Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
BAB I
PENDAHLUAN
1
2
diperkirakan terjadi sekitar 16 ribu kasus baru Lupus. Sebagian besar mereka adalah
perempuan umur produktif dan setiap tahun ditemukan lebih dari 100 ribu penderita baru.
Data prevalensi di setiap negara di dunia berbeda-beda. Prevalensi SLE di Amerika
Serikat adalah 15-50 per 100.000 populasi. Setiap tahun ditemukan lebih dari 100.000
penyandang SLE baru di seluruh dunia. Mereka yang memiliki kulit gelap seperti
penduduk Asia, penduduk asli Amerika dan Hispanik memiliki risiko lebih besar
terserang SLE dibandingkan mereka yang berkulit putih. Suatu studi sistemik di Asia
Pasifik memperlihatkan data insidensi sebesar 0,9-3,1 per 100.000 populasi/tahun.
Prevalensi kasar sebesar 4,3-45,3 per 100.000 populasi.
Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) online, pada tahun 2016 terdapat
858 rumah sakit yang melaporkan datanya, diketahui terdapat 2.166 pasien rawat inap
yang didiagnosis penyakit Lupus, dengan 550 pasien diantaranya meninggal dunia. Tren
penyakit lupus pada pasien rawat inap rumah sakit meningkat sejak tahun 2014-2016.
Jumlah kasus lupus tahun 2016 meningkat hampir dua kali lipat sejak tahun 2014, yaitu
sebanyak 1.169 kasus. Pada tahun 2016, Perhimpunan SLE Indonesia (PESLI)
mendapatkan rata-rata insiden SLE dari data 8 rumah sakit adalah sebesar 10,5%.
Pada saat ini angka kesakitan dan kematian Penyakit SLE cenderung meningkat
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal tersebut karena makin
meningkatnya umur harapan hidup masyarakat Indonesia dan makin tingginya pajanan
faktor risiko, yaitu hal-hal yang mempengaruhi atau menyebabkan terjadinya penyakit
tidak menular pada seseorang atau kelompok tertentu.
Menurut Hasdianah, dkk (2014), terdapat banyak faktor yang berpengaruh
terhadap berkembangnya penyakit autoimun (multi faktor). Penyakit autoimun
merupakan penyakit yang timbul akibat patahnya toleransi kekebalan diri. Lupus
merupakan salah satu penyakit autoimun. Faktor-faktor yang bersifat risiko dan ikut
3
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk menegtahui patofisiologi gangguan sistem immunologi yaitu
Systemic Lupus Erithematosus (SLE)
4
BAB II
TINJAAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Penyakit SLE lebih sering menyerang pada usia 15-40 tahun tetapi semua
umur bisa saja terkena, penyakit SLE lebih sering menyerang pada wanita daripada
pria (9:1) sedangkan pada anak-anak meningkat (10:1). Prevalensi penyakit SLE
adalah 0.06% dari populasi umum (Kirsch,et all, 2017). Di Amerika SErikat,
insiden penyakit SLE adalah 14,6-50,8 kasus/100.000 orang, sedangkan
prevalensinya 24-100/100.000 orang. The Lupus Foundation of America (LFA)
memperkirakan sekitar 1,5 juta penduduk Amerika SErikat menderita penyakit
SLE dengan berbagai tipe terutama wanita.
5
6
2.1.3 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa
faktor predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini.
Diantara beberapa faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui
faktor yang paling dominan berperan dalam timbulnya penyakit ini (Greenberg
MS, 2008). Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang berperan dalam
timbulnya penyakit SLE :
a. Faktor Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum (Greenberg MS, 2008) (Wallace DJ,
2007).
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility
Complex) kelas II khususnyaHLA-DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah
dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur
komponen komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat
menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot
akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi
varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi
menderita SLE (Greenberg MS, 2008) (Wallace DJ, 2007).
b. Faktor Imunologi
Pada LE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun,
yaitu :
1) Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
7
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T (Alexis FA,
2013).
2) Kelainan intrinsik sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal (Alexis
FA, 2013).
3) Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T
mempengaruhi terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan
kompleks imun lebih mudah mengendap di jaringan (Alexis FA, 2013).
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang
abnormal dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE (Alexis
FA, 2013).
