Anda di halaman 1dari 30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Tuberkulosis
II.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ terutama
paru.6

II.1.2 Cara Penularan TB


a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal
ini dapat terjadi karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji
kurang dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui
pemeriksaan mikroskopis.5
b. Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki kemungkinan
menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah
65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif
adalah 17%.7
c. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak. Apabila orang lain menghirup udara yang
mengandung percik renik dahak tersebut, maka orang tersebut dapat
terinfeksi.7

II.1.3 Faktor Risiko


a. Faktor Risiko Penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak.
Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko
penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. Risiko
penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis

4
Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB
selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara
1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara
1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif
menjadi positif.8,9
b. Faktor Risiko Sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB.Dengan
ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000
terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB
setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.9
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien
TB yaitu:9
1) Daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB
menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem
daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi
penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan
akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila
jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan
meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan
meningkat pula.
2) Malnutrisi (gizi buruk).
Adapun faktor risiko kejadian TB, secara ringkas digambarkan pada
gambar berikut:

5
Bagan 1. Faktor Risiko Kejadian TB 9

II.1.4 Penemuan Kasus Tuberkulosis


Penemuan pasien bertujuan untuk mendapatkan pasien TB melalui
serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan terhadap terduga pasien TB,
pemeriksaan fisik dan laboratoris, menentukan diagnosis, menentukan klasifikasi
penyakit serta tipe pasien TB. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan
terduga pasien, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan
keluhan dan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga
kesehatan yang kompeten untuk melakukan pemeriksaan terhadap gejala dan
keluhan tersebut.10
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana
pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular secara bermakna
akan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat TB serta sekaligus
merupakan kegiatan pencegahan penularana TB yang paling efektif di
masyarakat. Keikutsertaan pasien merupakan salah satu faktor penting dalam
upaya pengendalian TB. Strategi penemuan pasien Tuberkulosis adalah sebagai
berikut:
a. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif pada kelompok populasi
terdampak TB dan populasi rentan
b. Upaya penemuan secara intensif harus didukung dengan kegiatan promosi
yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini

6
c. Penjaringan terduga pasien TB dilakukan di fasilitas kesehatan, didukung
dengan promosi secara aktif oleh petugas kesehatan bersama masyarakat.
d. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat
penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan
e. Penemuan kasus TB dapat dilakukan secara pasif dan aktif. Penemuan kasus
secara pasif adalah jika pasien khawatir terhadap gejalanya, kemudian
memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan, lalu dilakukan evaluasi oleh
petugas kesehatan yang dapat memastikan apakah gejala tersebut TB atau
bukan. Penemuan kasus secara pasif dapat juga dilakukan bersamaan denga
promosi yang aktif (passive promotive case finding). Penemuan kasus
secara aktif dilakukan pemeriksaan yang sistematis dan evaluasi klinis
terhadap:10,11,12
 Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada
pasien dengan HIV, Diabetes Melitus dan malnutrisi.
 Kelompok yang rentan karena berada di lingkungan yang beresiko tinggi
terjadinya penularan TB, seperti: Lapas, tempat penampungan pengungsi,
daerah kumuh, tempat kerja, asrama dan panti jompo.
 Anak dibawah umur lima tahun yang kontak dengan pasien TB
 Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resisten obat.
f. Penerapan manajemen tatalaksana terpadu bagi pasien dengan gejala dan
tanda yang sama dengan gejala TB, seperti pendekatan praktis kesehatan
paru (Practical Approach to Lung health = PAL), manajemen terpadu balita
sakit (MTBS), Manajemen Terpadu Dewasa Sakit (MTDS) akan membantu
meningkatkan penemuan pasien TB di faskes, mengurangi terjadinya
misopportunity dan sekaligus dapat meningkatkan mutu layanan.
g. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki
gejela:
 Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa
kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.

7
 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru
selain TB, seperti bronkiektaksis, bronkitis kronis, asma, kanker paru,
dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi,
maka setiap orang yang datang ke fasyankes dengan gejala tersebut
diatas, dianggap sebagai seorang terduga pasien TB, dan perlu dilakukan
pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.

Bagan 2. Alur Diagnosis TB8,10

II.1.5 Klasifikasi Penyakit dan Tipe Pasien


Beberapa istilah dalam definisi kasus:
a. Kasus TB: Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau
didiagnosis oleh dokter
b. Kasus TB pasti (definitif): Pasien dengan biakan positif untuk
Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-
kurangnya dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

8
Adapaun klasifikasi penyakit dan tipe pasien adalah sebagai berikut:
a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru
Tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru, tidak
termasuk pleura dan kelenjar pada hilus.
2) Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh selain paru, yaitu pleura,
selaput otak, perikardium, kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit,
usus, ginjal, saluran kencing.
b. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopi pada TB
paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen daha SPS hasil BTA positif
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya positif dan foto thoraks dada
menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB
positif
d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen
dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif
dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT
2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif.
Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif, yaitu:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
b) Foto thoraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotik non OAT
d) Ditentukan oleh dokter untuk diberi pengobatan
c. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
Klasifikasi didasarkan pada riwayat pengobatan sebelumnya, yang dibagi
menjadi beberapa tipe pasien, yaitu:

9
1) Kasus baru
Pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu)
2) Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif melalui apusan atau kultur.
3) Kasus setelah putus berobat (default)
Pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan
BTA positif
4) Kasus gagal (failure)
Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap BTA positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
5) Kasus pindahan (transfer in)
Pasien yang dipindahkan dari unit pelayanan kesehatan yang memiliki
register TB lain untuk melanjutkan pengobatan
6) Kasus lain
Semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan
masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

