SKENARIO 2
TRAUMA 1
Oleh Tutorial E:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
2
SKENARIO 2
TRAUMA 1
1. SKENARIO
2 orang pasien korban ledakan tabung gas elpigi di sebuah cafe dikirim
ke UGD rumah sakit . Korban pertama adalah wanita berumur 21 tahun
dengan kondisi tidak sadar dengan suara mengorok dan ditemukan luka
terbuka di bagian temporal dan frontal, serta keluar darah dari hidung
secara masif (Bloody rhinorhea), telinga kanan dan kiri (Bloody otorhea).
Pada bagian tubuhnya tampak baju yang dikenakan sebagian terbakar.
Dokter muda bersama dengan perawat segera melakukan pemeriksaan.
Untuk mempermudah tindakan mereka juga segera membuka seluruh
pakaian yang digunakan dan menutupi dengan selimut. Hasil pemeriksaan
primary survey didapatkan bulu hidung dan bulu mata terbakar ,pasien
segera dilakuan tindakan intubasi dan pemasangan infus dua jalur serta
kateter. Untuk menghentikan sementara perdarahan hidung dilakukan
pemasangan tampon sampai perdarahan berhenti. Setelah semua terpasang
pada pemeriksaan secondary survey ternyata ditemukan selain adanya
trauma kapitis didapatkan adanya luka bakar seluas pada daerah sebagian
dada depan, punggung, serta tangan. Korban kedua adalah seorang wanita,
24 tahun dan tampak lemah dengan jejas pada wajah, dan luka ringan pada
bagian tangan dan kaki. Hasil pemeriksaan primary survey didapatkan
A,B,C : baik, GCS :456 dengan status lokalis : Regio orbita dekstra et
sisnistra : Visus 1/60 dan tak terkoreksi, hematoma palpebra, konjungtiva
bulbi : injeksi siliaris (+), edema kornea+ , Pupil : bulat, refleks cahaya (-),
Fundus : sulit dievaluasi, TIO : meningkat per palpasi. Berdasarkan
pemeriksaan dan tindakan awal yang dilakukan kemudian dokter jaga
tersebut segera melakukan konsul ke konsulen jaga dan hasilnya konsulen
jaga meminta dilakukan konsul ke bidang terkait yaitu bedah saraf, bedah
plastik , THT dan mata.
3
LEARNING OBJECT
Pemeriksaan
primary survey
Sumbatan pada
jalan nafas dan
mannuvernya
Shock
Transfusi Sarah
Kapitis
Mata
Trauma
THT
4
PRIMARY SURVEY
Teknik pelaksanaan:
1. Pemeriksaan jalan nafas
Pertama kali harus diyakinkan bahwa kondisi pasien gawat dalam keadaan
sadar atau tidak dengan cara memanggil nama atau bila tidak berespona dapat
dilakukan dengan mencubit atau dengan rangsangan sakit. Memeriksa kondisi
kesadaran pada tahap primary survey ini disebut AVPU. Tahap berikutnya adalah
memeriksa dengan cepat fungsi vital dengan sistematika A-B-C
5
Tujuan : membebaskan jalan napas untuk menjamin jalan masuknya udara ke
paru secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh
Pemeriksaan Jalan Napas :
L = Look/Lihat gerakan nafas atau pengembangan dada, adanya retraksi sela iga,
warna mukosa/kulit dan kesadaran
L = Listen/Dengar aliran udara pernafasan
F = Feel/Rasakan adanya aliran udara pernafasan dengan menggunakan pipi
penolong
6
Bila jalan nafas tersumbat karena adanya benda asing dalam rongga mulut
dilakukan pembersihan manual dengan sapuan jari.
Kegagalan membuka nafas dengan cara ini perlu dipikirkan hal lain yaitu
adanya sumbatan jalan nafas di daerah faring atau adanya henti nafas
(apnea)
Bila hal ini terjadi pada penderita tidak sadar, lakukan peniupan udara
melalui mulut, bila dada tidak mengembang, maka kemungkinan ada
sumbatan pada jalan nafas dan dilakukan maneuver Heimlich.
7
Cara melakukannya :
Abdominal thrust
Chest thrust
Back blow
8
Prioritas utama dalam manajemen jalan nafas adalah JALAN NAFAS BEBAS!
Pasien sadar, ajak bicara. Bicara jelas dan lancar berarti jalan nafas bebas
Beri oksigen bila ada 6 liter/menit
Jaga tulang leher : baringkan penderita di tempat datar, wajah ke depan,
posisi leher netral
Nilai apakah ada suara nafas tambahan.
Gambar4. Pasien tidak sadar dengan posisi terlentang, perhatikan jalan nafasnya!
Pangkal lidah tampak menutupi jalan nafas
Lakukan teknik chin lift atau jaw thrust untuk membuka jalan nafas. Ingat
tempatkan korban pada tempat yang datar! Kepala dan leher korban jangan
terganjal!
Chin Lift
Dilakukan dengan maksud mengangkat otot pangkal lidah ke depan
Caranya : gunakan jari tengah dan telunjuk untuk memegang tulang dagu pasien
kemudian angkat.
Head Tilt
Dlilakukan bila jalan nafas tertutup oleh lidah pasien, Ingat! Tidak boleh
dilakukan pada pasien dugaan fraktur servikal.
Caranya : letakkan satu telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah
sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga leher tegang dan lidahpun
terangkat ke depan.
9
Gambar 5. tangan kanan melakukan Chin lift ( dagu diangkat). dan tangan kiri
melakukan head tilt. Pangkal lidah tidak lagi menutupi jalan nafas.
Jaw thrust
Caranya : dorong sudut rahang kiri dan kanan ke arah depan sehingga barisan gigi
bawah berada di depan barisan gigi atas
Gambar 6 dan 7. manuver Jaw thrust dikerjakan oleh orang yang terlatih
10
Mengatasi sumbatan parsial/sebagian. Digunakan untuk membebaskan sumbatan
dari benda padat.
Gambar 8. Tampak ada orang yang tersedak atau tersumbat jalan nafasnya
11
- Letakkan salah satu tangan pada perut korban di garis tengah sedikit di
atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang sternum, tangan kedua
diletakkan di atas tangan pertama.
- Penolong menekan ke arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah
atas.
- Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi
terbaring tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung
melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP).
12
Gambar 10. Back blow pada bayi
Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari
telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua
putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukan chest
thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan
B-BREATHING: PERNAFASAN
Apakah pertukaran hawa nafas adekuat?
- Tidak ada, lakukan resusitasi, bantuan nafas beri O2
- Frekuensi
- Kualitas
- Teratur/tidak
13
Tanpa Alat : Memberikan pernafasan buatan dari mulut ke mulut atau dari mulut
ke hidung sebanyak 2 (dua) kali tiupan awal dan diselingi ekshalasi.
Dengan Alat : Memberikan pernafasan buatan dengan alat “Ambu bag” (self
inflating bag) yang dapat pula ditambahkan oksigen. Dapat juga diberikan dengan
menggunakan ventilator mekanik (ventilator/respirator)
Pemeriksaan pernafasan :
Look -Lihat
- gerak dada
- gerak cuping hidung (flaring nostril)
- retraksi sela iga
- gerak dada
- gerak cuping hidung (flaring nostril)
- retraksi sela iga
Listen -Dengar
Feel -Rasakan
- Udara nafas keluar hidung-mulut
Palpasi -Raba
- gerakan dada, simetris?
Perkusi - Ketuk
- Redup? Hipersonor? Simetris?
Rontgen dada
14
kalau tersedia dan pasien sudah stabil
Menilai pernafasan
15
- Untuk memberikan bantuan pernafasan mulut ke mulut, jalan nafas
korban harus terbuka.
- Perhatikan kedua tangan penolong pada gambar masih tetap
melakukan teknik membuka jalan nafas “Chin lift”.
