Anda di halaman 1dari 83

RESUME TUTORIAL

SKENARIO 2

TRAUMA 1

Oleh Tutorial E:

122010101009 Ayu Dilia Novita Sari


122010101012 Defriyana Suwandi Nyoman
122010101013 Ardhina Mahadica Nugroho
122010101014 Galih Putri Wahyuningati
122010101025 Ongky Dyah Anggraini
122010101026 Wildan Triana
122010101038 Komang Dewi Fridayanti
122010101049 Aditha Fitrina A.
122010101062 Nugroho Priyo Utomo
122010101065 Irania Ayunani
122010101071 M. Nadzir A.A.
122010101073 Aditya Widya Pramana
122010101084 Hanif Nur Riestyanto
122010101087 Elisa Ratnasari

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015

2
SKENARIO 2
TRAUMA 1
1. SKENARIO
2 orang pasien korban ledakan tabung gas elpigi di sebuah cafe dikirim
ke UGD rumah sakit . Korban pertama adalah wanita berumur 21 tahun
dengan kondisi tidak sadar dengan suara mengorok dan ditemukan luka
terbuka di bagian temporal dan frontal, serta keluar darah dari hidung
secara masif (Bloody rhinorhea), telinga kanan dan kiri (Bloody otorhea).
Pada bagian tubuhnya tampak baju yang dikenakan sebagian terbakar.
Dokter muda bersama dengan perawat segera melakukan pemeriksaan.
Untuk mempermudah tindakan mereka juga segera membuka seluruh
pakaian yang digunakan dan menutupi dengan selimut. Hasil pemeriksaan
primary survey didapatkan bulu hidung dan bulu mata terbakar ,pasien
segera dilakuan tindakan intubasi dan pemasangan infus dua jalur serta
kateter. Untuk menghentikan sementara perdarahan hidung dilakukan
pemasangan tampon sampai perdarahan berhenti. Setelah semua terpasang
pada pemeriksaan secondary survey ternyata ditemukan selain adanya
trauma kapitis didapatkan adanya luka bakar seluas pada daerah sebagian
dada depan, punggung, serta tangan. Korban kedua adalah seorang wanita,
24 tahun dan tampak lemah dengan jejas pada wajah, dan luka ringan pada
bagian tangan dan kaki. Hasil pemeriksaan primary survey didapatkan
A,B,C : baik, GCS :456 dengan status lokalis : Regio orbita dekstra et
sisnistra : Visus 1/60 dan tak terkoreksi, hematoma palpebra, konjungtiva
bulbi : injeksi siliaris (+), edema kornea+ , Pupil : bulat, refleks cahaya (-),
Fundus : sulit dievaluasi, TIO : meningkat per palpasi. Berdasarkan
pemeriksaan dan tindakan awal yang dilakukan kemudian dokter jaga
tersebut segera melakukan konsul ke konsulen jaga dan hasilnya konsulen
jaga meminta dilakukan konsul ke bidang terkait yaitu bedah saraf, bedah
plastik , THT dan mata.

3
LEARNING OBJECT

Pemeriksaan
primary survey

Sumbatan pada
jalan nafas dan
mannuvernya

Primary Survey Upaya


pembebasan ABC

Shock

Transfusi Sarah

TRAUMA 1 Secondary Survey

Kapitis

Mata
Trauma

THT

4
PRIMARY SURVEY

PEMERIKSAAN PRIMARY SURVEY


Adalah cepat dan koreksi segera terhadap kondisi fungsi organ vital yang
terancam. Pada dasarnya Primary Survey adalah life support dan resusitasi segera
terhadap kelainan yang mengancam jiwa. Dalam waktu kurang dari 2 menit dalam
mengatasi kondisi pasien gawat penolong harus mampu menyimpulkan kondisi
kegawatannya. Pasien kondisi gawat. Airway-nya? Breathing-nya? Circulation-
nya? atau combined kedua atau ketiganya; dan segera bersikap untuk mengatasi
kegawatan tersebut. Tindakan tersebut diharapkan akan memperbaiki, bukan
memperburuk D-Dissability yang tidak lain adalah fungsi kesadaran atau brain
dengan tidak mengesampingkan E-Environment untuk mencegah hipotermia atau
hipertermia dan waspada akan adanya cidera tulang leher pada kasus trauma

Teknik pelaksanaan:
1. Pemeriksaan jalan nafas
Pertama kali harus diyakinkan bahwa kondisi pasien gawat dalam keadaan
sadar atau tidak dengan cara memanggil nama atau bila tidak berespona dapat
dilakukan dengan mencubit atau dengan rangsangan sakit. Memeriksa kondisi
kesadaran pada tahap primary survey ini disebut AVPU. Tahap berikutnya adalah
memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan sistematika A-B-C

A-AIRWAY: JALAN NAFAS


- Adakah suara ngorok?
- Lihat, dengar, raba (look, listen, feel)
- Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
- Atasi segera, bebaskan jalan nafas (Head Tilt, Chin Lift, Jaw Trust;
hati-hati pada trauma, perhatikan adanya tanda cidera tulang leher)
- Penghisapan sekret (Suctioning)

Pengertian Airway Management: tindakan yang dilakukan untuk membebaskan


jalan napas dengan tetap memperhatikan kontrol servikal

5
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh
Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
penolong

Gambar 1. Cara pemeriksaan Look-Listen-Feel (LLF) dilakukan secara simultan.


Cara ini dilakukan untuk memeriksa jalan nafas dan pernafasan.
Tindakan
Membuka jalan nafas dengan proteksi cervikal

 Chin Lift maneuver (tindakan mengangkat dagu)


 Jaw thrust maneuver (tindakan mengangkat sudut rahang bawah)
 Head Tilt maneuver (tindakan menekan dahi)

Gambar dan penjelasan lihat dibawah.


Ingat! Pada pasien dengan dugaan cedera leher dan kepala, hanya dilakukan
maneuver jaw thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.

 Untuk memeriksa jalan nafas terutama di daerah mulut, dapat dilakukan


teknik Cross Finger yaitu dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuk
yang disilangkan dan menekan gigi atas dan bawah.

6
 Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
 Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu
adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas
(apnea)
 Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada
sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.

Gambar 2. Pemeriksaan sumbatan jalan nafas di daerah mulut dengan


menggunakan teknik cross finger

Tanda-tanda adanya sumbatan (ditandai adanya suara nafas tambahan) :

 Mendengkur(snoring), berasal dari sumbatan pangkal lidah. Cara


mengatasi : chin lift, jaw thrust, pemasangan pipa orofaring/nasofaring,
pemasangan pipa endotrakeal.
 Berkumur (gargling), penyebab : ada cairan di daerah hipofaring. Cara
mengatasi : finger sweep, pengisapan/suction.
 Stridor (crowing), sumbatan di plika vokalis. Cara mengatasi :
cricotirotomi, trakeostomi.

2. Membersihkan jalan nafas


Sapuan jari (finger sweep)
Dilakukan bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing pada rongga
mulut belakang atau hipofaring seperti gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya sehingga hembusan nafas hilang.

7
Cara melakukannya :

 Miringkan kepala pasien (kecuali pada dugaan fraktur tulang leher)


kemudian buka mulut dengan jaw thrust dan tekan dagu ke bawah bila otot
rahang lemas (maneuver emaresi)
 Gunakan 2 jari (jari telunjuk dan jari tengah) yang bersih atau dibungkus
dengan sarung tangan/kassa/kain untuk membersihkan rongga mulut
dengan gerakan menyapu.

Gambar 3. Tehnik finger sweep

3. Mengatasi sumbatan nafas parsial


Dapat digunakan teknik manual thrust

 Abdominal thrust
 Chest thrust
 Back blow

Gambar dan penjelasan lihat di bawah!


Jika sumbatan tidak teratasi, maka penderita akan :

 Gelisah oleh karena hipoksia


 Gerak otot nafas tambahan (retraksi sela iga, tracheal tug)
 Gerak dada dan perut paradoksal
 Sianosis
 Kelelahan dan meninggal

8
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS!

 Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas
 Beri oksigen bila ada 6 liter/menit
 Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan,
posisi leher netral
 Nilai apakah ada suara nafas tambahan.

Gambar4. Pasien tidak sadar dengan posisi terlentang, perhatikan jalan nafasnya!
Pangkal lidah tampak menutupi jalan nafas
Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat
tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan
terganjal!

Chin Lift
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan
Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien
kemudian angkat.

Head Tilt
Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh
dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.
Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah
sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun
terangkat ke depan.

9
Gambar 5. tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri
melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.

Jaw thrust
Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi
bawah berada di depan barisan gigi atas

Gambar 6 dan 7. manuver Jaw thrust dikerjakan oleh orang yang terlatih

10
Mengatasi sumbatan parsial/sebagian. Digunakan untuk membebaskan sumbatan
dari benda padat.

Gambar 8. Tampak ada orang yang tersedak atau tersumbat jalan nafasnya

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)


Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.
Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma –
abdomen).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk


Caranya :
- Penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban
dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan
letakkan sisi jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas
pusar dan di bawah ujung tulang sternum.
- Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan
tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan
harus terpisah dan gerakan yang jelas.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)


Caranya :
- Korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas.
Penolong berlutut di sisi paha korban.

11
- Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di
atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua
diletakkan di atas tangan pertama.
- Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah
atas.
- Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi
terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung
melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri


Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.
Caranya :
- Kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar
dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat,
beri tekanan ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat.
- Jika tidk berhasil dapat dilakukan tindakan dengan menekan perut
pada tepi meja atau belakang kursi

Gambar 9. Abdominal Thrust dalam posisi berdiri

Back Blow (untuk bayi)


Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif
atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di
titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)

12
Gambar 10. Back blow pada bayi

Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari
telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua
putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest
thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan

B-BREATHING: PERNAFASAN
Apakah pertukaran hawa nafas adekuat?
- Tidak ada, lakukan resusitasi, bantuan nafas beri O2
- Frekuensi
- Kualitas
- Teratur/tidak

Pengertian Breathing Management: Memperbaiki fungsi ventilasi dengan cara


memberikan pernafasan buatan untuk menjamin kebutuhan oksigen dan
pengeluaran gas CO2.
Tujuan : Menjamin pertukaran udara di paru-paru secara normal.
Diagnosis : Ditegakkan bila pada pemeriksaan dengan menggunakan metode
Look Listen Feel (lihat kembali pengelolaan jalan nafas) tidak ada pernafasan dan
pengelolaan jalan nafas telah dilakukan (jalan nafas aman).
Tindakan

13
Tanpa Alat : Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut
ke hidung sebanyak 2 (dua) kali tiupan awal dan diselingi ekshalasi.
Dengan Alat : Memberikan pernafasan buatan dengan alat “Ambu bag” (self
inflating bag) yang dapat pula ditambahkan oksigen. Dapat juga diberikan dengan
menggunakan ventilator mekanik (ventilator/respirator)

Pemeriksaan pernafasan :

Look -Lihat
- gerak dada
- gerak cuping hidung (flaring nostril)
- retraksi sela iga
- gerak dada
- gerak cuping hidung (flaring nostril)
- retraksi sela iga

Listen -Dengar

- Suara nafas, suara tambahan

Feel -Rasakan
- Udara nafas keluar hidung-mulut

Palpasi -Raba
- gerakan dada, simetris?

