak sehat memiliki resiko

yang lebih tinggi untuk mengalami obesitas, gangguan mental dan

emosional, serta kemampuan belajar yang buruk.

a) Obesitas

Hal ini terjadi akibat mengkonsumsi banyak kalori dan tinggi

lemak dan rendah nutrisi sehingga terjadinya obesitas pada anak yang

dapat membahayakan kesehatan anak seperti diabetes, tekanan darah

tinggi, kanker dan berbagai gangguan kesehatan lainnya. Hindari

mengkonsumsi makanan siap saji.

b) Gangguan Mental dan Emosional

Anak dengan pola makan tidak sehat lebih mudah terserang

gangguan psikologis, seperti gangguan cemas atau gangguan

kemampuan belajar, yang membuat mereka lebih sering membutuhkan

konseling. Nutrisi yang buruk juga dapat berdampak negatif pada

kemampuan anak untuk berkembang dan beradaptasi secara normal.

c) Pendidikan

Anak dengan pola makan tidak sehat lebih sering ikut pelajaran di

sekolah dan sering tidak naik kelas. Seorang anak yang tidak

memperoleh cukup vitamin, mineral, dan berbagai nutrisi penting

lainnya; maka hal ini dapat membuat anak menjadi lesu, tidak

bertenaga, dan mengalami berbagai kegagalan perkembangan.


32

D. Status Gizi

1. Definisi

Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan zat gizi

dalam bentuk variabel tertentu. Status gizi merupakan indikator baik

buruknya penyediaan makanan sehari-hari Status gizi yaitu keadaan yang

diakibatkan oleh status keseimbangan antara jumlah asupan (intake) zat

gizi dan jumlah yang dibutuhkan (requitment) oleh tubuh untuk berbagai

fungsi biologis : (pertumbuhan fisik, perkembangan, aktivitas,

pemeliharaan kesehatan, dan lainnya). Status gizi yang baik diperlukan

untuk mempertahankan derajat kebugaran dan kesehatan, membantu

pertumbuhan bagi ank sejak dalam kandungan, anak dalam masa

pertumbuhan, dewasa hingga menunjang pembinaan kehidupan leisure

seperti halnya olahraga. Status gizi ini juga penting karena merupakan

salah satu faktor resiko untuk terjadinya kesakitan atau kematian

(Achmadi 2014, p.100).

Status gizi yang baik pada seseorang akan berkontribusi terhadap

kesehatan dan juga terhadap kemampuan adalam proses pemulihan

kesehatan. Status gizi juga dibutuhkan untuk mengetahui ada atau tidaknnya

mlnutrisi pada individu maupun masyarakat. Dengan demekian, status gizi

dapat dibedakan menjadi gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih. Status gizi

adalah juga merupakan ekspresi dari keadaaan kesimbangan gizi dalam

bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk


33

variabel tertentu, contoh gondok endemik menunjukkan keadaan tidak

seimbangnya pemasukan dan pengeluaran yodium dalam tubuh. Indikator

status gizi adalah tanda yang dapat memberikan gambaran tentang keadaan

keseimbangan antara asupan dan kebutuhan gizi oleh tubuh. Indikator status

gizi umumnya secara langsung dapat terlihat dari kondisi fisik atau kondisi

luar seseorang (Achmadi 2014, p.100).

Status gizi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mewujudkan

sumber daya manusi yang berkualitas di masa yang akan datang. Status gizi

behubungan dengan kecerdasan anak. Pembentukan kecerdasan pada masa

usia dini tergantung pada asupan zat gizi yang di terima, semakin rendah

asupan zat gizi yang diterima semakin rendah pula stutus gizi dan

kesehehatan anak. Gizi kurang atau gizi buruk pada masa bayi dan anak-

anak terutama pada umur kurang dari 5 tahun dapat mengakibatkan

terganggunya pertumbuhan jasmani dan kecerdasan anak (Debby et al 2012,

p.141). Status gizi lebih, status gizi kurang dan status gizi buruk sama-sama

mempunyai resiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi yang rendah

pada balita dapat menyebabkan angka kematian yang tinggi pada bayi dan

anak-anak, tergantungnya perkembangan mental dan kecerdasan serta

terdapatnya berbagai jenis penyakit tertentu (Almatsier, 2001).

2. Kategori Status Gizi

Untuk mengetahui status gizi anak, diperlukan terlebih dahulu

pengetahuan mengkatagorikan pada keadaan mana ank tersebut berada.

Pada dasarnya perhitungan berat badan menurut umur, tinggi badan


34

menurut umur, dan berat badan menurut tinggi badan seorang anak

didasarkan pada nilai Z-nya (relative deviasi terhadap nilai rata-ratanya),

dari nilai Z ini dapat ditentukan standar deviasinya (SD). Cut off point

untuk tiap indikator status gizi adalah ± 2 SD dan status gizi < -3 SD

dikategorikan sebagai kurang gizi berat (Adisasmito 2008, p.285).

b) Berat Badan /Umur (BB/U)

1. Gizi lebih : > 2,0 SD baku WHO-NCHS

2. Gizi Baik : -2,0 SD s/d + 2 SD

3. Gizi Kurang : < -2,0 SD

4. Gizi Buruk : < -3,0 SD

BB/U merefleksikan masa tubuh relatif terhadap umur. Anak

dengan BB/U yang rendah tidak selalu berat badannya kurang. Sebab

ada kemungkinan secara genetik anaknnya pendek. Jadi dapat terjadi

over estimasi prevalensi gangguan gizi pada anak bila hanya

menggunakan indikator BB/U. Berat badan bayi, anak, dan remaja

harus ditimbang secara berkala, agar diperoleh gambar pertumbuhan

mereka. Jika berat hanya ditimbang sekali, maka berat tersebut harus

dibandingkan dengan berat badan anak normal yang berusia normal

(Adisasmito 2008, p.285)

Perubahan berat dikiaitkan dengan berat badan ideal, berat badan

normal, berat badan biasa, dan berat badan sekarang (BBS). Perubahan

tersebut penting dicatat untuk mengetahui apakan pasien mempunyai

resiko mengalami malnutrisi. Kegunaan lain adalah untuk memantau


35

keadaan hidrasi seseorang. Penuruna berat badan secara mendadak

dalam waktu singkat menandakan terjadinya dehidrasi, sebaliknya, jika

berat badan mendadak bertambah, berarti overhidrasi tengah

berlangsung. Perubahan berat biasa yang tak terjelaskan hingga

sebesar ≥10% menandakan kesehatan terganggu. Jika perubahan itu

≥20% berarti penderita mengalamikeadaan kritis yang dapat

berakibatfatal manakala penyusutan berat itu melebihi 30%. Angka

kesakitan bayi meningkat jika mereka kehilangan berat sebesar 40%

(orang dewasa 20-25%) dari berat badan biasnya (BBB) (Arisman

2010, p.221)

c) Tinggi Badan/Umur (TB/U)

1. Normal : e” -2,0 SD baku WHO-NCH

2. Pendek/stunted : < -2,0 SD

TB/U dapat digunakan sebagai indeks status gizi populasi

karena merupakan estimasi keadaan yang telah lalu dan status gizi

kronik. Kondisi ini merupakan akibat asupan makanan tidak cukup

berlangsung lama dan tingginya morbiditas dan iasanya terdapat di

Negara-negara dengan kondisi sosial ekonominya buruk (Adisasmito

2008, p.285).
36

Nilai stunting rate terendah terdapat pada anak dibawah usia enam

bulan. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi pada umur 4-6 bulan masih

dapat dipenuhi oleh air susu ibu. Tampaknya gangguan pertumbuhan dimulai

sejak anak berusia enam bulan sejak itu makanan pendamping ASI muali

diperlukan untuk mencukupi kebutuhan gizi yang tidak dapat dipenuhi

terutama pada saat krisis ekonomi. Prevalensi tertinggi stunting terdapat pada

anak usia 2 tahun. Sesudah berusia 1 tahun, anak masih perlu diberi makanan

lebih dari 3 kali sehari. Makanan yang tidak cukup baik dalam kuantitas

maupun kualitas akan berdampak pada pertumbuhan yang terbelakang.

Pertumbuhan yang lambat adalah ahasil dari kombinasi antara tidak cukupnya

asupan makanan yang berlangsung kronis dengan seringnya menderita

penyakit infeksi yang dapat menjadi indicator kondisi kehidupan yang buruk

(Adisasmito 2008, p.286).

d) Berat Badan/Tinggi Badan (BB/TB)

1. Gemuk: > 2,0 SD baku WHO-NCHS

2. Normal : - 2,0 SD s/d + 2,0 SD

3. Kurus/wasted : < -2,0 SD

4. Sangat Kurus : < -3,0 SD

BB/TB atau wasted (kurus) mungkin merupakan indikator yang lebih

baik untuk proses nutrisi yang sedang terjadi pada anak yang menunjukkan

status gizi pada saat ini. Wasted juga berguna untuk mengevaliasi manfaat dari

suatu program intervensi karena lebih sentitif dibandingkan stunting terhadap

pertumbuhan gizi yang sedang terjadi (Adisasmito 2008, p.286).

a. Penilaian Status Gizi

e) Antropometri

Pemeriksaan antropometri merupakan pemeriksaan yang berhubungan

dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari
37

berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Parameter pemeriksaan antropometri

meliputi umur, berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala,

ligkar dada, dan jaringan lunak. Cara pemaparan indicator antropometri meliputi

presentase, persentil, dan z-skor atau simpangan baku terhadap nilai median

acuan. Sedangkan indeks antropometri yang sering digunakan yaitu berat badan

menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan

menurut tinggi badan (BB/TB). Indeks antropometri ini berguna dalam

pengklasifikasian status gizi (Arisman 2008, p.215).

Antropometri secara umum merupakan pengukuran pada tubuh manusia.

Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan

berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai

tingkat umur dan tingkat gizi. Antropometri secara umum digunakan untuk

melihat ketidak seimbangan asupan protein dan energi. Ketidak seimbangan ini

terlihat pada pola pertumbuhan fisik da proporsi jaringa tubuh seperti lemak,

otot, dan jumlah air dalam tubuh (Achmadi, 2014.p:101). Ukuran

antropometri yang sering dipakai antara lain :

(a) Umur

Faktor umur sangat menentukan status gizi seseorang. Penentuan

umur yang salah bisa menyebabkan interpretasi status gizi yang tidak tepat.

Batasan umur yang digunakan adalah tahun umur penuh (completed yaer) dan

untuk anak umur 0-2 tahun digunakan bulan umur penuh (completed month)

(Supariasa, 2002).

(b) Berat Badan

Berat badan adalah hasil keseluruhan pertambahan jaringan-jaringan

tulang otot, lemak, cairan tubuh, dan lainnya. Berat badan merupak ukuran

antropometri yang terpenting, digunkan pada setiap pemeriksaan anak pada

setiap kelompok umur. Selain itu, berat badan digunakan sebagai indikator
38

tunggal yang terbaik pada saat ini untuk keadaan gizi dan keadaan tumbuh

kembang. Berat badan (BB) merupakan salah satu ukuran antropometri yang

memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak), karena massa

tubuh sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya

karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau

menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi maka berat badan merupakan

antropometri yang sangat labil (Narendra, 2002).

(c) Tinggi Badan

Tinggi badan merupakan parameter yang penting untuk keadaan

sekarang maupun keadaan yang lalu, apabila umur tidak diketahui dengan

tepat. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang penting, sebab

dengan menghubungkan berat badan menurut tinggi badan, faktor umur

dapat ditiadakan. Pengukuran tinggi badan untuk balita yang sudah bisa

berdiri tegak menggunakan alat pengukur tinggi mikrotoa (microtoise)

dengan ketelitian 0,1 cm (Supriasa, 2002). Tinggi badan diukur dengan

subjek berdiri tegak pada lantai yang rata, tidak menggunakan alas kaki,

kepala sejajar (mata melihat lurus ke depan), kaki menyatu, lutut lurus, tumit,

bokong dan bahu menyentuh dinding yang lurus, tangan menggantung di sisi

badan, subjek di instruksikan untuk menarik nafas kemudian bar pengukur

diturunkan hingga menyentuh puncak kepala (vertex), dan angka yang paling

mendekati skala millimeter dicatat (Gibson, 2005 : Anisa 2012, p.14).