II.1.6 Diagnosis
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan keluhan dan hasil anamnesis,
pemeriksaan bakteriologik dan pemeriksaan penunjang lainnya.13
a. Pemeriksaan Bakteriologik
1) Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung
Pemeriksaan bakteriologik yang digunakan untuk menentukan infeksi
tuberkulosis dapat berasal dari sputum, bilasan lambung, cairan pleura,
cairan bronkoskopi, cairan serebrospinal, cairan sendi dan urin.
Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan sputum
dengan tiga contoh uji dahak yang dikumpulkan pada dua hari kunjungan

10
berturut-turut berupa sputum Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) dengan
pemeriksaan basil tahan asam (BTA) atau ziehl-nielsen.
a) Sewaktu (S)
Dahak ditampung pada saat pertama kali pasien datang ke fasilitas
pelayanan kesehatan dengan dugaan terinfeksi tuberkulosis. Pada saat
pulang, pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak saat
pagi hari di keesokan harinya.
b) Pagi (P)
Dahak ditampung di pot dahak yang sudah diberikan segera setelah
bangun tidur kemudian pot dahak tersebut dibawa dan diserahkan ke
petugas di fasilitas pelayanan kesehatan
c) Sewaktu (S)
Dahak ditampung difasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua
setelah menyerahkan pot dahak yang berisi dahak pagi.14
Diagnosis ditegakan jika ditemukan BTA pada saat pemeriksaan.
Dikatakan BTA positif jika minimal pada dahak sewaktu pagi sewaktu
tersebut ditemukan BTA pada dua contoh uji dahak. Jika hanya ditemukan
satu contoh uji dahak yang positif dapat dilakukan pemeriksaan kembali
sebanyak tiga kali dan jika minimal satu dari tiga pemeriksaan tersebut
ditemukan BTA berarti hasil akhir pemeriksaan BTA positif. Berdasarkan
skala IUATLD hasil dari jumlah BTA yang ditemukan terdiri dari :

Tabel 1. Skala IUATLD


Jumlah BTA yang ditemukan Hasil
Jika tidak ditemukan BTA/100 lapang pandang Negatif
1-9/100 lapang pandang Catat jumlah
yang terlihat
10-99/100 lapang pandang +
1-10/1 lapang pandang ++
>10 BTA/1 lapang pandang +++
Sumber : Kurniati, 2010.

11
2) Pemeriksaan Test Cepat Molekuler (TCM) TB
Pemeriksaan tes cepat molekuler dengan metode Xpert MTB/RIF.
TCM merupakan sarana untuk penegakan diagnosis.
3) Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan dapat dilakukan dengan media padat
(Lowenstein-Jensen) dan media cair (Mycobacteria Growth Indicator
Tube) untuk identifikasi Mycobacterium tuberkulosis (M.tb).
b. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1) Pemeriksaan Radiologi
Berdasarkan pemeriksaan dengan x-ray, berikut hasil gambaran
radiologi:
a) Tuberkulosis primer
Tampak adanya area konsolidasi pneumonik atau fokus ghon
disertai dengan pembesaran pada hilum dan biasanya diisi dengan
kalsifikasi.
b) Tuberkulosis post primer
Tampak adanya patchy consolidation terutama pada bagian
lobus bagian atas atau segmen apeks dan sering disertai dengan
kavitasi.

12
2) Pemeriksaan histopatologi pada kasus yang dicurigai TB ekstraparu

Terduga TB

Pasien dengan riwayat pengobatan TB,


Pasien baru tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada
riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien pasien dengan riwayat kontak erat
dengan HIV(-) atau tidak diketahui status HIV nya. dengan pasien TB RO, pasien dengan
HIV (+)

Pemeriksaan klinis dan pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat
Molekuler ( TCM )

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan TCM TB
Pemeriksaan Mikroskopis BTA

MTB Pos, MTB Pos, Rif MTB Pos, MTB


(--) Rif Indeterminate Rif Neg
(++)
Sensitive Resistance
(+-)

TB Ulangi
Foto Terapi Anti TB RR
Terkonfirmasi Pemeriksaan
Toraks Biotika Non Foto Toraks
Bakteriologis TCM ( Mengikuti
OAT
alur yang sama
dengan alur
Pengobatan Mulai Pengobatan TB RO; pada hasil
Tidak Mendukung TB; TB Lini 1 Lakukan pemeriksaan pemeriksaan
Bukan TB; Cari Biakan dan Uji Kepekaan mikrokopis
Kemungkinan Penyakit OAT Lini 1 dan Lini 2 BTA negative
Lain (- -))
Tidak ada
Perbaikan
TB Ada
klinis, ada TB RR; TB Pre TB
Terkonfirmasi Perbaikan
faktor risiko TB XDR XDR
Klinis Klinis
TB, dan atas MDR
pertimbangan
dokter
Bukan TB; Cari
Lanjutkan Pengobatan TB
Kemungkinan
Pengobatan TB RO dengan
penyebab
TB RO Paduan Baru
penyakit lain
Terkonfirmasi
Klinis

Bagan 3. Alur diagnosis tuberkulosis14


Pengobatan TB
Lini 1

13
II.1.7 Pengobatan
Tujuan pengobatan ini adalah untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan dan memutus rantai penularan serta mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap obat anti tuberkulosis.5 Panduan pengobatan
pasien tuberkulosis dibagi menjadi dua fase yaitu:
a. Fase intensif : 2-3 bulan
b. Fase lanjutan : 4 atau 7 bulan

