Dengue
Dengue
Oleh :
Pembimbing :
Dr. Masyitah, Sp.A
KATA PENGANTAR
Pada kesempatan ini juga kami mengucapkan terima kasih kepada Dokter
Pembimbing yaitu dr. Masyitah, Sp.A atas bimbingan dan arahannya selama
mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di SMF Anak RSU Dr. Pirngadi Medan
serta dalam penyusunan paper ini.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
1. PENDAHULUAN ………………………………………………………...1
BAB II
1. DEFINISI ………………………………………………………………..2
2. EPIDEMIOLOGI ………………………………………………………...2
3. ETIOLOGI …………………………………………………………..……3
4. PATOFISIOLOGI ………………………………………………………...4
5. MANIFESTASI KLINIS …………………………………………………8
6. DIAGNOSIS …………………………………………………………….11
7. PENATALAKSANAAN ………………………………………………..14
8. KOMPLIKASI ......................................................................................... 20
9. DIAGNOSIS BANDING ......................................................................... 20
10. PENCEGAHAN ....................................................................................... 21
11. PROGNOSA ............................................................................................ 22
BAB III
KESIMPULAN ………………………………………………………………….24
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
2. EPIDEMIOLOGI
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali di gunakan di
Filipina pada tahun 1953. Pada tahun 1958 meletus epidemi penyakit serupa di
Bangkok. Setelah tahun 1958 penyakit ini dilaporkan berjangkit dalam bentuk
epidemi di beberapa negara lain di Asia Tenggara, di antaranya Hanoi (1958),
Malaysia (1962-1964), Saigon (1965) yang disebabkan virus dengue tipe 2, dan
Calcutta (1963) dengan virus dengue tipe 2 dan chikungu berhasil diisolasi dari
beberapa kasus. Di Indonesia DBD pertama kali di curigai di Surabaya pada tahun
1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta
kasus pertama dilaporkan pada tahun 1969. Kemudian DBD berturut-turut
dilaporkan di Bandung (1972), yogyakarta (1972). Epidemi pertama di luar Jawa
dilaporkan pada tahun 1972 di Sumatera Barat dan Lampung, disusul oleh Riau,
Sulawesi Utara dan Bali (1973). Pada tahun 1974 epidemi dilaporkan di
Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Pada tahun 1993 DBD telah
menyebar ke seluruh propinsi di Indonesia. Pada saat ini DBD sudah endemis di
banyak kota-kota besar, bahkan sejak tahun 1975 penyakit ini berjangkit di daerah
pedesaan. Berdasarkan jumlah kasus DBD, Indonesia menempati urutan kedua
setelah Thailand. Sejak tahun 1968 angka kesakitan rata-rata DBD di Indonesia
terus meningkat dari 0,05 (1968) menjadi 8,14 (1973), 8,65 (1983), dan mencapai
angka tertinggi pada tahun 1998 yaitu 35,19 per 100.000 penduduk dengan jumlah
penderita sebanyak 72.133 orang. Pada saat ini DBD telah menyebarluas di
kawasan Asia Tenggara, Pasifik Barat dan daerah Karibia.1
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara
bervariasi disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk,
3. ETIOLOGI
4. PATOFISIOLOGI
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diatesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human
albumin sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama
perjalanan penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai
puncaknya pada masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut,
nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma
melalui endotel dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit
pada kasus syok menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat
kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga
serosa) melalui kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini
ialah meningkatnya berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun
dalam rongga serosa yaitu rongga peritonium, pleura dan perikardium
yang pada otopsi ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus,
dan terdapatnya edema.1
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti secara
efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada masa dini
dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi secara
akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan pada
otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang bersifat
dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan bahwa
perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan oleh
mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran mikroskopis
elektron biopsi kulit pasien DBD pada masa akut memperlihatkan
kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka akibat anoksia atau
luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang yang diberi histamin
atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.1
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada
sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit
secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya
tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia yang
dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum
tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya
dekstruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia ialah
depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop
membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam sistem
retikuloendotelial, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi
trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab
yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara
terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun
mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun
dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.1
c. Sistem koagulasi dan fibrinolisis
Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memanjang. Beberapa faktor pembekuan menurun,
termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat
terjadi peningkatan fibrinogen degradation products (FDP). Penelitian
lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktifitas
antitrombin III. Di samping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya
aktifitas faktor VII, faktor II dan antitrombin III tidak sebanyak seperti
fibrinogen da faktor VII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya
kadar fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi
dengan sitoplasma biru tua, pada umumnya mempunyai ukuran lebih besar
atau sama dengan limfosit besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus
sampai sangat nyata, dengan daerah perinuklear yang jernih. Inti terletak
pada salah satu tepi sel berbentuk bulat oval atau berbentuk ginjal.