- Hidung korban harus ditutup bisa dengan tangan atau dengan
menekankan pipi penolong pada hidung korban.
- Mulut penolong mencakup seluruh mulut korban.
- Mata penolong melihat ke arah dada korban untuk melihat
pengembangan dada.
- Pemberian pernafasan buatan secara efektif dapat diketahui dengan
melihat pengembangan dada korban.
- Berikan 1 kali pernafasan selama 1 detik, berikan pernafasan
biasa.kemudian berikan pernafasan kedua selama 1 detik.
- Berikan nafas secara biasa untuk mencegah penolong mengalami
pusing atau berkunang-kunang.
- Untuk bayi dan anak, nafas buatan yang diberikan lebih sedikit dari
orang dewasa, dengan tetap melihat pengembangan dada.
- Usahakan hindari pemberian pernafasan yang terlalu kuat dan terlalu
banyak karena dapat menyebabkan kembung dan merusak paru-paru
korban.
- Konsentrasi oksigen melalui udara ekspirasi mulut sekitar 17 %.
16
Cara memberikan nafas buatan dari mulut ke hidung
- Cara ini direkomendasikan jika pemberian nafas buatan melalui mulut
korban tidak dapat dilakukan misalnya terdapat luka yang berat pada
mulut korban, mulut tidak dapat dibuka, korban di dalam air atau
mulut penolong tidak dapat mencakup mulut korban.
- Cara memberikan nafas buatan dari mulut ke stoma (lubang
trakeostomi)
- Cara ini diberikan pada pasien trakeostomi. Caranya sama dengan
mulut ke mulut hanya saja lubang tempat masuknya udara adalah
lubang trakeostomi
- Ambu bag terdiri dari bag yang berfungsi untuk memompa oksigen
udara bebas, valve/pipa berkatup dan masker yang menutupi mulut dan
hidung penderita.
- Penggunaan ambu bag atau bagging sungkup memerlukan
keterampilan tersendiri.
- Penolong seorang diri dalam menggunakan amb bag harus dapat
mempertahankan terbukanya jalan nafas dengan mengangkat rahang
bawah, menekan sungkup ke muka korban dengan kuat dan memompa
udara dengan memeras bagging.
- Penolong harus dapat melihat dengan jelas pergerakan dada korban
pada setiap pernafasan.
17
- Ambu bag sangat efektif bila dilakukan oleh dua orang penolong yang
berpengalaman.
- Salah seorang penolong membuka jalan nafas dan menempelkan
sungkup wajah korban dan penolong lain memeras bagging.
- Kedua penolong harus memperhatikan pengembangan dada korban
Ambu bag digunakan dengan satu tangan penolong memegang bag sambil
memompa udara sedangkan tangan lainnya memegang dan memfiksasi masker.
Pada Tangan yang memegang masker, ibu jari dan jari telunjuk memegang
masker membentuk huruf C sedangkan jari-jari lainnya memegang rahang bawah
penderita sekaligus membuka jalan nafas penderita dengan membentuk huruf E.
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan dari ambu bag sekitar 20 %. Dapat
ditingkatkan menjadi 100% dengan tambahan oksigen.
Untuk kondisi yang mana penderita mengalami henti nafas dan henti jantung,
dilakukan resusitasi jantung-paru-otak.
C-CIRCULATION
Adakah perdarahan?
Eksternal
Hentikan segera:
- Dengan bebat tekan pada luka
- Elevasi
18
- Kompres es
- Torniquet (hanya pada luka/trauma khusus)
Internal
Segera kirim. Adakah shock? (paling sering adalah shock hipovolemik)
- Perfusi dingin, basah pucat
- Nadi cepat dan lemah
- Capillary Refill Time > 2 detik
19
Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada
daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling
dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar
5 – 10 detik.
Tanda-tanda sirkulasi normal :
20
21
CONTOH GANGGUAN CIRCULATION :
1.SHOCK (secara umum)
Shock adalah ketidak normalan dari sistem peredaran darah yang
mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat.
Stadium shock dan gejalanya
1. Stadium pre-shock
Cairan darah yang hilang 10-15%, dengan gejala:
Pusing
Takikardi ringan
Systole 90-100 mmHg
Mengeluh kedinginan
Kulit pucat
Urin pekat
2. Stadium ringan
Cairan darah yang hilang 20-25%, gejala:
Gelisah
Keringat dingin
Haus
Takikardi > 100 kali/menit
Systole 70-80 mmHg
3. Stadium berat
Cairan darah yang hilang 30-50%, gejala:
Pucat, dingin
Hiperpneu
Kencing kurang
Nadi tidak teraba
Systole 0-40 mmHg
D . DISABILITY
- Sadarkah?
- Adakah trauma kepala?
22
- Pada trauma dengan kecurigaan cidera tulang leher pasang collar brace
sebelum dirujuk
23
E-SCORE (kemampuan membuka mata/eye opening responses)
Nilai
4 : membuka mata spontan (normal)
3 : dengan kata-kata akan membuka mata bila diminta
2 : membuka mata bila diberikan rangsangan nyeri
1 : tidak membuka mata walaupun dirangsang nyeri
24
Gambar 2. Memberikan rangsang nyeri
Jika ragu dalam menilai GCS, tetapkan suatu nilai yang jika salah tidak
merugikan penderita
- kalau GCS rendah yang berakibat kita harus melakukan tindakan, berikan nilai
rendah.
- kalau GCS tinggi membuat harapan yang lebih baik, berikan nilai tinggi agar
upaya medik
menjadi maksimal.
25
Tindakan :
Pada dasarnya ditujukan pada optimalisasi aliran darah sistemik dan aliran
darah otak (perfusi otak) dengan cara mencegah hipotensi, hipoksia dan
mencegah peningkatan tekanan intrakranial
Bila disebabkan oleh hipertermia, diberikan obat anti piretik dan
pendinginan (cooling)
Bila disebabkan oleh hipertensi ensefalopati (systole > 200 mmHg)
diberikan obat anti hipertensi
E. ENVIRONMENT
Pada pemeriksaan fisik, lepas semua baju dan celana dan segera selimut
kembali untuk mencegah hipotermia. Apabila korban datang dalam keadaan
kondisi basah, segera keringkan dan selimuti dengan selimut kering
Tempat kejadian perkara (TKP) adalah tempat ditemukannya benda bukti
dan/atau tempat terjadinya peristiwa kejahatan atau yang diduga kejahatan
menurut suatu kesaksian. Dasar pemeriksaan TKP adalah menjawab 6 pertanyaan
(heksameter) yaitu apa yang terjadi, siapa yang tersangkut, dimana dan kapan
terjadi, bagaimana terjadinya, dan dengan apa melakukannya, serta mengapa
terjadi peristiwa tersebut.
26
e. Lampu ultraviolet
f. Thermometer rectal
g. Thermometer ruangan
h. Amplop
i. Kantong plastic
j. Pinset
k. Scalpel
l. Jarum
m. Tang
n. Kapas
o. Kertas saring
p. Kaca pembesar
q. Label
r. Alat tulis
27
baru. Benda bukti cair dimasukkan ke dalam tabung reaksi kering. Benda
bukti berupa bercak kering di atas dasar keras harus dikerok dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik, bercak pada kain
diambil seluruhnya atau bila sangat besar, benda tersebut digunting dan
dimasukkan ke dalam amplop atau kantung plastik. Semua benda bukti
diberi label dengan keterangan tentang jenis benda, lokasi penemuan, saat
penemuan, dan keterangan lain.
28
SUMBATAN PADA JALAN NAFAS DAN MANNUVERNYA
Look: Gerak dada & perut, Tanda distres nafas, Warna mukosa, kulit.