Jenis obat-obatan terdiri dari :


a. Obat lini I :
1) Rifampisin ( R )
2) Isoniazid ( H )
3) Pirazinamid ( Z )
4) Etambutol ( E )
5) Streptomisin ( S )
b. Obat tambahan lain (Obat lini II) :
1) Kanamisin (Km)
2) Amikacin (Am)
3) Ethionamide (Eto)
4) Levofloksasin (Lfx)
5) Cycloserin (Cs)
6) Prothionamide (Pto)
7) Para amino salisilat (PAS)
c. Kombinasi dosis tetap :
1) 4 OAT dalam 1 tablet (RHZE)
a) Rifampisin : 150 mg
b) Isoniazid : 75 mg
c) Pirazinamid : 400 mg
d) Etambutol : 275 mg
2) 3 OAT dalam 1 tablet (RHZ)
a) Rifampisin : 150 mg
b) Isoniazid : 75 mg
c) Pirazinamid : 400 mg

14
Tabel 2. Obat anti tuberkulosis lini pertama
Obat Dosis Dosis Harian Dosis Berat Badan
(Mg/KgBB/hr) (Mg/KgBB/hr) Maks. <40kg 40-60kg >60kg
(Mg) (Mg) (Mg) (Mg)
R 8-12 10 600 300 450 600
H 4-6 5 300 300 300 300
Z 20-30 25 750 1000 1500
E 15-20 15 750 1000 1500
S 15-18 15 1000 Sesuai 750 1000
dosis
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Panduan OAT :
a. Kategori I
Diberikan untuk pasien :
1) Tuberkulosis paru kasus baru dengan BTA positif atau lesi luas
2) Tuberkulosis paru dengan BTA negatif dan gambatan radiologi lesi luas
(termasuk luruh paru)
3) Tuberkulosis ekstra paru kasus berat

Berikan regimen 2RHZE/4RH (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan


etambutol diminum setiap hari sehari sekali selama 2 bulan dilanjutkan dengan
pemberian rifampisin dan isoniazid setiap hari sehari sekali selama 4 bulan).
Alternatif lain dapat diberikan dengan regimen 2RHZE/4R3H3 (Rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, dan etambutol diminum setiap hari sehari sekali selama 2
bulan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid seminggu tiga kali
selama 4 bulan) atau 2RHZE/6HE (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan
etambutol diminum setiap hari sehari sekali selama 2 bulan dilanjutkan dengan
pemberian isoniazid dan etambutol setiap hari sehari sekali selama 6 bulan)
Berikan fase lanjutan selama 7 bulan pada keadaan :
a. Tuberkulosis dengan lesi luas
b. Tuberkulosis disertai penyakit komorbid
c. Tuberkulosis kasus berat (milier, dll.)

15
2RHZE/7RH (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol diminum
setiap hari sehari sekali selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin
dan isoniazid selama 7 bulan) atau 2RHZE/7R3H3 (Rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan etambutol diminum setiap hari sehari sekali selama 2 bulan
dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid seminggu tiga kali selama
7 bulan).

b. Kategori II :
1) Kasus kambuh
Apabila pada pasien sudah dilakukan uji resistensi, maka dapat
diberikan dengan regimen 3RHZE/6RH (Rifampisin, isoniazid,
pirazinamid, dan etambutol diminum setiap hari sehari sekali selama 3
bulan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid setiap hari
sehari sekali selama 6 bulan). Jika belum dilakukan uji resistensi dapat
diberikan dengan regimen 2RHZES/1 RHZE/5R3H3E3 (Rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, etambutol dan streptomisin diminum setiap hari
sehari sekali selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian rifampisin,
isoniazid, pirazinamid, dan etambutol diminum setiap hari sehari sekali
selama 1 bulan kemudian dilanjutkan lagi dengan pemberian rifampisin,
isoniazid dan etambutol seminggu tiga kali selama 5 bulan)
2) Kasus gagal pengobatan
Pada pasien yang gagal dalam proses pengobatan tuberkulosis, jika
sudah dilakukan uji resistensi berikan 4-5 OAT dengan minimal 2 OAT
yang masih sensitif. Apabila pasien masih menunggu hasil uji resistensi,
berikan dengan regimen 2RHZES (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
etambutol dan streptomisin diminum setiap hari sehari sekali selama 2
bulan). Apabila tidak dilakukan uji resistensi, berikan dengan regimen
2RHZES/1RHZE/5R3H3E3.
3) Kasus lalai berobat
Pasien yang berhenti minum OAT kurang dari 2 minggu, lanjutkan
pemberian OAT sesuai jadwal. Tetapi, jika pasien berhenti minum OAT
lebih atau sama dengan 2 minggu lakukan evaluasi berobat pasien.
Apabila pasien telah berobat lebih atau sama dengan 4 bulan dengan hasil