Kromosom inti kasar dan kadang-kadang di dalam inti terdapat nukleoli.
Pada sitoplasma tidak ada granula azurofilik. Daerah yang berdekatan
dengan eritrosit tidak melekuk dan tidak bertambah biru.1
5. MANIFESTASI KLINIS
DBD didahului oleh demam mendadak disertai gejala klinik yang tidak
spesifik seperti anoreksia, lemah, nyeri punggung, tulang, sendi dan kepala.
Demam sebagai gejala utama terdapat pada semua kasus. Lama demam sebelum
dirawat berkisar antara 2-7 hari. Alasan mengapa orang tua membawa anaknya
berobat oleh karena khawatir akan keadaan anak yang demam, menjadi gelisah
dan teraba dingin pada kaki dan tangan, gejala-gejala ini sebenarnya
mencerminkan keadaan pre-syok, atau oleh karena demam dan menifestasi
perdarahan di kulit menjadi nyata.1
Kelainan darah tepi demam dengue ialah leukopenia selama periode pra-
demam dan demam, neutrofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia
relatif dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesens.
Eosifonil menurun atau menghilang pada permulaan dan pada puncak penyakit,
hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel plasma
meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
trombositopenia. Darah tepi menjadi normal kembali dalam waktu 1 minggu.1
Menegakkan diagnosis klinis infeksi virus dengue ringan adalah mustahil,
terutama pada kasus-kasus sporadis.1
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan DBD dari DD ialah peningkatan permeabilitas dinding pembuluh
darah, menurunnya volume plasma, trombositopenia, dan diatesis hemoragik.
Perbedaan gejala antara DBD dengan DD tertera pada tabel 1.1
Demam dengue Gejala Klinis Demam Berdarah
(DD) Dengue (DBD)
++ Nyeri kepala +
+++ Muntah ++
+ Mual +
++ Nyeri otot +
++ Ruam kulit +
++ Diare +
+ Batuk +
+ Pilek +
++ Limfadenopati +
+ Kejang +
0 Kesadaran menurun ++
0 Obstipasi +
+ Uji torniquet positif ++
++++ Ptekie +++
0 Perdarahan saluran cerna +
++ Hepatomegali +++
+ Nyeri perut +++
++ Trombositopenia ++++
0 Syok +++
Keterangan : (+): 25%, (++): 50%, (+++): 75%, (++++): 100%
Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniquet positif, memar, dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Petekia halus yang tersebar di
anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam. Harus
diingat juga bahwa perdarahan dapat terjadi di setiap organ tubuh. Epistaksis dan
perdarahan gusi jarang dijumpai, sedangkan perdarahan saluran pencernaan hebat
lebih jarang lagi dan biasanya timbul setelah renjatan yang tidak dapat diatasi.
Perdarahan lain, seperti perdarahan subkonjungtiva kadanag-kadang ditemukan.
Pada masa konvalesens seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak
kaki.1
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium.1
1. Kulit pucat, dingin dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan
hidung sedangkan kuku menjadi biru. Hal ini disebabkan oleh sirkulasi yang
insufisien yang menyebabkan peninggian aktivitas simpatikus secara refleks.
2. Anak yang semula rewel, cengeng dan gelisah lambat laun kesadarannya
menurun menjadi apatis, sopor dan koma. Hal ini disebabkan kegagalan
sirkulasi serebral.
3. Perubahan nadi, baik frekuensi maupun amplitudonya. Nadi menjadi cepat
dan lembut sampai tidak dapat diraba oleh karena kolap sirkulasi.
4. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
5. Tekanan sistolik pada anak menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
6. Oliguria sampai anuria karena menurunnya perfusi darah yang meliputi arteri
renalis.1
6. DIAGNOSIS
Anamnesa
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari). Awal
penyakit biasanya mendadak disertai gejala prodromal seperti nyeri kepala, nyeri
berbagai bagian tubuh, anoreksia, rasa menggigil, dan malaise. Dijumpai trias
sindrom, yaitu demam tinggi, nyeri pada anggota badan, dan timbulnya ruam
(rash). Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali, yaitu pada
hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari. Ruam bersifat makulopapular yang
menghilang pada tekana. Ruam terdapat di dada, tubuh serta abdomen, menyebar
ke anggota gerak dan muka.1,2
Pada lebih dari separuh pasien, gejala klinis timbul dengan mendadak,
disertai kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri di belakang bola mata,
punggung, otot, sendi dan disertai rasa menggigil. Pada beberapa penderita dapat
dilihat bentuk kurva suhu yang menyerupai pelana kuda atau bifasik, tetapi pada
penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien
sehingga tidak dapat dianggap patognomonik.1
Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan, di samping itu perasaan tidak
nyaman di daerah epigastrium disertai nyeri kolik dan perut lembek sering
ditemukan. Pada stadium dini sering timbul perubahan dalam indra pengecap.