Perkusi - Ketuk
- Redup? Hipersonor? Simetris?

Auskultasi (menggunakan stetoskop)


- Suara nafas ada? Simetris? Ronki atau whezing?

Rontgen dada

14
kalau tersedia dan pasien sudah stabil

Menilai pernafasan

 Ada napas? Napas normal atau distres


 Ada luka dada terbuka atau menghisap?
 Ada Pneumothoraks tension?
 Ada Patah iga ganda (curiga Flail Chest) ?
 Ada Hemothoraks?
 Ada emfisema bawah kulit?

Tanda distres nafas

 Nafas dangkal dan cepat


 Gerak cuping hidung (flaring nostril)
 Tarikan sela iga (retraksi)
 Tarikan otot leher (tracheal tug)
 Nadi cepat
 Hipotensi
 Vena leher distensi
 Sianosis (tanda lambat)

Pemberian nafas buatan


- Diberikan sebanyak 12-20 kali/menit sampai dada nampak terangkat.
- Diberikan bila nafas abnormal, tidak usah menunggu sampai apnea
dulu
- Berikan tambahan oksigen bila tersedia.
- Jika udara masuk ke dalam lambung, jangan dikeluarkan dengan
menekan lambung karena akan berisiko aspirasi.
- Nafas buatan dilakukan dengan in-line immobilisation (fiksasi kepala-
leher) agar tulang leher tidak banyak bergerak.

Cara memberikan nafas buatan dari mulut ke mulut


Gambar 1. pada orang dewasa

15
- Untuk memberikan bantuan pernafasan mulut ke mulut, jalan nafas
korban harus terbuka.
- Perhatikan kedua tangan penolong pada gambar masih tetap
melakukan teknik membuka jalan nafas “Chin lift”.
- Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan
menekankan pipi penolong pada hidung korban.
- Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban.
- Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat
pengembangan dada.
- Pemberian pernafasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan
melihat pengembangan dada korban.
- Berikan 1 kali pernafasan selama 1 detik, berikan pernafasan
biasa.kemudian berikan pernafasan kedua selama 1 detik.
- Berikan nafas secara biasa untuk mencegah penolong mengalami
pusing atau berkunang-kunang.
- Untuk bayi dan anak, nafas buatan yang diberikan lebih sedikit dari
orang dewasa, dengan tetap melihat pengembangan dada.
- Usahakan hindari pemberian pernafasan yang terlalu kuat dan terlalu
banyak karena dapat menyebabkan kembung dan merusak paru-paru
korban.
- Konsentrasi oksigen melalui udara ekspirasi mulut sekitar 17 %.

16
Cara memberikan nafas buatan dari mulut ke hidung
- Cara ini direkomendasikan jika pemberian nafas buatan melalui mulut
korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka yang berat pada
mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau
mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.
- Cara memberikan nafas buatan dari mulut ke stoma (lubang
trakeostomi)
- Cara ini diberikan pada pasien trakeostomi. Caranya sama dengan
mulut ke mulut hanya saja lubang tempat masuknya udara adalah
lubang trakeostomi

Pemberian nafas buatan dengan menggunakan alat


Gambar 2. ambubag (bag-valve-masker)

- Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa oksigen
udara bebas, valve/pipa berkatup dan masker yang menutupi mulut dan
hidung penderita.
- Penggunaan ambu bag atau bagging sungkup memerlukan
keterampilan tersendiri.
- Penolong seorang diri dalam menggunakan amb bag harus dapat
mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan mengangkat rahang
bawah, menekan sungkup ke muka korban dengan kuat dan memompa
udara dengan memeras bagging.
- Penolong harus dapat melihat dengan jelas pergerakan dada korban
pada setiap pernafasan.

17
- Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman.
- Salah seorang penolong membuka jalan nafas dan menempelkan
sungkup wajah korban dan penolong lain memeras bagging.
- Kedua penolong harus memperhatikan pengembangan dada korban

Gambar 3. Cara menggunakan ambubag

Ambu bag digunakan dengan satu tangan penolong memegang bag sambil
memompa udara sedangkan tangan lainnya memegang dan memfiksasi masker.
Pada Tangan yang memegang masker, ibu jari dan jari telunjuk memegang
masker membentuk huruf C sedangkan jari-jari lainnya memegang rahang bawah
penderita sekaligus membuka jalan nafas penderita dengan membentuk huruf E.
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari ambu bag sekitar 20 %. Dapat
ditingkatkan menjadi 100% dengan tambahan oksigen.
Untuk kondisi yang mana penderita mengalami henti nafas dan henti jantung,
dilakukan resusitasi jantung-paru-otak.

C-CIRCULATION
Adakah perdarahan?
 Eksternal
Hentikan segera:
- Dengan bebat tekan pada luka
- Elevasi

18
- Kompres es
- Torniquet (hanya pada luka/trauma khusus)
 Internal
Segera kirim. Adakah shock? (paling sering adalah shock hipovolemik)
- Perfusi dingin, basah pucat
- Nadi cepat dan lemah
- Capillary Refill Time > 2 detik

Pengertian Circulatory Management: Tindakan yang dilakukan untuk


mengembalikan fungsi sirkulasi tubuh yang tadinya terhenti atau terganggu
Tujuan : agar sirkulasi darah kembali berfungsi normal
Diagnosis :
Gangguan sirkulasi yang mengancam jiwa terutama jika terjadi henti jantung dan
syok

 Diagnosis henti jantung ditegakkan dengan tidak adanya denyut nadi


karotis dalam waktu 5 – 10 detik. Henti jantung dapat disebabkan kelainan
jantung (primer) dan kelainan di luar jantung (sekunder) yang harus segera
dikoreksi
 Diagnosis syok secara cepat dapat ditegakkan dengan tidak teraba atau
melemahnya nadi radialis/nadi karotis, pasien tampak pucat, ekstermitas
teraba dingin,berkeringat dingin dan memanjangnya waktu pengisian
kapiler (capilary refill time > 2 detik)

Cara meraba nadi carotis :

19
Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada
daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling
dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar
5 – 10 detik.
Tanda-tanda sirkulasi normal :

 Perfusi perifer : teraba hangat, kering


 Warna akral : pink/merah muda
 Capillary refill time : < 2 detik
 Denyut nadi < 100
 Tekanan darah sistole >90-100
 Produksi urine 1 ml/kgBB/jam

Bantuan sirkulasi terdiri dari 2 tahap, yaitu


1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban.
 Ada tidaknya denyut jantung korban dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher korban, dengan 2 atau 3 jari
tangan, raba dengan lembut kira-kira 5-10 detik.
 Jika teraba denyut nadi, penolong harus kembali memeriksa
pernafasan korban. Jika tidak bernafas, lakukan nafas buatan dan
jika bernafas, maka pertahankan jalan nafanya.
2. Memberikan bantuan sirkulasi
Jika tekah dipastikan tidak ada denyut jantung selanjutnya dapat diberikan
bantuan sirkulasi (CPR) dengan teknik sebagai berikut:
 Letakkan keduan tangan tepat di sternum korban, dengan posisi
tangan kanan dan kiri menumpuk.
 Posisi badan tegak lurus

20
21
CONTOH GANGGUAN CIRCULATION :
1.SHOCK (secara umum)
Shock adalah ketidak normalan dari sistem peredaran darah yang
mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat.
Stadium shock dan gejalanya
1. Stadium pre-shock
Cairan darah yang hilang 10-15%, dengan gejala:
 Pusing
 Takikardi ringan
 Systole 90-100 mmHg
 Mengeluh kedinginan
 Kulit pucat
 Urin pekat
2. Stadium ringan
Cairan darah yang hilang 20-25%, gejala:
 Gelisah
 Keringat dingin
 Haus
 Takikardi > 100 kali/menit
 Systole 70-80 mmHg
3. Stadium berat
Cairan darah yang hilang 30-50%, gejala:
 Pucat, dingin
 Hiperpneu
 Kencing kurang
 Nadi tidak teraba
 Systole 0-40 mmHg

D . DISABILITY
- Sadarkah?
- Adakah trauma kepala?

22
- Pada trauma dengan kecurigaan cidera tulang leher pasang collar brace
sebelum dirujuk

Pengertian Disability Management: Menilai adanya gangguan fungsi otak dan


kesadaran (penurunan suplai oksigen ke otak)
Tujuan : Untuk dapat mengetahui fungsi otak/ kesadaran dengan metode AVPU
dan GCS
Prosedur
Metode AVPU :
Penilaian sederhana ini dapat digunakan secara cepat
A = Alert/Awake : sadar penuh
V = Verbal stimulation :ada reaksi terhadap perintah
P = Pain stimulation : ada reaksi terhadap nyeri
U = Unresponsive : tidak bereaksi
Dan penilaian ukuran serta reaksi pupil :
· Ukuran dalam millimeter
· Respon terhadap cahaya / reflek pupil : ada / tidak, cepat atau lambat
Simetris / anisokor

Gambar 1. Menilai Reflek Pupil


Metode Penilaian Derajat Skala Koma Glasgow GCS (Glasgow Coma Scale-
Score) :
Penilaian ini dipakai lebih lanjut. Respon yang diberikan pada penderita adalah
respon nyeri berupa :

23
E-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses)
Nilai
4 : membuka mata spontan (normal)
3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta
2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri
1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri

V-SCORE (memberikan respon jawaban secara verbal/verbal responses)


Nilai
5 : memiliki orientasi baik karena dapat memberi jawaban dengan baik dan benar
pada pertanyaan-pertanyaan yang diajukan (nama, umur, dll)
4 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya seperti bingung
(confused conservation)
3 : memberikan jawaban pada pertanyaan tetapi jawabannya hanya berupa kata-
kata yang tidak jelas (inappropriate words)
2 : memberikan jawaban berupa suara yang tidak jelas bukan merupakan kata
(incomprehensible sounds)
1 : tidak memberikan jawaban berupa suara apapun

M-SCORE (menilai respon motorik ekstremitas/motor responses)


Nilai
6 : dapat menggerakkan seluruh ekstremitas sesuai dengan permintaan
5 :dapat menggerakkan ekstremitas secara terbatas karena nyeri (localized pain)
4 : respon gerakan menjauhi rangsang nyeri (withdrawal)
3 : respons gerak abnormal berupa fleksi ekstremitas.
2 : respons gerak abnormal berupa gerak ekstensi
1 : tidak ada respons berupa gerak

24
Gambar 2. Memberikan rangsang nyeri

Jika ragu dalam menilai GCS, tetapkan suatu nilai yang jika salah tidak
merugikan penderita
- kalau GCS rendah yang berakibat kita harus melakukan tindakan, berikan nilai
rendah.
- kalau GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar
upaya medik
menjadi maksimal.