(d) Indeks Antropometri

Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi.

Kombinasi antara beberapa parameter disebut Indeks Antropometri.

Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan


39

menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat

Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) (Supriasa, 2002).

Untuk mengetahui balita stunting atau tidak indeks yang digunakan

adalah indeks tinggi badan menurut umur (TB/U). Tinggi badan merupakan

parameter antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan tulang.

Tinggi badan menurut umur adalah ukuran dari pertumbuhan linear yang

dicapai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi atau kesehatan masa

lampau. Rendahnya tinggi badan menurut umur adalah ukuran dari

pertumbuhan linier yang di capai, dapat digunakan sebagai indeks status gizi

atau kesehatan masa lampau (Gibson, 2005 : Anisa 2012, p.14).

Indeks tinggi badan memiliki keistimewaan tersendiri, yaitu nilai

tinggi badan akan terus meningkat, meskipun laju tumbuh berubah dari pesat

pada masa bayi muda kemudian melambat dan menjadi pesat lagi (growth

spurt) pada masa remaja, selanjutnya melambat dengan cepatnya kemudian

berhenti pada usia 18-20 tahun dengan nilai badan maksimal. Pada keadaan

normal, sama halnya dengan berat badan, tinggi badan tumbuh seiring

dengan pertambahan umur. Pertambahan nilai rata-rata tinggi badan orang

dewasa dalam suatu bangsa dapat dijadikan indikator peningkatan

kesejahteraan, bila belum tercapainya potensi genetik secara optimal

(Narendra, 2002)

Tabel 2.1. Indeks Antropometri

Indeks Kategori Ambang Batas (Z-score)

Status Gizi
Berat badan menurut Gizi Buruk < -3 SD

Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD s/d -2 SD

Anak Umur 0 – 60 Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD

bulan Gizi Lebih > 2 SD


40

Panjang badan menurut Sangat Pendek < -3 SD

Umur (PB/U) atau Pendek -3 SD s/d -2 SD

Tinggi badan menurut

Umur (TB/U)
Anak Umur 0 – 60 Normal -2 SD s/d 2 SD

bulan Tinggi > 2 SD


Berat badan menurut Sangat Kurus < -3 SD

Panjang badan (BB/PB) Kurus Normal -3 SD s/d -2 SD

atau Berat badan menurut Gemuk -2 SD s/d 2 SD

Tinggi badan (BB/TB) > 2 SD

Anak umur 0 – 60 bulan


Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus < -3 SD

menurut Umur (IMT/U) Kurus Normal -3 SD s/d -2 SD

Anak Umur 0 – 60 bulan Gemuk -2 SD s/d 2 SD

> 2 SD
Indeks Massa Tubuh Sangat Kurus < -3 SD

menurut Umur (IMT/U) Kurus Normal -3 SD s/d -2 SD

Anak Umur 5 - 18 tahun Gemuk -2 SD s/d 1 SD

Obesitas > 1 SD s/d 2 SD

> 2 SD
(Sumber : Kemenkes 2011)

E. Konsep Balita

1. Definisi balita

Anak bawah lima tahun atau sering disingkat anak balita adalah anak yang

berusia diatas satu tahun atau dibawah lima tahun atau dengan perhitungan bulan

12-59 bulan (Kemenkes RI 2015). Balita didefinisikan sebagai anak dengan usia di

bawah lima tahun dimana pertumbuhan tubuh dan otak sangat pesat dalam

pencapaian keoptimalan fungsinya. Masa balita sering disebut sebagai golden age
41

karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan

menentukan perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial,

emosional, dan intelegensia yang berjalan sangat cepat dan merupakan dasar

perkembangan berikutnya (Wirandani 2013).

a) Karakteristik balita

Balita mempunyai karakteristik yang digolongkan menjadi dua yaitu

anak usia 1-3 tahun yang disebut batita dan anak usia prasekolah (Kemenkes

RI 2015). Menurut Sufyanti (2009), toddler adalah anak berusia 12-36 bulan

dimana masa ini yang paling penting untuk pertumbuhan intelektual dan

perkembangan kepandaian anak. Anak usia di bawah lima tahun khususnya

pada usia 1-3 tahun merupakan masa pertumbuhan fisik yang cepat, sehingga

memerlukan kebutuhan gizi yang paling banyak dibanding masa-masa

berikutnya. Anak akan mudah mengalami gizi kurang di usia ini apabila

kebutuhan nutrisi tidak ditangani dengan baik (Ningsih et al. 2015).

b) Tumbuh kembang balita

Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan anak terdiri dari (Sufyanti 2009):

1) Faktor genetik

Faktor genetik merupakan faktor bawaan yang diturunkan oleh

orang tua. Faktor genetik antara lain jenis kelamin dan suku bangsa.

Gangguan pertumbuhan di negara maju biasanya disebabkan oleh faktor

genetik, sedangkan di negara berkembang selain faktor genetik, penyebab

kematian terbesar adalah faktor lingkungan yang kurang memadai, seperti

asupan gizi, infeksi penyakit, dan kekerasan pada anak.

2) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan sangat berperan penting dalam menentukan

potensi yang sudah dimilikinya. Faktor lingkungan meliputi faktor prenatal


42

yaitu faktor lingkungan dalam kandungan, dan lingkungan postnatal yaitu

lingkungan setelah bayi lahir yang didalam faktor tersebut terdapat

kebutuhan mutrisi yang penting dalam proses pertumbuhan dan

perkembangan (Hidayat 2008).

Menurut Sulistyawati (2014) faktor lingkungan prenatal yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan janin, yaitu gizi pada ibu

sewaktu hamil, mekanis, toksin/zat kimia, endokrin, radiasi, infeksi, stress,

imunitas, dan anoksia embrio, Faktor lingkungan postnatal yang berpengaruh

terhadap tumbuh kembang terdiri dari:

(a) Lingkungan biologis terdiri dari ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,

perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi

metabolisme dan hormon.

(b) Faktor fisik terdiri dari cuaca, musim, keadaan geografis suatu daerah,

sanitasi, keadaan rumah, dan radiasi.

(c) Faktor psikososial terdiri dari stimulasi, motivasi belajar, ganjaran atau

hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah, cinta dan kasih

sayang, dan kualitas interaksi anak dan orang tua.

(d) Faktor adat dan istiadat terdiri dari pekerjaan dan pendapatan keluarga,

Pendidikan ayah dan ibu, jumlah saudara, jenis kelamin dalam keluarga,

stabilitas rumah tangga, kepribadian ibu dan ayah, adat istiadat, norma-

norma dan tabu, agama, urbanisasi, dan kehidupan politik dalam

masyarakat yang mempengaruhi prioritas kepentingan anak dan anggaran.

Berdasarkan usia, pertumbuhan pada anak sebagai berikut Hidayat (2008):

(a) Berat badan

Berat badan anak usia 1-3 tahun akan mengalami penambahan berat

badan sekitar empat kali lipat dari berat badan lahir pada usia kurang lebih

2,5 tahun. Penambahan berat badan setiap tahunnya adalah 2-3 kg.
43

(b) Tinggi badan

Tinggi badan anak usia 1-3 tahun akan mengalami penambahan tinggi

badan kurang lebih 12cm selama tahun ke-2. Sedangkan penambahan untuk

tahun ke-3 rata-rata 4-6 cm.

(c) Lingkar kepala

Pertumbuhan lingkar kepala terjadi sangat cepat pada 6 bulan pertama

melahirkan yaitu 35-43 cm. pada usia selanjutnya lingkar kepala akan

mengalami perlambatan. Pada usia 1 tahun hanya mengalami pertumbuhan

kurang lebih 46,5 cm. pada usia 2 tahun mengalami pertumbuhan kurang

lebih 49 cm, kemudian bertambah 1 cm sampai usia 3 tahun.

(d) Gigi

Pertumbuhan gigi pada masa tumbuh kembang dibagi menjadi dua

bagian, yaitu bagian rahang atas dan rahang bawah.

(1) Pertumbuhan gigi rahang atas: Gigi insisi sentral pada usai 8-12 bulan,

Gigi insisi lateral pada usia 9-13 bulan, Gigi taring (caninus) pada usia

16-22 bulan, Molar pertama usia 14-18 bulan dan molar kedua 24-30

bulan

(2) Pertumbuhan gigi rahang bawah: Gigi insisi sentral pada usai 6-10

bulan, Gigi insisi lateral pada usia 10-16 bulan, Gigi taring (caninus)

pada usia 17-23 bulan, Molar pertama usia 14-18 bulan dan molar

kedua 24-30 bulan

(3) Organ penglihatan

Perkembangan organ penglihatan anak dapat dimulai sejak anak

itu lahir. Usia 11-12 bulan ketajaman penglihatan mencapai 20/20,

dapat mengikutiobjek bergerak. Pada usia 12-18 bulan mampu

mengidentifikasi bentuk geometric. Pada usia 18-24 bulan penglihatan

mampu berakomodasi dengan baik.


44

(4) Organ pendengaran

Perkembangan pada pendengaran dapat dimulai saat anak itu

lahir. Pada usia 10-12 bulan anak mampu mengenal beberapa kata dan

artinya. Pada usia 18 bulan organ pendengaran anak dapat

membedakan bunyi. Pada usia 36 bulan mampu membedakan bunyi

yang halus dalam berbicara.

F. Konsep Gizi Seimbang

1. Definisi gizi seimbang

Gizi seimbang adalah makanan sehari-hari yang mengandung zat-zat gizi dengan

jenis dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan tubuh dan memperhatikan prinsip

keanekaragaman atau variasi menu makanan, aktivitas fisik, kebersihan, danberat

badan ideal. Gizi seimbang di Indonesia divisualisasikan dengan Tumpeng Gizi

Seimbang (TGS) yang berdasarkan budaya Indonesia. TGS dirancang untuk

membantu seseorang memilih makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat sesuai

dengan berbagai kebutuhan menurut usia (bayi, balita, remaja, dewasa, dan usia

lanjut), serta sesuai dengan keadaan kesehatan (hamil, menyusui, aktivitas fisik, dan

sakit) (Kemenkes RI 2014).


45

Gambar 2. 1 Tumpeng Gizi Seimbang (Sumber: Pedoman Gizi

Seimbang Kemenkes RI 2014).

Tumpeng gizi seimbang terdiri dari beberapa potogan tumpeng, yaitu

(Kemenkes RI 2014):

a) 1 potongan besar merupakan golongan makanan karbohidrat.

b) 2 potongan sedang dan 2 potongan kecil merupakan golongan sayuran dan

buah.

c) 2 potongan kecil diatasnya merupakan golongan protein hewani dan nabati.

d) 1 potongan terkecil di puncak yaitu gula, garam, dan minyak yang dikonsumsi

seperlunya.

e) Potongan TGS juga dilapisi dengan air putih yang idealnya dikonsumsi 2 liter

atau 8 gelas per hari.

Luasnya potongan TGS menunjukkan porsi konsumsi setiap orang per hari.

Karbohidrat dikonsumsi 3-8 porsi, sayuran 3-5 porsi sedikit lebih besar dari buah,

buah 2-3 porsi, serta protein hewani dan nabati 2-3 porsi. Konsumsi tersebut dibagi

untuk makan pagi, siang, dan malam. Kombinasi makanan per harinya perlu

dilakukan. Dibagian bawah TGS terdapat prinsip gizi seimbang yang lain, yaitu:

pola hidup aktif dengan berolahraga, menjaga kebersihan dna pantau berat badan.

2. Prinsip gizi seimbang

Prinsip gizi seimbang adalah harus diterapkan sejak anak usia dini hingga

usia lanjut. Ibu hamil, remaja perempuan serta bayi sampai usia 2 tahun merupakan

kelopok usia yang penting dalam menerapkan prinsip gizi seimbang tersebut

disebabkan kelompok tersebut merupakan kelompok kritis tumbuh kembang


46

manusia yang akan menentukan masa depan kualitas hidup manusia (Kemenkes RI

2014).

