Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

I’arah (Ariyah)

Penyusun :

 Abuani
 Ade m. ismail s.
 Bangkit fadillah sabil

AS17A
TAHUN ANGKATAN 2017(MU)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Dzat yang menegakkan langit,


membentangkan bumi, dan mengurusi seluruh makhluk. Dzat yang mengutus
rasulullah saw. Sebagai pembawa petunjuk dan menjelaskan syariat agama kepada
setiap mukallaf secara jelas dan terang.
Aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad saw. hamba dan utusan nya yang
tercinta, sosok yang paling utama diantara seluruh makhluk. Beliau dimuliakan
dengan Al-Quran yang merupakan mukjizat serta sunnah yang menjadi
pembimbing bagi umat manusia. Rahmat dan keselamatan Allah semoga selalu
dilimpahkan kepada seluruh nabi dan rasul, kepada keluarga, dan para shalihan.
Alhamdulilah atas ijin Allah SWT., kami dapat menyelesaikan penulisan
makalah tentang “I’arah (ariyah)’’

Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian pula
dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan,
maka dengan hal itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
sehingga ke depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik demi
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………I

Daftar Isi…………………………………………………………………………...II

Pendahuluan……………………………………………………………………….III

Pembahasan………………………………………………………………………...IV

Penutup…………………………………………………………………………….V

Kesimpulan………………………………………………………………………...VI

Daftar Pustaka…………………………………………………………………….VII
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa
kita sadari pula kita melakukan yang namanya Ariyah (pinjam-meminjam). Pinjam
meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak
kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam.
Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke
meja hijau. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban
terhadap yang dipinjamkan.

Berbicara mengenai pinjaman (‘Ariyah), penulis berminat untuk membahas tuntas


mengenai Ariyah itu sendiri dari pengertian, hukum, syarat, rukun, macam-macam,
kewajiban dan lainnya mengenai pinjam meminjam (‘Ariyah) agar tidak ada kesalah
pahaman mengenai pinjam meminjam ini.

2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu

untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah “fiqh muamalah II”
Mengetahui serta memahami dan mendalami pengertian ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami dasar hukum ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami macam-macam ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami rukun dan syarat ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami hikmah ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami meminjam pinjaman dan menyewakan
Mengetahui serta memahami dan mendalami pembayaran pinjaman
Mengetahui serta memahami dan mendalami tatakrama berhutang
Mengetahui serta memahami dan mendalami adab berhutang
Mengetahui serta memahami dan mendalami tanggungjawab peminjam
Mengetahui serta memahami dan mendalami hukum kerusakan atas pinjaman
Mengetahui serta memahami dan mendalami perbedaan qardh dan ‘ariyah

3. Rumusan Masalah
Apa pengertian ‘ariyah?
Apa dasar hukum ‘ariyah?
Apa macam-macam ‘ariyah
Apa rukun dan syarat ‘ariyah
Apa hikmah ‘ariyah
Bagaimanakah meminjam pinjaman dan menyewakan
Bagaimanakah pembayaran pinjaman
Bagaimanakah tatakrama berhutang
Bagaimanakah adab berhutang
Bagaimanakah tanggungjawab peminjam
Bagaimanakah hukum kerusakan atas pinjaman
Apa perbedaan qardh dan ‘ariyah
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi I’ARAH (ariyah)


Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi (lughat) dengan beberapa
macam makna, yaitu:

a).‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara
bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai
artinya perkataan at tadaawul.
b).‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan
itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
c).‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar
kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. [1]

Secara terminologi Al Ariyah ialah adalah kebolehan memanfaatkan barang


yang masih utuh yang masih di gunakan, untuk kemudian dikembalikan pada
pemiliknya. Peminjaman barang sah dengan ungkapan atau perbuatan apapun yang
menunjukkan kepadanya peminjaman dilakukan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma
ulama.[2]

Itulah makna perkataan ‘Ariyah yang shahih dan pengambilannya. Sedangkan


pengertiannya dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian
beberapa madzhab :

Madzhab Maliki (Al Malikiyah)

‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu
yang dipinjam.[3] Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya
temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan
hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa
ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka
pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).