Skor Verbal Anak


Nilai
5 : bicara jelas atau tersenyum, menuruti perintah
4 : menangis tetapi bisa dibujuk
3 : menangis tidak bisa dibujuk
2 : Gelisah, agitasi
1 : Tidak ada respon

Penilaian GCS pada trauma kapitis :


GCS 15 = kesadaran compos mentis (normal)
GCS 14 = cedera kepala/otak ringan
GCS 9 s/d 13 = cedera kepala sedang
GCS 4 s/d 8 = cedera kapala berat
GCS 3 = koma

25
Tindakan :

 Pada dasarnya ditujukan pada optimalisasi aliran darah sistemik dan aliran
darah otak (perfusi otak) dengan cara mencegah hipotensi, hipoksia dan
mencegah peningkatan tekanan intrakranial
 Bila disebabkan oleh hipertermia, diberikan obat anti piretik dan
pendinginan (cooling)
 Bila disebabkan oleh hipertensi ensefalopati (systole > 200 mmHg)
diberikan obat anti hipertensi

E. ENVIRONMENT

Pada pemeriksaan fisik, lepas semua baju dan celana dan segera selimut
kembali untuk mencegah hipotermia. Apabila korban datang dalam keadaan
kondisi basah, segera keringkan dan selimuti dengan selimut kering
Tempat kejadian perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti
dan/atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan
menurut suatu kesaksian. Dasar pemeriksaan TKP adalah menjawab 6 pertanyaan
(heksameter) yaitu apa yang terjadi, siapa yang tersangkut, dimana dan kapan
terjadi, bagaimana terjadinya, dan dengan apa melakukannya, serta mengapa
terjadi peristiwa tersebut.

Persiapan dokter sebelum ke TKP adalah:


1. Mendapat permintaan pemeriksaan TKP dan jelas akan hal-hal siapa yang
memintanya dating ke TKP, bagaimana permintaan tersebut sampai ke tangan
dokter, waktu permintaan tersebut dibuat, dan lokasi TKP.
2. Informasi tenyang kasus yang terjadi.
3. Perlengkapan yang sebaiknya dibawa :
a. Kamera
b. Lampu kilat
c. Film berwarna dan hitam putih (untuk ruang gelap)
d. Lampu senter

26
e. Lampu ultraviolet
f. Thermometer rectal
g. Thermometer ruangan
h. Amplop
i. Kantong plastic
j. Pinset
k. Scalpel
l. Jarum
m. Tang
n. Kapas
o. Kertas saring
p. Kaca pembesar
q. Label
r. Alat tulis

Tindakan yang dikerjakan dokter di TKP adalah:


1. Menentukan korban masih hidup atau sudah mati
2. Bila masih hidup maka tindakan yang pertama dan utama dokter adalah
menyelamatkan jiwa korban.
3. Bila korban telah mati, maka tugas dokter menegakkan diagnosis
kematian, memperkirakan saat kematian, menemukan dan mengamankan
benda bukti biologis dan medis. Saat kematian diperkirakan dari
penurunan suhu tubuh, lebam mayat, kaku mayat, dan perubahan
postmortal lain. Mayat yang ditemukan dibungkus dengan plastik atau
kantung khusus mayat.
4. Menentukan identitas korban.
5. Membuat jenis luka dan jenis kekerasan serta perkiraan sebab kematian.
6. Membuat sketsa sederhana keadaan TKP.
7. Mencari dan mengumpulkan benda-benda bukti biologis. Benda bukti
berupa pakaian, bercak mani, bercak darah, rambut, obat, anak peluru,
selongsong peluru, senjata diamankan dengan dimasukkan ke dalam
kantong plastic secara hati-hati tanpa meninggalkan jejak sidik jari yang

27
baru. Benda bukti cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Benda
bukti berupa bercak kering di atas dasar keras harus dikerok dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik, bercak pada kain
diambil seluruhnya atau bila sangat besar, benda tersebut digunting dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik. Semua benda bukti
diberi label dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan, saat
penemuan, dan keterangan lain.

Selanjutnya mayat dan benda bukti biologis dikirim ke instalasi


kedokteran forensic atau ke rumah sakit umum setempat. Benda bukti bukan
biologis dapat langsung dikirim ke laboratorium kriminil/forensic kepolisian
daerah setempat.
Hindari tindakan yang dapat mempersulit pemeriksaan atau penyelidikan
seperti :
 Memegang benda di TKP tanpa sarung tangan
 Mengganggu bercak darah
 Membuat jejak baru
 Memeriksa sambil merokok

28
SUMBATAN PADA JALAN NAFAS DAN MANNUVERNYA

Macam-macam sumbatan dan jenis manuver


Dari pemeriksaan Airway dapat diidentifikasi jenis sumbatan dengan
menggunakan “Look listen and feel”

Look: Gerak dada & perut, Tanda distres nafas, Warna mukosa, kulit.
Pada pernafasan yang normal maka antara dada dan perut bergerak bersamaan,
artinya saat dada mengembang maka perut juga mengembang. Hati-hati jika
terjadi sebaliknya atau gerakan dada dan perut yang berkebalikan arah, maka
tanda ini merupakan tanda sebagai obstruksi total dari jalan nafas (see saw).

Listen: Gerak udara nafas dengan telinga

Feel: gerak udara nafas dengan pipi.


Jika pasien sadar, ajak bicara, jika bicara jelas = tak ada sumbatan
Berikan oksigen (jika ada), masker 6 lpm
Jaga tulang leher, baring datar, wajah ke depan, leher posisi netral
Nilai apakah jalan nafas bebas adakah suara crowing, gargling, snoring.

Jenis-jenis suara nafas tambahan karena hambatan sebagian jalan nafas :


a.Snoring :suara seperti ngorok, kondisi ini menandakan adanya kebuntuan jalan
napas bagian atas oleh benda padat, jika terdengar suara ini maka lakukanlah
pengecekan langsung dengan cara cross-finger untuk membuka mulut
(menggunakan 2 jari, yaitu ibu jari dan jari telunjuk tangan yang digunakan untuk
chin lift tadi, ibu jari mendorong rahang atas ke atas, telunjuk menekan rahang
bawah ke bawah). Lihatlah apakah ada benda yang menyangkut di tenggorokan
korban (eg: gigi palsu dll). Pindahkan benda tersebut

b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan
yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di
atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang

29
sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).

c.Crowing: suara dengan nada tinggi, biasanya disebakan karena pembengkakan


(edema) pada trakea, untuk pertolongan pertama tetap lakukan maneuver head tilt
and chin lift atau jaw thrust saja Jika suara napas tidak terdengar karena ada
hambatan total pada jalan napas, maka dapat dilakukan:
a) Back Blow sebanyak 5 kali, yaitu dengan memukul menggunakan telapak
tangan daerah diantara tulang scapula di punggung
b) Heimlich Maneuver,
c) Chest Thrust, dilakukan pada ibu hamil, bayi atau obesitas dengan cara
memposisikan diri seperti gambar lalu mendorong tangan kearah dalam
atas.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich)

Dapat dilakukan dalam posisi berdiri dan terlentang.

Caranya berikan hentakan mendadak pada ulu hati (daerah subdiafragma –


abdomen).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi berdiri atau duduk

Caranya : penolong harus berdiri di belakang korban, lingkari pinggang korban


dengan kedua lengan penolong, kemudian kepalkan satu tangan dan letakkan sisi
jempol tangan kepalan pada perut korban, sedikit di atas pusar dan di bawah ujung
tulang sternum. Pegang erat kepalan tangan dengan tangan lainnya. Tekan kepalan
tangan ke perut dengan hentakan yang cepat ke atas. Setiap hentakan harus
terpisah dan gerakan yang jelas.

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada posisi tergeletak (tidak sadar)

Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas.
Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut
korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang

30
sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke
arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.

Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring
tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung
Paru (RJP).

Abdominal Thrust (Manuver Heimlich) pada yang dilakukan sendiri

Pertolongan terhadap diri sendiri jika mengalami obstruksi jalan napas.

Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar
dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan
ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat
dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi

Back Blow (untuk bayi)

Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif
atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di
titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)

Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)

Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari
telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua
putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukanchest
thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan

31
UPAYA PEMBEBASAN AIRWAY DAN BREATHING

Teknik-teknik mempertahankan airway :


1. Head tilt
Bila tidak sadar, pasien dibaringkan dalam posisi terlentang dan
horizontal, kecuali pada pembersihan jalan napas dimana bahu dan kepala pasien
harus direndahkan dengan posisi semilateral untuk memudahkan drainase lendir,
cairan muntah atau benda asing. Kepala diekstensikan dengan cara meletakkan
satu tangan di bawah leher pasien dengan sedikit mengangkat leher ke atas.
Tangan lain diletakkan pada dahi depan pasien sambil mendorong / menekan ke
belakang. Posisi ini dipertahankan sambil berusaha dengan memberikan inflasi
bertekanan positif secara intermittena (Alkatri, 2007).

32
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut,
ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma
karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.

3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula
sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian
mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).

4. Orofaringeal airway
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada
pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan
pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah
terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara
melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong
pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa
berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-

33
faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan
plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)

5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal
lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih
kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY
jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring
dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga
hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah
bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).

6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan
pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara
lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea

2. Ketidakmampuan mempertahankan airway yang bebas dengan cara – cara


yang lain
3. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi darah atau
vomitus
4. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway

5. Adanya cedera kepala yang membutuhkan bantuan nafas (GCS < 8)

6. Ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan


pemberian oksigen tambahan lewat masker wajah

34
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering
digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang
paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi
yang jelas untuk melakukan airway surgical.