16
BTA dan radiologi negatif, pemberian OAT dapat di stop. Tetapi, apabila
hasil BTA positif, berikan tatalaksana pengobatan dengan panduan obat
yang lebih kuat dan jangka pengobatan yang lebih lama. Apabila pasien
telah berobat kurang dari 4 bulan dengan hasil BTA positif, mulai
pengobatan dari awal sesuai dengan panduan yang sama. Begitu juga
dengan pasien yang telah berhenti berobat lebih dari satu bulan dengan
hasil BTA negatif akan tetapi klinik dan hasil radiologi positif. Tetapi, jika
pasien telah berhenti berobat 2-4 minggu dengan hasil BTA negatif,
teruskan pengobatan sesual dengan panduan awal saat berobat.
c. Kategori III :
Diberikan untuk pasien :
1) Tuberkulosis paru kasus baru dengan hasil BTA negatif atau gambaran
radiologik lesi minimal.
2) Tuberkulosis ekstraparu kasus ringan
Dengan regimen 2RHZ/4RH (Rifampisin, isoniazid, dan
pirazinamid, diminum setiap hari sehari sekali selama 2 bulan
dilanjutkan dengan rifampisin dan isoniazid selama 4 bulan). Alternatif
lain dengan 2RHZ/4R3H3 (Rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid
diminum setiap hari sehari sekali selama 2 bulan dilanjutkan dengan
pemberian rifampisin dan isoniazid seminggu tiga kali selama 4 bulan)
atau 6RHE (rifampisin, isoniazid dan etambutol diberikan setiap hari
sehari sekali selama 6 bulan).
d. Kategori IV :
1) Kasus kronik
Pada pasien kasus kronik jika belum ada hasil uji resistensi dapat
diberikan dengan regimen RHZES (Rifampisin, isoniazid, pirazinamid,
etambutol, dan streptomisin diminum setiap hari sehari sekali selama 1
bulan). Tetapi, jika ternyata pasien mengalami resistensi OAT, berikan
2 macam OAT yang masih sensitif dan tetap berikan isoniazid
walaupun pasien mengalami resistensi terhadap isoniazid atau hanya
diberikan isoniazid seumur hidup dan dirujuk ke dokter spesialis paru.

17
2) Kasus MDR ( multidrug resistence)
Berikan regimen lini kedua, yaitu Kanamisin (Km) – Etambutol
(E) – Ethionamide (Eto) – Levofloksasin (Lfx) – Pirazinamid (Z) –
Cycloserin (Cs) atau Etambutol (E) - Ethionamide (Eto) Levofloksasin
(Lfx) - Pirazinamid (Z) – Cycloserin (Cs)

II.1.7.1 Farmakokinetik dan Farmakodinamik OAT


Masing-masing OAT memiliki cara kerja yang berbeda-beda. Berikut
adalah farmakokinetik dan farmakodinamik dari masing-masing OAT :
a. Isoniazid
a. Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generic
Isoniazida 100 mg dan 300 mg / tablet. Nama lain Isoniazida : Asam
Nicotinathidrazida; Isonikotinilhidrazida; INH
b. Kerja Obat. Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi
kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Efektif terhadap
kuman dalam keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan terganggunya sintesa
mycolic acid, yang diperlukan untuk membangun dinding bakteri.
c. Dinamika/Kinetika Obat. Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai
kadar plasma puncak dalam 1 – 2 jam sesudah pemberian peroral dan
lebih cepat sesudah suntikan i.m dan kadar berkurang menjadi 50 %
atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam jaringan tubuh,
organ, atau cairan tubuh juga terdapat dalam liur, sekresi bronkus dan
cairan pleura serta serobrospinal. Metabolisme dihati, terutama oleh
karena asetilasi dan dehidrazinasi(kecepatan asetilasi umumnya lebih
dominan ). Waktu paruh plasma 2-4 jam diperlama pada insufiensi
hati. Lebih kurang 75-95 % dosis diekskresikan di kemih dalam 24
jam sebagai metabolit, sebagian kecil diekskresikan di liur dan tinja.
Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.
d. Interaksi. Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450
isoenzymes, tetapi mempunyai efek minimal pada CYP3A. Pemakaian
isoniazide bersamaan dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan
meningkatnya konsentrasi obat tersebut dan dapat menimbulkan

18
risiko toksis. Antikonvulsan seperti fenitoin dan karbamazepin adalah
yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran, parasetamol dan
Karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan adsorben
menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam,
menaikkan kadar plasma teofilin. Efek Rifampisin lebih besar
dibanding efek isoniazid, sehingga efek keseluruhan dari kombinasi
isoniazid dan rifampisin adalah berkurangnya konsentrasi dari obat-
obatan tersebut seperti fenitoin dan karbamazepin
e. Kontraindikasi. Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas,
demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut.
b. Rifampisin
1. Identitas. Sediaan dasar yang ada adalah tablet dan kapsul 300 mg,
450 mg, 600 mg
2. Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman semi-dormant
yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja,
Berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri Ribose
Nukleotida Acid (RNA)-polimerase sehingga sintesis RNA terganggu.
3. Dinamika / Kinetika Obat Obat ini akan mencapai kadar plasma
puncak (berbeda beda dalam kadar) setelah 2-4 jam sesudah dosis 600
mg, masih terdeteksi selama 24 jam. Tersebar merata dalam jaringan
dan cairan tubuh, termasuk cairan serebrospinal, dengan kadar paling
tinggi dalam hati, dinding kandung empedu, dan ginjal. Waktu paruh
plasma lebih kurang 1,5- 5 jam( lebih tinggi dan lebih lama pada
disfungsi hati, dan dapat lebih rendah pada penderita terapi INH).
Cepat diasetilkan dalam hati menjadi emtabolit aktif dan tak aktif
kemudian masuk empedu melalui sirkulasi enterohepar. Hingga 30 %
dosis diekskresikan dalam kemih, lebih kurang setengahnya sebagai
obat bebas. Merangsang enzim mikrosom, sehingga dapat
menginaktifkan obat terentu. Melintasi plasenta dan mendifusikan obat
tertentu kedalam hati.