Gejala klinis lain yang sering terdapat ialah fotofobia, keringat yang bercucuran,
suara serak, batuk, epistaksis, dan disuria. Demam menghilang secara lisis,
disertai keluarnya banyak keringat.1
Pemeriksaan fisik
Uji torniquet sebagai manifestasi perdarahan kulit paling ringan dapat
dinilai sebagai uji presumtif oleh karena uji ini positif pada hari-hari pertama
demam. Di daerah endemis DBD, uji torniquet, merupakan pemeriksaan
penunjang presumtif bagi diagnosis DBD apabila dilakukan pada yang menderita
demam lebih dari 2 hari tanpa sebab yang jelas. Uji torniquet seyogyanya
dilakukan sesuai dengan ketentuan WHO. Pemeriksaan dilakukan dengan terlebih
dahulu menetapkan tekanan darah anak. Selanjutnya diberikan tekanan antara
sistolik dan diastolik pada alat pengukur yang dipasang pada lengan di atas siku;
Laboratorium
Trombositopenia (≤100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat
dari peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit
pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga
patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup
untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka
DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis,
dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.1
Pemeriksaan Serologis
Setelah satu minggu tubuh terinfeksi virus dengue, terjadi viremia yang diikuti
oleh pembentukan IgM-antidengue. IgM hanya berada dalam waktu yang relatif
singkat dan akan disusul segera oleh pembentukan IgG. Pada kira-kira hari kelima
infeksi terbentuklah antibodi yang bersifat menetralisasi virus (neutralizing
antibody (NT)). Titer antibodi NT akan naik dengan cepat, kemudian menurun
secara lambat untuk waktu yang lama, biasanya seumur hidup. Setelah antibodi
NT, akan timbul antibodi yang mempunyai sifat menghambat aglutinasi sel darah
merah angsa (haemaglutination inhibiting antibody = HI). Titer antibodi HI itu
naik sejajar dengan antibodi NT, kemudian turun secara perlahan-lahan, tetapi
lebih cepat daripada antibodi NT. Antibodi yang terakhir, yaitu antibodi yang
mengikat komplemen (complement fixing antibody=CF), timbul pada sekitar hari
keduapuluh. Titer antibodi itu naik setelah perjalanan penyakit mencapai
maksimum dalam waktu 1-2 bulan, kemudian turun secara cepat dan menghilang
setelah 1-2 tahun. Pada dasarnya diagnosis konfirmasi infeksi virus dengue
ditegakkan atas hasil pemeriksaan serologik atau hasil isolasi virus. Dasar
pemeriksaan serologis adalah membandingkan titer antibodi pada masa akut
dengan konvalesen. Teknik pemeriksaan serologis yang dianjurkan WHO ialah
pemeriksaan HI dan CF. Kedua cara itu membutuhkan 2 contoh darah. Contoh
darah pertama diambil pada waktu demam akut, sedangkan yang kedua pada masa
konvalesen, 1-4 minggu dalam perjalanan penyakit. Dalam praktik sukar sekali
didapatkan contoh darah kedua karena pasien yang telah sembuh sehingga tidak
bersedia diambil darahnya. Dengan dmeikian, diambil kebijaksanaan untuk
mengambil darah sebanyak 3 kali. Pertama, sewaktu masuk rumah sakit, kedua
pada waktu meninggalkan rumah sakit, dan ketiga 1-4 minggu setelah perjalanan
penyakit. Apabila hanya diperoleh satu contoh darah, penafsiran akan sulit atau
bahkan sering tidak mungkin dilakukan.1
Uji serologi HI
betul. Pada pemeriksaan serologis tes HI, serum diencerkan menjadi kelipatan 2x,
dimulai dengan pengenceran 1:10, 1:20, 1:40, dan seterusnya.1
1. Pada infeksi primer, titer antibodi HI pada masa akut, yaitu apabila serum
diperoleh sebelum hari ke-4 sakit adalah kurang dari 1:20 dan titer akan naik
4x atau lebih pada masa konvalesen, tetapi tidak akan melebihi 1:1280.