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi
dalam tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut
terdiri dari:
1) Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
2) Paparan sinar ultra violet
Sinar ultraviolet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan
8
2.1.4 Patofisologi
Patogenesis SLE terdiri dari tiga fase, yaitu fase inisiasi, fase propagasi,
dan fase puncak (flares) Inisiasi lupus dimulai dari kejadian yang menginisiasi
kematian sel secara apoptosis dalam konteks proimun. Kejadian ini disebabkan
oleh berbagai agen yang sebenarnya merupakan pajanan yang cukup sering
ditemukan pada manusia, namun dapat menginisiasi penyakit karena kerentanan
yang dimiliki oleh pasien SLE. Fase profagase ditandai dengan aktivitas
autoantibodi dalam menyebabkan cedera jaringan. Autoantibodi pada lupus dapat
menyebabkan cedera jaringan dengan cara (1) pembentukan dan generasi
kompleks imun, (2) berikatan dengan molekul ekstrasel pada organ target dan
mengaktivasi fungsi efektor inflamasi di tempat tersebut, dan (3) secara langsung
menginduksi kematian sel dengan ligasi molekul permukaan atau penetrasi ke sel
hidup. Fase puncak merefleksikan memori imunologis, muncul sebagai respon
untuk melawan sistem imun dengan antigen yang pertama muncul. Apoptosis tidak
hanya terjadi selama pembentukan dan homeostatis sel namun juga pada berbagai
penyakit, termasuk SLE. Jadi, berbagai stimulus dapat memprovokasi puncak
penyakit.
9
2.1.5 Klasifikasi
Menurut Myers SA and Mary HE, (2001) lupus eritematosus dibagi ke
dalam 4 bagian besar, yaitu :
a. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) dibagi lagi ke dalam 2 sub
tipe :
1) Discoid Lupus Erythematosus (DLE) dibagi juga dalam beberapa subtipe
yang jarang terjadi yaitu :
a) Palmar-palmar Lupus Erythematosus
b) Oral Discoid lupus Erythematosus
c) Lupus Erythematosus panniculitis
2) Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)
b. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) memiliki subtipe yang
jarang terjadi yaitu Neonatal lupus Erythematosus (NLE)
c. Systemic Lupus Erythematosus(SLE)
d. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)
Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus
eritematosus diklasifikasikan yaitu :
a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
b. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
c. Bullous form4. Neonatal form (NLE)
d. Acute Cutaneous form (ACLE)
e. Subacute Cutaneous form (SCLE)
f. Chronic Cutaneous form (CCLE)
g. Childhood onset (CSLE)
h. Drug Induced (DILE)
penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi,
ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita LES menunjukkan adanya
proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast,
heme granular atau sel darah merah pada urin. (Zvezdanovic,2006)
2) Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan
berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan
tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun
termasuk di 18 dalamnya LES, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren
dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai
dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi
perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan. Pembentukan
autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu
menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologinya.
Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah
yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun
dengan sentralnya pada Thelper dan melahirkan banyak hipotesis, antara
lain modifikasi autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik
terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B,
mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya.
Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme
regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini
semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin
bertambahnya usia seseorang. Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak
segera menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi
dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada sebagai
agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan
dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks
autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit
autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi
baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit
reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya
(Zvezdanovicet all, 2006).
12
3) Antibodi Antinuklear.
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok
autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein,
ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik,
Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer.
ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada
sumsum tulang penderita LES. Dengan perkembangan pemeriksaan
imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm,
nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat
diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun (Zvezdanovicet all,2006).
4) Antibodi terhadap DNA.
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam
antibodi yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti
ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan
mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang
rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid.
Peningkatan kadar anti ds-DNA 20 menunjukkan peningkatan aktifitas
penyakit. Pada LES,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan
nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA
dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae
immunofluoresens (Zvezdanovicet all,2006).
5) Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak
spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif.
Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan
menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen
tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari
20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti
model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada LES, kadar
13
2.1.9 Diagnosa
Diagnosis penyakit SLE sangat sulit untuk ditegakkan. Selain dapat
menimbulkan kerusakan beberapa organ dalam, gejala dari penyakit ini juga
terlihat sangat bervariasi dan tidak sama pada setiap penderita. Gejala yang dapat
timbul berupa demam berkepanjangan, foto sensitifitas, perubahan berat badan,
kelenjar limfe yang membengkak, dan terjadi perubahan terhadap beberapa organ
vital lainnya. SLE pada tahap awal, seringkali memberikan gambaran seperti
penyakit lain misalnya artritis reumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis,
dan sebagainya. Oleh karena itu, ketepatan diagnosis dan deteksi dini penyakit
SLE penting untuk diperhatikan, mengingat gejala penyakit ini sama dengan
penyakit lain (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011) (Little JW, 2008).
Pada tahun 1982, American Collage Of Rheumatology membuat suatu
kriteria yang dapat menjamin akurasi diagnosis lupus yaitu sampai ketepatan 98%
dan pada tahun 1997 telah di revisi. Tabel 1 merupakan tabel kriteria SLE yang
telah direvisi(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
Tabel 1. Kriteria Systemic Lupus Erythematosus (SLE) revisi tahun 1997.
No. Kriteria Definisi
Dari tabel tersebut, jika ditemukan 4 atau lebih kriteria, maka diagnosis
SLE mempunyai spesifisitas 95% dapat ditegakkan. Jika hanya 3 kriteria dan
salah satunya ANA positif, maka sangat tinggi kemungkinan diagnosis SLE dapat
ditegakkan dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Pada hasil tes
ANA, jika hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE, namun jika
hanya tes ANA positif dantidak terlihat manifestasi klinis, maka belum tentu juga
SLE, sehingga hal ini memerlukan observasi jangka Panjang (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011) (Wallace DJ, 2007).
mandiri. Beberapa hal perlu diketahui oleh pasien SLE, antara lain perubahan
fisik yang akan dialami, perjalanan penyakit, cara mencegah dan mengurangi
kekambuhan seperti melindungi kulit dari paparan sinar matahari secara
langsung, memperhatikan jika terjadi infeksi, dan perlunya pengaturan diet
agar tidak kelebihan berat badan, displidemia atau terjadinya osteoporosis
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011).
b. Program Rehabilitasi
Secara garis besar pelaksanaan program rehabilitasi yang dilakukan
oleh pasien SLE, antara lain: istirahat yang cukup, sering melakukan terapi
fisik, terapi dengan modalitas, kemudian melakukan l.atihan ortotik, dan lain-
lain (Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
c. Terapi Medikasi
Jenis obat-obatan yang digunakan untuk terapi SLE terdiri dari NSAID
(Non Steroid Anti-Inflamation Drugs), antimalaria, steroid, imunosupresan
dan obat terapi lain sesuai manifestasi klinis yang dialami (Perhimpunan
Reumatologi Indonesia, 2011)
1) NSAID ( Non Steroid Anti-Inflamation Drugs)
NSAID dapat digunakan untuk mengendalikan gejala SLE pada tingkatan
yang ringan, seperti menurunkan inflamasi dan rasa sakit pada otot, sendi
dan jaringan lain. Contoh obat : aspirin, ibuprofen, baproxen dan sulindac.
Obat-obatan tersebut dapat menimbulkan efek samping, yaitu pada
saluran pencernaan seperti mual, muntah, diare dan perdarahan
lambung.(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011)
2) Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah atau tinggi
sesuai tingkat keparahan penyakit untuk pengendalian penyakit.
Penggunaan kortikosteroid dapat dilakukan secara oral, injeksi pada sendi,
dan intravena. Contoh: Metilprednisolon. Kesalahan yang sering terjadi
adalah pemberian dosis yang tinggi, namun tidak disertai kontrol dan
dalam waktu yang lama. Beberapa efek samping dari mengonsumsi
kortikosteroid terdiri dari meningkatkan berat badan, penipisan kulit,
osteoporosis, meningkatnya resiko infeksi virus dan jamur, perdarahan
17
2.1.11 Komplikasi
Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini
merupakan komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan
paralisis atau kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan
anggota badan sampai terjadinya paraplegia. Penyakit lupus juga bermanifestasi
pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan bagian dari sistem saraf
yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan detak
jantung, bernafas, berkeringat, dan lain-lain.