19
4. Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon,absorpsi
dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme, menurunkan kadar
plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan kinidin,
mempercepat metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin,
estrogen,teofilin, tiroksin, anti depresan trisiklik, antidiabetik
(mengurangi khasiat klorpropamid, tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin,
dapson, flokonazol, itrakonazol, ketokonazol, terbinafin, haloperidol,
indinafir, diazepam, atofakuon, betabloker(propanolol),diltiazem,
nifedipin, verapamil, siklosprosin, mengurangi khasiat glukosida
jantung, mengurangi efek kostikosteroid, flufastatin. Rifampisin adalah
suatu enzyme inducer yang kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,
mengakibatkan turunnya konsentrasi serum obat-obatan yang
dimetabolisme oleh isoenzyme tersebut. Obat obat tersebut mungkin
perlu ditingkatkan selama pengobatan TB dan diturunkan kembali 2
minggu setelah rifampisin dihentikan. Obat-obatan yang berinteraksi
diantaranya adalah protease inhibitor, antibiotika makrolid,
levotiroksin, noretindron, warfarin, siklosporin, fenitoin, verapamil,
diltiazem, digoxin, nortriptilin, alprazolam, diazepam, midazolam,
triazolam dan beberapa obat lainnya.
5. Kontraindikasi. Pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas dengan
obat ini
c. Pirazinamida
1. Identitas. Sediaan dasar Pirazinamid adalah tablet 500 mg/tablet.
2. Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada
dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme kerja, berdasarkan
pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil
tuberkulosa.
3. Dinamika / Kinetika Obat Pirazinamid cepat terserap dari saluran
cerna. Kadar plasma puncak dalam darah lebih kurang 2 jam,
kemudian menurun. Waktu paruh kira-kira 9 jam. Dimetabolisme di
hati. Diekskresikan lambat dalam kemih, 30%dikeluarkan sebagai
metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam.

20
4. Interaksi bereaksi dengan reagen Acetes dan Ketostix yang akan
memberikan warna ungu muda – sampai coklat.
5. Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah, porfiria,
hipersensitivitas.
d. Etambutol
1. Identitas. Sediaan dasarnya adalah tablet dengan nama generik
Etambutol-HCl 250 mg, 500 mg/tablet.
2. Kerja Obat. Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan
kuman TB yang telah resisten terhadap Isoniazid dan streptomisin.
Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan sintesa RNA pada
kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya
mycolic acid pada dinding sel.
3. Dinamika/Kinetika Obat. Obat ini diserap dari saluran cerna. Kadar
plasma puncak 2-4 jam; ketersediaan hayati 77+ 8%. Lebih kurang
40% terikat protein plasma. Diekskresikan terutama dalam kemih.
Hanya 10% berubah menjadi metabolit tak aktif. Klearaesi 8,6% + 0,8
% ml/menit/kg BB dan waktu paruh eliminasi 3.1 + 0,4 jam. Tidak
penetrasi meninge secara utuh, tetapi dapat dideteksi dalam cairan
serebrospina pada penderita dengan meningitis tuberkulosa.
4. Interaksi. Garam Aluminium seperti dalam obat maag, dapat menunda
dan mengurangi absorpsi etambutol. Jika dieprlukan garam alumunium
agar diberikan dengan jarak beberapa jam.
5. Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis
optik.
e. Streptomisin
1. Identitas Sediaan dasar serbuk Streptomisin sulfat untuk Injeksi 1,5
gram / vial berupa serbuk untuk injeksi yang disediakan bersama
dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit.
2. Kerja Obat Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang
membelah. Mekanisme kerja berdasarkan penghambatan sintesa
protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA ribosomal.

21
3. Dinamika / Kinetika Obat Absorpsi streptomisin adalah kadar plasma
dicapai sesudah suntikan im 1 – 2 jam, sebanyak 5 – 20 mcg/ml pada
dosis tunggal 500 mg, dan 25 – 50 mcg/ml pada dosis 1.
Didistribusikan kedalam jaringan tubuh dan cairan otak, dan akan
dieliminasi dengan waktu paruh 2 – 3 jam kalau ginjal normal, namun
110 jam jika ada gangguan ginjal.
4. Interaksi dari Streptomisin adalah dengan kolistin,
siklosporin,Sisplatin menaikkan risiko nefrotoksisitas. Kapreomisin,
dan vankomisin menaikkan ototoksisitas dan nefrotoksisitas,
bifosfonat meningkatkan risiko hipokalsemia, toksin botulinum
meningkatkan hambatan neuromuskuler, diuretika kuat meningkatkan
risiko ototoksisitas, meningkatkan efek relaksan otot yang non
depolarising, melawan efek parasimpatomimetik dari neostigmin dan
piridostigmin.
5. Kontraindikasi: hipersensitifitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lainnya.

II.1.7.2 Efek Samping OAT


Pengobatan tuberkulosis dalam jangka waktu yang lama
dapatmenimbulkan efek samping di tubuh pasien. Efek samping dari
pengobatan tuberkulosis terdiri dari efek samping ringan dan efek
samping berat.

22
Tabel 3. Efek samping ringan OAT
Jenis obat Efek samping Cara mengatasi
R, H, Z Tidak ada nafsu makan, OAT ditelan malam sebelum
mual, dan sakit perut. tidur. Apabila efek samping
masih muncul berikan dengan
sedikit makanan. Apabila
keluhan semakin heb™at
dengan disertai muntah,
waspada efek samping berat.

R Warna kemerahan pada Tidak membahayakan dan tidak


urine. perlu diberikan obat penawar,
tetapi perlu dijelaskan kepada
pasien.

H Kesemutan sampai rasa Berikan vitamin B6 (piridoxin)


terbakar di telapak kaki 50-75mg per hari.
atau tangan.

Z Nyeri sendi. Berikan aspirin, parasetamol


atau NSAID lainnya.
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Tabel 4. Efek samping berat OAT


Jenis obat Efek samping Cara mengatasi
Semua jenis OAT Bingung, mual muntah Semua pemakaian OAT
(dicurigai terjadi diberhentikan dan
gangguan fungsi hati segera lakukan
apabila disertai ikterus). pemeriksaan fungsi
hati.
R, H, Z, S Bercak kemerahan kulit Jika tanpa penyebab
(rash) dengan atau lain, berikan
tanpa rasa gatal. antihistamin serta
pelembab kulit.