2. Pada infeksi sekunder, adanya infeksi baru (recent dengue infection) ditandai
oleh titer antibodi HI kurang dari 1:20 pada masa akut, sedangkan pada masa
konvalesen titer bernilai sama atau lebih besar daripada 1:2560. Tanda lain
infeksi sekunder ialah apabila titer antibodi akut sama atau lebih besar
daripada 1:20 dan titer akan naik 4 kali atau lebih pada masa konvalesen.
3. Persangkaan adanya infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive
diagnosis) ditandai oleh titer antibodi HI yang sama atau lebih besar daripada
1:1280 pada masa akut, dalam hal ini tidak diperlukan kenaikan titer 4x atau
lebih pada masa konvalesen. Metode pemeriksaan yang mampu mendeteksi
antibodi anti dengue dalam serum penderita pada masa akut yang tepat terus
dikembangkan. Pada saat ini telah terdapat metode untuk membuat diagnosis
infeksi dengue pada masa akut melalui deteksi IgM dan antigen virus, baik
sendiri-sendiri maupun dalam bentuk kompleks IgM-antigen, dengan
memanfaatkan teknik ELISA mikro. Di samping itu secara komersial telah
beredar dengue blot yang dapat dipergunakan sebagai uji diagnostik yang
cepat pada masa akut untuk mengkonfirmasi diagnosis infeksi dengue
sekunder.1
7. PENATALAKSANAAN
diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik,
diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana laboratorium yang memadai,
cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang senantiasa siap bila diperlukan.
Diagnosis dini dan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain,
perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk
keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/DSS terletak pada keterampilan
para dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase
penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.1
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam
pasien dianjurkan tirah baring selama masih demam, obat antipiretik atau kompres
hangat diberikan apabila diperlukan. Untuk menurunkan suhu menjadi <39oC,
dianjurkan pemberian parasetamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan
(kontraindikasi) oleh karena dapat menyebabkan gastritis, perdarahan atau
asidosis. Pada pasien dewasa, analgetik atau sedatif ringan kadang-kadang
diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri kepala, nyeri otot atau nyeri sendi.
Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, selain
air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari. Tidak boleh dilupakan
monitor suhu, jumlah trombosit serta kadar hematokrit sampai normal kembali.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.
Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang
dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena
kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam.
Perbedaan akan tampak jelas pada saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi
(syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok.
Oleh karena itu, orangtua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat,
buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti
mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dan kulit dingin, hal
tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa ke rumah
sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari,
tidak perlu lagi diobservasi.1
Tersangka DBD
Rawat Jalan
Parasetamol
Kontrol tiap hari
sampai demam
hilang
Rawat Inap Rawat Jalan
Segera bawa ke
rumah sakit
Fase demam
Jenis cairan
Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji torniquet positif (DBD
derajat I) atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hhematokrit (DBD
derajat II) dapat dikelola seperti tertera di bagan. Apabila pasien masih dapat
minum, berikan minum banyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok makan setiap 5 menit.
Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis, sirup, jus buah,
susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu >38,5OC. Pada
anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila pasien
tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCl
0,9%. Dekstrosa 5% (1:3) dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Di
samping itu, perlu dilakukan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit setiap 6-12 jam.
Pada tindak lanjut, perhatikan tanda syok, raba hati setiap hari untuk mengetahui
pembesarannya oleh karena pembesaran hati yang disertai nyeri tekan
berhubungan dengan perdarahan saluran cerna. Diuresis diukur tiap 24 jam dan
awasi perdarahan yang terjadi. Kadar Hb, Ht dan trombosit diperiksa tiap 6-12
jam. Apabila pada tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratoris, anak
dapat dipulangkan; tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun,
maka infus cairan di tukar dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan.1
Monitor gejala klinis dan laboratorium Ht naik dan atau trombosit turun
Perhatikan tanda syok
Palpasi hati setiap hari
Ukur diuresis setiap hari
Awasi perdarahan Infus ganti ringer laktat (tetesan
Periksa Hb, Ht, trombosit tiap 6-12 jam disesuaikan)
Pulang
8. KOMPLIKASI
Komplikasi demam dengue walaupun jarang dilaporkan ialah orkhitis atau
ovaritis, keratitis dan retinitis. Berbagai kelainan neurologis dilaporkan, di
antaranya menurunnya kesadaran, paralisis sensorium yang bersifat sementara,
meningismus, dan ensefalopati.1
9. DIAGNOSIS BANDING
Demam pada fase akut mencakup spektrum infeksi bakteri dan virus yang
luas. pada hari-hari pertama diagnosis DBD sulit dibedakan dari morbili dan
idiophatic thrombocytopenic purpura (ITP) yang disertai demam. Pada hari
demam ke 3-4, kemungkinan diagnosis DBD akan lebih besar, apabila gejala
klinis lain seperti manifestasi perdarahan dan pembesaran hati menjadi nyata.