Nefritislupus (NL) adalah komplikasi ginjal padalupus eritematosus
sistemik (LES). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan
secara histopatologis pada kebanyakan pasien dengan LES dengan biopsi dan
otopsi ginjal.Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi ginjal
yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan ginjal hanya didapatkan pada
18
25%-50% kasus. Gejala nefritis lupus secara umum adalah proteinuri, hipertensi,
dan gangguan ginjal.
Eritematosus Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada
penderita lupus eritematosa sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal
paling banyak menyebabkan kecacatan dan kematian, dan pada beberapa kasus
perlu dilakukan dialisis dan transplantasi ginjal. Lebih dari 85% penderita lupus
mengalami kelainan darah seperti trombositopeni dan anemi hemolitik.
Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis,
dan miokarditis.
2.1.12 Prognosis
Prognosis penderita lupus pada kulit, seperti diskoid lupus lebih baik,
meskipun lesi secara kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan
biasanya tidak membuat penderita harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10%
penderita diskoid lupus yang berkembang menjadi sistemik lupus
Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus, karena kematian lebih
banyak terjadi, seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil
yang menyatakan kematian selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%,
kematian biasanya terjadi karena pengaruh adanya infeksi (sebanyak 58%),
penyakit SSP (36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai timbul sebelum
usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi dapat
menyebabkan kematian. Pada pasien lupus dengan pengobatan steroid jangka
panjang juga beresiko terkena osteoporosis, sehingga dosis steroid perlu
dikurangi. Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, dapat pula
menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu
seperti hemoragi, perforasi, ulserasi.
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Agama :
Suku :
Alamat :
Tanggal masuk :
Tanggal pengkajian :
Sumber Informasi :
Diagnosa masuk :
Penanggung jawab
Nama :
Hubungan dengan pasien :
2. Riwayat keluarga
Genogram
Keterangan genogram
3. Status Kesehatan
- Status kesehatan saat ini, meliputi keluhan utama saat MRS dan saat
pengkajian.
- Alasan MRS dan bagaimana perjalanan penyakit saat ini.
- Apa upaya yang dilakukan untuk mengatasi keluhan atau penyakit
pasien.
- Apakah ada riwayat penyakit terdahulu/penyakit yang pernah dilami
sebelumnya.
- Apakah ada riwayat penyakit keluarga yang mempunyai penyakit yang
sama seperti saat ini.
4. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum pasien
- Pemeriksaan TTV meliputi TD, nadi, suhu dan RR
o Kulit, rambut dan kuku
o Kepala dan leher
o Mata dan telinga
o Sistem pernafasan
20
o Sistem kardiovaskular
o Payudara pria dan wanita
o Sistem gastrointestinal
o Sistem urinarius
o Sistem reproduksi wanita/pria
o Sistem saraf
o Sistem muskuloskeletal
o Sistem imun
o Sistem endokrin
5. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan Radiologi
6. Pola Kesehatan Fungsional Pola Gordon
1) Pemeliharaan dan persepsi terhadap kesehatan
- Apakah kondisi sekarang menyebabkan perubahan persepsi
terhadap kesehatan?
- Bagaimana pemeliharaan kesehatan klien setelah mengalami
gangguan ini?
2) Nutrisi/ metabolik
- Bagaimana asupan nutrisi klien sejak terkena gangguan?
- Berapa berat badan pasien sebelum MRS dan saat ini?
- Apakah klien mau memakan makanannya dan seberapa porsi
habisnya?
- Berapa mL rata-rata minum pasien setiap harinya?
3) Pola eliminasi
Data yang ditanyakan :
- Kaji kebiasaan eliminasi urin dan fekal
- Berapa kali dalam sehari BAB dan BAK
- Jumlah, konsistensi, bau, warna dan karekteristik BAB dan BAK
- Kaji apakah ada ada kesulitan/nyeri ketika BAK serta apakah
menggunakan alat bantu untuk BAK.
4) Pola aktivitas dan latihan
Kemampuan perawatan diri 0 1 2 3 4
Makan/minum
21
Mandi
Toileting
Berpakaian
Mobilisasi di tempat tidur
Berpindah
Ambulasi ROM
Keterangan :
0: mandiri, 1: alat bantu, 2: dibantu orang lain, 3: dibantu orang lain
dan alat, 4: tergantung total.