Prinsip gizi seimbang terdiri dari empat pilar yag merupakan rangkaian

upaya untuk menyeimbangkan antara zat gizi yang keluar dengan yang dikonsumsi

dengan memonitor berat badan secara teratur. Empat pilar tersebut antara lain

(Kemenkes RI 2014):

c) Mengonsumsi makanan beragam

Nasi merupakan sumber utama kalori tetapi miskin vitamin dan

mineral, sedangkan sayuran dan buah-buahan pada umumnya kaya akan

vitamin, mineral, dan serat tetapi miskin kalori dan protein. Ikan merupakan

sumber utama protein tetapi sedikit kalori. Makanan beranekaragam dalam

prinsip ini selain keanekaragaman jenis pangan juga termasuk proporsi

makanan yang seimbang, jumlah cukup dan tidak berlebihan, serta dilakukan

secara teratur.

d) Membiasakan perilaku hidup bersih

Perilaku hidup bersih sangat terkait dengan prinsip gizi seimbang.

Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

status gizi seseorang secara langsung terutama anak-anak. Anak yang

mengalami penyakit infeksi akan mengalami penurunan nafsu makan sehingga

jumlah dan jenis zat gizi yang masuk ke tubuh berkurang, sebaliknya pada

keadaan infeksi, tubuh membutuhkan zat gizi yang lebih banyak untuk

memenuhi peningkatan metabolisme pada orang yang menderita infeksi

terutama apabila disertai panas. Seseorang yang menderita kurang gizi akan

beresiko terkena penyakit infeksi karena keadaan kurang gizi menyebabkan

daya tahan tubuh seseorang menurun, sehingga kuman penyakit lebih mudah

masuk dan berkembang.

e) Melakukan aktivitas fisik


47

Aktivitas fisik meliputi semua macam kegiatan tubuh termasuk

olahraga untuk menyeimbangkan antara pengeluaran dan pemasukan zat gizi

utamanya sumber energi dalam tubuh. Aktivitas fisik memerlukan energi,

selain itu aktivitas fisik juga memperlancar sistem metabolisme di dalam tubuh

termasuk metabolisme zat gizi. Aktivitas fisik berperan dalam

menyeimbangkan zat gizi yang keluar dari tubuh dan yang masuk ke dalam

tubuh.

f) Mempertahankan dan memantau Berat Badan (BB) normal

Indikator berat badan pada bayi dan balita adalah perkembangan berat

badan sesuai dengan pertambahan umur. Pemantauannya dilakukan dengan

menggunakan KMS. Berat badan normal bagi balita dengan menggunakan

KMS berada di dalam pita hijau.

3. Gizi seimbang balita

Pemenuhan kebutuhan zat gizi setiap hari dianjurkan supaya anak makan

secara teratur 3 kali sehari dimulai dengan sarapan atau makan pagi, makan siang,

dan makan malam. Makan pagi setiap hari penting bagi anak-anak dikarenakan

mereka sedang tumbuh dan mengalami perkembangan otak yang sangat tergantung

pada asupan makanan secara teratur. Jenis makanan balita perbanyak mengonsumsi

makanan kaya protein seperti ikan, telur, tempe, susu, dan tahu sebab untuk

pertumbuhan anak dibutuhkan pangan sumber protein dan sumber lemak kaya akan

Omega 3, DHA (Docosaheksanoic Acid), EPA (Eicosapentaenoic Acid) yang

banyak tekandung dalam ikan. Anak-anak dianjurkan mengonsumsi ikan dan telur

karena kedua jenis pangan tersebut mempunyai kualitas protein yang bagus. Tempe

dan tahu merupakan sumber protein nabati yang kualitasnya cukup baik untuk

pertumbuhan dan perkembangan anak. Pemberian susu pada anak, orang tua tidak

perlu menambahkan gula sebab akan membuat selera anak terpaku pada kadar

kemanisan yang tinggi (Kemenkes RI 2014).


48

Sayuran dan buah-buahan merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat.

Vitamin dan mineral merupakan senyawa bioaktif yang tergolong sebagai

antioksidan yang berfungsi untuk mencegah kerusakan sel. Serat berfungsi untuk

memperlancar pencernaan dan dapat mencegah serta menghambat perkembangan sel

kanker usus besar (Kemenkes RI 2014).

Batasi anak mengonsumsi makanan selingan yang terlalu manis, asin, dan

berlemak karena makanan tersebut berhubungan dengan penyakit kronis tidak

menular seperti diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung saat

dewasa nanti. Anak-anak dianjurkan tidak dibiasakan minum minuman manis atau

bersoda, karena jenis minuman tersebut mengandung kadar gula yang tinggi,

sehingga untuk mencukupi kebutuhan cairan setiap hari dianjurkan minum air

sebanyak 1200-1500 mL air/hari (Kemenkes RI 2014).

4. Kebutuhan Gizi Balita

Gizi (nutrients) merupakan ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk

melakukan fungsinya, yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara

jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Disamping untuk kesehatan, gizi

dikaitkan dengan potensi ekonomi seseorang, karena gizi berkaitan dengan

perkembangan otak, kemampuan belajar, dan produktivitas kerja (Almatsier, 2002).

Energi dalam makanan terutama diperoleh dari karbohidrat, protein, dan

lemak. Energi diperlukan untuk kelangsungan proses-proses di dalam tubuh seperti

proses peredaran dan sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan, pencernaan, proses

fisiologi lainnya, untuk bergerak atau melakukan pekerjaan fisik. Energi dalam

tubuh dapat timbul karena adanya pembakaran karbohidrat, protein dan lemak,

karena itu agar energi tercukupi perlu pemasukan makanan yang cukup dengan

mengkonsumsi makanan yang cukup dan seimbang. Protein diperlukan oleh tubuh

untuk membangun sel-sel yang telah rusak, membentuk zat- zat pengatur seperti
49

enzim dan hormon, membentuk zat anti energi dimana tiap gram protein

menghasilkan sekitar 4,1 kalori (Almatsier, 2002).

Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah banyaknya zat-zat minimal yang

dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi yang adekuat. AKG yang

dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok

umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, kondisi khusus (hamil dan

menyusui) dan aktivitas fisik. Angka kecukupan zat gizi individu dapat diperoleh

dari perbandingan antara asupan zat gizi dengan standar angka kecukupan gizi

seseorang.

Klasifikasi tingkat konsumsi dibagi menjadi 4 dengan cut of point masing-masing

sebagai berikut:

a. Baik : ≥ 100% AKG

b. Sedang : 80-90% AKG

c. Kurang : 70-80% AKG

d. Defisit : < 70% AKG

Tabel 2.2 Kebutuhan Zat Gizi pada Balita

Macam Zat Gizi Kadar Zat Gizi dalam setiap 100 ml


ASI Susu Sapi (Murni)
Protein Lemak 1,2 gr 3,3 gr
Lemak 3,8 gr 3,8 gr

Laktosa 7,0 gr 4,8 gr


Kalori 75 kal 66 kal
Kapur 30 mg 125 mg
Besi 0,15 mg 0,10 mg
Vitamin A 53 Kl 34 Kl
Vitamin B1 0,11 mg -
Vitamin C 4,3 mg 1,8 mg

(Sumber : Notoatmodjo 2012, p.257)


a. Zat Gizi Makro

1) Energi
50

Kebutuhan energi anak yang cukup selama tahun pertama

kehidupan sangat bervariasi menurut usia dan berat badan. Taksiran

kebutuhan energi selama 2 bulan pertama, yaitu pada masa pertumbuhan

cepat adalah 120 kkal/kg BB/hari. Secara umum, selama 6 bulan pertama

kehidupan, anak membutuhkan energi sebesar kira-kira 115120

kkal/kg/hari, yang kemudian berkurang menjadi sekitar 105-110

kkal/kg/hari pada 6 bulan sesudahnya (Arisman 2010, p.53)

Energi terutama dipasok oleh karbohidrat dan lemak. Protein juga

dapat digunakan sebagai sumber energi, terutama jika sumber lain sangat

terbatas. Kebutuhan akan energi dapat ditaksir dengan cara mengukur luas

permukaan ubuh atau menghitung secara langsung konsumsi energi yang

hilang dan terpakai. Namun cara terbaik adalah mengamati pola

pertumbuhan yang meliputi berat dan tinggi badan, lingkar kepala,

kesehatan dan kepuasan bayi (Arisman 2010, p.53).

Tabel 2.3 Angka Kecukupan Energi untuk Balita

Golongan Umur Kecukupan Energi Kal/kg/hari


1 990 110
1-3 1200 100
4-5 1620 90

2) Karbohidrat

Kebutuhan akan karbohidrat bergantung pada besarnya kebutuhan

akan kalori. Belum ada anjuran berapa jumlah karbohidrat yang harus

dikonsumsi dalam satu hari. Namun, sebaiknya 60-70% energi dipasok oleh

karbohidrat. Jenis karbohidrat yang sebaiknya diberikan adalah laktosa,

bukan sukrosa karena laktosa bermanfaat untuk saluran pencernaan bayi.

Manfaat ini berupa pembentukan flora yang bersifat asam dalam usus besar

sehingga penyerapan kalsium meningkat dan penyerapan fenol dapat


51

dikurangi. Pada ASI dan sebagian besar susu formula, laktosa memang

menjadi sumber karbohidrat utama. Sumber kalori pasokan karbohidrat

diperkirakan sebesar 40-50% yang sebagian besar dalam bentuk laktosa

(Arisman 2010, p.55).

Karbohidrat merupakan makronutrien yang dibutuhkan dalam

jumlah paling besar dibandingkan dengan makronutrien lainnya. Menurut

Dietary reference Intakes yang dikeluarkan oleh USDA, 45-55% kebutuhan

kalori berasal dari karbohidrat. Karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber

energi baik kebutuhan sel-sel jaringan tubuh, melindungi protein agar tidak

dibakar sebagai penghasil energy, membantu metabolism lemak dan

protein, penyerapan kalsium, pencernaan (memperlancar defakasi), dan

detoksifikasi zat-zat toksik tertentu bila berada di hati (Mckinley Health

Center 2008 : Wiyogowati 2012, p.9).

3) Lemak

Air susu ibu memasok sekitar 40-50% energi berbagai lemak (3-4

gr/100cc). Lemak minimal hasrus menyediakan 30% energi, yang

dibutukan bukan saja untuk mencukupi kebutuhan energi, tetapi juga untuk

memudahkan penyerapan asam lemak esensial, vitamin yang terlarut dalam

lemak, kalsium, sertamineral lain, dan juga untuk menyeimbangkan diet

agar zat gizi lait tidak terpakai sebagai sumber energi. Setidaknya 10%

asam lemak sebaiknya dalam bentuk tak jenuh ganda, yang biasanya dalam

benuk asam linoleat. Asam linoleat juga merupakan asam lemak esensial.

Asam ini terkandung didalm sebagian besar minyak tumbuk-tumbuhan.

Dari air susu ibu bayi menyerap sekitar 85-90% lemak. Enzim lipase di

dalam mulut (lingual lipase) mencerna zat lemak sebesar 50-70% (Arisman

2010, p.55)

Tabel 2.4 Tingkat Kecukupan Lemak Anak Balita


52

Umur gr/hari
0-5 bulan 31
6-11 bulan 36
1-3 tahun 44
4-6 tahun 62

(Sumber : Harsinsyah, 2012)

4) Protein

Besaran pasokan protein dihitung berdasarkan kebutuhan untuk

bertumbuh kembang dan jumlah nitrogen yang hilang lewat air seni, tinja

dan kulit. Mutu protein bergantung pada kemudahannya untuk dicerna dan

diserap (digestibility dan absorpability) serta komposisi asam amino

didalamnya. Jika asupan asam amino kurang, pertumbuhan jaringan dan

organ, berat, dan tinggi badan, serta lingkar kepala akar terpengaruh.

Asupan protein yang berlebihan, terutama pada bayi kecil akan

menybabkan kelebihan asam amino yang harus dimetabolisasi dan

dieliminasi sehingga menimbulkan stress berat pada hati dan ginjal tempat

deaminasi berlangsung (Arisman 2010, p.55).