Pada pernafasan yang normal maka antara dada dan perut bergerak bersamaan,
artinya saat dada mengembang maka perut juga mengembang. Hati-hati jika
terjadi sebaliknya atau gerakan dada dan perut yang berkebalikan arah, maka
tanda ini merupakan tanda sebagai obstruksi total dari jalan nafas (see saw).
b. Gargling : suara seperti berkumur, kondisi ini terjadi karena ada kebuntuan
yang disebabkan oleh cairan (eg: darah), maka lakukanlah cross-finger(seperti di
atas), lalu lakukanlah finger-sweep (sesuai namanya, menggunakan 2 jari yang
29
sudah dibalut dengan kain untuk “menyapu” rongga mulut dari cairan-cairan).
Caranya : korban harus diletakkan pada posisi terlentang dengan muka ke atas.
Penolong berlutut di sisi paha korban. Letakkan salah satu tangan pada perut
korban di garis tengah sedikit di atas pusar dan jauh di bawah ujung tulang
30
sternum, tangan kedua diletakkan di atas tangan pertama. Penolong menekan ke
arah perut dengan hentakan yang cepat ke arah atas.
Berdasarkan ILCOR yang terbaru, cara abdominal thrust pada posisi terbaring
tidak dianjurkan, yang dianjurkan adalah langsung melakukan Resusitasi Jantung
Paru (RJP).
Caranya : kepalkan sebuah tangan, letakkan sisi ibu jari pada perut di atas pusar
dan di bawah ujung tulang sternum, genggam kepala itu dengan kuat, beri tekanan
ke atas kea rah diafragma dengan gerakan yang cepat, jika tidk berhasil dapat
dilakukan tindakan dengan menekan perut pada tepi meja atau belakang kursi
Bila penderita sadar dapat batuk keras, observasi ketat. Bila nafas tidak efektif
atau berhenti, lakukan back blow 5 kali (hentakan keras pada punggung korban di
titik silang garis antar belikat dengan tulang punggung/vertebrae)
Chest Thrust (untuk bayi, anak yang gemuk dan wanita hamil)
Bila penderita sadar, lakukan chest thrust 5 kali (tekan tulang dada dengan jari
telunjuk atau jari tengah kira-kira satu jari di bawah garis imajinasi antara kedua
putting susu pasien). Bila penderita sadar, tidurkan terlentang, lakukanchest
thrust, tarik lidah apakah ada benda asing, beri nafas buatan
31
UPAYA PEMBEBASAN AIRWAY DAN BREATHING
32
2. Chin lift
Jari - jemari salah satu tangan diletakkan bawah rahang, yang kemudian
secara hati – hati diangkat ke atas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah untuk membuka mulut,
ibu jari dapat juga diletakkan di belakang gigi seri (incisor) bawah dan, secara
bersamaan, dagu dengan hati – hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperekstensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma
karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas rulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
3. Jaw thrust
Penolong berada disebelah atas kepala pasien. Kedua tangan pada
mandibula, jari kelingking dan manis kanan dan kiri berada pada angulus
mandibula, jari tengah dan telunjuk kanan dan kiri berada pada ramus mandibula
sedangkan ibu jari kanan dan kiri berada pada mentum mandibula. Kemudian
mandibula diangkat ke atas melewati molar pada maxila (Arifin, 2012).
4. Orofaringeal airway
Indikasi : Airway orofaringeal digunakan untuk membebaskan jalan napas pada
pasien yang kehilangan refleks jalan napas bawah (Kene, davis, 2007).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Kemudian pilih ukuran pipa
orofaring yang sesuai dengan pasien. Hal ini dilakukan dengan cara menyesuaikan
ukuran pipa oro-faring dari tragus (anak telinga) sampai ke sudut bibir. Masukkan
pipa orofaring dengan tangan kanan, lengkungannya menghadap ke atas (arah
terbalik), lalu masukkan ke dalam rongga mulut. Setelah ujung pipa mengenai
palatum durum putar pipa ke arah 180 drajat. Kemudian dorong pipa dengan cara
melakukan jaw thrust dan kedua ibu jari tangan menekan sambil mendorong
pangkal pipa oro-faring dengan hati-hati sampai bagian yang keras dari pipa
berada diantara gigi atas dan bawah, terakhir lakukan fiksasi pipa orofaring.
Periksa dan pastikan jalan nafas bebas (Lihat, rasa, dengar). Fiksasi pipa oro-
33
faring dengan cara memplester pinggir atas dan bawah pangkal pipa, rekatkan
plester sampai ke pipi pasien (Arifin, 2012)
5. Nasopharingeal Airway
Indikasi : Pada penderita yang masih memberikan respon, airway nasofaringeal
lebih disukai dibandingkan airway orofaring karena lebih bisa diterima dan lebih
kecil kemungkinannya merangsang muntah (ATLS, 2004).
Teknik : Posisikan kepala pasien lurus dengan tubuh. Pilihlah ukuran pipa naso-
faring yang sesuai dengan cara menyesuaikan ukuran pipa naso-faring dari lubang
hidung sampai tragus (anak telinga). Pipa nasofaring diberi pelicin dengan KY
jelly (gunakan kasa yang sudah diberi KY jelly). Masukkan pipa naso-faring
dengan cara memegang pangkal pipa naso-faring dengan tangan kanan,
lengkungannya menghadap ke arah mulut (ke bawah). Masukkan ke dalam rongga
hidung dengan perlahan sampai batas pangkal pipa. Patikan jalan nafas sudah
bebas (lihat, dengar, rasa) ( Arifin, 2012).
6. Airway definitif
Terdapat tiga jenis airway definitif yaitu : pipa orotrakeal, pipa
nasotrakeal, dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Penentuan
pemasangan airway definitif didasarkan pada penemuan- penemuan klinis antara
lain (ATLS, 2004):
1. Adanya apnea
34
Intubasi orotrakeal dan nasotrakeal merupakan cara yang paling sering
digunakan. Adanya kemungkinan cedera servikal merupakan hal utama yang
harus diperhatikan pada pasien yang membutuhkan perbaikan airway. Faktor yang
paling menentukan dalam pemilihan intubasi orotrakeal atau nasotrakeal adalah
pengalaman dokter. Kedua teknik tersebut aman dan efektif apabila dilakukan
dengan tepat. Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi
yang jelas untuk melakukan airway surgical.
35
SYOK
36
Sirkulasi – Kontrol Perdarahan
Prioritas dalam sirkulasi meliputi control perdarahan yang jelas
terlihat, memperoleh akses intravena yang cukup dan menilai
perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luka luar umumnya dapat
langsung di tekan dengan bebat langsung pada tempat
perdarahan.
Kecukupan perfusi jaringan menentukan jumlah resusitasi yang
diperlukan. Mungkin diperlukan tindakan operasi untuk
mengkontrol perdarahan dalam.
Disability – Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan neurologi singkat dapat menentukan tingkat
kesadaran, pergerakan mata, respon pupil, serta fungsi motorik
dan sensorik. Informasi ini sangat berguna dalam menilai
perfusi otak untuk mengikuti perkembangan kelainan
neurologis dan meramalkan pemulihan selanjutnya. Perubahan
fungsi system saraf sentral pada pasien-pasien hipotensi akibat
syok hipovolemic tidak selalu disebabkan oleh cedera
intracranial tetapi mungkin mencerminkan perfusi otang yang
kurang adekuat. Pemulihan perfusi dan oksigenasi otak harus
dicapai sebelum menganggap bahwa penemuan-penemuan
tersebut berasal dari intracranial.
Exposure – Pemeriksaan Lengkap
Setelah tindakan prioritas penyelamatan nyawa telah
dilaksanakan, pasien harus ditelanjangi dan diperiksa dengan
seksama dari ujung kepala hingga ujung kaki untuk mencari
cedera-cedera yang menyertai. Ketika menelanjangi pasien,
penting ungtuk mencegah timbulnya hipotermia. Penggunaan
penghangat-penghangat cairan seperti halnya pada teknik
penghangatan eksternal aktif dan pasif, penting untuk
mencegah hipotermia.