5) Pola tidur dan istirahat
- Bagaimana kualitas tidur pasien apakah nyenyak atau sering
terbangun ditengah-tengah tidur?
- Berapa jam rata-rata total tidur pasien setiap harinya?
6) Pola kognitif-perseptual
Data yang ditanyakan :
- Menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecap,
penciuman, persepsi nyeri, bahasa dan memori, status mental,
- Apakah klien bisa bicara dengan normal/tak jelas/gugup,
kemampuan berkomunikasi dan kemampuan memahami serta
keterampilan interaksi
- Kaji juga anxietas klien terkait penyakitnya dan derajatnya, apakah
ada nyeri : akut/ kronik. Tanyakan lokasi nyeri dan intensitas nyeri,
bagaimana penatalaksaan nyeri, apa yang dilakukan klien untuk
mengurangi nyeri saat nyeri terjadi
- Kaji tingkat kenyamanan klien, pengaruh penyakit yang dialami
dengan perasaan nyaman klien.
7) Pola persepsi diri/konsep diri
Data yang ditanyakan :
- Menggambarkan sikap terhadap diri dan persepsi terhadap
kemampuan, harga diri, gambaran diri dan perasaan terhadap diri
sendiri
- Kaji bagaimana klien menggambar dirinya sendiri
- Apakah ada hal yang membuaatnya mengubah gambaran terhadap
diri, tanyakan apa hal yang paling sering menjadi pikiran klien,
22
2.2.3 Intervensi
1) Observasi
a) Periksa indikasi ventilator mekanik
b) Monitor efek ventilatir terhadap status oksigenasi
2) Terapeutik
a) Atur posisi kepala 45-60o
b) reposisi pasien setiap 2 jam
c) lakukan oral hygiene tiap 2 jam
d) lakukan fisioterapi dada
e) lakukan suction kurang lebih 15 detik
3) Kolaborasi
a) kolaborasi pemilihan mode ventilator
b) kolaborasi pemberian agen pelumpuh otot, sedatif, analgetik sesuai
indikasi
c) kolaborasi pemberia pressure support atau PPEP.
b) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan.
6. Gangguan eleminasi urine Setelah diberikan asuhan Manajemen eliminasi urine
keperawatan selama….x24 jam
diharapkan eleminasi urine 1) Observasi
membaik dengan kriteria hasil : a) Identifikasi tanda dan gejala retensi atau inkontinensia urne
1) Sensasi berkemih b) Dentifikasi faktor yang menyebabkan retensi atau inkontinensia urine
meningkat c) Monitor eliminasi urine
2) Anuria menurun 2) Terapeutik
3) Karakteristik urine a) Catat CMCK
membaik b) Batasi asupan cairan jika perlu
4) Frekuensi BAK membaik. c) Ambil sampel kultur urine jika perlu
3) Edukasi
a) Anjurkan minum yang cukup jika tidak ada kontraindikasi.
b) Anjurkan mengurangi minum menjelang tidur.
4) Kolaborasi
Kolaborasi pemberian obat supositoria uretra jika perlu.
2.2.4 Implementasi
Implementasi diberikan sesuai dengan intervensi yang telah dilakukan
2.2.5 Evaluasi
1. Nyeri Akut b.d agens cedera (biologis) ditandai dengan meringis, melaporkan nyeri
secara verbal, dan ekspresi wajah klien tampak pada skala nyeri antara 0-10.
S : pasien mengatakan nyerinya berkurang
O : ekspresi wajah pasien tampak tenang
A : tujuan tercapai sebagian, nyeri akut teratasi sebagian
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi (Pain management), kaji nyeri
(PQRST), ajarkan teknik relaksasi nafas dalam, delegatif pemberian analgetik.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor biologis ditandai
dengan kurang minat pada makanan dan berat badan 20% di bawah berat badan ideal.
S : klien mengatakan nafsu makan meningkat
O : klien tampak menghabiskan makanannya
A : tujuan tercapai sebagian, ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
teraatasi sebagian
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi (Nutrition management dan
Nutrition monitoring)
3. Kerusakan integritas kulit b.d penurunan imunologis ditandai dengan kerusakan
lapisan kulit, terdapat ruam wajah dalam pola malar (seperti kupu-kupu) pada daerah
pipi dan hidung.