Tabel 2.5 Angka Kecukupan Protein Anak Balita (gr/kgBB sehari)

Umur (tahun) gr/hari


1 1,27
2 1,19
3 1,12
4 1,06
5 1,01

(Sumber : Soediaoetama, 2008)

b. Zat Gizi Mikro

1) Vitamin
53

Menurut Almatsier (2001), vitamin adalah zat-zat organik kompleks

yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah sangat kecil. Vitamin dibagi menjadi

2 kelompok yaitu vitamin yang larut dalam air (vitamin B dan C) dan

vitamin yang tidak larut dalam air (vitamin A, D, E dan K). Menurut

Sediaoetama (2008), satuan untuk vitamin yang larut dalam lemak dikenal

dengan Satuan Internasional (S.I) atau I.U (International Unit). Sedangkan

yang larut dalam air maka berbagai vitamin dapat diukur dengan satuan

milligram atau mikrogram.

Vitamin A yang terdapat dalam makanan biasanya terdapat dalam

bentuk ester retinil yaitu terikat pada asam lemak rantai panjang. Di dalam

tubuh, vitamin A berfungsi dalam beberapa bentuk ikatan kima aktif, yaitu

retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan asam retinoat (bentuk asam).

Vitamin A terdapat dalam makanan yakni vitamin A yang berbentuk ester

retinil, bersama karotenoid bercampur dengan lipid lain di dalam lambung.

Di dalam sel mukosa usus halus, ester retinil dihidrolisis oleh enzim-enzim

pankreas ester menjadi retinol yang lebih efisien diabsorpsi daripada ester

retinil (Achmadi 2014, p.90).

Vitamin A dalam bentuk asam retinoat memegang peran aktif dalam

kegiatan inti sel, dengan demikian dalam pengaturan faktor penentu

keturunan/gen yang berpengaruh terhadap sintesis protein. Kekurangan

vitamin A menghalangi fungsi sel-sel kelenjar yang mengeluarkan mukus

dan diganti oleh sel-sel epitel bersisik dan kering. Kulit menjadi kering dan

kasar dan luka susuah sembuh. Vitamin A dibutuhkan untuk pertumbuhan

tulang san sel epitel yang membentuk email dalam pertumbuhan gigi. Pada

kekurangan vitamin A, pertumbuhan tulang terhambat dalam bentuk tulang

tidak normal. Banyak penelitian menunjukkan bahwa kebutuhan vitamin A


54

diperlukan untuk mengatur gen yang memproduksi protein yang terlibat

dalam menjaga imunitas tubuh (Achmadi 2014, p.91).

Vitamin B1 (Thiamin), zat ini mengandung sulfur (tio) dan nitrogen

(amine). Tiamin Kristal putih kekuningan yang larut dalam air. Tiamin

diabsorbsi di duodenum bagian atas yang bernuansa asam. Setengah dari

tiamin berada dalam sirkulasi darah dalam jumlah kecil dan dalam bentuk

bebas. Tiamin dapat disintesis oleh mikroorganisme dalam saluran cerna

manusia dan hewan tetapi hanya sedikit yang dapat dimanfaatkan tubuh.

Tiamin berfungsi sebagai koenzim berbagai reaksi metabolisme energi.

Tiamin dibutuhkan secara utama pada metabolisme karbohidrat. Sumber

thiamin terdapat pada makanan yang mengandung thiamin yaitu pasta,

gandum, sereal, biji bunga matahari, dan kacang kapri (Achmadi 2014,

p.93).

Vitamin C merupakan Kristal putih yang mudah larut dalam air.

Vitamin C adalah turunan heksosa dan di klasifikasikan sebagai karbihidrat

yang erat berkaitan dengan monosakarida. Vitamin C mudah diabsorbsi

secara aktif dan mungkin pula secara difusi pada bagian atas usus halus lalu

masuk ke peredaran darah melalui vena porta. Vitamin C memiliki banyak

fungsi antara lain sebagai komponen sintesis kolagen, sintesis karnitin,

noradrenalin, serotonin absorpsi dan metabolisme besi, adsorpsi kalsium,

mencegah infeksi, mencegah kanker dan pengakit jantung (Achmadi 2014,

p.90).

2) Mineral

Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan

penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan,

organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan, berperan dalam berbagai

tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim-enzim


55

(Almatsier, 2001). Mineral dikelompokkan menjadi mineral makro dan

mikro. Mineral makro dibutuhkan dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari,

sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari. Mineral

makro diantaranya natrium, klorida, kalium sebagai penyeimbang cairan

tubuh; natrium, kalium, kalsium dan magnesium untuk trasmisi syaraf dan

kontraksi otot; fosfor dan magnesium terlibat dalam metabolisme energi;

kalsium, fosfor dan magnesium berperan dalam memberikan struktur

tulang. Sedangkan mineral mikro yaitu besi, seng, yodium,

seleniummangan, krom dan fluor (Achmadi 2014, p.96).

Tabel 2.6 Tingkat Kecukupan Vitamin dan Mineral Anak Balita

Umur Kalsium Forfor Zat Besi Vitamin A Vitamin C


(mg) (mg) (mg) (RE) (mg)

0-5 bulan 200 100 0,5 375 40


6-11 bulan 400 225 7 400 40
1-3 tahun 500 400 8 400 40
4-6 tahun 500 400 9 450 45

(Sumber : Angka Kecukupan Gizi 2004)

G. Konsep Stunting

1. Definisi stunting

Stunting atau tubuh pendek merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau

kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka

panjang untuk gizi kurang pada anak (Kemenkes RI 2015). Menurut Keputusan

Menteri Kesehatan No. 1995/MENKES/SK/XII/2010 tanggal 30 Desember 2010

tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, pengertian pendek dan

sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks panjang badan

menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut umur (TB/U) yang merupakan

istilah stunting atau severely. Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila balita

sudah dapat diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan
56

standar baku WHO-MGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005 dan

didapatkan hasil nilai z-score <-2 SD, sedangkan dikatakan sangat pendek apabila

hasil z-score <-3 SD (Kemenkes RI 2016).

2. Kelompok usia berisiko stunting

Masa balita merupakan kelompok usia yang berisiko mengalami kurang

gizi salah satunya adalah stunting (Aridiyah, Rohmawati and Ririanty 2015).

Kejadian stunting sering dijumpai pada anak usia 12-36 bulan dengan prevalensi

sebesar 38,3% (Anugraheni 2012). Kelompok usia 24-35 bulan adalah kelompok

usia yang berisiko besar untuk mengalami stunting (Hagos et al. 2017). Oleh

karena itu, keadaan gizi yang baik dan sehat pada masa anak balita merupakan hal

yang penting bagi kesehatannya di masa depan. Masa usia 12-24 bulan adalah

masa rawan dimana balita sering mengalami infeksi atau gangguan status gizi,

karena pada usia ini balita mengalami peralihan dari bayi menjadi anak. Apabila

pola pengasuhan tidak betul diperhatikan, maka balita akan sering mengalami

penyakit terutama penyakit infeksi (Welasasih and Wirjatmadi 2012).

3. Faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting

Menurut beberapa penelitian, kejadian stunting pada anak merupakan

suatu proses kumulatif yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan

sepanjang siklus kehidupan. Adapun faktor yang berhubungan dengan stunting,

diantaranya yaitu:

4. Berat Lahir Balita

Berat lahir ditentukan oleh dua faktor, yaitu lamanya kehamilan dan

kecepatan pertumbuhan janin (Semba 2008 : Anisa 2012). Berat lahir merupakan

predictor yang kuat terhadap ukuran tubuh manusia di masa yang akan datang.

Hal ini dikarenakan sebagian besar bayi Intrauterine Growth Retardation

(IUGR) tidak dapat mengejar masa pertumbuhannya untuk tumbuh secara

normal seperti anak-anak normal lainnya.


57

Berat lahir pada khususnya sangat terkait dengan kematian janin,

neonatal, dan postneonatal, morbiditas bayi dan anak, dan pertumbuhan dan

pengembangan jangka panjang. Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR)

didefinisikan oleh WHO yaitu berat lahir yang kurang dari 2500 gr. BBLR dapat

disebabkan oleh durasi kehamilan dan laju pertumbuhan janin. Maka dari itu,

bayi dengan berat lahir <2500 gr bisa dikarenakan dia lahir secara premature

atau karena terjadi retardasi pertumbuhan (Semba 2008 : Anisa 2012).

Bayi dengan berat lahir dibawah 3000 gram berpeluang 3 kali menjadi

stunting dibandingkan dengan bayi berat lahir normal (300-3500 gram).

Berdasarkan penelitian di Pulai Sulawesi, menunjukkan proporsi stunting pada

anak berat lahir kurang dari 3000 gram lebih tinggi dibandingkan proporsi

stunting pada anak yang berat lahirnya lebih dari sama dengan 3000 gram. Anak

dengan berat lahir kurang dari 3000 gram memiliki reisiko menjadi stunting 1,3

kali dibandingkan anak dengan berat lahir lebih dari sama dengan 3000 gram

(Simanjuntak, 2011).

Di Negara berkembang, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) lebih

cenderung mengalami retardasi pertumbuhan intauter yang terjadi karena

buruknya gizi ibu dan meningkatnya angka infeksi dibandingkan dengan Negara

maju (Gibney 2008). Dampak dari bayi yang memiliki berat lahir rendah akan

berlangsung antar generasi yang satu kegenerasi selanjutnya. Anak yang BBLR

kedepanya akan memiliki ukuran antropometri yang kurang di masa dewasa.

Bagi perempuan yang lahir dengan berat rendah, memiliki risiko besar untuk

menjadi ibu yang stunted sehingga akan cenderung melahirkan bayi dengan

berat lahir rendah seperti dirinya. Bayi yang dilahirkan oleh ibu yang stunted

tersebut akan menjadi perempuan dewasa yang stunted juga, dan akan

membentuk siklus sama seperti sebelumnya (Semba 2008 : Anisa 2012).


58

Status gizi oang tua ternyata juga berpengaruh terhadap kejadian stunting

terutama status gizi ibu. Terlihat dari ibu yang pendek sekalipun ayah normal,

prevalensi balita stunting pasti tinggi, tetapi sekalipun ayah pendek tetapi ibu

normal, prevalensi balita stunting masih lebih rendah dibanding ibunya yang

pendek. Artinya status gizi ibu yang akan menjadi ibu hamil yang sangat

menentukan akan melahirkan balita stunting (Depkes 2011).

Menurut Sudiarti (2013), hasil penelitian ditemukan hubungan antara

tinggi badan ibu dengan kejadian stunting pada balita. Ibu yang memiliki tinggi

badan pendek mempunyai risiko 1,36 kali memiliki balita stunting dibandingkan

dengan ibu yang memiliki tinggi badan normal. Hal ini sejalan dengan penelitian

di Cina yang menunjukkan adanya hubungan antara tinggi badan ibu dengan

kejadian stunting. Tinggi badan ibu <155 cm lebih berisiko memiliki anak

stunting (Yang et al 2010 : Sudiarti 2013, p.175). Postur tubuh ibu juga

mencerminkan tinggi badan ibu dan lingkungan awal yang akan memberikan

kontribusi terhadap tinggi badan anak sebagai faktor independen. Namun

demikian, masih banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi tinggi badan

anak. Hasil penelitian menunnjukkan ibu yang memiliki postur tubuh pendek

memiliki hubungan terhadap kejadian stunting pada anaknya (Semba 2008 :

Anisa 2012). Inilah yang disebut siklus gagal tumbuh antar generasi, dimana

Intrauterine growth retardation (IUGR), BBLR, dan stunting terjadi turun

temurun dari generasi satu ke generasi selanjutnya. Gangguan pertumbuhan

antar generasi dapat digambarkan seperti berikut :


Kegagalan pertumbuhan
pada anak

Remaja dengan
Kehamilan berat dan
BBLR tinggi kurang
usia muda
59

Perempuan
dewasa stunted

(Sumber : Semba & Bloem 2008 : Anisa 2012)