2. Pemasangan Kateter Urin
37
Kateterisasi kandung kencing digunakan untuk penilaian urin akan
adanya hematuria dan evaluasi terhadap perfusi ginjal dengan
memonitoring produksi urin. Darah pada meatus uretra atau prostat
letak tinggi, mobile atau tidak tersentuh pada pria merupakan
kontraindikasi mutlak untuk pemasangan kateter uretra sebelum ada
konfirmasi radiografis tentang uretra yang utuh.
3. Akses Vaskuler
Akses pada system pembuluh darah harus didapatkan dengan benar.
Hal yang paling baik dilakukan adalah memasang 2 kateter intravena
ukuran besar (minimum nomor 16) pada vena perifer sebelum
mempertimbangkan jalur vena central. Dengan demikian kateter
intravena yang pendek dan caliber besar merupakan pilihan tepat untuk
dapat memasukkan cairan dalam jumlah besar dengan cepat.
Penghangat cairan dan pompa infuse dapat digunakan pada perdarahan
massif dan hipotensi berat.
Tempat terbaik untuk intravena perifer orang dewasa adalah lengan
bawah atau kubiti. Bila keadaan tidak memungkinkan penggunaan
pembuluh darah perifer maka gunakan pembuluh darah central ( vena
femoralis, jugularis) dengan menggunakan teknik Seldinger atau
melakukan vena seksi pada safena di kaki, tergantung tingkat
keterampilan dan pengalaman dokternya.
Bila kateter intravena sudah terpasang, contoh darah diambil untuk
pemeriksaan golongan darah dan crossmatch, pemeriksaan
laboratorium yang sesuai pemeriksaan toksikologi dan test kehamilan
pada semua wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga dapat
dilakukan pada saat ini.
Foto thoraks harus diambil setelah pemasangan CVP pada vena
subclavia atau vena jugularis interna untuk mengetahui posisi kateter
dan mengevaluasi kemungkinan terjadinya pneumotoraks atau
hemotoraks.
4. Terapi Cairan Awal
38
Larutan elektronik isotonic misalnya ringer laktat atau normal saline
digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume
intravaskuler dalam waktu yang singkat dan juga menstabilkan volume
vaskuler dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang
hilang ke dalam ruang interstitial dan intraseluler. Alternatif cairan
awal adalah dengan larutan garam hipertonik, walaupun menurut
kepustakaan terbaru belum tentu menguntungkan.
Tahap awal bolus cairan diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1
hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak anak. Respon
pasien diobservasi selama pemberian cairan awal ini dan keputusan
terapi dan diagnosis selanjutnya didasarkan pada respon ini.
39
TRANSFUSI DARAH
Darah yang semula dikategorikan sebagai jaringan tubuh, saat ini telah
dimasukkan sebagai suatu organ tubuh terbesar yang beredar dalam sistem
kardiovaskuler, tersusun dari komponen korpuskuler atau seluler dan komponen
cairan.
Komponen korpuskuler yaitu materi biologis yang hidup dan bersifat
multiantigenik, terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan keeping trombosit,
yang kesemuanya dihasilkan dari sel induk yang senantiasa hidup dalam sumsum
tulang. Ketiga jenis sel darah ini memiliki masa hidup terbatas dan akan mati jika
masa hidupnya berakhir. Agar fungsi organ darah tidak ikut mati, maka secara
berkala pada waktu-waktu tertentu, ketiga butiran darah tersebut akan diganti,
diperbarui dengan sel sejenis yang baru. Komponen cair yang juga disebut
plasma, menempati lebih dari 50 volume % organ darah, dengan bagian terbesar
dari plasma (90%) adalah air, bagian kecilnya terdiri dari protein plasma dan
elektrolit. Protein plasma yang penting diantaranya adalah albumin, berbagai
fraksi globulin serta protein untuk factor pembekuan dan untuk fibrinolisis.
40
c. Peranan darah dalam menghentikan perdarahan (mekanisme homeostasis)
sebagai upaya untuk mempertahankan volume darah apabila terjadi
kerusakan pada pembuluh darah. Fungsi ini dilakukan oleh mekanisme
fibrinolisis, khususnya jika terjadi aktifitas homeostasis yang berlebihan.
41
Pemberian komponen-komponen darah yang diperlukan saja lebih
dibenarkan dibandingkan dengan pemberian darah lengkap (whole blood). Dasar
pemikiran penggunaan komponen darah: (1) lebih efisien, ekonomis, memperkecil
reaksi transfusi, (2) lebih rasional, karena (a)darah terdiri dari komponen seluler
maupun plasma yang fungsinya sangat beragam, serta merupakan materi biologis
yang bersifat multiantigenik, sehingga pemberiannya harus memenuhi syarat-
syarat variasi antigen minimal dan kompatibilitas yang baik, (b) transfusi selain
merupakan live saving therapy tetapi juga replacement therapy sehingga darah
yang diberikan haruslah safety blood.
Kelebihan terapi komponen dibandingkan dengan terapi darah lengkap: a.
disediakan dalam bentuk konsentrat sehingga mengurangi volume transfusi; b.
resiko reaksi imunologik lebih kecil; c. Pengawetan; d. penularan penyakit lebih
kecil; e. aggregate trombosit dan leukosit dapat dihindari; f. pasien akan
memerlukan komponen yang diperlukan saja; g. masalah logistic lebih mudah; h.
pengawasan mutu lebih sederhana.
42
c. Anemia aplastik, Leukimia dan anemia refrekter, Anemia karena sepsis
e. Sebaiknya 1unit darah diberikan dalam waktu 1-2 jam tergantung status
kardiovaskuler dan dianjurkan tidak lebih dari 4 jam mengingat
kemungkinan proliferasi bakteri pada suhu kamar.
Tranfusi Eritrosit
Eritrosit adalah komponen darah yang paling sering ditransfusikan.
Eritrosit diberikan untuk meningkatkan kapasitas oksigen dan mempertahankan
oksigenasi jaringan. Transfusi sel darah merah merupakan komponen pilihan
untuk mengobati anemia dengan tujuan utama adalah memperbaiki oksigenisasi
jaringan. Pada anemia akut, penurunan nilai Hb dibawah 6 g/dl atau kehilangan
darah dengan cepat >30% - 40% volume darah, maka umumnya pengobatan
terbaik adalah dengan transfusi sel darah merah(SDM). Pada anemia kronik
seperti thalassemia atau anemia sel sabit, transfusi SDM dimaksudkan untuk
mencegah komplikasi akut maupun kronik. SDM juga diindikasikan pada anemia
kronik yang tidak responsive terhadap obat- obatan farmakologik. Transfusi SDM
pra- bedah perlu dipertimbangkan pada pasien yang akan menjalani pembedahan
segera (darurat), bila kadar Hb < 6g/dL. Transfusi tukar ini diindikasikan terutama
pada neonatus dengan ABO incompatibility atau hiperbilirubinemia yang tidak
43
memberikan respon adekuat dengan terapi sinar. Indikasi yang lebih jarang adalah
DIC / pengeluaran toksin seperti pada sepsis.
Biasanya satu/ dua volume darah diganti. Faktor-faktor lain yang perlu
dipertimbangkan dalam memberikan transfusi selain kadar Hb adalah: (1) Gejala,
tanda, dan kapasitas vital dan fungsional penderita, (2) Ada atau tidaknya
penyakit kardiorespirasi atau susunan saraf pusat, (3) Penyebab dan antisipasi
anemia, (4) Ada atau tidaknya terapi alternatif lain.