Madzhab Hanafi (Al Hanafiyah)


‘Ariyah adalah memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama
mengatakan bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”.[4]
Pendapat ini tertolak dari dua segi, yaitu:

a. Bahwa perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan


memberikan hak milik, tetapi tidak sah dengan ucapan [i]membolehkan kecuali dengan
tujuan meminjam pengertian memberikan hak milik.

b. Bahwasannya orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam


kepada orang lain jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan
perbedaan orang yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya.
Seandainya meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak
sah meminjamkan kepada orang lain.

Madzhab Syafi’i (Asy Syafi’iyyah)

Perjanjian meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang


mempunyai keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya
dalam keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang
melakukan kesukarelaan.[5] Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal
diambil manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela),
maka sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.

Madzhab Hambali (Al Hanabilah)

‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya
atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara
mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.[6]

Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas
sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah

“Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu imbalan.”[7]


B. Dasar Hukum I’arah (‘Ariyah)
Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah adalah ayat-
ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
( “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Maidah : 2)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya.” (An-Nisa : 58)
Asbabun Nuzul ayat :
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa setelah fathul Makkah, Rasulullah SAW
memanggil Utsman bin Talhah untuk meminta kunci ka’bah. Ketika Utsman datang
menghadap Rasul untuk menyerahkan kunci itu, berdirilah Al Abbas seraya berkata :
“Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku. Saya akan merangkap jabatan
itu dengan jabatan urusan pengairan”.Utsman menarik kembali tangannya. Maka
bersabdalah Rasulullah :”Berikanlah kunci itu kepadaku, wahai Utsman !” Utsman
berkata : “Inilah dia amanat dari Allah”. Maka berdirilah Rasulullah membuka ka’bah
dan kemudian keluar untuk thawaf di baitullah. Lalu turunlah Jibril membawa perintah
supaya kunci itu diserahkan kepada Utsman. Rasulullah melaksanakan perintah itu
sambil membaca surat An Nisa’ ayat 58
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
“Orang kaya yang memperlambat (melalaikan) kewajiban membayar utang adalah
zalim (berbuat aniaya).” (H.R. Bukhari dan Muslim)
‘Ariyah atau i’arah merupakan perbuatan qurban (pendekatan diri kepada Allah) dan
dianjurkan berdasarkan Alqur’an dan Sunnah. Menurut Sayyid Sabiq, ‘Ariyah adalah
sunnah, sedangkan menurut al-Ruyani, bahwa ‘ariyah hukumnya wajib. Adapun
landasan hukumnya dari nash Alqur’an dalam Surat Al-Maidah ayat 2:
“Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertaqwalah kamu kepada
Allah. Sesungguhnya Allah amat berta siksa-Nya.”
Disamping Al qur’an, dasar hukum ‘ariyah juga terdapat dalam sunnah Rasulallah
SAW, antara lain:
Hadis Shafwan bin Umayyah: “dari Shafwan bin Umayyah bahwa Nabi SAW
meminjam darinya pada saat perang Hunain beberapa baju perang, maka berkata
Shafwan: “Apakah anda merampas hai Muhammad?” Nabi bersabda: “Bukan,
melainkan pinjaman yang ditanggungkan,” Berkata Shafwan: “sebagian dari baju
perang tersebut hilang,” maka Nabi menyodorkan kepadanya untuk menggantinya.
Maka Shafwan berkata: “Saya pada hari ini lebih senang kepada islam.” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud)
C. Macam-macam I’arah (‘Ariyah)
Ditinjau dari kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat
dibedakan menjadi dua macam :
1. ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat
dengan batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan
jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan
pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga untuk
mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil
manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk
melanggar batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir dan musta’ir tentang lamanya waktu meminjam,
berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang harus dimenangkan
adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil manfaat barang
pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2. ’Ariyah mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak
dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan
barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya
ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali tidak
memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak disebutkan hal-
hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut, misalnya waktu dan tempat
mengendarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika
penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak maka mu’ir
harus bertanggung jawab
D. Rukun & Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah adalah satu, yaitu ijab dan kabul, tidak wajib
diucapkan, tetapi cukup dengan menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang
dipinjam dan boleh hukum ijab kabul dengan ucapan.
Menurut Syafi’ah, rukun ‘ariyah adalah sebagai berikut:
1. Kalimat mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “Saya utangkan benda
ini kepada kamu” dan yang menerima berkata”Saya mengaku berutang benda anu
kepada kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual
beli.
2. Mu’ir yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Musta’ir yaitu orang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya,
sedangkan syarat-syarat bagi mu’ir dan musta’ir adalah:
Baligh, maka batal ‘ariyah yang dilakukan anak kecil;
Berakal, maka batal ‘ariyah yang dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang
gila;
Orang tersebut tida dimahjur (di bawah curatelle), maka tidak sah ‘ariyah yang
dilakukan oleh orang berada di bawah perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang dipinjamkan. Pada rukun yang ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
Materi yang dipinjamkan dapat di manfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang materi
nya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak
dapat digunakan untuk menyimnapn padi.
Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat
materinya dibatalkan oleh Syara’, seperti meminjam benda-benda najis.[8]
Syarat-syarat ‘ariyah berkaitan dengan rukun yang telah dikemukakan diatas, yaitu
orang yang meminjamkan, orang yang meminjam, barang/benda yang dipinjamkan.
Adapun syarat-syart al-‘ariyah itu diperinci oleh para ulama fiqh sebagai berikut :
Mu’ir (orang yang meminjamkan)
Ahli (berhak) berbuat kebaikan sekehendaknya atau pemilik yang berhak
menyerahkannya. Orang yang berakal dan cakap bertindak hukum. Anak kecil dan
orang yang dipaksa, tidak sah meminjamkan.
Mus’tair (orang yang menerima pinjaman)
– Baligh
– Berakal
– Orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) atau orang yang berada
dibawah perlindungan, seperti pemboros. Hendaklah seorang yang ahli (berhak)
menerima kebaikan. Anak kecil dan orang gila tidak sah meminjam sesuatu karena ia
tidak ahli (tidak berhak) menerima kebaikan.
Mu’ar (benda yang dipinjamkan)
– Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak sah ‘ariyah yang
mu’arnya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga
tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.[9]
– Pemanfaatan itu dibolehkan oleh syara’ (tolong menolong dalam hal kebaikan),
maka batal ‘ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara’.
Misalnya kendaraan yang dipinjam harus digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat
dalam pandangan syara’, seperti bersilaturahmi, berziarah dan sebagainya. Dan apabila
kendaraan tersebut digunakan untuk pergi ke tempat maksiat maka peminjam dicela
oleh syara’, sekalipun akad atau transaksi ‘ariyah pada dasarnya sah.
– Manfaat barang yang dipinjamkan dimiliki oleh yang meminjamkan, sekalipun
dengan jalan wakaf atau menyewa karena meminjam hanya bersangkutan dengan
manfaat, bukan bersangkutan dengan zat. Oleh karena itu, orang yang meminjam tidak
boleh meminjamkan barang yang dipinjamnya karena manfaat barang yang dipinjamnya
bukan miliknya. Dia hanya diizinkan mengambilnya tetapi membagikan manfaat yang
boleh diambilnya kepada yang lain, tidak ada halangan. Misalnya dia meminjam rumah
selama 1 bulan tetapi hanya ditempati selama 15 hari, maka sisanya boleh diberikan
kepada orang lain.
– Jenis barang yang apabila diambil manfaatnya bukan yang akan habis atau musnah
seperti rumah, pakaian, kendaraan. Bukan jenis barang yang apabila diambil
manfaatnya akan habis atau musnah seperti makanan.
– Sewaktu diambil manfaatnya, zatnya tetap (tidak rusak).
Barang yang dipinjam syaratnya :
Ada manfaatnya.
Barang itu kekal (tidak habis setelah diambil manfaatnya). Oleh sebab itu makanan
yang setelah diambil manfaatnya menjadi habis atau berkurang zatnya tidak sah
dipinjamkan.
Aqad, yaitu ijab qabul.
Pinjam-meinjam berakhir apabila barang yang dipinjam telah diambil manfaatnya dan
harus segera dikembalikan kepada yang memilikinya. Pinjam-meminjam juga berakhir
apabila salah satu dari kedua pihak meninggal dunia atau gila. Barang yang dipinjam
dapat diminta kembali sewaktu-waktu, karena pinjam-meinjam bukan merupakan
perjanjian yang tetap.
Jika terjadi perselisihan pendapat antara yang meminjamkan dan yang meminjam
barang tentang barang itu sudah dikembalikan atau belum, maka yang dibenarkan
adalah yang meminjam dikuatkan dengan sumpah. Hal ini didasarkan pada hukum
asalnya, yaitu belum dikembalikan.