Bagan 2.1 Gangguan Pertumbuhan Antar-Generasi

a. Faktor genetik

Memiliki seorang ibu dengan perawakan pendek berhubungan dengan

kejadian stunting di Quetzaltenango, Guatemala (Reurings et al. 2013). Faktor

genetik orang tua merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting

pada anak balita. Salah satu atau kedua orang tua yang pendek akibat kondisi

patologis dan memiliki gen dalam kromosom yang membawa sifat pendek

dapat mengakibatkan anak balita akan mewarisi gen tersebut dan tumbuh

menjadi pendek atau stunting (Aridiyah et al. 2015). Selain itu, penelitian yang

dilakukan di Asia Selatan juga menunjukkan bahwa perawakan ibu pendek

berhubungan signifikan terhadap resiko anak stunting (Kim and Subramanian

2017).

b. Faktor Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan merupakan jenjang terakhir yang ditempuh

seseorang dimana tingkat pendidikan merupakan suatu wahana untuk

mendasari seseorang berperilaku secara ilmiah. Pendidikan merupakan salah

satu unsur penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi karena

berhubungan dengan kemampuan seseorang menerima dan memahami

sesuatu, karena tingkat pendidikan seorang ibu dapat mempengaruhi pola

konsumsi makan melalui cara pemilihan makanan pada balita. Pendidikan ibu

muncul sebagai prediktor utama stunting, merupakan faktor rumah tangga

yang dapat dimodifikasi, memiliki hubungan yang kuat dan konsisten dengan
60

status gizi buruk (Hagos et al. 2017). Menurut penelitian Subarkah et al.,

(2016) di Posyandu Kalijudan Kota Surabaya menjelaskan bahwa pendidikan

ibu mempengaruhi pola makan yang tepat pada anak usia 1-3 tahun. Faktor

Pendidikan ibu merupakan faktor yang penting dalam hal pemilihan jenis dan

jumlah makanan serta penentuan jadwal makan anak sehingga pola pemberian

makan tepat dan sesuai usia 1-3 tahun. Apabila pola pemberian makan tidak

tepat maka anak akan mengalami status gizi kurang. Sama halnya dengan

penelitian Aridiyah et al., (2015) yang menunjukkan adanya hubungan antara

tingkat pendidikan ibu dengan kejadian stunting pada anak balita. Secara tidak

langsung tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi kemampuan dan

pengetahuan ibu mengenai perawatan kesehatan terutama dalam memahami

pengetahuan mengenai gizi.

c. Faktor pola pemberian makan

Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting adalah

asupan gizi (Kemenkes RI 2015). Pola pemberian makan dapat memberikan

gambaran asupan gizi mencakup jenis, jumlah, dan jadwal makan dalam

memenuhi kebutuhan nutrisi (Kemenkes RI 2014). Pola pemberian makan

pada tiap usia berbeda-beda. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Subarkah

(2016) bahwa pola pemberian makan yang tepat pada balita, sebagian besar

balita memiliki status gizi normal. Ibu yang memiliki pola pemberian makan

yang baik, menunjukkan bahwa ibu telah memberikan makanan yang tepat

kepada balita yaitu makanan yang diberikan sesuai dengan usia anak dan

memenuhi kebutuhan nutrisi anak (Kumala 2013).

d. Faktor pengetahuan ibu

Pengetahuan ibu mengenai gizi merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi terjadinya stunting pada anak balita Secara tidak langsung

tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi kemampuan dan pengetahuan ibu


61

mengenai perawatan kesehatan terutama dalam memahami pengetahuan

mengenai gizi (Aridiyah et al. 2015).

e. Faktor Ekonomi

Pendapatan keluarga menjadi faktor yang berhubungan dengan

stunting pada anak balita. Apabila ditinjau dari karakteristik pendapatan

keluarga bahwa akar masalah dari dampak pertumbuhan bayi dan berbagai

masalah gizi lainnya salah satunya disebabkan dan berasal dari krisis ekonomi.

Sebagian besar anak balita yang mengalami gangguan pertumbuhan memiliki

status ekonomi yang rendah (Aridiyah et al. 2015). Status ekonomi yang

rendah berdampak pada ketidakmampuan untuk mendapatkan pangan yang

cukup dan berkualitas karena rendahnya kemampuan daya beli. Kondisi

ekonomi seperti ini membuat balita stunting sulit mendapatkan asupan zat gizi

yang adekuat sehingga mereka tidak dapat mengejar ketertinggalan

pertumbuhan (catch up) dengan baik (Anugraheni 2012).

f. Faktor Budaya dan Gaya Hidup

Faktor budaya dan gaya hidup dapat mempengaruhi kejadian stunting

pada balita. Beberapa budaya atau perilaku masyarakat Madura yang terkait

dengan masalah kesehatan khususnya gizi kurang pada anak yaitu tradisi

perempuan Madura khususnya di daerah pedesaan yaitu menikah usia muda,

kebiasaan ini didasarkan adanya ikatan pertunangan bagi anak perempuan

yang sudah memasuki usia menstruasi (Hidayat et al. 2013). Mayoritas

perempuan Madura menikah ketika usia dibawah 20 tahun (Yunitasari,

Pradanie and Susilawati 2016). Hal ini akan berpengaruh pada pengetahuan

dan kesiapan untuk merawat anak (Hidayat et al. 2013). Penelitian yang

dilakukan di Sub-Sahara Africa juga menunjukkan adanya hubungan yang

signifikan antara anak yang lahir dari wanita yang menikah usia muda

terhadap kejadian stunting (Efevbera et al. 2017).


62

Pola pemberian MP-ASI dini pada anak balita merupakan salah satu

faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting (Aridiyah et al. 2015). MP-ASI

pada usia dini (0–2 bulan) dapat meningkatkan risiko stunting pada balita usia

24 – 48 bulan (Anugraheni 2012). Di kabupaten Sumenep, ibu mempunyai

kebiasaan memberikan air degan kelapa hijau dan air madu pada saat bayi baru

lahir. Selain bayi berusia 0 bulan sampai usia 6 (enam) bulan, juga mendapat

makanan tambahan lain berupa biskuit, telur, daging dan lain-lain. Keadaan ini

menyebabkan ibu tidak dapat memberikan inisiasi menyusu dini dan ASI

eksklusif pada bayi (Adriani 2011). Tradisi ibu-ibu di Madura yang

menganggap anak yang sehat adalah anak yang gemuk. Budaya memberi

makan yang belum waktunya sudah menjadi hal yang biasa, seperti diberi nasi

pisang saat masih usia bayi, atau juga budaya ter ater saat bayi lahir. Terdapat

juga budaya pemberian makan dini dengan istilah pemberian lontong,

gedheng sabeh atau gedheng sapeh dan gedheng gaji selama bayi agar anaknya

cepat besar dan kuat, selain itu pula tradisi pemberian makan/minum kelapa

muda atau ro’moro’ dan madu yang dijadikan sebagai makanan bayi (Hidayat

et al. 2013).

Selain itu budaya di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan

sedikit jenis sayuran dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, daging.

Sehingga dapat mempengaruhi status gizinya (Hidayat et al. 2013). Ibu-ibu di

Sumenep juga mempunyai kebiasaan memberikan mie instan, sebagai

pengganti nasi untuk konsumsi balita. Kebiasaan ini karena balita mengalami

kesulitan makanan, sehingga para ibu lebih memilih memberikan mie instan

yang lebih disukai balita. Sebagian besar ibu balita memberikan makanan pada

balita agar kenyang dan tidak rewel. Pemberian makanan tersebut lebih

diutamakan sesuai dengan keinginan anak tanpa memperhatikan nilai gizi

makanan yang seimbang, sehingga makanan yang dikonsumsi hanya


63

mengandung sumber karbohidrat (Adriani 2011). Budaya di Madura lebih

banyak mengkonsumsi nasi dan sedikit jenis sayuran dan sangat jarang

mengkonsumsi telur dan, susu dan daging (Hidayat et al. 2013)

Konsumsi makanan balita sebagian besar tidak sesuai dengan aturan

pola makan balita sesuai usia. Jika keadaan ini berlangsung terus menerus

maka balita akan kekurangan zat gizi, sehingga dapat menghambat

pertumbuhan balita dan akhirnya menjadi pendek-sangat pendek (stunting)

(Adriani 2011).

g. Sanitasi

Menurut Rosha (2012) wilayah tempat tinggal yang tidak kondusif

dapat berpengaruh terhadap status gizi anak. Hasil uji statistik menunjukkan

ada hubungan bermakna antara wilayah tempat tinggal dengan status stunting.

Sebanyak 71,3% anak yang tinggal di desa menderita stunting. Hal ini

disebabkan karena sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang

diderita anak dan asupan gizi yang kurang. Sanitasi lingkungan sangat terkait

dengan ketersediaan air bersih, ketersediaan jamban, jenis lantai rumah serta

kebersihan peralatan makan pada setiap keluarga. Makin tersedia air bersih

untuk kebutuhan sehari-hari, makin kecil risiko anak terkena penyakit kurang

gizi (p.34).

Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya penyakit

diseluruh dunia, termasuk didalamnya adalah diare, kolera, disentri, tifoid, dan
64

hepatitis A. Di Afrika, 115 orang meninggal setiap jam akibat diare

yang dihubungkan dengan sanitasi buruk, higienis buruk, dan air yang

terkontaminasi. Di perkirakan sekitar 2,6 juta orang di seluruh dunia

kekurangan akses terhadap sanitasi. Jika keadaan ini terus berlanjut, pada

tahun 2015 akan terdapat 2,7 juta orang tanpa akses terhadap sanitasi dasar.

Sanitasi yang baik sangat penting terutama dalam menurunkan risiko kejadian

penyakit dan kematian, terutama pada anank-anak. Sanitasi yang baik dapat

terpenuhi jika fasilitas sanitasi yang aman, memadai dan dekat dengan tempat

tinggal tersedia (WHO, 2011).

Data dari Water Sanitation Program (WSP) World Bank tahun 2008

menunjukkan bahwa masih tingginya angka kematian bayi dan balita, serta

kurang gizi sangat terkait dengan masalah kelangkaan air bersih dan sanitasi.

Telah dibuktikan bahwa cuci tangan dengan air bersih dan sabun mengurangi

kejadian diare 41-47 persen. Dengan demikian program air bersih dan sanitasi

tidak diragukan sangat sensitif terhadap pengurangan resiko infeksi. Kualitas

lingkungan hidup terutama adalah ketersediaan air bersih, sarana sanitasi,

perilaku hidup sehat seperti kebiasaan cuci tangan dengan sabun, buang air

besar di jamban, tidak merokok, sirkulasi udara dalam rumah dan sebagainya

(Bappenas 2012,p.12).

Lingkungan rumah yang sehat dapat diukur berdasarkan kegiatan

inspeksi sanitasi rumah. Kegiatan ini meliputi penilaian persyaratan rumah dan

sanitasi dasar. Dalam kegiatan ini petugas kesehatan lingkungan mengunjungi

rumah penduduk, melakukan pemeriksaan kondisi rumah dan sarana sanitasi

dasar, dan menentukan sehat atau tidaknya suatu rumah berdasarkan formulir

penilaian inspeksi sanitasi rumah. Syarat apabila suatu rumah tersebut sehat

ialah dengan memperoleh skor ≥1680 sedangkan sanitasi yang dinyatakan

tidak sehat dengan skor <1680. Kegiatan inspeksi sanitasi ruah merupakan
65

bagian dari penyehatan lingkungan perumahan yang menjadi tanggung jawab

Kabupaten/Kota (Depkes, 2007,p.17).

l. Sumber Air Bersih

Air merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi manusia. Manusia

akan lebih cepat meninggal karena kekurangan air daripada kekurangan

makanan. Dalam tubuh manusia itu sebagian besar terdiri dari air. Tubuh orang

dewasa sekitar 55-60% berat badan terdiri dari air, untuk anak-anak sekitar 65%

dan untuk bayi sekitar 80%. Kebutuhan manusia akan air sangat kompleks antara

lain untuk minum, masak, mandi, mencuci (bermacam- macam cucian), dan

sebagainya. Menurut perhitungan WHO di Negara-negara maju setiap orang

memerlukan air antara 60-120 liter per hari. Sedangkan di Negara-negara

berkembang, termasuk Indonesia setiap orang memerlukan air antara 30-60 liter

per hari (Notoatmodjo 2011, p.175).