35
SYOK

Langkah pertama dalam menangani syok pada pasien trauma adalah


dengan mengenali gejala syok. Tidak ada tes laboratorium untuk mendiagnosis
syok. Diagnosis lebih didasarkan pada penampilan klinis dari munculnya tanda
tanda perfusi dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok adalah
ketidaknormalan dari sistem sirkulasi yang mengakibatkan tidak adekuatnya
perfusi organ dan oksigenasi jaringan, hal ini menjadi pedoman untuk diagnosis
dan tindakan.
Langkah kedua dalam penanganan awal syok adalah mengidentifikasi
kemungkinan penyebab kondisi syok. Kebanyakan pada pasien trauma yang
menderita syok adalah akibat hypovolemia, namun mereka bisa juga disebabkan
oleh kardiogenik, neurogik atau septic syok. Neurogik syok diakibatkan cidera
berat pada system saraf pusat (CNS) atau medulla spinalis yang bisa diawali tanda
tanda syok. Septic syok jarang ditemukan, namun perlu dipertimbangkan pada
pasien pasien yang terlambat tiba di rumah sakit.

PENATALAKSANAAN AWAL SYOK HEMORAGIK


Upaya diagnosis dan penanganan syok harus dilaksanakan secara
simultan. Penanganan segera dimulai sebagaimana syok hipovolemik sampai
tampak jelas bahwa kausa berbeda. Prinsip penanganan dasar syok adalah stop
perdarahan dan penggantian volume/cairan yang hilang.
1. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan langsung pada diagnosis segera atas
cedera yang mengancam jiwa dan meliputi penilaian ABCDE’s.
Pencatatan data data awal penting untuk memonitor respon pasien
pasien terhadap terapi. Tanda tanda vital, produksi urin dan tingkat
kesadaran merupakan factor penting.
 Airway and Breathing
Menjamin airway yang paten dengan ventilasi dan oksigenasi
yang adekuat merupakan prioritas pertama. Pemberian oksigen
tambahan diberikan untuk mempertahankan saturasi lebih 95%

36
 Sirkulasi – Kontrol Perdarahan
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jelas
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup dan menilai
perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luka luar umumnya dapat
langsung di tekan dengan bebat langsung pada tempat
perdarahan.
Kecukupan perfusi jaringan menentukan jumlah resusitasi yang
diperlukan. Mungkin diperlukan tindakan operasi untuk
mengkontrol perdarahan dalam.
 Disability – Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologi singkat dapat menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata, respon pupil, serta fungsi motorik
dan sensorik. Informasi ini sangat berguna dalam menilai
perfusi otak untuk mengikuti perkembangan kelainan
neurologis dan meramalkan pemulihan selanjutnya. Perubahan
fungsi system saraf sentral pada pasien-pasien hipotensi akibat
syok hipovolemic tidak selalu disebabkan oleh cedera
intracranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otang yang
kurang adekuat. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus
dicapai sebelum menganggap bahwa penemuan-penemuan
tersebut berasal dari intracranial.
 Exposure – Pemeriksaan Lengkap
Setelah tindakan prioritas penyelamatan nyawa telah
dilaksanakan, pasien harus ditelanjangi dan diperiksa dengan
seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mencari
cedera-cedera yang menyertai. Ketika menelanjangi pasien,
penting ungtuk mencegah timbulnya hipotermia. Penggunaan
penghangat-penghangat cairan seperti halnya pada teknik
penghangatan eksternal aktif dan pasif, penting untuk
mencegah hipotermia.
2. Pemasangan Kateter Urin

37
Kateterisasi kandung kencing digunakan untuk penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi terhadap perfusi ginjal dengan
memonitoring produksi urin. Darah pada meatus uretra atau prostat
letak tinggi, mobile atau tidak tersentuh pada pria merupakan
kontraindikasi mutlak untuk pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh.
3. Akses Vaskuler
Akses pada system pembuluh darah harus didapatkan dengan benar.
Hal yang paling baik dilakukan adalah memasang 2 kateter intravena
ukuran besar (minimum nomor 16) pada vena perifer sebelum
mempertimbangkan jalur vena central. Dengan demikian kateter
intravena yang pendek dan caliber besar merupakan pilihan tepat untuk
dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dengan cepat.
Penghangat cairan dan pompa infuse dapat digunakan pada perdarahan
massif dan hipotensi berat.
Tempat terbaik untuk intravena perifer orang dewasa adalah lengan
bawah atau kubiti. Bila keadaan tidak memungkinkan penggunaan
pembuluh darah perifer maka gunakan pembuluh darah central ( vena
femoralis, jugularis) dengan menggunakan teknik Seldinger atau
melakukan vena seksi pada safena di kaki, tergantung tingkat
keterampilan dan pengalaman dokternya.
Bila kateter intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk
pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan
laboratorium yang sesuai pemeriksaan toksikologi dan test kehamilan
pada semua wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga dapat
dilakukan pada saat ini.
Foto thoraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena
subclavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisi kateter
dan mengevaluasi kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau
hemotoraks.
4. Terapi Cairan Awal

38
Larutan elektronik isotonic misalnya ringer laktat atau normal saline
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume
intravaskuler dalam waktu yang singkat dan juga menstabilkan volume
vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang
hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Alternatif cairan
awal adalah dengan larutan garam hipertonik, walaupun menurut
kepustakaan terbaru belum tentu menguntungkan.
Tahap awal bolus cairan diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1
hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak anak. Respon
pasien diobservasi selama pemberian cairan awal ini dan keputusan
terapi dan diagnosis selanjutnya didasarkan pada respon ini.

39
TRANSFUSI DARAH

Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah
dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem
kardiovaskuler, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler dan komponen
cairan.
Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat
multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keeping trombosit,
yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum
tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika
masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara
berkala pada waktu-waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti,
diperbarui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut
plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar
dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan
elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai
fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.

Peran penting darah adalah:


a. Sebagai organ transportasi, khususnya oksigen (O2), yang dibawa dari
paru dan diedarkan ke seluruh tubuh dan kemudian mengangkut sisa
pembakaran (CO2) dari jaringan untuk dibuang keluar melalui paru.
Fungsi pertukaran O2 dan CO2 ini dilakukan oleh hemoglobin, yang
terkandung dalam sel darah merah. Protein plasma ikut berfungsi sebagai
sarana transportasi dengan mengikat berbagai materi yang bebas dalam
plasma, untuk metabolism organ-organ tubuh.
b. Sebagai orgam pertahanan tubuh (imunologik), khususnya dalam menahan
invasi berbagai jenis mikroba pathogen dan antigen asing. Tranfusi darah
adalah salah satu rangkaian proses pemindahan darah donor ke dalam
sirkulasi darah resipien sebagai upaya pengobatan.Mekanisme pertahanan
ini dilakukan oleh leukosit (granulosit dan limfosit) serta protein plasma
khusus (immunoglobulin)

40
c. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis)
sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi
kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.

Apabila terjadi pengurangan darah yang cukup bermakna dari komponen


darah korpuskuler maupun non korpuskuler akibat kelainan bawaan ataupun
karena penyakit yang didapat, yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme
homeostasis tubuh dalam waktu singkat maka diperlukan penggantian dengan
tranfusi darah, khususnya dari komponen yang diperlukan.

Definisi dan Tujuan Tranfusi Darah


Tranfusi darah adalah suatu rangkain proses pemindahan darah donor ke
dalam sirkulasi dari resipien sebagai upaya pengobatan. Bahkan sebagai upaya
untuk menyelamatkan kehidupan. Berdasarkan asal darah yang diberikan tranfusi
dikenal 1. Homologous tranfusi (berasal dari darah orang lain), 2. Autologous
tranfusi (berasal dari diri sendiri).
Tujuan tranfusi darah adalah :
a. Mengembalikan dan mempertahankan volume yang normal peredaran
darah
b. Menggantikan kekurangan komponen seluler atau kimia darah
c. Meningkatkan oksigenasi jaringan
d. Memperbaiki fungsi homeostasis
e. Tindakan terapi khusus

Tranfusi Darah dalam Klinik


Darah dan berbagai komponen- komponen darah, dengan kemajuan
teknologi kedokteran, dapat dipisah- pisahkan dengan suatu proses dan
ditransfusikan secara terpisah sesuai kebutuhan. Darah dapat pula disimpan dalam
bentuk komponen-komponen darah yaitu: eritrosit, leukosit, trombosit, plasma
dan factor- factor pembekuan darah dengan proses tertentu yaitu dengan
Refrigerated Centrifuge.

41
Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih
dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood). Dasar
pemikiran penggunaan komponen darah: (1) lebih efisien, ekonomis, memperkecil
reaksi transfusi, (2) lebih rasional, karena (a)darah terdiri dari komponen seluler
maupun plasma yang fungsinya sangat beragam, serta merupakan materi biologis
yang bersifat multiantigenik, sehingga pemberiannya harus memenuhi syarat-
syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas yang baik, (b) transfusi selain
merupakan live saving therapy tetapi juga replacement therapy sehingga darah
yang diberikan haruslah safety blood.
Kelebihan terapi komponen dibandingkan dengan terapi darah lengkap: a.
disediakan dalam bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi; b.
resiko reaksi imunologik lebih kecil; c. Pengawetan; d. penularan penyakit lebih
kecil; e. aggregate trombosit dan leukosit dapat dihindari; f. pasien akan
memerlukan komponen yang diperlukan saja; g. masalah logistic lebih mudah; h.
pengawasan mutu lebih sederhana.

Indikasi Tranfusi Darah


Secara garis besar Indikasi Tranfusi darah adalah :
a. Untuk mengembalikan dan mempertahankan suatu volume peredaran
darah yang normal, misalnya pada anemia karena perdarahan, trauma
bedah, atau luka bakar luas.

b. Untuk mengganti kekurangan komponen seluler atau kimia darah,


misalnya pada anemia, trombositopenia, hipotrombinemia, dan lain-lain.

Keadaan yang memerlukan Tranfusi darah :


a. Anemia karena perdarahan, biasanya digunakan batas Hb 7-8 g/dL. Bila
telah turun hingga 4,5 g/dL, maka penderita tersebut telah sampai kepada
fase yang membahayakan dan tranfusi harus dilakukan secara hati-hati.

b. Anemia haemolitik, biasanya kadar Hb dipertahankan hingga penderita


dapat mengatasinya sendiri. Umumnya digunakan patokan 5g/dL. Hal ini
dipertimbangkan untuk menghindari terlalu seringnya tranfusi darah
dilakukan.

42
c. Anemia aplastik, Leukimia dan anemia refrekter, Anemia karena sepsis

Prosedur Pelaksanaan Tranfusi Darah


Perlu diperhatikan :
a. Identitas pasien harus dicocokan secara lisan maupun tulisan

b. Identitas dan jumlah darah dalam kemasan dicocokkan dengan formulir


permintaan darah

c. Tekanan darah, frekuensi denyut jantung dan suhu harus diperiksa


sebelumnya, serta diulang secra rutin.

d. Observasi ketat, terutama pada 15menit pertama setelah tranfusi darah


dimulai.

e. Sebaiknya 1unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status
kardiovaskuler dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat
kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar.