E. Hikmah ‘Ariyah
Adapun hikmah dari ‘Ariyah yaitu :

Bagi peminjam
Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaatsesuatu yang belum dimiliki.
Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia
sendiri tidak memilikinya.
Bagi yang memberi pinjaman
Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan
kepadanya.
Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
Membantu orang yang membutuhkan.
Meringankan penderitaan orang lain.
Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun
ayat 4-7
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya[1], dan enggan (menolong dengan)
barang berguna[2].”

[1] Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah
akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.

[2] Sebagian mufassirin mengartikan: enggan membayar zakat.


F. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda
pinjaman kepada orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika
penggunanya untuk hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman.
Menurut Mazhab Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa
saja yang menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika
barang tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan benda
pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka pemilik
berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam keadaan
seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua karena dialah yang
memegang ketika barang itu rusak.

G. Pembayaran Pinjaman
Setiap pinjaman wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau
mengembalikan pinjaman, bahkan melalaikannya juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda: “Orang kaya
yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya” (Riwayat Bukhari dan
Muaslim). Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang mengembalikan pinjaman. Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-
baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulallah pernah
meminjam hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan
tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda: “ Orang yang
paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang
lebih baik” (Riwayat Ahmad) Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang
berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak
halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda: “ Tiap-tiap piutang
yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (
Dikeluarkan oleh Baihaqi).[10]

H. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-
piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a. pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam
dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2
(dua) orang saksi perempuan.
Allah SWT berfirman,
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c. Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan
kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan,
maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti
berbuat zalim.
I. ADAB BERUTANG
Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir dan mu’ir:
a. Untuk Musta’ir
1. Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
2. Berniat melunasinya
3. Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih
4. Meminjam sesuai dengan kebutuhan
5. Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya
6. Membayar dengan cara yang baik

b. Untuk Mu’ir
1. Niat yang benar dalam memberi pinjaman
2. Bersikap baik dalam menagih pinjaman
3. Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada
waktunya
4. Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya [11]
J. Tanggung Jawab Peminjam

Bila peminjam telah memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut


rusak, ia berkewajiban menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun
karena yang lainnya. Demikian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syai’I dan
Ishaq dalam hadis yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda:
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.[12]

Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw. Bersabda:

“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”


(Dikeluarkan al-Daruquthin)

Kewajiban Peminjam

Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW
bersabda :

“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR.
Abu Dawud) [13]

Merawat barang pinjaman dengan baik.

Rasulullah SAW bersabda : “Kewajiban meminjam merawat yang dipinjamnya,


sehingga ia kembalikan barang itu”. (HR. Ahmad)

K. Hukum Kerusakan Atas Pinjaman

Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya,
si peminjam tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti
saling percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat
dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya.
Shofwan bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam
beberapa baju perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya:
“Paksaankah, ya Muhammad?” Rosulullah saw. menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman
yang dijamin”. Kemudian (baju perang itu) hilang sebagian, maka Rosulullah saw.
mengemukakan kepada shofwan akan menggantinya. Shofwan berkata: “Saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam.” (HR. Ahmad dan Nasai). [14]

Allah swt berfirman:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya.” (QS An-Nisaa’: 58).

Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan
atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan
penerima pinjaman harus bertanggung jawab:

Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata
madhmunah(terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika
terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah
(tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun
manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia
menyatakan, “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang
berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan
sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling
kuat.”[15]

L. Perbedaan Qardh dan Ariyah

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-
Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang
menerima hutang.

Sedangkan pengertian istilah Qardh menurut ulama Hanafiyah berpendapat qardh


adalah: harta yang diberikan seseorang dari maal mitsli untuk kmudian dibayar atau
dikembalikan.

Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang
suatu saat harus di kembalikan.

