I’arah (Ariyah)
Penyusun :
Abuani
Ade m. ismail s.
Bangkit fadillah sabil
AS17A
TAHUN ANGKATAN 2017(MU)
KATA PENGANTAR
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, demikian pula
dengan makalah ini, tentu masih banyak kekurangan. kami menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekhilafan,
maka dengan hal itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak
sehingga ke depan dapat menjadi koreksi untuk kemajuan dan lebih baik demi
penyempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………………I
Daftar Isi…………………………………………………………………………...II
Pendahuluan……………………………………………………………………….III
Pembahasan………………………………………………………………………...IV
Penutup…………………………………………………………………………….V
Kesimpulan………………………………………………………………………...VI
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….VII
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hidup dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan kehidupan dan tanpa
kita sadari pula kita melakukan yang namanya Ariyah (pinjam-meminjam). Pinjam
meminjam kita lakukan baik itu barang, uang ataupun lainnya. Terlebih saat ini banyak
kejadian pertikaian ataupun kerusuhan di masyarakat dikarenakan pinjam meminjam.
Dan tidak heran kalau hal ini menjadi persoalan setiap masyarakat dan membawanya ke
meja hijau. Hal ini terjadi dikarenakan ketidak fahaman akan hak dan kewajiban
terhadap yang dipinjamkan.
2. Tujuan Penulisan
untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah “fiqh muamalah II”
Mengetahui serta memahami dan mendalami pengertian ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami dasar hukum ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami macam-macam ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami rukun dan syarat ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami hikmah ‘ariyah
Mengetahui serta memahami dan mendalami meminjam pinjaman dan menyewakan
Mengetahui serta memahami dan mendalami pembayaran pinjaman
Mengetahui serta memahami dan mendalami tatakrama berhutang
Mengetahui serta memahami dan mendalami adab berhutang
Mengetahui serta memahami dan mendalami tanggungjawab peminjam
Mengetahui serta memahami dan mendalami hukum kerusakan atas pinjaman
Mengetahui serta memahami dan mendalami perbedaan qardh dan ‘ariyah
3. Rumusan Masalah
Apa pengertian ‘ariyah?
Apa dasar hukum ‘ariyah?
Apa macam-macam ‘ariyah
Apa rukun dan syarat ‘ariyah
Apa hikmah ‘ariyah
Bagaimanakah meminjam pinjaman dan menyewakan
Bagaimanakah pembayaran pinjaman
Bagaimanakah tatakrama berhutang
Bagaimanakah adab berhutang
Bagaimanakah tanggungjawab peminjam
Bagaimanakah hukum kerusakan atas pinjaman
Apa perbedaan qardh dan ‘ariyah
BAB II
PEMBAHASAN
a).‘Ariyah adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara
bergiliran antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai
artinya perkataan at tadaawul.
b).‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan
itu diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
c).‘Ariyah adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar
kata ‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat. [1]
‘Ariyah didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu
yang dipinjam.[3] Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang sifatnya
temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh: meminjamkan/memberikan
hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan waktunya dengan tanpa
ongkos. Atau manfaat bajak untuk membajak tanah pada masa yang ditentukan. Maka
pemberian hak memiliki manfaat tersebut dinamakan ‘Ariyah (meminjamkan).
‘Ariyah adalah barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya
atau pemilik manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara
mutlak dengan tanpa imbalan ongkos.[6]
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah merupakan nama atas
sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi, pengertian ‘ariyah adalah
E. Hikmah ‘Ariyah
Adapun hikmah dari ‘Ariyah yaitu :
Bagi peminjam
Dapat memenuhi kebutuhan seseorang terhadap manfaatsesuatu yang belum dimiliki.
Adanya kepercayaan terhadap dirinya untuk dapat memanfaatkan sesuatu yang ia
sendiri tidak memilikinya.
Bagi yang memberi pinjaman
Sebagai manifestasi rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang telah dianugrahkan
kepadanya.
Allah akan menambah nikmat kepada orang yang bersyukur.