Tranfusi Eritrosit
Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan.
Eritrosit diberikan untuk meningkatkan kapasitas oksigen dan mempertahankan
oksigenasi jaringan. Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan
untuk mengobati anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi
jaringan. Pada anemia akut, penurunan nilai Hb dibawah 6 g/dl atau kehilangan
darah dengan cepat >30% - 40% volume darah, maka umumnya pengobatan
terbaik adalah dengan transfusi sel darah merah(SDM). Pada anemia kronik
seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi SDM dimaksudkan untuk
mencegah komplikasi akut maupun kronik. SDM juga diindikasikan pada anemia
kronik yang tidak responsive terhadap obat- obatan farmakologik. Transfusi SDM
pra- bedah perlu dipertimbangkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan
segera (darurat), bila kadar Hb < 6g/dL. Transfusi tukar ini diindikasikan terutama
pada neonatus dengan ABO incompatibility atau hiperbilirubinemia yang tidak

43
memberikan respon adekuat dengan terapi sinar. Indikasi yang lebih jarang adalah
DIC / pengeluaran toksin seperti pada sepsis.
Biasanya satu/ dua volume darah diganti. Faktor-faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar Hb adalah: (1) Gejala,
tanda, dan kapasitas vital dan fungsional penderita, (2) Ada atau tidaknya
penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat, (3) Penyebab dan antisipasi
anemia, (4) Ada atau tidaknya terapi alternatif lain.
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar
eritrosit yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan
dalam antikoagulan/medium pengawet pada nilai hematokrit kira-kira 60%. Dosis
biasa adalah 10 – 15 ml/Kg, tetapi volume transfusi sangat bervariasi, tergantung
pada keadaan klinis (misalnya perdarahan terus menerus atau hemolisis). Untuk
neonatus, produk pilihan adalah konsentrat PRC (Ht 70 – 90%) yang diinfuskan
perlahan-lahan (2 – 4 jam) dengan dosis kira-kira 15 ml/KgBB.

Kebutuhan darah (ml)= BB(kg)x6x(Hb target-Hb tercatat)

Di bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM Jakarta, dosis yang


dipergunakan untuk menaikkan Hb adalah dengan menggunakan modifikais
rumus empiris sebagai berikut:
Bila yang digunakan sel darah merah pekat (packed red cells), maka
kebutuhannya adalah 2/3 dari darah lengkap, menjadi:
Untuk anemia BB
yang(kg)
bukan
x 4 xkarena perdarahan,- maka
(Hb diinginkan teknis pemberiannya
Hb tercatat)
adalah dengan tetesan. Makin rendah Hb awal makin lambat tetesannya dan
makin sedikit volume sel darah merah yang diberikan.

Tranfusi Suspensi Trombosit


Suspensi trombosit dapat diperoleh dari 1 unit darah lengkap segar donor
tunggal, atau dari darah donor dengan cara/ melalui tromboferesis. Komponen ini
masih mengandung sedikit sel darah merah, leukosit, dan plasma. Komponen ini
ditransfusikan dengan tujuan menghentikan perdarahan karena trombositopenia,

44
atau untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan
trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan invasive.
Indikasi transfusi trombosit pada anak dan bayi dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Anak-anak dan remaja
 Trombosit <10x109/L dan perdarahan

 Trombosit <10x109/L dan prosedur invasif

 Trombosit <20x109/L dan kegagalan sumsum tulang dengan faktor risiko


perdarahan tambahan

 Defek trombosit kumulatif dan perdarahan atau prosedur invasive

Bayi berusia < 4 bulan


 Trombosit <100x109/L dan perdarahan

 Trombosit <50x109/L dan prosedur invasif

 Trombosit <20x109/L dan secara klinis stabil

 Trombosit <100x109/L dan secara klinis tidak stabil

Transfusi trombosit harus diberikan kepada penderita dengan angka


trombosit <50x109/L, jika ada perdarahan atau direncanakan untuk mengalami
prosedur invasif. Penelitian pada penderita trombositopenia dengan gagal sumsum
tulang menunjukkan bahwa perdarahan spontan meningkat tajam jika trombosit
turun menjadi <20>9/L. Dengan alasan ini maka banyak dokter anak
menganjurkan transfusi trombosit profilaksis untuk mempertahankan trombosit
>20 x109/L pada anak dengan trombositopenia karena gagal sumsum tulang.
Pemberian komponen ini sebagai profilaksis pada pasien tanpa perdarahan
terutama menjadi kontroversi bidang onkologi pediatric. Angka tersebut juga
menimbulkan kontroversi karena banyak ahli memilih transfusi pada batas 5-
10x109/L untuk penderita tanpa komplikasi. Meskipun demikian, transfusi dengan
komponen ini mutlak

45
diperlukan oleh pasien leukemia akut yang sedang menjalani kemoterapi, dan
mengalami trombositopenia berat (trombosit <>2 , dengan perkiraan setiap unit
trombosit akan dapat meningkatkan jumlah trombosit sebesar 10.000/m2.

Tranfusi Plasma Segar Beku (fresh frozen plasma)


Plasma segar beku adalah bagian cair dari darah lengkap yang dipisahkan
kemudian dibekukan dalam waktu 8 jam setelah pengambilan darah. Hingga
sekarang, komponen ini masih diberikan untuk defisiensi berbagai factor
pembekuan. (Bila ada/ tersedia, harus diberikan factor pembekuan yang spesifik
sesuai dengan defisiensinya).
Plasma beku segar ditransfusikan untuk mengganti kekurangan protein
plasma yang secara klinis nyata, dan defisiensi faktor pembekuan II, V, VII, X
dan XI. Kebutuhan akan plasma beku segar bervariasi menurut faktor spesifik
yang akan diganti.
Komponen ini dapat diberikan pada trauma dengan perdarahan hebat atau
renjatan (syok), penyakit hati berat, imunodefisiensi tanpa ketersediaan preparat
khusus, dan pada bayi dengan enteropati disertai kehilangan protein (protein
losing enteropathy). Meskipun demikian, penggunaan komponen ini sekarang
semakin berkurang. Dan bila diperlukan, maka dosisnya 20-40 ml/ kgBB/hari.
Indikasi lain transfusi plasma beku segar adalah sebagai cairan pengganti
selama penggantian plasma pada penderita dengan purpura trombotik
trombositopenik atau keadaan lain dimana plasma beku segar diharapkan
bermanfaat, misalnya tukar plasma pada penderita dengan perdarahan dan
koagulopati berat. Transfusi plasma beku segar tidak lagi dianjurkan untuk
penderita dengan hemofilia A atau B yang berat, karena sudah tersedia konsentrat
faktor VIII dan IX yang lebih aman. Plasma beku segar tidak dianjurkan untuk
koreksi hipovolemia atau sebagai terapi pengganti imunoglobulin karena ada
alternatif yang lebih aman, seperti larutan albumin atau imunoglobulin intravena.
Indikasi transfusi plasma beku segar untuk neonatus meliputi:
a. Mengembalikan kadar eritrosit agar mirip darah lengkap untuk
kepentingan transfusi masif, misalnya pada transfusi tukar atau bedah
jantung;

46
b. Perdarahan akibat defisiensi vitamin K;

c. Koagulasi intravaskuler diseminata (DIC) dengan perdarahan;

d. Perdarahan pada defisiensi faktor koagulasi kongenital bila terapi yang


lebih spesifik tidak tersedia atau tidak memadai.

Bayi, anak dan remaja:


 Defisiensi faktor pembekuan darah yang berat dan perdarahan

 Defisiensi faktor pembekuan dan prosedur invasif

 Pembalikan darurat efek warfarin

 Koagulopati pengenceran dan perdarahan

 Penggantian protein antikoagulan (antitrombin-III, Protein C, dll)

 Cairan pengganti tukar plasma untuk purpura trombotik trombositopenik

Konsentrat factor VIII (factor anti hemofilia A)


Komponen ini merupakan preparat kering yang mengandung konsentrat
factor VIII, prokoagulan, yang diperoleh dari kumpulan (pooled) plasma dari
sekitar 2000-30.000 donor. Hasil dimurnikan dengan teknik monoclonal, dan
dilakukan penonaktifan virus melalui misalnya pemanasan (heattreated).
Pengemasan dalam botol berisi 250 dan 1.000 unit. Dosis pemberian sama
dengan kriopresipitat.
Kompleks factor IX
Komponen ini disebut juga kompleks protrombin, mengandung factor
pembekuan yang tergantung vitamin K, yang disintesis di hati, seperti factor VII,
IX, X, serta protrombin. Sebagian ada pula yang mengandung protein C.
Komponen ini biasanya digunakan untuk pengobatan hemofilia B. Kadang
diberikan pada hemofilia yang mengandung inhibitor factor VIII dan pada
beberapa kasus defisiensi factor VII dan X. Dosis yang dianjurkan adalah 80-100
unit/kgBB setiap 24 jam.2,3
Albumin

47
Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara
fraksionisasi Cohn. Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan
dapat segera meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk
hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan
neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan, misal
pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam bentuk larutan albumin
5%.
Imunoglobulin
Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma,
dan yang baku diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang
hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti
varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan untuk mengatasi
imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi bakteri yang tidak
dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan adalah
1-3 ml/kgBB.

48
SECONDARY SURVEY

1. HEENT (Head, eyes, ears, nose and throat)

Nilai bukti fraktur basila → adanya Battle’s sign (ekimosis pada


mastoid), raccoon eyes ( ekimosis pada mata) atau hemotimpani ( darah
di belakang eardrum)

Nilai adanya depresi fraktur tengkorak dengan palpasi hati-hati, benda


asing dan fragment tulang, jangan dimanipulasi!