23
Apabila masih timbul
rash, semua OAT
diberhentikan dan
dirujuk*
R, H, Z Ikterus tanpa penyebab Semua OAT dihentikan
lain sampai ikterus
menghilang.
R Purpura, renjatan R dihentikan.
(syok), gagal ginjal
akut.
E Gangguan penglihatan E dihentikan.
S Penurunan produksi S dihentikan.
urine, gangguan
pendengaran (tanpa
ditemukan adanya
serumen), gangguan
keseimbangan.
Sumber: Kementerian Kesehatan RI, 2014.

Mengingat perlunya pengobatan tuberkulosis yang harus dilakukan


hingga akhir pengobatan, di fasyankes rujukan dapat dilakukan upaya
mengetahui OAT mana yang menyebabkan terjadinya reaksi dikulit dengan
cara “Drug Challengin” setelah reaksi dapat teratasi yaitu dengan cara
diberikan kembali OAT secara bertahap satu persatu dimulai dengan OAT
yang kecil kemungkinannya dapat menghasilkan reaksi (R atau H) pada dosis
rendah misalnya 50mg isoniazid. Kemudian, dosis OAT ditingkatkan secara
bertahap sampai 3 hari. Apabila tidak timbul reaksi, tambahkan 1 macam
OAT lagi. Tetapi, jika muncul reaksi setelah pemberian OAT tertentu,
menunjukan bahwa OAT yang diberikan tersebut adalah penyebab terjadinya
reaksi pada kulit.

24
II.1.7.3 Hasil Akhir Pengobatan
Pasien tuberkulosis yang telah diberikan pengobatan akan dilakukan
evaluasi pada saat akhir pengobatan untuk mengetahui hasil akhir dari
pengobatan. Hasil akhir pengobatan pada pasien tuberkulosis terdiri dari:
a. Sembuh
Pasien tuberkulosis paru dengan hasil pemeriksaan bakteriologis
positif pada awal pengobatan, kemudian pada sebelum akhir pengobatan
dan pada akhir pengobatan hasil pemeriksaan bakteriologis menjadi negatif.
b. Pengobatan lengkap
Pasien tuberkulosis yang telah menyelesaikan pengobatan secara
lengkap dengan hasil pemeriksaan bakteriologis negatif pada sebelum akhir
pengobatan tetapi tidak ada bukti hasil pemeriksaan bakteriologis pada
akhir pengobatan.
c. Gagal
Pasien dengan hasil pemeriksaan bakteriologis tetap positif atau
kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
atau kapan saja apabila selama masa pengobatan diperoleh hasil
laboratorium yang menunjukan adanya resistensi terhadap OAT.
d. Meninggal
Pasien tuberkulosis yang meninggal oleh karena sebab apapun pada
saat sebelum memulai atau sedang dalam pengobatan.
e. Putus berobat (Default)
Pasien tuberkulosis yang pengobatannya terputus selama dua bulan
terus menerus atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.
f. Tidak dievaluasi
Pasien tuberkulosis yang tidak diketahui hasil akhir pengobatannya.
g. Pindahan (transfer out)
Pasien yang pindah berobat ke unit di kabupaten atau kota lain
dengan register TB 03 dan hasil pengobatannya tidak diketahui oleh unit di
kabupaten atau kota yang ditinggalkan.18

25
II.1.7.5 Evaluasi pengobatan
Beberapa evaluasi yang dilakukan pada pengobatan antara lain adalah :
a. Evaluasi klinik
Dilakukan evaluasi setiap dua minggu pada satu bulan pertama
pengobatan dan selanjutnya dilakukan setiap satu bulan untuk mengetahui
respon pengobatan, ada atau tidaknya efek samping obat serta komplikasi
penyakit. Evaluasi klinik dari keluhan pasien, berat badan dan pemeriksaan
fisik.
b. Evaluasi bakteriologik
Tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui ada atau
tidaknya perubahan jumlah BTA dari spesimen dahak yang dilakukan
sebelum pengobatan dimulai, setelah dua bulan pengobatan, bulan ke-5
pengobatan dan pada akhir pengobatan.
c. Evaluasi radiologik
Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada saat sebelum
pengobatan, setelah dua bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan.
d. Evaluasi efek samping obat
Bila memungkinkan dapat dilakukan pemeriksaan fungsi hati, fungsi
ginjal dan pemeriksaan darah lengkap. Pada pasien anak dan dewasa muda
umumnya tidak diperlukan pemeriksaan tersebut cukup dilakukan
pemeriksaan klinik saja untuk menilai kemungkinan adanya efek samping
obat.
e. Evaluasi keteraturan berobat
Keteraturan berobat merupakan hal yang sangat penting karena jika
pasien tidak teratur dalam menjalankan pengobatannya, maka dapat terjadi
resistensi. Oleh karena itu, penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit
dan keteraturan berobat dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan
lingkungan.
f. Evaluasi penderita yang telah sembuh
Penderita yang telah sembuh tetap dievaluasi minimal dalam dua
tahun pertama setelah sembuh untuk mengetahui resiko kekambuhan.10