Membantu orang yang membutuhkan.
Meringankan penderitaan orang lain.
Disenangi sesama serta di akherat terhindar dari ancaman Allah dalam surat al-maun
ayat 4-7
Artinya: “ Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (yaitu) orang-orang yang
lalai dari shalatnya. orang-orang yang berbuat riya[1], dan enggan (menolong dengan)
barang berguna[2].”
[1] Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah
akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di masyarakat.
G. Pembayaran Pinjaman
Setiap pinjaman wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau
mengembalikan pinjaman, bahkan melalaikannya juga termasuk aniaya. Perbuatan
aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda: “Orang kaya
yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya” (Riwayat Bukhari dan
Muaslim). Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja
kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai
kebaikan bagi yang mengembalikan pinjaman. Rasulallah Saw. Bersabda:
“sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-
baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim) Rasulallah pernah
meminjam hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan
tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda: “ Orang yang
paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang
lebih baik” (Riwayat Ahmad) Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang
berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak
halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda: “ Tiap-tiap piutang
yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” (
Dikeluarkan oleh Baihaqi).[10]
H. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-
piutang tentang nilai-nilai sopan santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut :
a. pinjam meminjam supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak yang meminjam
dengan menghadirkan 2 (dua) orang saksi laki-laki atau seorang saksi laki-laki dan 2
(dua) orang saksi perempuan.
Allah SWT berfirman,
“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa”. (Q.S. Al-Baqarah : 282)
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar kebutuhan yang mendesak disertai niat
dalam hati akan membayar/mengembalikannya.
c. Pihak yang memberi pinjaman hendaknya berniat memberikan pertolongan
kepada pihak yang meminjam. Bila yang meminjam tidak mampu mengembalikan,
maka yang berpiutang hendaknya membalaskannya.
d. Pihak yang meminjam bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya
dipercepat pembayaran pinjamannya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berarti
berbuat zalim.
I. ADAB BERUTANG
Adab pinjam meminjam terbagi 2 yaitu untuk musta’ir dan mu’ir:
a. Untuk Musta’ir
1. Tidak meminjam kecuali dalam kondisi darurat
2. Berniat melunasinya
3. Berusaha untuk meminjam kepada orang yang shalih
4. Meminjam sesuai dengan kebutuhan
5. Lunasi tepat pada waktunya dan jangan menundanya
6. Membayar dengan cara yang baik
b. Untuk Mu’ir
1. Niat yang benar dalam memberi pinjaman
2. Bersikap baik dalam menagih pinjaman
3. Memberi tenggang waktu jika yang meminjam belum mampu membayar pada
waktunya
4. Menghapus pinjaman bagi yang tidak mampu mengembalikanya [11]
J. Tanggung Jawab Peminjam
Sementara para pengikut hanafiyah dan Malik berpendapat bahwa, peminjam tidak
berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan,
karena Rasulallah Saw. Bersabda:
Kewajiban Peminjam
Mengembalikan batang itu kepada pemiliknya jika telah selesai. Rasulullah SAW
bersabda :
“Pinjaman itu wajib dikembalikan dan yang meminjam sesuatu harus membayar”. (HR.
Abu Dawud) [13]
Hukum atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah.
Apabila barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya,
si peminjam tidak diharuskan mengganti, Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti
saling percaya- mempercayai. Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat
dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka wajib menggantinya.