Diantara kegunaan air tersebut yang sangat penting adalah kebutuhan

untuk minum. Oleh Karen itu, untuk keperluan minum (termasuk untuk masak)

air harus mempunyai persyaratan khusus agar air tersebut tidak menimbulkan

penyakit bagi manusia. Air yang sehat harus mempunyai persyaratan sebagai

berikut :

1) Syarat Fisik : Persyaratan fisik untuk air minum y ang sehat adalah bening

(tidak berwarna), tidak berasa, suhu dibawah suhu udara diluarnya. Cara

mengenal ait memenuhi persyaratan fisik ini tidak sukar.

2) Syarat Bakteriologis : Air untuk keperluan minum yang sehat harus bebas

dari segala bakteri, terutama bekteri pathogen. Cara ini untuk mengetahui

apakah air minum terkontaminasi oleh bakteri pathogen adalah dengan

memeriksa sampel air tersebut. Dan bila pada pemeriksaan 100cc air

terdapat kurang dari 4 bakteri E.coli maka air tersebut sudah memenuhi

syarat kesehatan
66

3) Syarat Kimia : Air minum yang sehat harus mengandung zat-zat tertentu

dalam jumlah yang tertentu pula. Kekurangan atau kelebihan salah satu zat

kimia dalam air, akan menyebabkan gangguan fisiologis pada manusia.

Bahan-bahan atau zat kimia yang terdapat dalam air yang ideal terdapat

pada Tabel 2.7.


67

Tabel 2.7 Batas Kadar Zat Kimia yang terdapat pada Air

Jenis Bahan Kadar yang dibenarkan


Flour (F) 1 – 1,5
Chlour (CI) 250
Arsen (As) 0,05
Tembaga (Cu) 1,0
Besi (Fe) 0,3
Zat organik Ph 10
(Keasaaman) 6,5-9,0
CO2 0

(Sumber : Notoatmodjo 2011, p.177)

Sesuai dengan prinsip teknologi tepat guna di pedesaan, maka air minum

yang berasal dari mata air dan sumur dalam dapat diterima sebagai air yang

sehat, dan memenuhi ketiga persyaratan tersebut asalkan tidak tercemar oleh

kotoran terutama kotoran manusia dan binatang. Oleh karena itu, mata air atau

sumur yang ada di pedesaan harus mendapatkan pengawasan dan perlindungan

agar tidak dicemari oleh penduduk yang menggunakan air tersebut. Sumber air

lainnya bisa didapatkan dari air hujan, air sngai dan danau, mata air pegunungan,

serta air sumur dalam dan air sumur dangkal. Namun butuh pengolahan lebih

lanjut agar air tersebut dapat dikonsumsi dengan baik, terutama untuk air yang

bersumber dari air hujan, sungai dan danau (Notoatmodjo 2011, p.176)

Air bersih merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi kesehatan.

Dua sampai lima juta orang meninggal stiap tahun akibat penyakit yang

ditularkan melalui air. Setengah dari populasi di Negara-negara miskin dan

berkembang menderita sakit yang diakibatkan karena kurangnya akses terhadap

air bersih dan sanitasi. Anak-anak yang bertahan hidup dengan sumber air

minum yang terkontaminasi kemungkinan besar akan menderita malnutrisi,

stunted, dan perkembangan otak (intelektual) yang terhambat (Depkes 2008).

Menurut penelitian Adewara (2011) dalam Sudiarti (2013), menunjukkan

bahwa balita dari keluarga yang memiliki sumber air minum tidak terlindungi

lebih banyak mengalami stunting dibandingkan balita dari keluarga yang


68

memiliki sumber air minum terlindungi. Studi membuktikan bahwa terdapat

hubungan antara sumber air minum dengan kejadian stunting balita. Balita yang

berasal dari keluarga yang memiliki sumber air minum tidak terlindungi 1.35

kali lebih berisiko mengalami stunting dibandingkan dengan balita dari keluarga

dengan sumber air minum terlindungi.

m. Penyakit Infeksi

Penyebab langsung malnutrisi adalah diet yang tidak adekuat dan

penyakit. Manifestasi ini disebabkan oleh perbedaan antara jumlah zat gizi yang

diserap dari makanan dan jumlah zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini

terjadi sebagai konsekuensi dari terlalu sedikit mengkonsumsi makanan atau

mengalami infeksi, yang meningkatkan kebutuhan tubuh akan zat gizi,

mengurangi nafsu makan, atau mempengaruhi penyerapan zat gizi di usus.

Malnutrisi sering terjadi pada saat bersamaan. Malnutrisi dapat

meningkatkan risiko infeksi, sedangkan infeksi dapat menyebabkan malnutrisi

mengarahkan ke lingkaran setan. Anak kurang gizi, yang daya tahan terhadap

penyakitnya rendah, jatuh sakit dan akan menjadi semakin kurang gizi, sehingga

mengurangi kapasitasnya untuk melawan penyakit dan sebagainya. Ini disebut

juga infectionmalnutrition (Maxwell


Diet yang2011
tidak: Anisa 2012).
adekuat

Penurunan nafsu makan Penurunan berat badan


Malabrorbsi Gagal tumbuh
Peningkatan kebutuhan tubuh Penurunan kekebalan tubuh
akan energi dan zat gizi lain Peningkatan kerentanan

Peningkatan keparahan
dan durasi penyakit

Bagan 2.2 Siklus Infeksi-Malnutrisi


69

(Sumber : Tomkins & Watson 1989 dalam Anisa 2012)

Status kesehatan balita meliputi kejadian diare dan infeksi saluran

pernafasan akut (ISPA) pada balita. Diare merupakan penyakit yang lazim

ditemui pada bayi maupun anak-anak. Menurut WHO, diare merupakan buang

air besar dalam bentuk cairan lebih dari 3 kali dalam satu hari, dan biasanya

berlangsung selama dua hari atau lebih. Pada anak-anak, konsistensi tinja lebih

diperhatikan daripada frekuensi BAB, hal ini dikarenakan frekuensi BAB pada

bayi lebih sering dibandingkan orang dewasa, bisa sampai lima kali dalam

sehari. Frekuensi BAB yang sering pada anak belum tentu dikatakan diare

apabila konsistensi tinjanya seperti hari-hari pada umumnya (Aden 2010, p.71).

Tabel 2.8 Ringkasan Interaksi antara Malnutrisi dan Penyakit Infeksi Utama

Penyakit Dampak Malnutrisi pada Dampak Penyakit


penyakit infeksi pada Status Gizi

Diare atau Disentri - Peningkatan durasi - Malabsorbsi


- Peningkatan keparahan - Penurunan nafsu makan
- Peningkatan risiko
kematian

ISPA - Peningkatan keparahan - Penurunan nafsu makan


- Peningkatan risiko - Peningkatan laju
kematian metabolisme dalam
kerusakan otot

Sumber : Tomkins & Watson dalam Anisa 2012

Diare dapat menyebabkan seseorang kekurangan cairan. Penyebab diare

bermacam-macam, diantaranya infeksi bakteri. Diare yang disebabkan oleh

infeksi dari bakteri seperti Shigella, Vibrio cholera, Salmonella (non thypoid),

Campylobacter jejuni maupun Escherichia coli. Bakteri penyebab utama diare

pada bayi dan anak-anak adalah Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC).

Bakteri EPEC juga diyakini menjadi penyebab kematian ratusan ribu anak di

Negara berkembang setiap tahunnya. Hal ini juga diungkapkan


70

oleh Budiarti, bahwa di Indonesia 53% dari bayi dan anak penderita diare

terinfeksi EPEC (Anisa 2012).

Selain itu infeksi virus juga dapat menyebabkan diare pada anak. Virus

yang paling banyak menimbulkan diare adalah rotavirus. Menurut WHO,

rotavirus turut berkontribusi sebesar 15-25% diare pada anak usia 6-24 bulan

Diare Infeksius adalah suatu keadaan dimana anak sering buang air besar dengan

tinja yang encer sebagai akibat dari suatu infeksi. Diare lebih sering ditemukan

pada lingkungan yang kurang bersih atau pada lingkungan yang penuh sesak

(Aden 2010, p.75).

Berdasarkan penelitian Masithah, Soekirman & Martianto (2005), anak

balita yang menderita diare memiliki hubungan positif dengan indeks status gizi

tinggi badan menurut umur (TB/U). Penelitian lain juga menunjukkan hal yang

sama, penyakit infeksi menunjukkan hubungan signifikn terhadap indeks status

gizi TB/U. Penyakit infeksi seperti diare dan ISPA yang disebabkan oleh sanitasi

pangan dan lingkungan yang buruk, berhubungan dengan kejadian stunting pada

bayi usia 6-12 bulan. Penelitian Toy & Picauly (2013) menyebutkan bahwa anak

yang memiliki riwayat penyakit infeksi memiliki peluang mengalami stunting

lebih besar dibandingkan anak yang tidak memiliki riwayat infeksi penyakit. Hal

ini berrati bahwa jika anak memiliki riwayat infeksi penyakit maka akan diikuti

dengan peningkatan kejadian stunting 2,332 kali (p.55). Supriasa (2002) juga

mengatakan bahwa infeksi berat dapat mempuruk keadaan gizi melalui

gangguan masukan makanannya dan meningginya kehilangan zat-zat gizi

esensial tubuh melalui muntah- muntah dan diare. Selain itu penyakit infeksi

seperti infeksi saluran


71

pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan. Sebaliknya malnutrisi

walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh

terhadap infeksi.

i. Dampak stunting

Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada

periode tersebut, dalam jangka pendek adalah terganggunya

perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan

gangguan metabolisme dalam tubuh. Anak-anak yang mengalami stunting

lebih awal yaitu sebelum usia 6 bulan, akan mengalami kekerdilan lebih

berat menjelang usia dua tahun. Bila hal tersebut terjadi, maka salah satu

organ tubuh yang paling cepat mengalami resiko adalah otak. Dalam otak

terdapat sel-sel saraf yang sangat berkaitan dengan respon anak termasuk

dalam melihat, mendengar, dan berpikir selama proses belajar. Anak

stunting pada usia dua tahun secara signifikan mengalami kinerja kognitif

yang lebih rendah dan nilai yang lebih rendah disekolah pada masa anak-

anak (Grantham et al. 2007).

Dampak berkepanjangan akibat stunting yaitu kesehatan yang buruk,

meningkatnya risiko terkena penyakit tak menular, buruknya kognitif dan

prestasi pendidikan yang dicapai pada masa kanak-kanak (Bappenas and

UNICEF 2017). Risiko tinggi munculnya penyakit dan disabilitas pada usia

tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada

rendahnya produktivitas ekonomi (Kementerian Kesehatan RI 2016).


72

F. Konsep Perilaku

1. Definisi Perilaku

Menurut Notoadmodjo (2007) perilaku adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak

dapat diamati oleh pihak luar. Perilaku merupakan respon atau reaksi

seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar (Skiner, 1983 dalam

Notoadmodjo, 2007). Berdasarkan pengertian tersebut Skiner

membedakan adanya dua respons, yaitu:

1) Respondent respons atau reflexive, yaitu respons yang timbulkan

olehrangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya cahaya

terangmenyebabkan mata tertutup. Respons ini mencakup perilaku

emosional,misalnya mendengar berita musibah menjadi sedih.

2) Operant respons atau instrumental respons, yaitu respons yang timbul

danberkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang

tertentu. Misalnya apabila petugas kesehatan melaksanakan

tugasnya dengan baik kemudian memperoleh penghargaan dari

atasannya, maka petugas kesehatan tersebut akan lebih baik dalam

melaksanakan tugasnya.

Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka

perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

(a) Perilaku tertutup, yaitu respons seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respons atau reaksi

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,


73

pengetahuan/kesadaran, sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut, dan belum diamati secara jelas oleh

orang lain.

(b) Perilaku terbuka, yaitu respons seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap

stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek,

yang dengan mudah dapat diamati dan dilihat oleh orang lain

(Notoatmodjo, 2010).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku

Perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas dari organisme

yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah suatu aktivitas dari pada

manusia itu sendiri. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon

seseorang (organisme) terhadap stimulasi yang berkaitan dengan sakit dan

penyakit, system pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Blumm

(1986), menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan

pada manusia yaitu genetik(hereditas), lingkungan, pelayanan kesehatan,

dan perilaku (Notoadmodjo, 2007).

Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor

pokok, yaitu faktor perilaku dan di luar perilaku. Menurut teori Lawrence

Green dalam Notoadmodjo (2007), menyebutkan tiga faktor yang

mempengaruhi perubahan perilaku individu maupun kelompok adalah:

1. Faktor mempermudah (predisposing Factor) yaitu faktor pertama yang

mempengaruhi untuk berperilaku yang mencakup karakteristik

individu, pendidikan, pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan,


74

nilai, persepsi, dan unsur lain yang terdapat dalam diri individu maupun

masyarakat.

2. Faktor pendukung (enabling factor) yaitu faktor yang memungkinkan

keinginan terlaksana meliputi ketersediaan sumber daya kesehatan,

keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas masyarakat atau

pemerintah dan keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan.

3. Faktor pendorong (reinforcement factor) yaitu faktor yang

memperkuat/mendorong perubahan tingkah laku, kaitanya dengan

kesehatan, meliputi dukungan keluarga (suami, orang tua, keluarga),

tokoh masyarakat dan lainnya.

3. Domain Perilaku Kesehatan

Menurut Notoadmodjo (2010), perilaku kesehatan adalah sesuatu

respon (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan

sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan minuman,

serta lingkungan. Dari batasan ini, perilaku pemeliharaan kesehatan ini

terjadi dari 3 aspek:

a) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit,

serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari sakit.

b) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan

sehat.

c) Perilaku gizi makanan dan minuman.

Domain perilaku kesehatan mencakup 3 komponen, yakni:

pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), dan tindakan atau praktik

(practice). Oleh sebab itu mengukur perilaku dan perubahannya,


75

khususnya perilaku kesehatan juga mengacu kepada 3 domain tersebut

(Notoadmodjo, 2010).

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Ibu Dalam

Memenuhi Kebutuhan Nutrisi Anak.

a. Pengetahuan Gizi ibu

Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan manusia, atau

hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya

(mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Dengan sendirinya, pada waktu

penginderaan samapai mengahasilkan pengetahuan tersebut sangat

dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap

objek.Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indera

pendengaran (telinga), dan indera penglihatan (mata) (Notoatmodjo,

2010).

Menurut Slamet (2009) pengetahuan ibu dapat diperoleh dari

pendidikan atau pengamatan serta informasi yang didapat seseorang.

Pengetahuan dapat menambah ilmu dari seseorang serta merupakan

proses dasar dari kehidupan manusia. Melalui pengetahuan manusia

dapat melakukan perubahan-perubahan kualitatif individu sehingga

tingkah lakunya berkembang.

b. Pendidikan ibu

Tingkat pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh

seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-

cita tertentu. (Sarwono, 1992 dalam Nursalam, 2011). Secara umum,


76

seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akanmempunyai

pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang

tingkat pendidikannya lebih rendah. Orang yang berpendidikan tinggi

akan memberikan respon yang lebih rasional terhadap informasi yang

datang dan akan berpikir sejauh mana keuntungan yang mungkin akan

mereka peroleh dcari gagasan tersebut (Notoatmodjo, 2010).

Pendidikan merupakan salah satu faktor penting dalam proses

tumbuh kembang anak. Ibu yang memiliki tingkatpendidikan tinggi

akan lebih mudah menerima pesan dan informasi gizi dan kesehatan

anak (Gabriel, 2008). Orang tua yang memiliki pendidikan tinggi akan

lebih mengerti tentang pemilihan pengolahan pangan serta pemberian

makan yang sehat dan bergizi bagi keluarga terutama untuk anaknya

(Soetjiningsih, 2004).

Pendidikan formal dari ibu rumah tangga sering kali mempunyai

manfaat yang positif dengan pengembangan pola konsumsi makanan

dalam keluarga. Beberapa studi menunjukkan bahwa jika pendidikan

dari ibu meningkat maka pengetahuan nutrisi dan praktek nutrisi

bertambah baik (Joyomartono, 2004). Menurut Hidayat (1980) dalam

Lutfi (2010) ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderuang memilih

makanan yang lebih baik dalam kualitas dan kuantitas dibandingkan ibu

yang berpendidikan rendah.

c. Pekerjaan Ibu
77

Menurut Sediaoetama (2006), pekerjaan adalah mata pencaharian,

apa yang dijadikan pokok kehidupan, sesuatu yang dilakukan untuk

mendapatkan nafkah. Lamanya seseorang bekerja sehari-hari pada

umumnya 6-8 jam (sisa 16-18 jam) dipergunakan untuk kehidupan

dalam keluarga, masyarakat, istirahat, tidur dan lain-lain.

Menurut Afriyenti (2002) dalam Lutfi (2010) seorang ibu yang

tidak bekerja di luar rumah akan memiliki lebih banyak waktu dalam

mengasuh serta merawat anak. Ibu yang bekerja tidak dapat

memberikan perhatian kepada anak balitanya apalagi mengurusnya

sehingga ibu yang bekerja waktu untuk merawat anak menjadi

berkurang (Sediaoetama, 2006).

Keterlibatan ibu dalam kegiatan ekonomi/bekerja dibatasi oleh

waktu mereka untuk kegiatan rumah tangga termasuk pengelolaan

pangan buat keluarga (Hardinsyah, 2007). Saat wanita dari keluarga

menengah ke bawah lebih mengalokasikan untuk kegiatan bekerja di

luar rumah, biasanya mereka akan mengurangi waktu untuk mengelola

makanan di rumah tangga dengan cara mengurangi frekuensi memasak

dan mengurangi jenis makanan yang dimasak yang pada akhirnya akan

mengurangi kualitas gizi pada menu makanan anggota keluarga tersebut

(Hardinsyah, 2007).

d. Pendapatan Keluarga

Menuru Berg (1986) dalam Parsiki (2003) pendapatan dianggap

sebagai salah satu determinan utama dalam dalam diet dan status
78

gizi.Ada kecenderungan yang relevan terhadap hubungan pendapatan

dan kecukupan gizi keluarga. Hukum Perisse mengatakan jika terjadi

peningkatan pendapatan, maka makanan yang dibeli akan lebih

bervariasi (Parsiki, 2003). Selain itu menurut hukum ekonomi (hukum

Engel) yang disebutkan bahwa mereka yang berpendapatan sangat

rendah akan selalu membeli lebih banyak makanan sumber karbohidrat,

tetapi jika pendapatannya naik maka makanansumber karbohidrat yang

dibeli akan menurun diganti dengan makanan sumber hewani dan

produk sayuran (Soekirman, 2000).

Menurut Suhardjo (2003) pada keluarga yang pendapatannya

rendah, tentu rendah pula jumlah uang yang dibelanjakan untuk

makanan itu.Bila pendapatan menjadi semakin baik, maka jumlah uang

dipakai untuk membeli makanan dan bahan makanan itu juga

meningkat, sampai suatu tingkat tertentu dimana uang tidak banyak

berubah.

Pada tingkat keluarga, penurunan daya beli akan menurunkan

kualitas dan kuantitas pangan serta aksesibilitas pelayanan kesehatan

terutama sekali bagi warga kelas ekonomi bawah. Hal ini akan

berdampak negatif terhadap kesehatan anak yang rentan terhadap

gangguan gizi dan kesehatan (Hardinsyah, 1997 dalam Lutfi 2010).

Besarnya pendapatan yang diperoleh setiap keluarga tergantung dari

pekerjaan mereka sehari-hari. Pendapatan dalam satu keluarga akan

mempengaruhi aktivitas keluarga dalam pemenuhan kebutuhan


79

sehingga akan menentukan kesejahteraan keluarga termasuk dalam

perilaku gizi seimbang (Yuliana, 2004).

e. Sikap

Menurut Notoatmodjo (2007), sikap adalah respon individu yang

masih bersifat tertutup terhadap suatu rangsangan dan sikap tidak dapat

diamati secara langsung oleh individu lain. Sikap belum merupakan

suatu tindakan, tetapi sikap merupakan suatu faktor pendorong individu

untuk melakukan tindakan (perilaku).Sikap merupakan kecenderungan

merespon (secara positif atau negatif) orang, situasi atau objek

tertentu.Sikap mengandung suatu penilaian emosional atau afektif

(senang, benci, dan sedih), kognitif (pengetahuan tentang suatu objek),

dan konatif (kecenderungan bertindak) (Sarwoni (2007) dalam Maulana

(2010)).

Sikap memiliki tiga komponen yang membentuk struktur sikap

yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

(1) Komponen kognitif (cognitive). Disebut juga komponen

perceptual, yang berisi kepercayaan yang berhubungan dengan

persepsi individu terhadap objek sikap dengan apa yang dilihat dan

diketahui, pandangan, keyakinan, pikiran, pengalaman pribadi,

kebutuhan emosional, dan informasi dari orang lain. Sebagai

contoh, seseorang tahu kesehatan itu sangat berharga jika

menyadari sakit dan terasa nikmatnya sehat.

(2) Komponen afektif (komponen emosional). Komponen ini


80

menunjukkan dimensi emosional subjektif individu terhadap objek

sikap, baik bersifat positif (rasa senang) maupun negatif (rasa tidak

senang). Reaksi emosional banyak dipengaruhi oleh apa yang kita

percayai sebagai sesuatu yang benar terhadap objek sikap tersebut.

(3) Komponen konatif (komponen perilaku). Komponen ini merupakan

predisposisi atau kecenderungan bertindak terhadap objek sikap

yang dihadapinya.

f. Dukungan keluarga

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari

kepala keluarga, dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal

disuatu tempat dibawah suatu atap dalam keadaan saling

ketergantungan. Anggota keluarga saling berinteraksi satu sama lain

dan masing- masing mempunyai peran sosial: suami, istri, anak, kakak,

adik. Keluarga mempunyai tujuan yaitu menciptakan dan

mempertahankan perkembangan fisik, psikologis dan sosial budaya

(Mubarok, 2006).

Dukungan keluarga adalah bantuan yang bermanfaat secara

emosional dan memberikan pengaruh positif yang berupa informasi,

bantuan instrumental, emosi, maupun penilaian yang diberikan oleh

anggota keluarga yang terdiri dari suami, orang tua, maupun saudara

lainnya.

Cohen & Syme (1985) dalam Lastri (2009), mengklasifikasikan

dukungan sosial dalam empat kategori yaitu:


81

1) Dukungan informasi

Dukungan informasi yaitu memberikan penjelasan tentang

situasi dan segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah yang

sedang dihadapi oleh individu. Dukungan ini meliputi memberikan

nasehat, petunjuk, masukan, atau penjelasan bagaimana seseorang

bersikap dan bertindak dalam mengahadapi situasi yang dianggap

membebani.

2) Dukungan emosional

Dukungan emosional yang meliputi mendengarkan, bersikap

terbuka, menunjukkan sikap percaya terhadap apa yang

dikeluhkan, mau memahami, ekspresi kasih sayang.

3) Dukungan instrumental

Dukungan instrumental adalah bantuan yang diberikan secara

langsung bersifat fasilitasi atau materi, misalnya menyediakan

fasilitasi yang diperlukan, meminjamkan uang, member makan,

atau bantuan yang lain.

4) Dukungan penilaian, dukungan ini bisa berbentuk penilaian yang

positif, penguatan (pembenaran) untuk melakukan sesuatu.

G. Puskesmas

1. Pengertian Puskesmas

Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan

masyarakat merupakan sarana kesehatan yang sangat penting dalam


82

meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Untuk itu peranan Puskesmas

hendaknya tidak lagi menjadi sarana pelayanan pengobatan dan

rehabilitatif saja tetapi juga lebih di tingkatkan pada upaya promotif dan

preventif. Oleh karena itu promosi kesehatan menjadi salah satu upaya

wajib di Puskesmas. Promosi kesehatan di Puskesmas merupakan upaya

Puskesmas dalam memberdayakan pengunjung dan masyarakat baik di

dalam maupun di luar Puskesmas agar berprilaku hidup bersih dan sehat

untuk mengenali masalah kesehatan, mencegah dan menaggulanginya.