26
II.1.7.6 Komplikasi
Beberapa komplikasi yang sering terjadi pada pasien tuberkulosis
diantaranya adalah :
a. Tuberkulosis ekstra paru
Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ
tubuh selain paru. Misalnya, pleura, usus, selaput otak, persendian, dan lain-
lain.10
b. Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah terdapatnya udara bebas di rongga pleura yang
dapat terjadi secara spontan akibat tindakan medis.20
c. Hemaptoe
Hemaptoe adalah suatu gejala atau tanda dari suatu penyakit infeksi
dasar sehingga etiologi harus dicari melalui pemeriksaan yang lebih teliti.
Hemaptoe ini dapat menjadi suatu gejala pada tuberkulosis jika infeksi
tersebut sudah kronik.21
d. Syok sepsis
Syok sepsis adalah Sepsis plus either hypotension ( hipotensi refrakter
yang memerlukan vasopresor setelah diberikan cairan intravena ) atau
hyperlactatemia yang disebabkan oleh adanya infeksi bakteri.23 Sepsis
adalah suatu sindroma klinik yang terjadi sebagai manifestasi proses
inflamasi imunologi karena adanya respon tubuh yang berlebihan terhadap
rangsangan produk mikroorganisme.22
e. Hepatitis
Hepatitis pada pasien tuberkulosis dapat terjadi akibat pengobatan
dengan OAT. Oleh karena itu sering dikatakan sebagai hepatitis imbas
obat.24
II.1.8 Upaya Pengendalian TB
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990 WHO dan
IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi
DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5
komponen kunci, yaitu:10
a. Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan.

27
b. Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin
mutunya.
c. Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien.
d. Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif.
e. Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan
penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program.
WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam
pengendalian TB sejak tahun 1995. Bank Dunia menyatakan strategi DOTS
sebagai salah satu intervensikesehatan yang secara ekonomis sangat efektif (cost-
effective). Integrasi ke dalampelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi
efisiensi dan efektifitasnya. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia
menggambarkan bahwa dengan menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang
digunakan untuk membiayai program pengendalian TB, akan menghemat sebesar
US$ 55 selama 20 tahun.
Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas
diberikan kepadapasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai
penularan TB dan dengandemikian menurunkan insidens TB di masyarakat.
Menemukan dan menyembuhkan pasienmerupakan cara terbaik dalam upaya
pencegahan penularan TB.
5Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program
dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB
partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi Stop TB”, yaitu:
a. Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS
b. Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya
c. Berkontribusi dalam penguatan system kesehatan
d. Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
swasta.
e. Memberdayakan pasien dan masyarakat
f. Melaksanakan dan mengembangkan penelitian

II.1.9 Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi


Salah satu risiko utama terkait dengan penularan TB di tempat pelayanan
kesehatan adalah yang berasal dari pasien TB yang belum teridentifikasi.

28
Akibatnya pasien tersebut belum sempat dengan segera diperlakukan sesuai
kaidah PPI TB yang tepat. Semua tempat pelayanan kesehatan perlu menerapkan
upaya PPI TB untuk memastikan berlangsungnya deteksi segera, tindakan
pencegahan dan pengobatan seseorang yang dicurigai atau dipastikan menderita
TB. Upaya tersebut berupa pengendalian infeksi 4 pilar yaitu:
a. Pengendalian Manajerial
Pihak manajerial adalah pimpinan Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota dan/atau atasan dari institusi
terkait. Komitmen, kepemimpinan dan dukungan manajeman yang efektif
berupa penguatan dari upaya manajerial bagi program PPI TB yang
meliputi:
1) Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB
2) Membuat SPO mengenai alur pasien untuk semua pasien batuk, alur
pelaporan dan surveilans
3) Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif
4) Memastikan desain dan persyaratan bagunan serta pemeliharaannya
sesuai PPI TB
5) Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB (tenaga,
angaran, saran dan prasarana) yang dibutuhkan
6) Monitoring dan evaluasi
7) Melakukan kajian di unit terkait penularan TB
8) Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi masyarakat
terkait PPI TB
b. Pengendalian Administratif
Upaya yang dilakukan untuk mencegah/mengurangi pajanan kuman M.
tuberkulosis kepada petugas kesehatan, pasien, pengunjung dan lingkungan
dengan menyediakan, mendiseminasikan dan memantau pelaksanaan
standar prosedur dan alur pelayanan. Upaya ini mencakup:
1) Strategi TEMPO (Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman,
Obati secara tepat)
2) Penyuluhan pasien mengenai etika batuk

29
3) Penyediaan tisu dan masker, tempat pembuangan tisu serta pembuangan
dahak yang benar
4) Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE
5) Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB
c. Pengendalian Lingkungan
Upaya peningkatan dan pengaturan aliran udara/ventilasi dengan
menggunakan teknologi untuk mencegah penyebaran dan mengurangi/
menurunkan kadar percik renik di udara. Upaya pengendalian dilakukan
dengan menyalurkan percik renik kearah tertentu (directional airflow) dan
atau ditambah dengan radiasi ultraviolet sebagai germisida.
d. Pengendalian dengan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernapasan oleh petugas kesehatan di tempat
pelayanan sagat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar
percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan
lingkungan.

II.1.10 Pencatatan dan Pelaporan Program Nasional Penanggulangan


Tuberkulosis
Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit
pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku. Adapun
formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di Unit Pelayanan
Kesehatan sebagai berikut :10
UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta dll)
dalam melaksanakan pencatatan menggunakan formulir:
 Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
 Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan
dahak(TB.05).
 Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
 Kartu identitas pasien TB (TB.02)
 Register TB UPK (TB.03 UPK)
 Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
 Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).

30
 Register Laboratorium TB (TB.04).
Khusus untuk dokter praktek swasta, penggunaan formulir pencatatan TB
dapat disesuaikan selama informasi survailans yang dibutuhkan tersedia.