Shofwan bin Umaiyah menginformasikan, Sesungguhnya Nabi saw. telah meminjam
beberapa baju perang dari shofwan pada waktu Perang Hunain. Shofwan bertanya:
“Paksaankah, ya Muhammad?” Rosulullah saw. menjawab: “Bukan, tetapi pinjaman
yang dijamin”. Kemudian (baju perang itu) hilang sebagian, maka Rosulullah saw.
mengemukakan kepada shofwan akan menggantinya. Shofwan berkata: “Saya sekarang
telah mendapat kepuasan dalam Islam.” (HR. Ahmad dan Nasai). [14]
Orang yang meminjam adalah orang yang diberi amanat yang tidak ada tanggungan
atasnya, kecuali karena kelalaiannya, atau pihak pemberi pinjaman mempersyaratkan
penerima pinjaman harus bertanggung jawab:
Al-Amir ash-Shan’ani dalam Subulus Salam III: 69) menjelaskan, ”Yang dimaksud kata
madhmunah(terjamin) ialah barang pinjaman yang harus ditanggung resikonya, jika
terjadi kerusakan, dengan mengganti nilainya. Adapun yang dimaksud kata mu’addah
(tertunaikan) ialah barang pinjaman yang mesti dikembalikan seperti semula, namun
manakala ada kerusakan maka tidak harus mengganti nilainya.” Lebih lanjut dia
menyatakan, “Hadits yang diriwayatkan Shafwan di atas menjadi dalil bagi orang yang
berpendapat, bahwa ’ariyah tidak harus ditanggung resikonya, kecuali ada persyaratan
sebelumnya. Dan, sudah dijelaskan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang paling
kuat.”[15]
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-
Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong.
Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena
merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang kepda orang yang
menerima hutang.
Safi’iyah berpendapat qardh adalah: sesuatu yang diberikan kepada orang lain, yang
suatu saat harus di kembalikan.
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak
milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari
sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp.
1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan
uang sejumlah satu juta juga.
Al-Qardhu atau Al-Qard menurut pandangan syara’ adalah sesuatu yang dipinjamkan
atau hutang diberikan. Menurut istilah para fuqaha, hutang ialah memberi hak milik
sesuatu barang kepada orang lain dengan syarat orang tersebut mengembalikannya
tanpa tambahan.
Lebih jelasnya perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian
barang yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa,
terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang satu
juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo. Sedang ‘Ariyah, tidak terjadi
pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai. Contohnya,
meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
‘Ariyah adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Dasar
hukum ‘ariyah berasal dari Quran surat Almaidah:2, An Nisa:58 dan Hadis Nabi
Muhammad SAW.
Ada dua macam ‘ariyah yaitu ‘Ariyah muqayyadah, yaitu bentuk pinjam
meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan tertentu dan ’Ariyah
mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi.
Rukun ‘ariyah Menurut Hanafiyah yaitu ijab dan kabul, Menurut Syafi’ah,
rukun ‘ariyah adalah lafazh; Mu’ir dan Musta’ir; benda yang dipinjamkan.
Hikmah dari ‘Ariyah dapat ditujukan bagi peminjam seperti dapat memenuhi
kebutuhan seseorang terhadap manfaat sesuatu yang belum dimiliki dan bagi
yang memberi pinjaman seperti membantu orang yang membutuhkan.
Setiap pinjaman wajib dikembalikan sehingga berdosalah orang yang tidak mau
membayar mengembalikannya. Dalam pinjam meminjambaik Mu’ir maupun
Musta’ir harus memerhatikan adab-adab dalam pinjam meminjam dan saling
bertanggung jawab atas barang pinjaman
Perbedaan antara qardh dengan ‘ariyah yaitu kalau Qardh, pemberian barang
yang dipinjamkan ke orang lain dan dikembalikan dengan jenis yang serupa,
terjadi pemindahan kepemilikan. Contohnya, uang satu juta dikembalikan uang
satu juta, dan beras satu kilo dikembalikan beras satu kilo. Sedang ‘Ariyah, tidak
terjadi pemindahan kepemilikan, yang dikembalikan barang yang dipakai.
Contohnya, meminjam bajak sawah dikembalikan bajak sawah.
Daftar Pustaka
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. 2000. Jakarta : Darul
Falah
http://miragustina90.blogspot.com/2012/11/pengertian-alariyah.html. Diakses
pada tanggal 20 Maret 2013
http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/fiqih/muamalah/691/pinjam-
meminjam-ariyah.html. Diakses pada tanggal 20 Maret 2013
[15] ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal
Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm 707 –
708)