Dengan promosi kesehatan juga menjadikan lingkungan Puskesmas

menjadi nyaman, bersih, dan sehat dalam mendukung prilaku hidup bersih

dan sehat. Petugas Puskesmas di harapkan dapat menjadi teladan perilaku

sehat di masyarakat dan melahirkan gerakan pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan para masyarakat untuk dapat menerapkan perilaku sehat juga

aktif menjadi penggerak atau kader kesehatan masyarakat. (Departemen

Kesehatan RI-Promosi Kesehatan, 2007)


83

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan rancangan penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian Deskriptif Analitik yaitu

suatu penelitian yang mengkaji hubungan antara variabel dengan

menggunakan rancangan penelitian Cross Sectional ialah suatu penelitian

untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan

efek, dengan cara pendekatan. Observasi atau pengumpulan data

sekaligus pada suatu saat. Artinya tiap subjek hanya diobservasi sekali

saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel

subjek pada saat pemeriksaan (Notoadmodjo, 2010).

B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas Ujan Mas

Kabupaten Kepahiang.

C. Populasi dan Sampel


1. Populasi

Populasi merupakan keseluruhan objek penelitian atau objek yang

diteliti (Notoatmodjo, 2010). Populasi adalah universum dan universum

itu dapat berupa orang, benda, gejala atau wilayah yang ingin diketahui

oleh peneliti (Danim dan Darwis, 2003). Populasi dalam penelitian

adalah setiap subjek yang memenuhi kriteria yang telah di tetapkan

(Nursalam, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bidan


84

yang bekerja di wilayah kerja Kabupaten Rejang Lebong yang

berjumlah 317 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

diteliti dan diangggap mewakili seluruh populasi pengambilan sampel

secara Non Probability Sampling yaitu dengan teknik purposive

sampling. Pengambilan sampel secara Purposif didasarkan pada

pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti itu sendiri (Notoatmodjo,

2010).

Pengambilan sampel menggunakan rumus Uji hipotesis beda 2

proporsi dengan cara 2 sisi (two tail), dengan derajat kemaknaan 5 % dan

kekuatan uji 80%. Dengan rumus pengambilan sampel minimal sebagai

berikut :

Keterangan :

n : besar sampel

Z₁- : Z score berdasarkan derajat kemaknaan (α) 5% = 1,96

Z₁-β : Z score berdasarkan kekuatan uji (β) 80% = 0,84

P₁ :Proporsi penerapan IMD oleh bidan berdasarkan hasil

penelitian Arumawati, 2011 = 85%

P₂ :Proporsi penerapan IMD oleh bidan berdasarkan hasil

penelitian Setiarini, 2012 = 54%

P : P₁+P₂/2 = 0,85 + 0,54/2 = 0,695


85

Perhitungan sampel :

Jadi, sampel yang di ambil adalah sebanyak 34 orang, dengan

menggunakan teknik Purposive Sampling dengan kriteria inklusi.

a. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari

suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam,

2003)

Kriteria inklusi dalam penelitian ini meliputi :


1) Bersedia menjadi responden.
2) Bidan Praktik Mandiri/Bidan Desa yang berada di wilayah kerja

Kabupaten Rejang Lebong.


3) Pertolongan persalinan pada partus normal, dan tidak ada kontra

indikasi pada ibu dan bayi.


D. Variabel dan Definisi Operasional
86

1. Variabel

Variabel Dependen dalam penelitian ini adalah penerapan

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) oleh Bidan. Variabel Independen dalam

penelitian ini adalah umur, lama kerja, pendidikan, pengetahuan, sikap

dan seminar.

2. Definisi Operasional

E. Tabel 3.1. Definisi Operasional

No Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur SkalaUkur


Dependen Operasional

1. Penerapan Kesesuaian Lembar Jika tahapan Ordinal


Inisiasi bidan observasi IMD
Menyusu melaksanaka (mengobserv dilakukan
Dini n asi dan ≥ mean =
(IMD) oleh Inisiasi melakukan baik :0
bidan Menyusu Pengisian Jika Tahapan
Dini . lembar IMD
observasi dilakukan <
oleh peneliti) mean = kurang
baik : 1

No Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Independen Operasional Ukur

2. Umur Bidan Umur Kuesioner Jika ≤ 35 Ordinal


responden (Melakukan tahun = muda :
dalam tahun, pengisian di 0
dihitung format data Jika > 35
sejak demografi tahun = tua : 1
dilahirkan s/d kuesioner) (Setiarini,
ulang tahun 2012)
terakhir

3. Lama Kerja Merupakan Kuesioner ≤ 10 tahun = Ordinal


lama waktu (Melakukan baru : 0
bekerja bidan pengisian di >10 tahun =
tersebut sejak format data lama : 1
menjadi demografi (Setiarini,
bidan kuesioner) 2012)
pertama kali
87

sampai
sekarang

4. Pendidikan Latar Kuesioner D III/ DIV Ordinal


belakang (Melakukan Kebidanan
pendidikan pengisian di = Tinggi : 0
formal format data D I
terakhir demografi Kebidanan =
kuesioner) Rendah : 1
(Suwarnisih,
2011)

5. Pengetahuan Pernyataan Kuesioner Jika jawaban Ordinal


responden (Melakukan benar ≥ 75%=
tentang pengisian baik : 0
semua yang pada Jika jawaban
diketahui pertanyaan benar <75%=
tujuan dan kuisioner) kurang baik : 1
manfaat IMD (Winarsih,
dan ASI. 2011)

6. Sikap Bidan Sikap adalah Kuesioner T ≥ 50 = Ordinal


reaksi bidan (Melakukan mendukung : 0
yang masih pengisian T < 50 =
tertutup pada tidak
terhadap pernyataan mendukung : 1
stimulus kuisioner) (Apriyani,
tentang 2011)
pelaksanaan
IMD dalam
bentuk
pernyataan
setuju atau
tidak setuju

7. Seminar Pernah atau Kuesioner Jika seminar Ordinal


tidaknya (Melakukan terakhir
bidan pengisian dilaksanakan ≤
mengikuti pada 2 tahun =
Seminar pertanyaan Pernah : 0
tentang IMD kuesioner) Jika seminar
secara terakhir
berkala dilaksanakan >
2 tahun =
Tidak pernah:1
(Setiarini, 2012)
88

F. Instrumen penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan lembar

observasi pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini. Kuesioner 1 berisi

pertanyaan identitas responden berupa data demografi responden yang

terdiri dari nomor responden, usia responden, lama kerja responden,

pendidikan responden. Kuesioner II berisi pertanyaan untuk menganalisis

pengetahuan Bidan mengenai IMD yang berisikan 10 pertanyaan.

Kuesioner III berisi pertanyaan dan pernyataan untuk mengenalisis sikap

Bidan terhadap IMD yang berisikan 14 item pernyataan, yang terdiri dari

pernyataan positif dan pernyataan negatif. Kuesioner IV berisi pertanyaan

untuk menganalisis pelaksanaan seminar oleh bidan mengenai IMD.

Kuesioner telah di uji validitas dan reabilitas oleh peneliti sebelumnya

(Tatik Setiarini, 2012) dengan hasil r alpha (0,775) lebih besar dari nilai r

tabel. Sehingga pertanyaan dalam kuesioner penelitian ini dinyatakan

valid dan reabilitas.

G. Teknik Pengumpulan Data


1. Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari sumber data yang

dikumpulkan secara khusus dan berhubungan langsung dengan

permasalahan yang diteliti. Penggalian data primer didapat dari,

kuesioner, dan obsevasi langsung dengan responden di Kabupaten

Rejang Lebong.
b. Data Sekunder
89

Data sekunder adalah data yang ada kaitannya dengan masalah

yang diteliti, data ini diperoleh melalui profil Dinas Kesehatan

Kabupaten Rejang Lebong.

H. Teknik Analisis Data


1. Pengolahan Data
Menurut Notoatmodjo, (2010) data dikelompokkan sesuai dengan

variabel independen dan dependen dalam definisi operasional melalui

beberapa tahap :
a. Pemeriksaan (Editing)
Persiapan ini peneliti memeriksa kembali kelengkapan data yang

diperoleh, kemudian untuk memudahkan pengecekan kelengkapan data

yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian dilakukan

pengelompokan dan penyusunan data. Data dikelompokkan berdasarkan

pertimbangan peneliti sendiri dengan maksud untuk memudahkan

pengolahan data.
b. Pengkodean (Coding)
Coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk huruf

menjadi data bilangan dengan memberikan kode-kode pada setiap

variabel dengan maksud untuk memudahkan pengolahan data.


c. Memperoses Data (Processing)
Setelah semua checklist diperiksa dan telah melewati

pengkodean, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar

dapat dianalisa dengan cara memasukan data checklist ke komputer.


d. Pembersihan (Cleaning)
Kegiatan mengecek kembali data yang sudah diproses apakah

ada kesalahan atau tidak pada masing-masing variabel yang sudah

diproses sehingga dapat diperbaiki dan dinilai.


2. Analisa Data
a. Analisis Univariat
Analisa univariat adalah analisa yang dilakukan untuk
90

menganalisa tiap variabel yang ada secara deskriptif (Notoatmodjo,

2010). Dalam analisa ini akan disajikan besarnya proporsi masing-

masing variabel yang diteliti. Penyajian data dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi.

Keterangan :
P = Persentase yang dicari
F = Frekuensi jawaban klien

N = Jumlah Responden

Untuk menarik kesimpulan dari hasil yang didapat digunakan standar

dibawah ini :

0% = Tidak satupun dari responden

1%-25% = Sebagian kecil dari responden

26%- 49% = Hampir sebagian dari responden

50% = Sebagian dari responden

51%-75% = Sebagian besar dari responden

76%-99% = Hampir seluruh dari responden

100% = Seluruh dari responden (Simbolon, 2012)

Pengukuran menggunakan skala Likert dengan menggunakan

rumus :

X =

Selanjutnya dari hasil rata-rata dicari nilai simpangan deviasi (SD)

dengan rumus sebagai berikut: (Hidayat, 2011)


91

 ( Xi  X )2
SD = N

Keterangan :

SD : Standar Deviasi

Xi : Skor responden ke-1

X : Nilai rata-rata keseluruhan responden

N : Banyak populasi sampel

Kemudian cari skor T dengan rumus :

Keterangan :

Xi : Skor responden pada skala dukungan yang diubah ke skor T

X : Mean skor sampel

S : Standar deviasi kelompok

Kemudian dimasukkan ke dalam standar berikut :

1. T = ≥ 50 mendukung
2. T = < 50 tidak mendukung
b. Analisis Bivariat
Analisis bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap

dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Setelah

data terkumpul dalam bentuk tabel distribusi frekuensi,

kemudian data dimasukkan ke dalam tabel silang untuk

dilakukan perhitungan Chi Square (X 2).


Analisa ini berfungsi untuk mengetahui hubungan

karakteristik dan perilaku bidan terhadap penerapan Inisiasi

(OiJ  EiJ) 2
χ 2
= 
EiJ
92

Menyusu Dini (IMD). Dalam penelitian ini variabel independen

berskala ordinal dan variabel dependen berskala

ordinal .menggunakan uji Chi Square (X 2) dengan rumus sebagai

berikut :

Keterangan :
X2 : Chi Square
OiJ : Frekuensi teramati dari sel ke-1 kolom dan ke-J
EiJ : Frekuensi harapan dari baris ke-1 dan kolom – J

Jika nilai X² hitung ≥ nilai X² tabel, antara frekuensi teramati

dan frekuensi harapan terdapat perbedaan yang bermakna.

Sebaliknya jika nilai X² hitung ≤ nilai X² tabel maka perbedaan itu

tidak bermakna (Bhisma Murti, 1996).

Tabel 3.2. Tabel Kontingensi 2x2

Variabel Dependen
Variabel Independen
Kategori I Kategori II
Kategori I A b a+b
Kategori II C d c+d
Jumlah a+c b+d a + b + c +d

Frekuensi harapan untuk masing-masing sel :

E11 = (a + b) (a + c) /n

E12 = ( b + d) (a + b) /n

E21 = (a + c) (c + d) /n

E22 = (b +d) (c + d) /n

Pengambilan keputusan dengan interpretasi sebagi berikut :

Ha = gagal ditolak bila p ≤ 0,05.

Ha = ditolak bila p > 0,05.


93

Anda mungkin juga menyukai