Pilihan produk eritrosit untuk anak dan remaja adalah suspensi standar
eritrosit yang dipisahkan dari darah lengkap dengan pemusingan dan disimpan
dalam antikoagulan/medium pengawet pada nilai hematokrit kira-kira 60%. Dosis
biasa adalah 10 – 15 ml/Kg, tetapi volume transfusi sangat bervariasi, tergantung
pada keadaan klinis (misalnya perdarahan terus menerus atau hemolisis). Untuk
neonatus, produk pilihan adalah konsentrat PRC (Ht 70 – 90%) yang diinfuskan
perlahan-lahan (2 – 4 jam) dengan dosis kira-kira 15 ml/KgBB.
44
atau untuk mencegah perdarahan yang berlebihan pada pasien dengan
trombositopenia yang akan mendapatkan tindakan invasive.
Indikasi transfusi trombosit pada anak dan bayi dapat dilihat pada tabel
berikut ini.
Anak-anak dan remaja
Trombosit <10x109/L dan perdarahan
45
diperlukan oleh pasien leukemia akut yang sedang menjalani kemoterapi, dan
mengalami trombositopenia berat (trombosit <>2 , dengan perkiraan setiap unit
trombosit akan dapat meningkatkan jumlah trombosit sebesar 10.000/m2.
46
b. Perdarahan akibat defisiensi vitamin K;
47
Albumin merupakan protein plasma yang dapat diperoleh dengan cara
fraksionisasi Cohn. Larutan 5% albumin bersifat isoosmotik dengan plasma, dan
dapat segera meningkatkan volume darah. Komponen ini digunakan juga untuk
hipoproteinemia (terutama hipoalbuminemia), luka bakar hebat, pancreatitis, dan
neonatus dengan hiperbilirubinemia. Dosis disesuaikan dengan kebutuhan, misal
pada neonatus hiperbilirubinemia perlu 1-3g/kgBB dalam bentuk larutan albumin
5%.
Imunoglobulin
Komponen ini merupakan konsentrat larutan materi zat anti dari plasma,
dan yang baku diperoleh dari kumpulan sejumlah besar plasma. Komponen yang
hiperimun didapat dari donor dengan titer tinggi terhadap penyakit seperti
varisela, rubella, hepatitisB, atau rhesus. Biasanya diberikan untuk mengatasi
imunodefisiensi, pengobatan infeksi virus tertentu, atau infeksi bakteri yang tidak
dapat diatasi hanya dengan antibiotika dan lain-lain. Dosis yang digunakan adalah
1-3 ml/kgBB.
48
SECONDARY SURVEY
Tentukan kemampuan visual dan nilai fungsi dan ukuran pupil, cedera
pada struktur mata
2. Cervical Spine/Neck
3. Chest
4. Abdomen
49
Adanya seat belt sing→ resiko injury intraperitoneal
5. Back
6. Pelvis
7. Perineum
8. Urethra
9. Rectum
jika pada pemeriksaan dengan jari didapat darah maka curiga ada
perdarahan usus
10. Vagina
50
Untuk mencarai adanya fraktur, laserasi dan darah
11. Ekstremitas
Inspeksi setiap inci dan palpasi setiap tulang dan cek gerakan sendi.
12. Neurologic
ANAMNESIS
Pada pasien cedera setelah kita pastikan patensi jalan nafas maka dapat kita
lakukan penggalian riwayat trauma.Bagaimana kejadian, proses, waktu, psosisi
penderita asaat trauma, dll.
PEMERIKSAAN LANJUTAN
2. Koagulasi
51
5. Urinalisis
6. Radiologi
7. CT scan
8. Angiografi, dll
Kegawatdaruratan Neurologis
1. Perubahan status mental dan koma (altered mental status and coma) =
Penurunan kesadaran
4. Vertigo
52
a) Penyebab endokrin misalnya: hyperammonemia, ketidaknormalan
elektrolit (misalnya: hiponatremia), hipotiroidisme, dan hipertiroidisme.
5. Uremia
53
TRAUMA
TRAUMA KAPITIS
Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
Skinatau kulit
Connective Tissueatau jaringan penyambung
Aponeurosisataugalea aponeurotika
Loose areolar tissueatau jaringan penunjang longgar
Perikranium
Jaringan penunjang longgar memisahkan galea
aponeurotikadariperikranium dan merupakan tempat tertimbunnya darah
(hematoma subgaleal).Kulit kepala memiliki banyak pembuluh
darahsehingga bila terjadi perdarahan akibat laserasi kulit kepala akan
menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-
anak.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii.Kalvaria
khususnya di bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot
temporal. Basis kranii berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibatproses akselerasi dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu fosa anterior, fosa media, dan fosa
posterior.Fosa anterior adalah tempat lobusfrontalis, fosa media adalah
tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang bagian bawah
batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu duramater, araknoid dan piamater.Duramater adalah selaput
yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada
permukaan dalam dari kranium.Karena tidak melekat pada selaput
54
araknoid di bawahnya, maka terdapatsuatu ruangpotensial (ruang subdural)
yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana sering dijumpai
perdarahan subdural.Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis
tengah atau disebut Bridging Veins, dapatmengalami robekan dan
menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan
darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-
sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea
terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural).Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi
pada arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural.Yang
paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosa temporalis (fosa media).Dibawah duramater terdapat
lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus pandang disebut
lapisan araknoid.Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri.Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang
subaraknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak.Serebrum
terdiri atas hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri
yaitu lipatan duramater dari sisiinferior sinus sagitalis superior.Pada
hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia.Hemisfer otak yang
mengandung pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.Lobus
frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi
dominan mengandung pusat ekspresi bicara.Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang.Lobus temporal mengatur
fungsi memori. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses
penglihatan.Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan
medula oblongata.Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem
aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan.Pada
medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang
sampai medulla spinalis dibawahnya.Lesi yang kecil saja pada batang otak
55
sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang berat.Serebelum
bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak,
dan juga kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksuskhoroideusdengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel
lateral melalui foramen monromenuju ventrikel III kemudian melalui
aquaductus sylviimenuju ventrikel IV.Selanjutnya CSS keluar dari sistem
ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid yang berada di seluruh
permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra
tentorial (terdiri atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
56
GCS
Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien
trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat
kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah proses membuka mata (Eye
Opening), reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response), dan reaksi
bicara (Best Verbal Response).Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala
disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).
Eye Opening
Membuka mata spontan 4
Buka mata bila ada rangsangan suara atau 3
sentuhan ringan
Membuka mata bila ada rangsangan nyeri 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Verbal Response
Orientasi baik 5
Kebingungan (tidak mampu berkomunikasi) 4
Hanya ada kata kata tapi tidak berbentuk 3
kalimat (teriakan)
Hanya asal bersuara atau berupa erangan 2
57
Tidak ada respon sama sekali 1
Motoric Response
Mengikuti perintah 6
Mampu melokalisasi nyeri 5
Reaksi menghindari nyeri 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi abnormal 2
Tidak ada respon sama sekali 1
Berdasarkan skor GCS, beratnya cedera kepala dibagi atas :
Cedera kepala ringan : GCS 14 – 15
Cedera kepala sedang : GCS 9 – 13
Cedera kepala berat : GCS 3
1. Trauma Kepala Ringan
Dengan Skala Koma Glasgow >12, tidak ada kelainan dalam CT-scan,
tiada lesi operatif dalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.Trauma kepala
ringan atau cedera kepala ringan adalah hilangnya fungsi neurologi atau
menurunnya kesadaran tanpa menyebabkan kerusakan lainnya. Cedera
kepala ringan adalah trauma kepala dengan GCS: 15 (sadar penuh) tidak
kehilangan kesadaran, mengeluh pusing dan nyeri kepala, hematoma,
laserasi danabrasi. Cedera kepala ringan adalah cedara otak karena tekanan
atau terkena benda tumpul.Cedera kepala ringanadalah cedera kepala
tertutup yang ditandai dengan hilangnya kesadaran sementara. Pada
penelitian ini didapat kadar laktat rata-rata pada penderita cedera kepala
ringan 1,59 mmol/L.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala ringan;
- Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat
kemudian sembuh.
- Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan.
- Mual atau dan muntah.
- Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun.
- Perubahan keperibadian diri.
- Letargik.
58
2. Trauma Kepala Sedang
Dengan Skala Koma Glasgow 9-12, lesi operatif dan abnormalitas
dalamCT-scandalam 48 jam rawat inap di Rumah Sakit.Pasien mungkin
bingung atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah
sederhana. Pada suatu penelitian penderita cedera kepala sedang mencatat
bahwa kadar asam laktat rata-rata 3,15 mmol/L.
3. Trauma Kepala Berat
Dengan Skala Koma Glasgow < 9 dalam 48 jam rawat inap di Rumah
Sakit.Hampir 100% cedera kepala berat dan 66% cedera kepala sedang
menyebabkan cacat yang permanen. Pada cedera kepala berat terjadinya
cedera otak primer seringkali disertai cedera otak sekunder apabila proses
patofisiologi sekunder yang menyertai tidak segera dicegah dan
dihentikan. Penelitian pada penderita cedera kepala secara klinis dan
eksperimental menunjukkan bahwa pada cedera kepala berat dapat
disertaidengan peningkatan titer asam laktat dalam jaringan otak dan
cairan serebrospinalis (CSS) ini mencerminkan kondisi asidosis
otak.Penderita cedera kepala berat, penelitian menunjukkan kadar rata-rata
asam lakt at 3,25 mmol/L.
Tanda-tanda atau gejala klinis untuk yang trauma kepala berat:
- Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan peningkatan
di otak menurun atau meningkat.
- Perubahan ukuran pupil (anisokoria).
- Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi
pernafasan).
- Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstrimitas.
59
deselerasi gerakan kepala. Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa
berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil,
tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesikontusio “countercoup”.Kepala tidak selalu mengalami
akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma
kapitis adalah akselerasi rotatorik.Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi
rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci.Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup,countercoup, dan
intermediate.Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di
antara lesi kontusio coup dan countrecoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma.Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya.Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otakmembentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam
setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini
berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya
kompartemen intrasel dan ekstrasel.Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya
glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan
perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya
kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.Neuron atau sel-sel
fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada suplai nutrien yang
konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera
metabolik bila suplai terhenti.Cedera mengakibatkan hilangnya kemampuan
sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan
iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak.
60
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai
aspek.Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan;
mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus.Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau
pukulan benda tumpul.Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak
ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS)digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai
nilai GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan
otot ekstrimitasnya flaksid dan tidakmembuka mata ataupun tidak bersuara
maka nilai GCSnya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau
kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat.
Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-
13 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai
GCS 14-15dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan, klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injuryyaitu :
Ringan Kehilangan kesadaran < 20 menit
Amnesia post traumatik < 24 jam
GCS = 13–15
Sedang Kehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jam
Amnesia post traumatik≥ 24 jam dan ≤ 7 hari
GCS = 9-12
Berat Kehilangan kesadaran > 36 jam
Amnesia post traumatik > 7 hari
GCS = 3–8
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
61
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat
berbentuk garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka
ataupun tertutup.Fraktur dasar tengkorak biasanya memerlukan
pemeriksaan CT scan dengan teknik “bonewindow” untuk
memperjelas garis frakturnya.Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan
pemeriksaan lebih rinci.Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan
adanya hubungan antara laserasi kulitkepala dengan permukaan otak
karena robeknya selaput dura.Adanya fraktur tengkorak tidak dapat
diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi cukup
berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai
berikut;
Gambaran fraktur, dibedakan atas :
- Linier
- Diastase
- Comminuted
- Depressed
Lokasi Anatomis, dibedakan atas :
- Calvarium/Konveksitas (kubah/atap tengkorak)
- Basis cranii ( dasar tengkorak )
Keadaan luka, dibedakan atas :
- Terbuka
- Tertutup
b. Lesi Intra Kranial
Cedera otak difus
Mulai dari konkusi ringan, dimana gambaran CT scannormal
sampai kondisi yang sangat buruk.Pada konkusi, penderita
biasanya kehilangan kesadaran dan mungkinmengalami
amnesiaretro/anterograd.Cedera otak difus yang berat biasanya
diakibatkan hipoksia, iskemi dari otak karena syok yang
berkepanjangan atau periode apnoe yang terjadi segera setelah
62
trauma.Pada beberapa kasus, CT scansering menunjukkan
gambaran normal, atau gambaran edema dengan batas area
putih dan abu-abu yang kabur. Selama ini dikenal istilah
Cedera Aksonal Difus (CAD) untuk mendefinisikan trauma
otak berat denganprognosis yang buruk.Penelitian secara
mikroskopis menunjukkan adanya kerusakan pada akson dan
terlihat pada manifestasi klinisnya.
Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga
tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveksatau menyerupai lensa
cembung. Sering terletak di area temporal atau temporo
parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya
arterimeningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
63
Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan
epidural.Perdarahan ini terjadi akibat robeknya vena-vena
kecil di permukaan korteks serebri.Perdarahan subdural
biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak.Biasanya
kerusakan otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk
dibandingkan perdarahan epidural.
64
Kontusio dan perdarahan intraserebral
Kontusio serebri sering terjadi dan sebagian besar terjadi di
lobus frontal dan lobus temporal, walaupun dapat juga terjadi
pada setiap bagian dari otak.Kontusio serebri dapat, dalam
waktu beberapa jam atau hari, berubah menjadi perdarahan
intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi.
65
66
TRAUMA MATA
A. Definisi
Trauma okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan
perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan
kerusakan pada bola mata, kelopakmata, saraf mata, dan rongga orbita.
Kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata
sebagai indra penglihat. Trauma mata merupakan kasus gawat darurat mata,
Perlukaan yang ditimbulkan dapat ringan sampai berat atau menimbulkan
kebutaan bahkan kehilangan mata (Asbury, 2009).
B. Etiologi
Trauma pada mata memerlukan perawatan yang tepat untuk mencegah
terjadinya penyulit yang lebih berat yang akan mengakibatkan kebutaan.
Macam-macam bentuk trauma pada mata adalah sebagai berikut (Lang,
2006):
1. Mekanik
a. Trauma tumpul, misalnya terpukul, terkena bola, penutup botol
b. Trauma tajam, misalnya pisau dapur, gunting, garpu, dan peralatan
pertukangan.
2. Kimia
a. Trauma kimia basa, misalnya sabuncuci, sampo, bahan pembersih
lantai, kapur, atau lem.
b. Trauma kimia asam, misalnya cuka, bahan asam-asam di laboratorium.
3. Radiasi
a. Trauma termal, misalnya panas api, listrik, sinar las, sinar matahari.
b. Trauma bahan radioaktif, misalnya sinar radiasi
67
1. Trauma tajam selain menimbulkan perlukaan dapat juga disertai
tertinggalnya benda asing di dalam mata. Benda asing yang tertinggal
dapat bersifat tidak beracun dan beracun. Benda beracun contohnya logam
besi, tembaga serta bahan dari tumbuhan misalnya potongan kayu. Bahan
tidak beracun seperti pasir, kaca. Namun bahan tidak beracun dapat pula
menimbulkan infeksi jika tercemar oleh kuman.
2. Trauma tumpul dapat menimbulkan perlukaan ringan yaitu penurunan
penglihatan sementara sampai berat, yaitu perdarahan di dalam bola mata,
terlepasnya selaput jala (retina) atau hingga terputusnya saraf penglihatan
sehingga menimbulkan kebutaan menetap.
3. Trauma kimia basa umumnya memperlihatkan gejala lebih berat daripada
trauma kimia asam. Mata nampak merah, bengkak, keluar air mata
berlebihan dan penderita nampak sangat kesakitan, trauma basa akan
berakibat fatal karena dapat menghancurkan jaringan mata atau kornea
secara perlahan.