Nilai cedera wajah dengan palpasi tulang wajah

Lihat adanya laserasi

Tentukan kemampuan visual dan nilai fungsi dan ukuran pupil, cedera
pada struktur mata

Nilai septum nasal jika mungkin ada hematoma

2. Cervical Spine/Neck

Palpasi cervical spine

Cari adanya penetrating injury

Evaluasi emfisema subkutis

3. Chest

Palpasi sternum, klavikula dan costae untuk adanya krepitasi atau


tenderness, emfisema subkutis

Cari adanya memar atau deformitas

4. Abdomen

Nilai adanya distensi, nyeri, rebound tenderness

Ekimosis pada pinggul→ mungkin perdarahan retroperitoneal

49
Adanya seat belt sing→ resiko injury intraperitoneal

5. Back

Palpasi vertebra untuk kemungkinan adanya nyeri pada prosesus

Nilai adanya cedera tersembunyi di aksila, di bawah cervical collar dan di


regio gluteal

6. Pelvis

Palpasi simfisis pubis  krepitasi atau pelebaran

Ada fraktur atau tidak

7. Perineum

Ada tidaknya ekimosis, fraktur atau urethral disruption

8. Urethra

Ada tidak darah di urethral meatus

9. Rectum

pemeriksaan rectal diperlukan untuk menilai tonus sfingter selama


pemeriksaan neurologist

fraktur pelvis mungkin menyebabkan laserasi dinding rectal dan


perdarahan rectal

jika pada pemeriksaan dengan jari didapat darah maka curiga ada
perdarahan usus

10. Vagina

50
Untuk mencarai adanya fraktur, laserasi dan darah

11. Ekstremitas

Re-check status vaskuler dari masing-masing ekstremitas, termasuk


pulsasi, warna, pengisian kapiler, dan temperatur

Inspeksi setiap inci dan palpasi setiap tulang dan cek gerakan sendi.

Cek adanya deformitas, krepitasi, nyeri

12. Neurologic

Ulangi penialain GCS, reevaluasi pupil, pemeriksaan nervus sensoris dan


motorik, refleks tendon dan respon plantar

ANAMNESIS

Pada pasien cedera setelah kita pastikan patensi jalan nafas maka dapat kita
lakukan penggalian riwayat trauma.Bagaimana kejadian, proses, waktu, psosisi
penderita asaat trauma, dll.

PEMERIKSAAN LANJUTAN

1. Hitung darah lengkap

2. Koagulasi

3. Elektrolit dan fungsi renal

4. Analisa gas darah

51
5. Urinalisis

6. Radiologi

7. CT scan

8. Angiografi, dll

Kegawatdaruratan Neurologis

Salah satu bentuk kegawatdaruratan medis adalah kegawatdaruratan neurologis


(neurologic emergencies). Menurut Carroll LS dan Lorenzo N (2007) ada
sembilan jenis yg termasuk kegawatdaruratan neurologis, yaitu:

1. Perubahan status mental dan koma (altered mental status and coma) =
Penurunan kesadaran

2. Sakit kepala (headache)

3. Kecelakaan serebrovaskuler (cerebrovascular accident), yg berupa: stroke dan


TIA (Transient Ischemic Attacks)

4. Vertigo

5. Serangan/bangkitan kejang (seizures), yg berupa: epilepsi dan status


epileptikus.

6. Neuropati perifer (peripheral neuropathies)

7. Sklerosis multipel (multiple sclerosis)

8. Gangguan otot (muscle disorders)

9. Neuroleptics malignant syndrome (NMS)

Satu dari sembilan kegawatdaruratan neurologis adalah perubahan status


mental dan koma. Penyebab dari perubahan status mental dan koma, yaitu
AEIOU TIPS:

1. Alcohol (termasuk obat-obatan/drugs dan zat beracun/toxin)

2. Endocrine dan environmental (lingkungan)

52
a) Penyebab endokrin misalnya: hyperammonemia, ketidaknormalan
elektrolit (misalnya: hiponatremia), hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.

b) Penyebab lingkungan misalnya: hipotermia dan hipertermia.

3. Insulin poisoning (keracunan insulin) dan Impaired glucose utilization


(penggunaan glukosa melemah).

4. Oxygen deprivation (kehilangan/kekurangan oksigen = hipoksemia) dan


opiate poisoning (keracunan opiat).

5. Uremia

6. Trauma (kecelakaan), misalnya hipoperfusi dan trauma serebral menyebabkan


perubahan status mental.

7. Infection (infeksi), misalnya: meningitis dan ensefalitis.

8. Psychiatric causes (penyebab psikiatris) dan Porphyria (porfiria).


Menghubungkan perubahan status mental dengan penyebab
psikiatris/kejiwaan merupakan diagnosis of exclusion.

9. Space-occupying lesions (SOL), yg menimbulkan (induce) perubahan


kesadaran atau koma dengan melibatkan hemisfer kortikal bilateral atau
menekan reticular activating system.

53
TRAUMA

TRAUMA KAPITIS
Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
 Skinatau kulit
 Connective Tissueatau jaringan penyambung
 Aponeurosisataugalea aponeurotika
 Loose areolar tissueatau jaringan penunjang longgar
 Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotikadariperikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah
(hematoma subgaleal).Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darahsehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-
anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibatproses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior, fosa media, dan fosa
posterior.Fosa anterior adalah tempat lobusfrontalis, fosa media adalah
tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah
batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu duramater, araknoid dan piamater.Duramater adalah selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada selaput

54
araknoid di bawahnya, maka terdapatsuatu ruangpotensial (ruang subdural)
yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapatmengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural.Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis (fosa media).Dibawah duramater terdapat
lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut
lapisan araknoid.Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri.Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang
subaraknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri
yaitu lipatan duramater dari sisiinferior sinus sagitalis superior.Pada
hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.Lobus
frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur
fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan.Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata.Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya.Lesi yang kecil saja pada batang otak

55
sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.Serebelum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak,
dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksuskhoroideusdengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel
lateral melalui foramen monromenuju ventrikel III kemudian melalui
aquaductus sylviimenuju ventrikel IV.Selanjutnya CSS keluar dari sistem
ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).

56
GCS
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat
kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah proses membuka mata (Eye
Opening), reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response), dan reaksi
bicara (Best Verbal Response).Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala
disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Eye Opening
Membuka mata spontan 4
Buka mata bila ada rangsangan suara atau 3
sentuhan ringan
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Verbal Response
Orientasi baik 5
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi) 4
Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk 3
kalimat (teriakan)
Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2

57
Tidak ada respon sama sekali 1
Motoric Response
Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :
 Cedera kepala ringan : GCS 14 – 15
 Cedera kepala sedang : GCS 9 – 13
 Cedera kepala berat : GCS 3
1. Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,
tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.Trauma kepala
ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera
kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi danabrasi. Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan
atau terkena benda tumpul.Cedera kepala ringanadalah cedera kepala
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada
penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala
ringan 1,59 mmol/L.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
- Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
- Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
- Mual atau dan muntah.
- Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
- Perubahan keperibadian diri.
- Letargik.

58
2. Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9-12, lesi operatif dan abnormalitas
dalamCT-scandalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana. Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat
bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
3. Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit.Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan. Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertaidengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan
cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis
otak.Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata
asam lakt at 3,25 mmol/L.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
- Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan
di otak menurun atau meningkat.
- Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
- Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
- Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas.

Macam-macam trauma kapitis


Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-

59
deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesikontusio “countercoup”.Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma
kapitis adalah akselerasi rotatorik.Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,countercoup, dan
intermediate.Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otakmembentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel.Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti.Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.

60
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek.Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul.Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS)digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidakmembuka mata ataupun tidak bersuara
maka nilai GCSnya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau
kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai
GCS 14-15dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan, klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injuryyaitu :
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13–15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
Amnesia post traumatik≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9-12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3–8
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium

61
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT scan dengan teknik “bonewindow” untuk
memperjelas garis frakturnya.Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulitkepala dengan permukaan otak
karena robeknya selaput dura.Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup
berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
 Gambaran fraktur, dibedakan atas :
- Linier
- Diastase
- Comminuted
- Depressed
 Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
- Calvarium/Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
- Basis cranii ( dasar tengkorak )
 Keadaan luka, dibedakan atas :
- Terbuka
- Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
 Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scannormal
sampai kondisi yang sangat buruk.Pada konkusi, penderita
biasanya kehilangan kesadaran dan mungkinmengalami
amnesiaretro/anterograd.Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah

62
trauma.Pada beberapa kasus, CT scansering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah
Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma
otak berat denganprognosis yang buruk.Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan
terlihat pada manifestasi klinisnya.
 Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveksatau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo
parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya
arterimeningea media akibat fraktur tulang tengkorak.

63
 Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural.Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena
kecil di permukaan korteks serebri.Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.Biasanya
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.

64
 Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak.Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan
intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.

65
66
TRAUMA MATA

A. Definisi
Trauma okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopakmata, saraf mata, dan rongga orbita.
Kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata
sebagai indra penglihat. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata,
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan
kebutaan bahkan kehilangan mata (Asbury, 2009).

B. Etiologi
Trauma pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah
terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Macam-macam bentuk trauma pada mata adalah sebagai berikut (Lang,
2006):
1. Mekanik
a. Trauma tumpul, misalnya terpukul, terkena bola, penutup botol
b. Trauma tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, dan peralatan
pertukangan.
2. Kimia
a. Trauma kimia basa, misalnya sabuncuci, sampo, bahan pembersih
lantai, kapur, atau lem.
b. Trauma kimia asam, misalnya cuka, bahan asam-asam di laboratorium.
3. Radiasi
a. Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.
b. Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi

C. Tanda dan Gejala


Gejala pada trauma okuli bergantung pada jenis trauma serta berat dan
ringan trauma, yaitu (James, 2005)

67
1. Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai
tertinggalnya benda asing di dalam mata. Benda asing yang tertinggal
dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam
besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan
tidak beracun seperti pasir, kaca. Namun bahan tidak beracun dapat pula
menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman.
2. Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan
penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan di dalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau hingga terputusnya saraf penglihatan
sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
3. Trauma kimia basa umumnya memperlihatkan gejala lebih berat daripada
trauma kimia asam. Mata nampak merah, bengkak, keluar air mata
berlebihan dan penderita nampak sangat kesakitan, trauma basa akan
berakibat fatal karena dapat menghancurkan jaringan mata atau kornea
secara perlahan.
4. Trauma Radiasi
a. Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan
menyebabkan kromatolisis sel.
b. Reaksi pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa
sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar
dari pembuluh darah maka terjadi edema.
c. Reaksi jaringan. Reaksi jaringan ini biasanya berupa robekan pada
kornea, sklera dan sebagainya).
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada kejadian trauma okuli
adalah sebagai berikut (Ilyas, 2012):
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya
kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma
tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata.
2. Memar pada sekitar mata

68
Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra.
Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami
fraktur basis kranii.
3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak
Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang
pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di
segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat
terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.
4. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena
robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak
bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.
5. Mata bewarna merah
Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan
pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah
sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan
subkonjungtiva.
6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata
Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada
palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri
pada mata.
7. Sakit kepala
Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga
menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat
menyebabkan sakit kepala.
8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata
Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun
segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan
mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan
peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan
pada mata.
9. Fotopobia

69
Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama
adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea,
benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang
masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau
pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah
lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil
dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata

D. Patofisiologi
Berdasarkan mekanismenya, trauma oculi dapat dibagi menjadi tiga,
yakni trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi. Trauma dapat disebakan
karena adanya benda asing yang masuk atau mengenai mata. Trauma tumpul
dapat menyebabkan kompresi jaringan secara langsung (coup) dan efek yang
ditimbulkan pada bagian berlawanan dari bagian yang terkena trauma
(conter-coup). Coup dan conter-coup ini mengakibatkan perpindahan
diafragma lensa dan iris, makular edema, ruptur koroid, fraktur orbita,
laserasi, dan hematoma. Perpindahan diafragma lensa dan iris menyebabkan
struktur dan pembuluh darah yang berada di iris memisah sehingga darah
masuk ke camera oculi anterior. Masuknya darah ke camera oculi anterior ini
menyebabkan terjadinya hifema dan penurunan tajam penglihatan. Ruptur
koroid menyebabkan adanya perdarahan subretina yang akan menstimulasi
terjadinya neovaskularisasi sehingga dapat mengakibatkan pemisahan retina
dan penurunan tajam penglihatan. Laserasi kelopak mata dapat menyebabkan
kerusakan pada muskulus levator palpebra. Adanya kelemahan pada
muskulus inilah yang dapat menyebabkan ptosis. Laserasi konjungtiva
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva yang pada akhirnya juga akan
menyebabkan adanya penurunan tajam penglihatan (Olitsky & Nelson, 2012;
Othman, 2009).
Trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi dapat menyebabkan
kerusakan lensa sehingga integritas lensa terganggu. Hal ini merangsang
pengeluaran aqueous humor dan mediator inflamasi yang nantinya
mengakibatkan adanya edema dan opaksifikasi. Protein lalu keluar ke camera

70
oculi posterior. Proses inflamasi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma dan katarak sehingga penglihatan dapat menurun (Olitsky &
Nelson, 2012; Othman, 2009).

71
Trauma Oculi

Trauma tumpul Trauma tembus Perforasi

Kompresi jaringan Gangguan karena shock


secara langsung wave secara tidak Kerusakan lensa
(coup) langsung (contre-coup)

Perpindahan a. Makular edema Respon inflamasi


diafragma lensa b. Ruptur koroid
dan iris c. Fraktur orbita
d. Laserasi kelopak mata
e. Laserasi konjungtiva
f. Hematoma
Hifema Glaukoma
Katarak
Perdarahan subretina Edema sel saraf
Perdarahan
subkonjungtiva
Mata merah
Ptosis
Nyeri
Penglihatan
menurun

Bagan 1. Patofisiologi Trauma Oculi

72
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, trauma okuli jarang mengancam nyawa
dan penanganan haruslah diprioritaskan ke trauma lain yang lebih mengancam nyawa
(James, 2005).
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera
atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif
atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada
riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan untuk
melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan serpihan-
serpihan logam yang akan menembus bola mata, dan hanya meninggalkan petunjuk
perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya penetrasi sklera dan
benda asing yang tertinggal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan
gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing
intraokular yang berpotensi membutakan (James, 2005).
Anamnesis tentang ketajaman visus sebelum trauma dan riwayat penyakit mata
atau operasi mata amat membantu dalam mendiagnosis suatu trauma okuli.
Riwayat penyakit sistemik, pengambilan obat-obatan, riwayat alergi, suntikan
imunisasi tetanus dan pengambilan oral terakhir perlu ditanyakan sebagai
kemungkinan persediaan operasi (Aronson, 2008).
2. Pemeriksaan fisis
Sebisa mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk pemeriksaan
visus, reaksi pupil, lapangan pandang, pergerakan otot-otot ekstraokular, tekanan
intraokular, pemeriksaan slit lamp, funduskopi dan lain-lain (Lange, 2006).
Setiap laserasi kelopak mata yang letaknya di kantus medialis hendaknya
dipertimbangkan kemungkinan terlibatnya sistem lakrimasi sehingga terbukti tidak.
Pemeriksaan tulang-tulang orbita terhadap kemungkinan terjadinya fraktur harus
dilakukan. Ruptur bola mata adalah segera ditentukan pada pemeriksaan fisis.
Namun, biasanya ini tersembunyi. Pemeriksaan mata yang mengalami trauma
harus diperiksa dengan sistematis dan hati-hati agar penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan segera dan mengurangi trauma yang lebih lanjut (Lange, 2006).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos
73
Foto polos orbita kurang membantu dalam menentukan kelainan berbanding
CT-scan. Tetapi foto polos masih dapat dilakukan. Antaranya foto polos 3
posisi, proyeksi Water’s, posisi Caldwelldan proyeksi lateral. Posisi-posisi ini
berfungsi untuk melihat dasar orbita, atap orbita dan sinus paranasalis (Robson,
2007).
b. Ultrasonografi
USG membantu dalam melihat ada tidaknya benda asing di dalam bola mata dan
menentukan lokasi ruptur (Robson, 2007).
c. CT-scan
CT-scan adalah metode pencitraan paling sensitif untuk mendeteksi ruptur yang
tersembunyi, hal-hal yang terkait dengan kerusakan saraf optic, adanya benda
asing serta menampilkan anatomi dari bola mata dan orbita (Robson, 2007).
d. MRI
MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi jaringan lunak bola mata dan
orbita (Robson, 2007).

F. Rencana Terapi
1. Trauma Mata Benda Tumpul
Penanganan ditekankan pada utama yang menyertainya dan penilaian terhadap
ketajaman penglihatan. Setiap penurunan ketajaman penglihatan tanda mutlak
untuk melakukan rujukan kepada dokter ahli mata. (Mangunkusumo, 2000)

Pemberian pertolongan pertama berupa:


a. Obat-obatan analgetik : untuk mengurangi rasa sakit. Untuk pemeriksaan mata
dapat diberikan anesteshi local: Pantokain 0,5% atau tetracain 0,5% - 1,0 %.
b. Pemberian obat-obat anti perdarahan dan pembengkakan
c. Memberikan moral support agar pasien tenang
d. Evaluasi ketajaman penglihatan mata yang sehat dan mata yang terkena trauma
e. Dalam hal hifema ringan (adanya darah segar dala bilik mata depan) tanpa
penyulit segera ditangani dengan tindakan perawatan:
1) Tutup kedua bola mata
2) Tidur dengan posisi kepala agar lebih tinggi
3) Evaluasi ketajaman penglihatan
4) Evaluasi tekanan bola mata
74
f. Setiap penurunan ketajaman penglihatan atau keragu-raguan mengenai mata
penderita sebaiknya segera di rujuk ke dokter ahli mata.
2. Trauma mata benda tajam
Keadaan trauma mata ini harus segera mendapat perawatan khusus karena
dapat menimbulkan bahaya; infeksi, siderosis, kalkosis dan atlalmia dan simpatika.
Pertimbangan tindakan bertujuan untuk mempertahankan bola mata dan
mempertahankan penglihatan. Bila terdapat benda asing dalam bola mata, maka
sebaiknya dilakukan usaha untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Pada
penderita dapat diberikan:
a. Antibiotik spectrum luas
b. Analgetik dan sedativa
c. Dilakukan tindakan pembedahan pada luka yang terbuka
3. Trauma mata benda asing
a. Ekstra Okular
1) Tetes mata
2) Bila benda asing dalam forniks bawah, angkat dengan swab.
3) Bila dalam farniks atas, lipat kelopak mata dan angkat
4) Bila tertanam dalam konjungtiva, gunakan anestesi local dan angkat dengan
jarum
5) Bila dalam kornea, geraka anestesi local, kemudian dengan hat-hati dan
dengan keadaan yang sangat baik termasuk cahaya yang baik, angkat dengan
jarum.
6) Pada kasus ulerasi gunakan midriatikum bersama dengan antibiotic local
selama beberapa hari.
7) Untuk benda asing logam yang terlalu dalam, diangkat dengan jarum, bisa
juga dengan menggunakan magnet.
b. Intra okuler
1) Pemberian antitetanus
2) Antibiotic
3) Benda yang intert dapat dibiarkan bila tidak menybabkan iritasi
4. Trauma Kimia (Non Mekanik)
Penatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma
ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam
mengatasi kasus trauma okular adalah memperbaiki penglihatan, mencegah
75
terjadinya infeksi, mempertahankan struktur dan anatomi mata, mencegah sekuele
jangka panjang. Trauma kimia merupakan satu-satunya jenis trauma yang tidak
membutuhkan anamnesa dan pemeriksaan secara teliti.
Tatalaksana trauma kimia mencakup:
a. Penatalaksanaan Emergency
1) Irigasi merupakan hal yang krusial untuk meminimalkan durasi kontak mata
dengan bahan kimia dan untuk menormalisasi pH pada saccus konjungtiva
yang harus dilakukan sesegera mungkin. Larutan normal saline (atau yang
setara) harus digunakan untuk mengirigasi mata selama 15-30 menit samapi
pH mata menjadi normal (7,3). Pada trauma basa hendaknya dilakukan irigasi
lebih lama, paling sedikit 2000 ml dalam 30 menit. Makin lama makin baik.
Jika perlu dapat diberikan anastesi topikal, larutan natrium bikarbonat 3%,
dan antibiotik. Irigasi dalam waktu yang lama lebih baik menggunakan irigasi
dengan kontak lensa (lensa yang terhubung dengan sebuah kanul untuk
mengirigasi mata dengan aliran yang konstan.
2) Double eversi pada kelopak mata dilakukan untuk memindahkan material
yang terdapat pada bola mata. Selain itu tindakan ini dapat menghindarkan
terjadinya perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan
konjungtiva forniks.
3) Debridemen pada daerah epitel kornea yang mengalami nekrotik sehingga
dapat terjadi re-epitelisasi pada kornea. Selanjutnya diberikan bebat (verban)
pada mata, lensa kntak lembek dan artificial tear (air mata buatan) (Sachdeva,
2005).
b. Penatalaksanaan Medikamentosa
Trauma kimia ringan (derajat 1 dan 2) dapat diterapi dengan pemberian obat-
obatan seperti steroid topikal, sikloplegik, dan antibiotik profilaksis selama 7
hari. Sedangkan pada trauma kimia berat, pemberian obat-obatan bertujuan
untuk mengurangi inflamasi, membantu regenerasi epitel dan mencegah
terjadinya ulkus kornea.8,10 (Sachdeva, 2005).
1) Steroid bertujuan untuk mengurangi inflamasi dan infiltrasi neutofil. Namun
pemberian steroid dapat menghambat penyembuhan stroma dengan
menurunkan sintesis kolagen dan menghambat migrasi fibroblas. Untuk itu
steroid hanya diberikan secara inisial dan di tappering off setelah 7-10 hari.