Kesulitan kadang-kadang dialami dalam membedakan syok pada DBD dengan
10. PENCEGAHAN
Pemberantasan DHF seperti juga penyakit menular lain, didasarkan atas
pemutusan rantai penularan. Dalam hal DHF, komponen penularan terdiri dari
virus, Ae., aegypti dan manusia. Karena sampai saat ini belum terdapat vaksin
yang efektif terhadap virus itu, maka pemberantasan ditujukan pada manusia dan
terutama pada vektornya.3
Pemutusan rantai penularan yang dapat dilaksanakan dengan cara sebagai
berikut :
1. Perlindungan perorangan untuk mencegah gigitan Ae aegypti yang dapat
dilakukan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara
terbaik ialah pemsangan kasa penolak nyamuk.
Cara lain yang dapat dilakukan ialah :
a. Menggunakan mosquito repellent dan insektisida dalam bentuk
semprotan.
b. Menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit.
c. Memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak.
Penderita DHF yang di rawat di rumah sakit diberikan tempat tidur dengan
kelambu.
11. PROGNOSIS
antibodi yang didapat pasif atau oleh infeksi sebelumnya dengan virus yang
sangat terkait.2
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. S. Poorwo, Sumarmono. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. IDAI. Jakarta
: Badan Penerbit IDAI. 2012 : 155-181.
2. Hassan, Rusepno. Alatas, Husein. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Jilid 2
FKUI. Jakarta : Infomedika Jakarta. 2007 : 607-621
3. Behrman, Richard. Kliegman, Robert. Arvin, Ann. Ilmu Kesehatan Anak
Nelson Jilid 2. Jakarta : EGC. 2000 : 1132-1136
LAPORAN KASUS
I.Anamnesis Pribadi
Nama : Kasih Theresia Manulang
Umur : 6 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku/Bangsa : batak
Agama : Kristen
Alamat : Jl. Binjai km 7,5 Pasar buah , Medan
Berat badan masuk : 18 kg
Panjang badan masuk : 118 cm
Tanggal masuk : 21 Februari 2014
Identitas Ibu
Nama : Elisabeth
Umur : 38 Tahun
Suku : Batak
Agama : Kristen
Perkawinan :1
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
RPT :-
V. Anamnesa makanan
0 – 4 bulan : ASI
4 – 6 bulan : ASI + susu formula (SGM)
6 – 9 bulan : ASI + susu formula + nasi tim
9 – 12 bulan : susu formula + nasi tim
> 1 tahun : menu keluarga
VI. Imunisasi
BCG : 1x (umur 2 bulan)
Hepatitis B : 3x (saat lahir, umur 1 bulan, umur 6 bulan )
Polio : 4x (saat lahir, umur 2 bulan, umur 4 bulan dan umur 6
bulan)
2. Status Lokalis
a. Kepala
Mata : RC (+/+), pupil isokor , conj. Palpebra inferior pucat (-/-)
Hidung : Dalam Batas Normal
Telinga : Dalam Batas Normal
Mulut : Dalam Batas Normal
b. Leher : Pembesaran KGB (-)
c. Thoraks :
Inspeksi : Simetris Fusiformis
Palpasi : Stem Fremitus Kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara Pernapasan : Vesikular
Suara tambahan : (-)
d. Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan tidak ada
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Peristaltik usus (+) Normal
e. Ekstremitas
Superior : pulse 105x/i, T/V cukup , akral hangat, CRT < 3 “, rumple
leed (+), reflek bisep dan trisep (+)
Inferior : akral hangat, CRT < 3 “, KPR (+), APR (+)
Follow Up
Tanggal Keluhan V i t a l S i g n Diagnosa T e r a p i
22/02/2014 Ku : demam (+) TD:80/60mmHg DHF Grade1 - B e d R e s t
H R : 1 2 8 x / i - IVFD RL 58 gtt/i makro
R R : 2 8 x / i - Paracetamol syrup 150 mg/5 ml
Temp : 38,40C 3 x s e h a r i ( k / p )
- Diet MB 1160 kkal + 36 gr protein