4. Trauma Radiasi
a. Gangguan molekuler. Dengan adanya perubahan patologi akan
menyebabkan kromatolisis sel.
b. Reaksi pembuluh darah. Reaksi pembuluh darah ini berupa vasoparalisa
sehingga aliran darah menjadi lambat, sel endotel rusak, cairan keluar
dari pembuluh darah maka terjadi edema.
c. Reaksi jaringan. Reaksi jaringan ini biasanya berupa robekan pada
kornea, sklera dan sebagainya).
Tanda dan gejala lain yang dapat ditemukan pada kejadian trauma okuli
adalah sebagai berikut (Ilyas, 2012):
1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnya
Pada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya
kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma
tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata.
2. Memar pada sekitar mata
68
Memar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra.
Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami
fraktur basis kranii.
3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadak
Penurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang
pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di
segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat
terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.
4. Penglihatan ganda
Penglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena
robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak
bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.
5. Mata bewarna merah
Pada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan
pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah
sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan
subkonjungtiva.
6. Nyeri dan rasa menyengat pada mata
Pada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada
palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri
pada mata.
7. Sakit kepala
Pada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga
menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat
menyebabkan sakit kepala.
8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mata
Pada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun
segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan
mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan
peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan
pada mata.
9. Fotopobia
69
Fotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama
adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea,
benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang
masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau
pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah
lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil
dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata
D. Patofisiologi
Berdasarkan mekanismenya, trauma oculi dapat dibagi menjadi tiga,
yakni trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi. Trauma dapat disebakan
karena adanya benda asing yang masuk atau mengenai mata. Trauma tumpul
dapat menyebabkan kompresi jaringan secara langsung (coup) dan efek yang
ditimbulkan pada bagian berlawanan dari bagian yang terkena trauma
(conter-coup). Coup dan conter-coup ini mengakibatkan perpindahan
diafragma lensa dan iris, makular edema, ruptur koroid, fraktur orbita,
laserasi, dan hematoma. Perpindahan diafragma lensa dan iris menyebabkan
struktur dan pembuluh darah yang berada di iris memisah sehingga darah
masuk ke camera oculi anterior. Masuknya darah ke camera oculi anterior ini
menyebabkan terjadinya hifema dan penurunan tajam penglihatan. Ruptur
koroid menyebabkan adanya perdarahan subretina yang akan menstimulasi
terjadinya neovaskularisasi sehingga dapat mengakibatkan pemisahan retina
dan penurunan tajam penglihatan. Laserasi kelopak mata dapat menyebabkan
kerusakan pada muskulus levator palpebra. Adanya kelemahan pada
muskulus inilah yang dapat menyebabkan ptosis. Laserasi konjungtiva
menyebabkan perdarahan subkonjungtiva yang pada akhirnya juga akan
menyebabkan adanya penurunan tajam penglihatan (Olitsky & Nelson, 2012;
Othman, 2009).
Trauma tumpul, trauma tembus, dan perforasi dapat menyebabkan
kerusakan lensa sehingga integritas lensa terganggu. Hal ini merangsang
pengeluaran aqueous humor dan mediator inflamasi yang nantinya
mengakibatkan adanya edema dan opaksifikasi. Protein lalu keluar ke camera
70
oculi posterior. Proses inflamasi inilah yang dapat menyebabkan terjadinya
glaukoma dan katarak sehingga penglihatan dapat menurun (Olitsky &
Nelson, 2012; Othman, 2009).
71
Trauma Oculi
72
E. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis trauma okuli ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang. Walaupun begitu, trauma okuli jarang mengancam nyawa
dan penanganan haruslah diprioritaskan ke trauma lain yang lebih mengancam nyawa
(James, 2005).
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera
atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif
atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada
riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan untuk
melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan serpihan-
serpihan logam yang akan menembus bola mata, dan hanya meninggalkan petunjuk
perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya penetrasi sklera dan
benda asing yang tertinggal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan
gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing
intraokular yang berpotensi membutakan (James, 2005).
Anamnesis tentang ketajaman visus sebelum trauma dan riwayat penyakit mata
atau operasi mata amat membantu dalam mendiagnosis suatu trauma okuli.
Riwayat penyakit sistemik, pengambilan obat-obatan, riwayat alergi, suntikan
imunisasi tetanus dan pengambilan oral terakhir perlu ditanyakan sebagai
kemungkinan persediaan operasi (Aronson, 2008).
2. Pemeriksaan fisis
Sebisa mungkin dilakukan pemeriksaan oftalmik lengkap termasuk pemeriksaan
visus, reaksi pupil, lapangan pandang, pergerakan otot-otot ekstraokular, tekanan
intraokular, pemeriksaan slit lamp, funduskopi dan lain-lain (Lange, 2006).
Setiap laserasi kelopak mata yang letaknya di kantus medialis hendaknya
dipertimbangkan kemungkinan terlibatnya sistem lakrimasi sehingga terbukti tidak.
Pemeriksaan tulang-tulang orbita terhadap kemungkinan terjadinya fraktur harus
dilakukan. Ruptur bola mata adalah segera ditentukan pada pemeriksaan fisis.
Namun, biasanya ini tersembunyi. Pemeriksaan mata yang mengalami trauma
harus diperiksa dengan sistematis dan hati-hati agar penatalaksanaan dapat
dilakukan dengan segera dan mengurangi trauma yang lebih lanjut (Lange, 2006).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Foto polos
73
Foto polos orbita kurang membantu dalam menentukan kelainan berbanding
CT-scan. Tetapi foto polos masih dapat dilakukan. Antaranya foto polos 3
posisi, proyeksi Water’s, posisi Caldwelldan proyeksi lateral. Posisi-posisi ini
berfungsi untuk melihat dasar orbita, atap orbita dan sinus paranasalis (Robson,
2007).
b. Ultrasonografi
USG membantu dalam melihat ada tidaknya benda asing di dalam bola mata dan
menentukan lokasi ruptur (Robson, 2007).
c. CT-scan
CT-scan adalah metode pencitraan paling sensitif untuk mendeteksi ruptur yang
tersembunyi, hal-hal yang terkait dengan kerusakan saraf optic, adanya benda
asing serta menampilkan anatomi dari bola mata dan orbita (Robson, 2007).
d. MRI
MRI sangat membantu dalam mengidentifikasi jaringan lunak bola mata dan
orbita (Robson, 2007).
F. Rencana Terapi
1. Trauma Mata Benda Tumpul
Penanganan ditekankan pada utama yang menyertainya dan penilaian terhadap
ketajaman penglihatan. Setiap penurunan ketajaman penglihatan tanda mutlak
untuk melakukan rujukan kepada dokter ahli mata. (Mangunkusumo, 2000)
76
Dexametason 0,1% ED dan Prednisolon 0,1% ED diberikan setiap 2 jam.
Bila diperlukan dapat diberikan Prednisolon IV 50-200 mg
2) Sikloplegik untuk mengistirahatkan iris, mencegah iritis dan sinekia
posterior. Atropin 1% ED atau Scopolamin 0,25% diberikan 2 kali sehari.
3) Asam askorbat untuk mengembalikan keadaan jaringan scorbutik dan
meningkatkan penyembuhan luka dengan membantu pembentukan kolagen
matur oleh fibroblas kornea. Natrium askorbat 10% topikal diberikan setiap 2
jam. Untuk dosis sitemik dapat diberikan sampai dosis 2 gr.
4) Beta bloker/karbonik anhidrase inhibitor untuk menurunkan tekanan intra
okular dan mengurangi resiko terjadinya glaukoma sekunder. Diberikan
secara oral asetazolamid (diamox) 500 mg.
5) Antibiotik profilaksis untuk mencegah infeksi oleh kuman oportunis.