II.2 Kedokteran Keluarga


II.2.1 Definisi Kedokteran Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter praktek umum yang menyelenggarakan
pelayanan primer yang komprehensif, kontinu, integratif, holistik, koordinatif,
dengan mengutamakan pencegahan, menimbang peran keluarga dan lingkungan
serta pekerjaannya. Pelayanan diberikan kepada semua pasien tanpa memandang
jenis kelamin, usia ataupun jenis penyakitnya.11
Pelayanan dokter keluarga adalah pelayanan kedokteran yang menyeluruh
yang memusatkan pelayanan kepada keluarga sebagai suatu unit, dimana
tanggung jawab dokter terhadap pelayanan kesehatan tidak dibatasi oleh golongan
umur atau jenis kelamin pasien juga tidak boleh organ tubuh atau jenis penyakit
tertentu.11
Kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap Dokter Keluarga secara garis
besarnya ialah:
a. Menguasai dan mampu menerapkan konsep operasional kedokteran
keluarga.
b. Menguasai pengetahuan dan mampu menerapkan ketrampilan klinik
dalam pelayanan kedokteran keluarga.
c. Menguasai ketrampilan berkomunikasi.
Kedokteran keluarga merupakan disiplin akademik profesional, yaitu
pengetahuan klinik yang diimplementasikan pada komunitas keluarga. Dalam
memberikan pelayanan, idealnya setiap dokter dan khususnya dokter keluarga,
menerapkan ilmu ini. Kedokteran keluarga memiliki kekhususan yaitu:12
Komprehensif dalam ilmu kedokteran, dalam arti tidak membatasi disiplin
ilmu kedokteran tertentu.
1. Komprehensif dalam pelayanan kesehatan.
2. Sasarannya adalah individu yang bermasalah atau yang sakit, namun di
samping menganalisis fungsi organ tubuh secara menyeluruh, juga fungsi
keluarga.

31
3. Disusun secara komunal, sehingga setiap dokter dapat memanfaatkan
sesuai kebutuhan.
4. Bersifat universal terhadap manusia dan lingkungan.

II.2.2 Bentuk Keluarga


Menurut Goldenberg, bentuk keluarga terdiri sembilan macam, antara lain:12
a. Keluarga inti (nuclear family)
b. Keluarga besar (extended family)
c. Keluarga campuran (blended family)
d. Keluarga menurut hukum umum (common law family)
e. Keluarga orang tua tunggal
f. Keluarga hidup bersama (commune family)
g. Keluarga serial (serial family)
h. Keluarga gabungan (composive family)
i. Hidup bersama dan tinggal bersama (co habitation family)

II.2.3 Fungsi dan Siklus Keluarga


Berdasarkan peraturan pemerintah No. 21 Tahun 1994 fungsi keluarga
dibagi menjadi delapan jenis, yaitu fungsi keagamaan, fungsi budaya, fungsi cinta
kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan,
fungsi ekonomi, dan fungsi pembinaan lingkungan. Apabila fungsi keluarga
terlaksana dengan baik, maka dapat diharapkan terwujudnya keluarga yang
sejahtera. Yang dimaksud keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk
berdasarkan perkawinan yang sah, mampu memenuhi kehidupan spiritual, dan
materiil yang layak.12
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ogburn (1969), telah terbukti
adanya perubahan pelaksanaan fungsi keluarga. Olehnya disebutkan, bahwa
keluarga memiliki fungsi:12
a. Fungsi ekonomi
b. Fungsi pelindungan
c. Fungsi agama
d. Fungsi rekreasi
e. Fungsi pendidikan

32
f. Fungsi status sosial
Terdapat 8 tahap pokok yang terjadi dalam keluarga (siklus keluarga),
yaitu:12
a. Tahap awal perkawinan (newly married family)
b. Tahap keluarga dengan bayi (birth of the first child)
c. Tahap keluarga dengan anak usia pra sekolah (family with children in
school)
d. Tahap keluarga dengan anak usia sekolah (family with children in school)
e. Tahap keluarga dengan anak usia remaja
f. Tahap keluarga dengan anak-anak yang meninggalkan keluarga
g. Tahap orang tua usia menengah
h. Tahap keluarga dalam masa pensiun dan lansia

II.2.4 Arti dan Kedudukan Keluarga dalam Kesehatan


Keluarga memiliki peranan yang cukup penting dalam kesehatan. Adapun
arti dan kedudukan keluarga dalam kesehatan adalah sebaga berikut.12
a. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat dan melibatkan mayoritas
penduduk, bila masalah kesehatan setiap keluarga dapat di atasi maka
masalah kesehatan masyarakat secara keseluruhan akan dapat turut
terselesaikan.
b. Keluarga sebagai suatu kelompok yang mempunyai peranan
mengembangkan, mencegah, mengadaptasi, dan atau memperbaiki
masalah kesehatan yang diperlukan dalam keluarga, maka pemahaman
keluarga akan membantu memperbaiki masalah kesehatan masyarakat.
c. Masalah kesehatan lainnya, misalnya ada salah satu anggota keluarga yang
sakit akan mempengaruhi pelaksanaan fungsi-fungsi yang dapat dilakukan
oleh keluarga tersbut yang akan mempengaruhi terhadap pelaksanaan
fungsi-fungsi masyarakat secara keseluruhan.
d. Keluarga adalah pusat pengambilan keputusan kesehatan yang penting,
yang akan mempengaruhi kebrhasilan layanan kesehatan masyarakat
secara keseluruhan.
Keluarga sebagai wadah dan ataupun saluran yang efektif untuk
melaksanakan berbagai upaya dan atau menyampaikan pesan-pesan kesehatan.12

33

Anda mungkin juga menyukai