S : pasien mengatakan tidak merasakan panas pada kulit
O : integritas kulit pasien tampak dapat dikontrol, tidak terlihat kemerahan, lesi
berkurang
A : tujuan tercapai sebagian, kerusakan integritas kulit teratasi sebagian
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi (Skin care : topical treatment)
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen ditandai dengan menyatakan merasa lemah dan letih serta dispnea.
S : pasien mengatakan sesak berkurang saat beraktivitas
O : pasien tampak dapat melakukan aktivitas
A : tujuan tercapai sebagian, intoleransi aktivitas teratasi sebagian
32
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi (Activity therapy dan Energy
management)
5. Hipertermia b.d penyakit ditandai dengan peningkatan suhu tubuh di atas kisaran
normal dan kulit terasa hangat.
S:-
O : Suhu tubuh pasien dalam rentang normal (36,5˚C -37,5˚ C), tidak ada perubahan
warna kulit.
A : tujuan tercapai, hipertermia teratasi
P : pertahankan kondisi pasien dan monitoring suhu tubuh pasien
6. Gangguan citra tubuh b.d penyakit ditandai dengan mengungkapkan perasaan sedih
akan kondisi tubuh dan mengungkapkan persepsi yang mencerminkan perubahan
pandangan tentang tubuh.
S : pasien mengatakan dapat menerima perubahan penampilan tubuh.
O : pasien tampak dapat menyesuaikan dengan perubahan penampilan tubuhnya.
A : tujuan tercapai sebagian, gangguan citra tubuh teratasi sebagian
P : pertahankan kondisi pasien dan lanjutkan intervensi (Body image enhancement)
33
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
3.2 Saran
3.2.1 Mahasiswa keperawatan
Dapat menjadi bahan acuan untuk membuat makalah mengenai penyakit sistem
immunologi khususnya penyakit SLE dalam praktik kerja lapangan yang akan
datang.
3.2.2 Teman sejawat keperawatan
Dapat dijadikan bahan acuan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya
untuk keperawatan medikal bedah serta lebih memahami perjalanan penyakit SLE.
34
DAFTAR PUSTAKA
Adnyana, Losen.2015. Slide Presentation Kelainan Sistem Imun dan Hematologi pada
Dewasa : SLE
Alexis FA, Barbosa HV. Skin of Color : A practical guide to dermatologic diagnosis and
treatment. New York : Springer Science, 2013: 52-5
Bulecheck. Butcher. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC) Fifth Edition. St.
Louis: Mosby-Year Book.
Dharmeizar. 2009. Diagnosis dan penatalaksanaan nefritis lupus. Naskah Lengkap PIT Hal
302-12. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK-UI.
Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus Eythematosus.
American family Physician. 2003.
Greenberg MS, Glick M. Burket’s oral medicine diagnosis and treatment 11th ed. Hamilton:
BC Decker Inc., 2008: 442-7
Little JW, Falace DA, Miller CS, Rhodus NL. Dental management of the medically
compromised patient. 7th ed, St. Louis, Elsevier Inc 2008: 327-9
Martin A., Hofmann H.D., Kirsch M. 2003. Glial reactivity in ciliary neurotrophic factor-
deficient mice after optic nerve lesion. J. Neurosci 23:5416–24.
Moorhead. Johnson. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC) Fifth Edition. St. Louis:
Mosby-Year Book.
Morgan G, Hamilton C. Obstetri & ginekologi: Panduan praktik. Alih Bahasa. Syamsi M
Rusi, Kapoh. P Ramona. Jakarta: EGC, 2003: 235-7
Price & Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
35
Prof. dr. H. M. Sjaiffoellah Noer .1996.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga.
Penerbit ; Balai Penerbit FKUI:Jakarta
Regezi JA, Sciubba JJ. Oral pathology clinical-patologic correlation. 5th ed. China: WB
Saunders Co, 2008: 94-9
Tim Pokja SDKI. 2018. “Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia”. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SIKI. 2018. “Standar Intervensi Keperawatan Indonesia”. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Tim Pokja SLKI. 2018. “Standar Luaran Keperawatan Indonesia”. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat PPNI
Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya. Alih
bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170
Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia, 2012: 1-57