Tetrasiklin efektif untuk menghambat kolagenase, menghambat aktifitas
netrofil dan mengurangi pembentukan ulkus. Dapat diberikan bersamaan
antara topikal dan sistemik (doksisiklin 100 mg).
6) Asam hyaluronik untuk membantu proses re-epitelisasi kornea dan
menstabilkan barier fisiologis.
7) Asam Sitrat untuk menghambat aktivitas netrofil dan mengurangi respon
inflamasi. Natrium sitrat 10% topikal diberikan setiap 2 jam selama 10 hari.
Tujuannya untuk mengeliminasi fagosit fase kedua yang terjadi 7 hari setelah
trauma.
c. Pembedahan
1) Pembedahan Segera yang sifatnya segera dibutuhkan untuk revaskularisasi
limbus, mengembalikan populasi sel limbus dan mengembalikan kedudukan
forniks. Prosedur berikut dapat digunakan untuk pembedahan (Kanski, 2000):
a) Pengembangan kapsul Tenon dan penjahitan limbus bertujuan untuk
mengembalikan vaskularisasi limbus juga mencegah perkembangan ulkus
kornea.
b) Transplantasi stem sel limbus dari mata pasien yang lain (autograft) atau
dari donor (allograft) bertujuan untuk mengembalikan epitel kornea
menjadi normal.
c) Graft membran amnion untuk membantu epitelisasi dan menekan fibrosis
2) Pembedahan Lanjut pada tahap lanjut dapat menggunakan metode berikut
(Kanski, 2000):
77
a) Pemisahan bagian-bagian yang menyatu pada kasus conjungtival bands
dan simblefaron.
b) Pemasangan graft membran mukosa atau konjungtiva.
c) Koreksi apabila terdapat deformitas pada kelopak mata.
d) Keratoplasti dapat ditunda sampai 6 bulan. Makin lama makin baik, hal ini
untuk memaksimalkan resolusi dari proses inflamasi.
e) Keratoprosthesis bisa dilakukan pada kerusakan mata yang sangat berat
dikarenakan hasil dari graft konvensional sangat buruk.
5. Trauma Kimia Basa
Dengan secepat mungkin melakukan irigasi dengan garam fisiologik.
Sebaiknya irigasi dilakukan selama mungkin. Bila mungkin irigasi dilakukan
paling sedikit 60 menit segera setelah trauma.Penderita diberi sikloplegia,
antibiotika, EDTA (ethylene Diamine Tetracetic Acid) untuk mengikat basa.
EDTA di berikan setelah satu minggu trauma basa diperlukan untuk menetralisir
kolagenase yang terbentuk pada hari ke tujuh (Sachdeva, 2005).
G. Prognosis
Prognosis asam baik apabila konsentrasi asam tidak terlalu tinggi sehingga hanya
terjadi kerusakan pada superficial. Prognosis trauma karena zat basa ditentukan
berdasarkan klasifikasi Hughes atau klasifikasi Thoft dan tergantung derajat
kerusakan.
1. Klasifikasi Huges
a. Ringan :
1) Prognosis baik
2) Terdapat erosi epitel kornea
3) Pada kornea tedaat kekeruhan yang ringan
4) Tidak terdapat iskemia dan nekrosis kornea ataupun konjungtiva
b. Sedang :
1) Prognosis baik
2) Terdapat kekeruhan kornea sehingga sulit melihat iris dan pupil secara
terperinci
3) Terdapat iskemia dan nekrosis enteng pada kornea dan konjungtiva
c. Sangat berat :
1) Prognosis buruk
78
2) Akibat kekeruhan kornea upil tidak dapat dilihat
3) Konjungtiva dan sclera pucat
2. Klasifikasi Thoft
Menurut klasifikasi Thoft, trauma basa dapat dibedakan menjadi (Sidharta,
2012):
a. Derajat 1 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
b. Derajat 2 : terjadi hiperemi konjungtiva disertai hilangnya epitel kornea
c. Derajat 3 : terjadi hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya
epitel kornea
d. Derajat 4 : konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%
Prognosis trauma tembus okuli bergantung pada banyak faktor, yaitu (Sidharta,
2012). :
1. Besarnya luka tembus, makin kecil makin baik
2. Tempat luka pada bola mata
3. Bentuk trauma apakah dengan atau tanpa benda asing
4. Benda asing megnetik atau non megnetik
5. Dalamnya luka tembus, apakah tumpul atau luka ganda
6. Sudah/belum terdapat penyulit akibat luka tembus
Prognosis trauma tumpul okuli adalah mata akan sembuh dengan baik setelah
trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang, jarang dikaitkan dengan
kerusakan penglihatan berat dan butuh pembedahan ekstensif (Sidharta, 2012).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah:
1. Komplikasi Trauma Tembus Okuli (John, 2001):
a. Infeksi
b. Iritis
c. Katarak
2. Komplikasi Trauma Tumpul okuli (John, 2001):
a. Midriasis
b. Glaukoma
c. Katarak
d. Dislokasi lensa
79
e. Vitreous haemorrhage
f.Atrofi N. Opticus
3. Komplikasi Trauma Okuli karena Zat Kimia
a. Zat Kimia Asam (Vaughan, 2007):
1) Jaringan parut pada konjungtiva dan kornea
2) Vaskularisasi kornea
3) Glaucoma
4) uveitis
b. Zat Kimia Basa (Kanski, 2000):
1) Simblefaron
2) Kornea keruh, edema, neovaskular
3) Mata kering
4) Katarak traumatik
5) Glaucoma sudut tertutup
6) Entropion
7) Phtisis bulbi
80
TRAUMA THT
PengertianTrauma
Merupakan cedera pada telinga luar misalnya akibat pukulantumpul, atau akibat
suatu kecelakaan, bisa menyebabkan memar diantarakartilago dan perikondrium.
Macam-Macam Trauma
2. Frostbitea
Sengatan pada suhu yang dingin pada aurikula timbul dengan cepat
padalingkungan bersuhu rendah dengan angin dingin yang kuat. Gambaran
klinisSengatan pada suhu yang dingin pada aurikula timbul dengan cepat
padalingkungan bersuhu rendah dengan angin dingin yang kuat. Sehinggamengalami
Vasokontriksi hebat pembuluh darah telinga bagian luar yang diikuti priode dilatasi
yang berlangsung lebih lama.
Pengobatan/penatalaksanaan
- Pemanasan yang cepat 100-108 F/ tidak > 37 C
- Berikan analgesik
- Jika menimbulkan infeksi yang nyata secara klinis, berikan antibiotic.
3. Hematomaa
Gumpalan darah yang diakibatkan oleh luka dalam yang sering terjadi pada
petinju dan pegulat. Gambaran klinisJika terjadi penimbunan darah di daerah yang
cedera tersebut, maka akanterjadi perubahan bentuk telinga luar dan tampak massa
berwarna ungukemerahan.Darah yang tertimbun ini (hematoma) bisa menyebabkan
81
terputusnyaaliran darah ke kartilago sehingga terjadi perubahan bentuk
telinga.Kelainan bentuk ini disebut telinga bunga kol, yang sering ditemukan
pada pegulat dan petinju. PenatalaksanaanUntuk membuang hematoma, biasanya
digunakan alat penghisap dan penghisapan dilakukan sampai hematoma betul-betul
sudah tidak ada lagi(biasanya selama 3-7 hari). Dengan pengobatan, kulit dan
perikondrium akan kembali ke posisi normal sehingga darah bisa kembali
mencapaikartilago. Jika terjadi robekan pada telinga, maka dilakukan penjahitan
dan pembidaian pada kartilagonya. Pukulan yang kuat pada rahang
bisamenyebabkan patah tulang di sekitar saluran telinga dan merubah bentuk saluran
telinga dan seringkali terjadi penyempitan. Perbaikan bentuk bisa dilakukan melalui
pembedahan
84