76
Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam.
Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
2) Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3) Asam askorbat untuk mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan
meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen
matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2
jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
4) Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra
okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan
secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5) Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas
netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan
antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
6) Asam hyaluronik untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan
menstabilkan barier fisiologis.
7) Asam Sitrat untuk menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon
inflamasi. Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari.
Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah
trauma.
c. Pembedahan
1) Pembedahan Segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi
limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan
forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan (Kanski, 2000):
a) Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus
kornea.
b) Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau
dari donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal.
c) Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2) Pembedahan Lanjut pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut
(Kanski, 2000):
77
a) Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron.
b) Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
c) Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
d) Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini
untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
e) Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk.
5. Trauma Kimia Basa
Dengan secepat mungkin melakukan irigasi dengan garam fisiologik.
Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan
paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.Penderita diberi sikloplegia,
antibiotika, EDTA (ethylene Diamine Tetracetic Acid) untuk mengikat basa.
EDTA di berikan setelah satu minggu trauma basa diperlukan untuk menetralisir
kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh (Sachdeva, 2005).

G. Prognosis
Prognosis asam baik apabila konsentrasi asam tidak terlalu tinggi sehingga hanya
terjadi kerusakan pada superficial. Prognosis trauma karena zat basa ditentukan
berdasarkan klasifikasi Hughes atau klasifikasi Thoft dan tergantung derajat
kerusakan.
1. Klasifikasi Huges
a. Ringan :
1) Prognosis baik
2) Terdapat erosi epitel kornea
3) Pada kornea tedaat kekeruhan yang ringan
4) Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva
b. Sedang :
1) Prognosis baik
2) Terdapat kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris dan pupil secara
terperinci
3) Terdapat iskemia dan nekrosis enteng pada kornea dan konjungtiva
c. Sangat berat :
1) Prognosis buruk
78
2) Akibat kekeruhan kornea upil tidak dapat dilihat
3) Konjungtiva dan sclera pucat

2. Klasifikasi Thoft
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi (Sidharta,
2012):
a. Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
b. Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
c. Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
d. Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Prognosis trauma tembus okuli bergantung pada banyak faktor, yaitu (Sidharta,
2012). :
1. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik
2. Tempat luka pada bola mata
3. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing
4. Benda asing megnetik atau non megnetik
5. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda
6. Sudah/belum terdapat penyulit akibat luka tembus
Prognosis trauma tumpul okuli adalah mata akan sembuh dengan baik setelah
trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang, jarang dikaitkan dengan
kerusakan penglihatan berat dan butuh pembedahan ekstensif (Sidharta, 2012).

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Komplikasi Trauma Tembus Okuli (John, 2001):
a. Infeksi
b. Iritis
c. Katarak
2. Komplikasi Trauma Tumpul okuli (John, 2001):
a. Midriasis
b. Glaukoma
c. Katarak
d. Dislokasi lensa
79
e. Vitreous haemorrhage
f.Atrofi N. Opticus
3. Komplikasi Trauma Okuli karena Zat Kimia
a. Zat Kimia Asam (Vaughan, 2007):
1) Jaringan parut pada konjungtiva dan kornea
2) Vaskularisasi kornea
3) Glaucoma
4) uveitis
b. Zat Kimia Basa (Kanski, 2000):
1) Simblefaron
2) Kornea keruh, edema, neovaskular
3) Mata kering
4) Katarak traumatik
5) Glaucoma sudut tertutup
6) Entropion
7) Phtisis bulbi

80
TRAUMA THT

PengertianTrauma
Merupakan cedera pada telinga luar misalnya akibat pukulantumpul, atau akibat
suatu kecelakaan, bisa menyebabkan memar diantarakartilago dan perikondrium.

Macam-Macam Trauma

TRAUMA TELINGA BAGIAN LUAR


1. Laserasia
Merupakan luka pendarahan yang disebabkan oleh mengorek-ngorek telinga.
Gambaran klinis Laserasi pada dinding kanalis dapat menyebabkan perdarahan
sementara. Pengobatan tidak memerlukan pengobatan selain hentikan perdarahan, bila
perlu pergi ke dokter untuk memastikan tidak ada perforasi membran timpani.
Laserasi hebat pada aurikula harus diexplorasi untuk mengetahui apakah adakerusakan
tulang rawan.

2. Frostbitea
Sengatan pada suhu yang dingin pada aurikula timbul dengan cepat
padalingkungan bersuhu rendah dengan angin dingin yang kuat. Gambaran
klinisSengatan pada suhu yang dingin pada aurikula timbul dengan cepat
padalingkungan bersuhu rendah dengan angin dingin yang kuat. Sehinggamengalami
Vasokontriksi hebat pembuluh darah telinga bagian luar yang diikuti priode dilatasi
yang berlangsung lebih lama.
Pengobatan/penatalaksanaan
- Pemanasan yang cepat 100-108 F/ tidak > 37 C
- Berikan analgesik
- Jika menimbulkan infeksi yang nyata secara klinis, berikan antibiotic.

3. Hematomaa
Gumpalan darah yang diakibatkan oleh luka dalam yang sering terjadi pada
petinju dan pegulat. Gambaran klinisJika terjadi penimbunan darah di daerah yang
cedera tersebut, maka akanterjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa
berwarna ungukemerahan.Darah yang tertimbun ini (hematoma) bisa menyebabkan
81
terputusnyaaliran darah ke kartilago sehingga terjadi perubahan bentuk
telinga.Kelainan bentuk ini disebut telinga bunga kol, yang sering ditemukan
pada pegulat dan petinju. PenatalaksanaanUntuk membuang hematoma, biasanya
digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan sampai hematoma betul-betul
sudah tidak ada lagi(biasanya selama 3-7 hari). Dengan pengobatan, kulit dan
perikondrium akan kembali ke posisi normal sehingga darah bisa kembali
mencapaikartilago. Jika terjadi robekan pada telinga, maka dilakukan penjahitan
dan pembidaian pada kartilagonya. Pukulan yang kuat pada rahang
bisamenyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga dan merubah bentuk saluran
telinga dan seringkali terjadi penyempitan. Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui
pembedahan

TRAUMA TELINGA BAGIAN TENGAH


- Trauma pada telinga tengah biasanya disertai dengan sakit telinga dan kadang-
kadang juga disertai dengan pendarahan dari telinga, gangguan pendengaran, dan
kelemahan wajah ipsilateral.
- Bentuk lengkung EAC, dengan isthmus sempit, membantu untuk melindungi TM
dari cedera langsung. Fungsi lain dari tuba eustachius juga membantu
untuk mencegah pecahnya TM dari perubahan tekanan berlebih.
- Ketika mekanisme pelindung gagal, atau kekuatan ekstrem terjadi pada telinga atau
kepala, perforasi traumatis dari TM dapat terjadi, biasanya terjadi di bagian tengah.
Sebuah perforasi traumatik TM dapat disebabkan oleh traumalangsung ke TM oleh
FB, ledakan, tekanan perubahan dari udara atau air, atau akibat dari traumakepala
dengan atau tanpa fraktur tulang temporal.
- Mayoritas perforasi TM traumatis akan dapat sembuh secara spontan. Jika tidak
ada bukt infeksi, penggunaan topikal antibiotik tidak diperlukan. Resep obat tetes
telinga mengandung gentamisin selama lebih dari lima sampai tujuh hari dapat
mengakibatkan ototoxicity dan harusdihindari.
- Terapi konservatif untuk mencegah infeksi sekunder biasanya
diperlukan.Tympanoplasty jarang diperlukan, kecuali bila perforasi terus-menerus
terjadi. Ketika terjadi perforasi TM sangat sulit untuk disembuhkan.
- Trauma membran tympani adalah kelainan pada mebran timpani yang disebabkan
olehtrauma langsung maupun tidak langsung. Biasanya muncul gejala tinius,
gangguan pendengaran,vertigo, dan dapat terjadi infeksi.
82
- Penangannya yaitu Pada keadaan akut, dilakukan pencegahanterjadinya infeksi
sekunder dengan menutup liang telinga yang trauma dengan kasa steril.
Biasanya perforasi akan sembuh secara spontan.
- Operasi emergensi dilakukan pada trauma tembus dengangangguan pendengaran
sensorineural dan vertigo, dengan kecurigaan fraktur dan impaksi kakistapes ke
vertbuler atau fistua perilimpa.
- Jika perforasi menetap setelah 4 bulan, dan terdapatgangguan pendengaran
konduktif >20 dB, merupakan indikasi timpanoplast. Lakukan pemeriksaan
Audiometri atau CT scan bila diduga ada benda asing atau rusaknya rangkaian
tulang pendengaran

TRAUMA TELINGA BAGIAN DALAM


Organ yang sangat sensitif di dalam telinga adalah organ pendengaran (koklea)
dankeseimbangan (Reseptor otolithic dan kanal berbentuk setengah lingkaran) yang
terletak dalam bagian dari tulang temporal, dikelilingi oleh tulang padat dikenal sebagai
kapsul otic. Meskipun perlindungan yang baik dari tulang dalam tubuh manusia, unsur-
unsur telinga dalam yang rapuh,rentan terhadap trauma kepala baik longitudinal atau
transversal yang menyebabkan fraktur.Seorang pasien dengan riwayat trauma kepala,
menunjukkan pendarahan dari telinga, mengalamigangguan pendengaran konduktif, dan
kelainan bentuk membran timpani yang diperiksa denganmenggunakan otoscopy (Gambar
8), merupakan gejala dari fraktur longitudinal. Cedera kepala berat, biasanya setelah
pukulan ke tengkuk, dapat mengakibatkan fraktur melintang di labirintulang. Gambaran
klinis dari fraktur melintang meliputi kerusakan saraf sensorik yangmengakibatkan
gangguan pendengaran dan vertigo yang parah. Computed tomography (CT) scantulang
temporal adalah alat yang bermanfaat untuk mendiagnosis.

Penatalaksanaan Kedaruratan trauma telinga


1) Pasien diistirahatkan duduk atau berbaring
2) Atasi keadaan kritis ( tranfusi, oksigen, dan sebagainya )
3) Bersihkan luka dari kotoran dan dilakukan debridement,lalu hentikan perdarahan
4) Pasang tampon steril yang dibasahi antiseptik atau salep antibiotic
5) Periksa tanda-tanda vital,
6) Pemeriksaan otoskopi secara steril dan dengan penerangan yang baik, bila mungkin
dengan bantuan mikroskop bedah atau loup untuk mengetahui lokasi lesi.
83
7) Pemeriksaan radiology bila ada tanda fraktur tulang temporal. Bila mungkin
langsung dengan pemeriksaan CT scan

84

Anda mungkin juga menyukai