Hanbaliyah berpendapat qardh adalah: memberikan harta kepada orang yang


memanfaatkannya dan kemudian mengembalikan penggantiannya.

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.

Al-Qardhu atau Al-Qard menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan
atau hutang diberikan. Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik
sesuatu barang kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya
tanpa tambahan.

Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian
barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa,
terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang satu
juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo. Sedang ‘Ariyah, tidak terjadi
pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai. Contohnya,
meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Dasar
hukum ‘ariyah berasal dari Quran surat Almaidah:2, An Nisa:58 dan Hadis Nabi
Muhammad SAW.

Ada dua macam ‘ariyah yaitu ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam
meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu dan ’Ariyah
mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi.

Rukun ‘ariyah Menurut Hanafiyah yaitu ijab dan kabul, Menurut Syafi’ah,
rukun ‘ariyah adalah lafazh; Mu’ir dan Musta’ir; benda yang dipinjamkan.

Hikmah dari ‘Ariyah dapat ditujukan bagi peminjam seperti dapat memenuhi
kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki dan bagi
yang memberi pinjaman seperti membantu orang yang membutuhkan.

Setiap pinjaman wajib dikembalikan sehingga berdosalah orang yang tidak mau
membayar mengembalikannya. Dalam pinjam meminjambaik Mu’ir maupun
Musta’ir harus memerhatikan adab-adab dalam pinjam meminjam dan saling
bertanggung jawab atas barang pinjaman

Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana


fungsinya, si peminjam tidak diharuskan mengganti, akan tetapi kalau kerusakan
barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh
sebab lain, maka wajib menggantinya.

Perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian barang
yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa,
terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang
satu juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo. Sedang ‘Ariyah, tidak
terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
Contohnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
Daftar Pustaka

 Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah

 Abdullah bin aburrahmanabasam, syarahbulughulmaram

 al-Asqalani, IbnuHajar. 2007. Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam. Jakarta


: Akbar

 al-Jazairi, Abu Bakar. 2004. Ensiklopedia Muslim, Bab 5 :Muamalah. Jakarta


Rajagrafindo,

 AzZuhaili,Wahbah. Fiqih Islam WaAdillatuhu. 2011. Jakarta :GemaInsani

 Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. 2000. Jakarta : Darul
Falah

 http://miragustina90.blogspot.com/2012/11/pengertian-alariyah.html. Diakses
pada tanggal 20 Maret 2013

 http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih/muamalah/691/pinjam-
meminjam-ariyah.html. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013

 Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

 Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu

 Mas’ud,Drs. H. ibnu. FiqihMadzhabSyafi’i. Bandung : CV Pustaka Media

 Rahman, Abdul GhazalyDkk. 2010. FiqihMuamalah cet I. Jakarta :Kencana


 [1] Abdul RahmanGhazalyDkk, FiqihMuamalah, (Jakarta :Kencana, 2010), cet
I, hlm 247
 [2] Abdullah bin aburrahmanabasam, syarahbulughulmaram, hlm 606
 [3] WahbahAzZuhaili, Fiqih Islam WaAdillatuhu, (Jakarta :GemaInsani, 2011),
hlm 573
 [4] Ibid, hlm 573
 [5] Ibid, hlm 573
 [6] op.cit hlm 573
 [7] M. Ali Hasan, Berbagai macam transaksi dalam Islam, (Jakarta : Darul
Falah, 2000) hlm 239-240
 [8] Ma’ruf Abdul Jalil. Al-Wajiz. (Jakarta: Pustaka As-Sunah. 2006)

 [9] Abu Bakar al-Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Bab 5 :Muamalah, (Jakarta :


Rajagrafindo, 2004) hlm 549- 551
 [10] Ahmad Mulyadi. Fiqih. (Bandung: penerbit Titian Ilmu. 2006)
 [11] Karim, Helmi. 1997. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
 [12] IbnuHajar al-Asqalani, Bulugh Al Maram Min Adillat Al Hakam, (Jakarta :
Akbar, 2007) cet I, hlm 399

 [13] http://pustaka.abatasa.co.id. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013


 [14] http://pustaka.abatasa.co.id. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013

 [15] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 707 –
708)

Anda mungkin juga menyukai